Anda di halaman 1dari 27

PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK DOKTER DALAM MELAKUKAN

TINDAKAN MEDIK

Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semestar (UAS)


Mata Kuliah Manajemen Asuransi dan Hukum Kesehatan

Dosen:
Dr. Juli Asril, S.H., M.H.

Disusun Oleh:
HENRI SULISTIYANTO
71211162

PROGRAM PASCA SARJANA


MAGISTER MANAJEMEN RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS ADHIRAJASA RESWARA SANJAYA
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan hidayah- Nya, kami dapat menyelesaikan tugas Ujian Akhir Semester
(UAS) pada mata kuliah Manajemen Asuransi dan Hukum Kesehatan. Penyusunan
tugas makalah ini bertujuan untuk menyelesaikan salah satu tugas dalam
menempuh program strata dua magister manajemen rumah sakit di Universitas
Adhirajasa Reswara Sanjaya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, yaitu Dr. Juli Asril, S.H.,M.H, selaku
dosen Manajemen Asuransi dan Hukum Kesehatan di Universitas Adhirajasa
Reswara Sanjaya yang senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan ilmu,
mengarahkan, serta membimbing kami selama perkuliahan ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT berkenan memberi
pahala yang berlipat ganda kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
pengerjaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk ilmu
pengetahuan.

Bandung, September 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................3


2.1 Perlindungan Hukum Dokter dalam Melakukan Tindakan Medik .......3
2.2 Hak dan Kewajiban Dokter dalam Melakukan Tindakan Medik ..........8
2.3 Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit terhadap Dokter ....................19

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 21


3.1 Kesimpulan..........................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan salah satu unsur sangat penting bagi kemajuan suatu negara.
Setiap negara berupaya memberikan perhatian utama pada pelayanan kesehatan, mulai dari
penyediaan tenaga kesehatan yang profesional hingga fasilitas kesehatan yang modern.
Negara juga membuat dan memberlakukan peraturan-peraturan di bidang kesehatan
(hukum kesehatan) sebagai pedoman yuridis dalam pemberian layanan kesehatan kepada
masyarakat. Hukum kesehatan pada pokoknya mengatur tentang hak, kewajiban, fungsi,
dan tanggung jawab para pihak terkait (stakeholders) dalam bidang kesehatan. Hukum
kesehatan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemberi dan penerima
jasa layanan Kesehatan.
Dalam praktiknya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan,
khususnya dokter, kepada pasien cukup sering menimbulkan masalah hukum dalam
hubungan antara dokter dan pasien. Masalah hukum itu antara lain disebabkan oleh apa
yang disebut dengan malapraktik kedokteran. Hukum kesehatan adalah bidang hukum
yang mengatur tentang aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan kesehatan, baik dari sisi
pemberi maupun penerima layanan kesehatan. Hukum kesehatan mencakup berbagai topik,
seperti hak dan kewajiban pasien, etika medis, malpraktik, asuransi kesehatan, perizinan
dan sertifikasi tenaga kesehatan, dan lain-lain. Hukum kesehatan juga berhubungan dengan
hukum lain, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum administrasi, hukum konstitusi,
dan hukum internasional.
Hukum kesehatan adalah seperangkat ketentuan hukum yang berkaitan langsung
dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penegakannya, serta hak dan
kewajiban perseorangan dan pada semua lapisan masyarakat sebagai pelayanan kesehatan.
penerima dan penyedia layanan kesehatan dalam semua aspek organisasi; sarana pedoman
kesehatan nasional atau internasional, hukum di bidang kedokteran, hukum kasus dan ilmu
di bidang kedokteran Hukum kesehatan adalah bagian dari hukum kesehatan yang
berkaitan dengan pelayanan kesehatan.

1
Tenaga kesehatan adalah orang perseorangan atau orang-orang yang telah
mengabdikan diri pada profesi kesehatan dan memiliki kemampuan serta keterampilan
yang diperoleh melalui pendidikan di bidang kedokteran yang nantinya akan cakap untuk
melakukan segala upaya yang berhubungan dengan Kesehatan. Untuk dapat melakukan
upaya medis sendiri juga diperlukan suatu bangunan yang dapat kita sebut dengan
bangunan medis, sehingga dapat dikatakan bahwa bangunan medis adalah tempat yang
berfungsi untuk melakukan tindakan dan setiap upaya medis.
Dokter adalah salah satu dari sekian banyak profesi mulia. Dokter dalam bekerja
mengurusi orang sakit, menderita, cacat, tidak berdaya bahkan sampai dengan meninggal.
Karena terkait dengan manusia, makhluk paling sempurna dari semua ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa, maka dalam bekerja menjalankan profesi, dokter dilingkupi dan dibekali dengan
ilmu, etika, sosial, dan hukum. Perangkat ini sangat diperlukan agar para dokter dalam
menjalankan profesinya senantiasa menerapkan standart tertinggi dalam memberi layanan
kepada orang sakit. Ilmu yang baik akan memberikan pilihan pengobatan dan perawatan
yang terbaik. Etika akan memberi tuntunan apa yang baik, apa yang pantas dan apa yang
layak diberikan kepada pasien. Aspek hukum akan memberikan arahan bahwa interaksi
antara 2 orang atau lebih, apapun jenis interaksinya, prinsip-prinsip hukum sudah secara
otomatis bekerja. Dokter harus faham hukum, supaya bisa menempatkan diri sesuai
prinsip-prinsip hukum dalam menjalankan profesi, faham berargumentasi secara hukum,
menjunjung tinggi prinsip hukum dan lebih dari itu, tidak takut menghadapi masalah
hukum. Perlindungan hukum tidak bisa dilepaskan dari hak dan kewajiban. Tidak
terlindunginya tenaga kesehatan, dalam hal ini profesi dokter sebagai tenaga medis, di saat
dokter tidak mendapatkan haknya atau adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pasien
yang tidak melaksanakan kewajibannya.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas tentang hukum kesehatan khususnya
bagi profesi dokter yaitu:
1.2.1 Perlindungan hukum dokter dalam melakukan tindakan medik
1.2.2 Hak dan kewajiban dokter dalam melakukan tindakan medik
1.2.3 Tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap dokter dalam melakukan tindakan
medik
2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perlindungan Hukum Dokter dalam Melakukan Tindakan Medik


2.1.1 Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian
bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban, perlindungan hukum
korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan
dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi, kompensasi, pelayanan medis,
dan bantuan hukum. Perlindungan hukum yang diberikan kepada subyek hukum ke dalam
bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang
lisan maupun yang tertulis. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa perlindungan
hukum sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki
konsep bahwa hukum memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan
dan kedamaian. Pengertian di atas mengundang beberapa ahli untuk mengungkapkan
pendapatnya mengenai pengertian dari perlindungan hukum, diantaranya menurut Satjipto
Raharjo mendefinisikan perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada
hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada
masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum adalah
perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia
yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.
Sedangkan menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upay untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenangoleh penguasa yang tidak sesuai
dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga
memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.
Menurut Philipus M. Hadjon Perlindungan Hukum adalah Sebagai kumpulan
peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan
dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hakhak pelanggan
dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut. Menurut Hadjon,
perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni:

3
1. Perlindungan Hukum Preventif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana kepada
rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif;
2. Perlindungan Hukum Represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana lebih
ditujukan dalam penyelesaian sengketa
Secara konseptual, perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia
merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip negara hukum yang
berdasarkan pancasila. Perlindungan hukum hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan
perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat
perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum.
Dari sekian banyak jenis dan macam perlindungan hukum, terdapat beberapa diantaranya
yang cukup populer dan telah akrab di telinga kita, seperti perlindungan hukum
terhadap konsumen. Perlindungan hukum terhadap konsumen ini telah diatur dalam
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang pengaturannya mencakup segala
hal yang menjadi hak dan kewajiban antara produsen dan konsumen. Prinsip perlindungan
hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari
barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia diarahkan kepada pembatasanpembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat
dan pemerintah.

2.1.2 Tanggung Jawab Hukum


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah kewajiban
menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan
diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi
seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya. Menurut hukum
tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang
perbuatannya yang terkait dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.
Menurut Titik, 2010, pertanggungjawaban harus memiliki dasar, yaitu hal yang
menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus

4
berupa hal yang memunculkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi
pertanggungjawabannya.
Hukum perdata membagi dua macam dasar pertanggungjawaban, yaitu kesalahan
dan risiko dan dikenal dengan pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (lilability without
based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang dikenal (lilability without
fault) yang dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak (strick
liabiliy). Prinsip dasar pertanggungjawaban atas dasar kesalahan mengandung arti
bahwa seseorang harus bertanggung jawab karena ia melakukan kesalahan karena
merugikan orang lain. Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah bahwa konsumen
penggugat tidak diwajibkan lagi melainkan produsen tergugat langsung bertanggung jawab
sebagai risiko usahanya.
Abdulkadir Muhammad, menjelaskan bahwa teori tanggung jawab dalam perbuatan
melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori yaitu :
1. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja
(intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa
sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat
akan mengakibatkan kerugian.
2. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena kelalaian
(negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan (concept of fault) yang
berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur (interminglend).
3. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar
hukum tanpa mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada
perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan
kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatannya.
Perkembangan pertanggungjawaban korporasi di negara Common Law seperti
Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada, sudah dimulai sejak revolusi industri. Pengadilan
di Inggris pada tahun 1842 men-jatuhkan hukuman denda pidana kepada salah satu
korporasi karena kegagalannya untuk memenuhi kewajiban hukum (Muladi, 2015). Teori
yang digunakan yaitu:
1. Teori Vicarious Liability adalah teori atau doktrin dimana ada hubungan antara atasan
dan bawahan atau majikan dan buruh berlaku qui facit per alium facit per se, yang
artinya bahwa seseorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang
5
melakukan perbuatan tersebut. Dalam perbuatan perdata, seorang pemberi kerja
bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya sepanjang hal itu
terjadi dalam lingkungan kerjanya.
2. Teori Identification adalah teori atau doktrin yang menyatakan bahwa perusahaan
dapat melakukan sejumlah delik secara langsung lewat orang yang sangat
berhubungan erat dengan perusahaan dan mereka tidak sebagai pengganti dan oleh
karena itu pertanggungjawaba perusahaan tidak bersifat pertanggung-jawaban
pribadi
3. Teori Strict Liability adalah teori atau doktrin bahwa pertanggungjawaban pidana
dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu
dibuktikan adanya kesalahan pada pelakunya. Dalam teori ini dititik beratkan kepada
unsur penyebab daripada kesalahan, jika perbuatan tersebut menimbulkan kerugian
terhadap orang lain, dia diwajibkan untuk memberi kompensasi tanpa melihat ada atau
tidaknya unsur kesalahan dari pelaku.

2.1.3 Tindakan Medis


Tindakan medik adalah suatu tindakan seharusnya hanya boleh dilakukan oleh para
tenaga medis, karena tindakan itu ditujukan terutama bagi pasien yang mengalami
gangguan kesehatan. Suatu tindakan medik adalah keputusan etik karena dilakukan oleh
manusia terhadap manusia lain, yang umumnya memerlukan pertolongan dan keputusan
tersebut berdasarkan pertimbangan atas beberapa alternatif yang ada. Keputusan etik harus
memenuhi tiga syarat, yaitu bahwa keputusan tersebut harus benar sesuai ketentuan yang
berlaku, baik tujuan dan akibatnya, dan keputusan tersebut harus tepat sesuai dengan
konteks serta situasi dan kondisi saat itu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Tindakan medik yang merupakan suatu keputusan etik, seorang dokter harus
mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, profesi, pasien dan
mempertimbangkan etika, prinsip-prinsip moral, dan keputusan-keputusan khusus pada
kasus klinis yang dihadapi. Suatu tindakan medik tidak bertentangan dengan hukum
apabila memenuhi syarat syarat sebagai mempunyai indikasi medik, untuk mencapai suatu
tujuan yang konkrit, dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku dalam ilmu kedokteran,
dan sudah mendapat persetujuan dari pasien.

6
Setiap tindakan medis harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara etik
maupun secara hukum, Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) memberikan pedoman
kepada dokter di dalam memutuskan untuk melakukan tindakan medisnya tidak boleh
bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Asas-asas Etika kedokteran
Indonesia (Ngesti, 2010).

2.1.4 Konsep Rumah Sakit sebagai Badan Hukum


Menurut World Health Organization (WHO), rumah sakit (hospital) adalah bagian
integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan
paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit
(preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga
Kesehatan dan pusat penelitian medik. Berdasarkan Undang Undang No. 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit (yang selanjutnya disebut UURS), yang dimaksudkan dengan rumah
sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
gawat darurat.
Menurut pasal 3 Undang-Undang Rumah Sakit, bertujuan untuk:
1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;
2. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan
rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;
3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit, dan;
4. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia
rumah sakit, dan rumah sakit.
Rumah sakit di Indonesia dibedakan menjadi 2, yaitu Rumah Sakit Pemerintah dan
Rumah Sakit Swasta. Rumah sakit pemerintah atau daerah adalah rumah sakit yang
pendiriannya harus berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari instansi yang bertugas di bidang
kesehatan, instansi tertentu atau lembaga teknis daerah dengan pengelolaan badan layanan
umum dengan ketentuan peraturan perundang–undangan. Sedangkan Rumah Sakit Swasta
adalah rumah sakit yang berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak
di bidang perumahsakitan.
Rumah sakit merupakan suatu organisasi yang kompleks, dikatakan kompleks
karena adanya keterlibatan sumber kekuasaan dan otonomi dari beberapa pihak, yaitu
7
keterlibatan Pemerintah untuk memastikan terpenuhinya kesehatan masyarakat,
keterlibatan pemilik rumah sakit dengan misi mulia mendirikan dan menjaga nama baik
rumah sakit. Keterlibatan para profesional seperti dokter dengan tanggung jawab
mengutamakan kesehatan dan keselamatan pasien, keterlibatan direksi rumah sakit
sebagai organ yang mendorong terciptanya manajemen yang lebih baik dalam rumah sakit,
keterlibatan masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan dan keterlibatan
para pelaku bisnis khususnya bisnis kesehatan, obat, dan lain-lain yang mendukung
penyelenggaraan kesehatan.

2.2 Hak dan Kewajiban Dokter dalam Melakukan Tindakan Medik


Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan. Tenaga Kesehatan diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (selanjutnya disebut Undang-Undang Tenaga
Kesehatan) yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 21 Ayat (3) Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Dokter sebagai tenaga kesehatan adalah orang yang mengabdikan diri didalam
bidang kesehatan, yang memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di
bidang kedokteran yang memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Namun, profesi dokter adalah suatu profesi yang disertai moralitas tinggi untuk
memberikan pertolongan kepada siapa saja yang membutuhkannya. Para profesional
senantiasa melaksanakan perintah moral dan intelektual serta bersama mereka ingin
menujukan kepada masyarakat hal yang baik baginya.
Hakekatnya, profesi dokter merupakan panggilan hidup untuk mengabdikan diri
pada kemanusiaan didasarkan pendidikan yang harus dilaksanakan dengan kesungguhan
niat dan tanggung jawab penuh. Oleh karena itu, profesi dokter disebut sebagai profesi
luhur didasarkan kemanusiaan. Suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai profesi,
adapun ciri-ciri profesi, yaitu:
1. Merupakan suatu pekerjaan yang berkedudukan tinggi dari para ahli terampil dalam
menerapakan pengetahuan secara sistematis;

8
2. Mempunyai kompetensi secara eksklusif terhadap pengetahuan dan keterampilan
tertentu;
3. Didasarkan pendidikan yang intensif dan dislipin tertentu;
4. Mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan pengetahuan dan
keterampilannya serta mempertahankan kehormatan;
5. Mempunyai etik sendiri sebagai pedoman untuk menilai pekerjaan;
6. Cenderung mengabaikan pengendalian dari masyarakat atau individu;
7. Pelaksaannya dipengaruhi oleh masyarakat, kelompok kepentingan tertentu dan
organisasi profesional lainnya terutama dari segi pengakuan terhadap kemandiriannya

Sehubungan dengan itu, dokter harus secara mandiri dapat memenuhi kebutuhan
orang lain yang membutuhkan bantuannya dalam mengatasi masalah kesehatannya, dan
mampu untuk memutuskan tindakan yang harus dilakukannya serta dapat bertanggung
jawab atas mutu pelayanan yang diberikannya. Menurut Abdulkadir Muhammad, dalam
memberikan pelayanannya, profesional itu bertanggung jawab kepada diri sendiri dan
kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena
integritas moral, intelektual, dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam
memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi
sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan karena sekedar hobi belaka.
Bertanggung jawab kepada masyarakat artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik
mungkin sesuai dengan profesinya, tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan
pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif
bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif mencari
keuntungan, juga berarti berani menanggung risiko yang timbul akibat pelayanaanya itu.
Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau
mungkin diri sendiri, orang lain, dan berdosa kepada Tuhan. Selanjutnya menurut Abdul
Kadir, profesi juga menuntut pemenuhan nilai moral dari pengembangannya. Nilai moral
merupakan kekuatan yang mengarah dan mendasari perbuatan luhur. Franz Magnis Suseno
mengemukakan nilai moral yang dituntut dari pengemban profesi yaitu:
1. Berani berbuat untuk memenuhi tuntutan profesi;
2. Menyadari kewajiban yang harus dipenuhi selama menjalankan profesi; dan

9
3. Idealisme sebagai perwujudan makna misi organisasi profesi. Untuk itu, setiap
organisasi profesi memiliki Kode Etik yang wajib dipatuhi oleh para anggotanya
sebagai sarana kontrol sosial; pencegah campur tangan pihak lain; dan pencegah
kesalahpahaman konflik.

Prinsip-Prinsip umum yang dirumuskan dalam suatu profesi berbeda satu dengan
yang lainnya. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan adat-istiadat, kebiasaan,
kebudayaan dan peranan tenaga profesional yang didefinisikan dalam suatu negara. Untuk
itu, dokter Indonesia memiliki Kode Etik Kedokteran sendiri yang diberlakukan didasarkan
surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 434/MENKES/SK/X/1983 Tentang
Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia. Konsekuensinya, secara legal KODEKI
diakui sebagai kaidah-kaidah yang diperlukan dan wajib digunakan para dokter dalam
menjalankan profesinya. Hakekatnya idealisme yang terkandung dalam kode etik profesi
tidak searah dengan fakta yang terjadi di sekitar para profesional, sehingga harapan sangat
jauh dari kenyataan. Kemajuaan ilmu dan teknologi, di satu sisi telah mengubah pandangan
manusia terhadap sekitarnya, mengubah perilaku dan mengubah nilai-nilai hubungan
antara sesama manusia. Di lain sisi, kehormatan profesi harus tetap dijaga, karena profesi
kedokteran mengandalkan kepercayaan dan kehormatan yang diberikan orang kepadanya.
Perubahan tata nilai dan keinginan menjaga martabat profesi ini membuat
penentuan batas-batas antara yang etis dan tidak etis menjadi sulit, terutama karena dunia
kedokteran sudah terbiasa dengan petujuk tidak tertulis Untuk itu, hukum diperlukan dan
diberlakukan dalam menata hubungan hukum yang timbul dalam pelayanan medis.
Pelayanaan Medis adalah suatu kegiatan mikrosional yang berlaku antara perorangan,
sedangkan pelayanaan kesehatan adalah suatu kegiatan makrososial yang berlaku antara
prantara atau lembaga dengan suatu populasi tertentu, masyarakat, atau komunitas. Dokter
adalah tenaga kesehatan dalam hal ini dokter berperan sebagai pemberi pelayanan medis
berupa tindakan medis tertentu yang dilakukan kepada setiap pasien, degan menjunjung
tinggi kehormatannya sebagai profesi luhur. Kode Etik Kedokteran Indonesia, dokter
memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya, baik kewajiban umum, kewajiban
terhadap pasien, dan kewajiban terhadap dirinya sendiri, diantaranya adalah
1. Seorang dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah
dokter. (Pasal 1)
10
2. Seorang dokter harus melakukan profesinya sesuai ukuran yang tertinggi. (Pasal 2)
3. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi
oleh sesuatu yang meng akibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
(Pasal 3)
4. Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri
sendiri. (Pasal 4)
5. Setiap pembuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun
fisik hanya diberikan untuk kepetingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh
persetujuan pasien. (Pasal 5)
6. Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan
setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenrannya dan hal-
hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat. (Pasal 6)
7. Seorang dokter hanya memberikan keterangan atau pendapat yang telah diperiksa
sendiri keberannya. (Pasal 7)
8. Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanaan medis
yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih
sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia. (Pasal 7a)
9. Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan dalam menangani pasien. (Pasal 7b)
10. Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hakhak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien (Pasal 7c)
11. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melingdungi hidup makhluk
insani. (Pasal 7d)
12. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanaan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), baik fisik maupun psikososial, serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya. (Pasal
8)
13. Setaip dokter dalam bekerja sama dengan pejabat dibidang kese-hatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati. (Pasal 9)
11
14. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilan untuk kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib menunjuk
penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.(
Pasal 10)
15. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beradat dan atau dalam
masalah lainnya (Pasal 11)
16. Setiap dokter wajib melakukan merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang
seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia. (Pasal 12)
17. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya. (Pasal 13)
18. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan. (Pasal 14)
19. Setiap dokter boleh mengambil alih penderita dari teman sejawatnya, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis. (Pasal 15)
20. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan baik.
(Pasal 16)
21. Setiap dokter hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
tetap setia kepada cita-cita yang luhur. (Pasal 17)

Dokter selaku profesional tidak hanya memiliki kewajiban profesional didasarkan


kode etiknya yang harus dipenuhi, tetapi sebagai subyek hukum dalam dokter juga memilik
hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum dalam pelaksanakan profesinya.
Menurut Bahder Johan Nasution, hubungan dokter dengan pasien merupakan transaksi
terapeutik yaitu hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah
pihak. Berbeda dengan transaksi yang biasa dilakukan masyarakat, transaksi terapeutik
memiliki sifat atau ciri yang berbeda, kekhususannya terletak pada objeknya. Objeknya ini
melakukan upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien. Transaksi terapeutik adalah suatu
transaksi untuk menentukan atau upaya mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang
dilakukan oleh dokter. Menurut hukum, objek dalam transaksi terapeutik bukan
12
kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien.
Sebagaimana umumnya suatu perikatan, dalam transaksi terapeutik juga terdapat para
pihak yang mengingatkan diri, yaitu dokter sebagai pihak yang melaksanakan atau
memberikan pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayana medis.
Menurut Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa seseorang berjanji kepada
seseorang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengingatkan dirinya (toesteming van
degenen die zich verbinden).
2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene
verbintenis aan te gaan).
3. Mengenai suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp).
4. Suatu sebab yang diperbolehkan (eene geoorloofdeoorzaak).

Dari syarat-syarat yang disebutkan diatas, syarat pertama dan syarat kedua dikenal
sebagai syarat subjektif. Disebut sebagai syarat subjektif karena kedua syarat ini berkaitan
dengan para pihak atau subjek pembuat perjanjian. Apabila tidak terpenuhinya syarat
subjektif ini, maka atas permohonan para pihak, perjanjian dapat dibatalkan, dimana
pembatalan perjanjian ini akan dilakukan oleh Hakim. Dengan demikian perjanjian masih
berlaku selama belum adanya permohonan dari para pihak kepada Hakim untuk
dibatalkannya perjanjian tersebut. Syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat
objektif. Dikatakan sebagai syarat objektif karena kedua syarat ini terkait dengan objek
yang diperjanjikan dalam perjanjian tersebut. Jika syarat objektif ini tidak terpenuhi, maka
perjanjian dinyatakan batal demi hukum. Perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.
Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tersebut dikuatkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia
sebagai berikut (Rinanto, 2011):
1. Kesepakatan
Terdapat hal–hal khusus dalam transaksi terapeutik. Disini pasien merupakan
pihak yang meminta pertolongan, sehingga relatif lemah kedudukannya dibandingkan
dokter. Untuk mengurangi kelemahan tersebut, dikenal Informed Consent, yaitu suatu
hak pasien untuk mengizinkan dilakukannya suatu tindakan medis. Informed consent
13
merupakan suatu kehendak sepihak secara yuridis, yaitu dari pihak pasien, dokter tidak
harus turut menandatanganinya. Pihak pasien dapat membatalkan pernyataan
setujunya setiap saat sebelum tindakan medis dilakukan. Padahal menurut Pasal 1320
KUHPerdata, suatu perjanjian hanya dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah
pihak, pembatalan sepihak dapat mengakibatkan timbulnya gugatan ganti kerugian.
Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (selanjutnya
disebut Peraturan Menteri Kesehatan tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran) ini
juga menegaskan bahwa semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap
pasien harus mendapat persetujuan, dimana persetujuan ini dapat diberikan secara
tertulis maupun lisan. Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang
diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan. Setiap tindakan
kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis
yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Jika terjadi keadaan
gawat darurat maka untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan
tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Persetujuan tindakan kedokteran
dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum
dimulainya tindakan. Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran ini harus dilakukan
secara tertulis oleh yang memberi persetujuan.
Pada Pasal 7 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran disebutkan bahwa penjelasan tentang tindakan kedokteran yang
disampaikan pada pasien atau keluarganya harus mencakup beberapa hal, seperti;
diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran, tujuan tindakan kedokteran yang
dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi, prognosis terhadap tindakan yang dilakukan, dan perkiraan pembiayaan.
Informasi-informasi yang disebutkan di atas merupakan kewajiban dokter untuk
memberikan penjelasan secara lengkap sebagai pemenuhan hak pasien untuk
mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur, untuk menindaklanjuti hak pasien
untuk ikut menentukan tindakan yang diambil dalam penyembuhan penyakitnya.
2. Kecakapan
Seseorang dikatakan cakap hukum apabila ia pria atau wanita telah berumur 21
tahun, atau bagi pria apabila belum berumur 21 tahun tetapi telah menikah. Pasal 1330
14
KUHPerdata menyatakan bahwa seseorang yang tidak cakap untuk membuat
persetujuan adalah: 1) Belum dewasa, menurut Pasal 330 KUHPerdata adalah belum
berumur 21 tahun dan belum menikah. 2) Berada di bawah pengampuan, yaitu orang
yang telah berusia 21 tahun tetapi dianggap tidak mampu karena ada gangguan mental.
3) Wanita dalam hal yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan dalam hal ini
masih berstatus istri dan pada umumnya semua orang umumnya kepada siapa
ketentuan hukum telah melarang membuat persetujuan tertentu. Hal ini kembali
ditegaskan oleh Konsil Kedokteran Indonesia bahwa tidak semua ketentuan hukum
Perdata di atas dapat diterapkan. Bahkan ketentuan mengenai yang berhak
memberikan persetujuan dalam Peraturan Menteri Kesehatan mengenai Persetujuan
Tindakan Kedokteran pun dapat dipertimbangkan. Dalam praktiknya, Dokter tidak
mungkin menolak mengobati pasien yang belum berusia 21 tahun yang datang
sendirian ke tempat praktiknya. Permenkes tersebut menyatakan umur 21 tahun
sebagai usia dewasa.
3. Hal tertentu
Ketentuan mengenai hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau bendanya
(dalam hal ini pelayanan medis) yang perlu ditegaskan ciri-cirinya. Objeknya adalah
usaha penyembuhan. Dokter harus berusaha semaksimal mungkin menyembuhkan
penyakit pasien. Secara yuridis, umumnya termasuk inspanningsverbintennis, yaitu
dokter tidak memberikan jaminan kepastian dalam menyembuhkan penyakit tersebut,
tetapi dengan ikhtiar dan keahliannya dokter diharapkan dapat membantu dalam upaya
penyembuhan.
4. Sebab yang halal
Dalam pengertian ini, diperbolehkan menurut hukum. Dengan perkataan lain,
objek hukum tersebut memiliki sebab yang diizinkan. Pasal 1337 KUHPerdata
menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Misalnya, dokter
dilarang abortus provocatus criminalis menurut Pasal 348 KUHP.
Pasal 1354 KUH Perdata merumuskan zaakwaarneming ialah jika seseorang
dengan sukarela (dengan tidak mendapat perintah untuk itu), mewakili urusan orang
lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat
dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang
15
diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Ia menanggung segala
kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia kuasakan dengan suatu pemberian
kuasa yang dinyatakan dengan tegas. Menurut Adami Chazawi, zaakwaarneming
bukanlah penyebab adanya malpraktik. Zaakwaarneming adalah salah satu bentuk
perikatan hukum yang lahir karena Undang-Undang, sama halnya dengan
onrechtmatige daad. Berbeda dengan onrechtmatige daad yang melahirkan
malpraktik perdata dokter, zaakwaarneming bukanlah penyebab lahirnya malpraktik
kedokteran. Dalam melaksanakan kewajiban hukum yang timbul karena
zaakwaarneming maka dapat melahirkan malpraktik kedokteran apabila terdapat
penyimpangan dalam melaksanakan kewajiban hukum dokter dan menimbulkan
kerugian pasien. Dalam hal ini tindakan tersebut dilakukan dalam keadaan emergency,
sebab pasien dalam keadaan tidak sadar, misalnya karena kecelakaan berat. Padahal
dalam keadaan demikian, pasien memerlukan tindakan yang segera dan tidak dapat
ditunda-tunda. Penundaan penanganan justru akan membawa akibat yang sangat fatal,
misalnya membahayakan jiwa pasien, maka kewajiban mendapatkan informed consent
dapat ditiadakan.
Hubungan hukum dokter dan pasien yang terjadi karena undang-undang
memberikan kewajiban kepada dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada
pasien. Artinya untuk terjadinya hubungan hukum ini tidak diperlukan prakarsa
bahkan partisipasi pasien, misalnya pada keadaan emergensi. Dengan demikian
hubungan hukum antara dokter dengan pasien yang berasal dari undang-undang tidak
mungkin menghasilkan resultaat verbintennis (perikatan hasil) sebab pasien tidak
mempunyai prakarsa bahkan partisipasi. Dengan demikian perikatan yang
dihasilkannya adalah inspanning verbintennis atau perikatan ikhtiar (Syahrul
Mahmud, 2012).
Pasal 52 Undang–Undang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa Hak Pasien
adalah mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang
mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang
dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi, serta prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Pasien juga berhak meminta
pendapat dokter atau dokter gigi lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medis, menolak tindakan medis serta mendapatkan isi rekam medis.
16
Kewajiban pasien diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Praktik Kedokteran yang
menyebutkan bahwa pasien haruslah memberikan informasi yang lengkap dan jujur
tentang masalah kesehatannya; mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan dan memberikan imbalan
jasa atas pelayanan yang diterima. Transaksi terapeutik yang dilakukan oleh pasien dan
dokter mewajibkan kedua belah pihak untuk memenuhi hak dan kewajibannya masing-
masing.
Pasal 50 Undang-Undang Praktik Kedokteran menjelaskan bahwa dokter atau
dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak;
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional,
2. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional,
3. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya, dan
4. Menerima imbalan jasa. Secara hukum, hubungan dokter dan pasien merupakan
hubungan yang dikenal dengan istilah transaksi terapeutik (M. Jusuf, 2019).

Dimulai dengan tanya jawab (anamnesa) antara dokter dan pasien, kemudian
dilakukan pemeriksaan fisik oleh dokter terhadap pasiennya, dokter akan menentukan
diagnosa penyakit pasien. Diagnosa pertama ini dapat merupakan working diagnosis atau
diagnosis sementara maupun diagnosis definitive. Setelah diagnosis ditegakkan, barulah
dokter memutuskan terapi atau tindakan medis yang akan dilakukan kepada pasien
(Danny, 2016).
Dalam bidang pengobatan, para dokter dan masyarakat pada umumnya menyadari
bahwa tidak mungkin dokter menjamin upaya pengobatan akan selalu berhasil sesuai
keinginan pasien atau keluarganya. dokter hanya dapat melakukan upaya maksimal yang
dilakukan secara hati-hati dan cermat oleh dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan
pengalamannya dalam menangani penyakit.
Terdapat beberapa kewajiban dokter yang diatur dalam beberapa pasal pada
Undang-Undang Praktik Kedokteran, yang keseluruhannya jika dihimpun, maka
kewajiban dokter adalah mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran yang
17
berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang
diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran, memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat
Izin Praktik (SIP), memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien ke dokter atau dokter
gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang
bertugas dan mampu melakukannya, serta menyelenggarakan kendali mutu dan kendali
biaya.
Di luar kewajiban terhadap pasien tersebut, dokter juga mempunyai kewajiban
umum, kewajiban terhadap teman sejawat, dan kewajiban terhadap diri sendiri yang telah
ditetapkan dalam Kodeki. Kewajiban-kewajiban tersebut merupakan tanggung jawab
profesi dokter. Kewajiban dokter atau dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan sebagaimana ditulis diatas, diatur lebih konkrit dalam Pasal 51
Undang-Undang Praktik Kedokteran, yang telah menentukan secara normatif tentang
serangkaian kewajiban dokter atau dokter gigi dalam melakukan pelayanan kesehatan
yang harus dilak-sanakannya kepada pasien :
1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien.
2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan.
3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia.
4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi
Dalam Undang-undang No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 50
dan 51 dijelaskan bahwa hak dan kewajiban Dokter saling berkaitan dan mengikat. Ketika
18
hak dokter terpenuhi maka kewajiban dokter akan dapat dilakukan salah satu contohnya
adalah memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar operasional
prosedur serta kebutuhan medis.

2.3 Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit terhadap Dokter dalam Melakukan
Tindakan Medik
Rumah sakit sebagai tempat pelayanan medik dalam hal ini tentunya berkewajiban
memberikan perlindungan terhadap tenaga medis yang melakukan pelayanan. Rumah sakit
menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 44 Tahun 2009 diartikan sebagai institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit dapat
diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta sebagaimana Pasal 7 ayat (2) UU No. 44
Tahun 2009. Rumah sakit yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
harus berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari Instansi yang bertugas di bidang kesehatan,
Instansi tertentu, atau Lembaga Teknis Daerah dengan pengelolaan Badan Layanan Umum
atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 44
Tahun 2009. Sedangkan, Rumah Sakit milik swasta harus berbentuk badan hukum yang
kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumah sakitan sebagaimana Pasal 7 ayat (4)
UU No. 44 Tahun 2009. Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan, mempunyai
tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, dalam menjalankan
kegiatan pelayanan kesehatan dilaksanakan oleh tenaga kesehatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, dan memulihkan
Kesehatan.
Menurut Guwandi (2014), suatu rumah sakit mempunyai 4 (empat) bidang tanggung
jawab, yaitu:
1. Tanggung jawab terhadap personalia. Hal ini berdasarkan hubungan ‘majikan-
karyawan’. Hubungan ini, dahulu bersifat universal dan negara kita sampai saat ini
masih berlaku berdasarkan KUHPerdata Pasal 1366 jo Pasal 1365 jo. Pasal 1367. Di
dalam tanggung jawab ini termasuk seluruh karyawan yang bekerja di rumah sakit.
2. Tanggung jawab profesional terhadap mutu pengobatan atau perawatan. Hal ini berarti
bahwa tingkat pemberian pelayanan kesehatan, baik oleh dokter maupun oleh perawat
dan tenaga kesehatan lainnya harus berdasarkan ukuran standar profesi. Dengan
19
demikian, maka secara yuridis rumah sakit bertanggung jawab apabila ada pemberian
pelayanan ‘cure and care’ yang tidak lazim atau di bawah standar.
3. Tanggung jawab terhadap sarana dan peralatan. Didalam bidang tanggung jawab ini
termasuk peralatan dasar perhotelan, perumahsakitan, peralatan medis, dan lain- lain.
Yang paling penting adalah bahwa peralatan tersebut selalu harus berada didalam
keadaan aman dan siap pakai pada setiap saat.
4. Tanggung jawab terhadap keamanan bangunan dan perawatannya. Misalnya bangunan
roboh, genteng jatuh sampai mencederai orang, lantainya sangat licin sehingga sampai
ada pengunjung yang jatuh dan menderita faktur, dan lain-lain.

Tanggung jawab rumah sakit terhadap pelayanan paramedis yang tidak sesuai standar
dapat dibagi menjadi dua yaitu pertanggungjawaban berdasarkan aspek hukum pidana dan
berdasarkan aspek hukum perdata. Dalam pertanggungjawaban hukum pidana yang
dilakukan tenaga medis harus memenuhi tiga unsur yaitu adanya kesalahan dan perbuatan
melawan hukum serta unsur lainya yang tercantum dalam ketentuan pidana yang
bersangkutan. Berdasarkan hukum perdata dibedakan antara kerugian yang dapat dituntut
berdasarkan wanprestasi dengan yang berdasarkan perbuatan melawan hukum. Undang–
Undang Rumah Sakit mensyaratkan adanya hubungan kausal antara kerugian dengan
kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit. Hubungan kausal dalam hukum perdata
digunakan untuk menentukan adanya kerugian sebagai dasar untuk menuntut ganti
kerugian kepada pihak yang bertanggung jawab, dalam hukum pidana hubungan kausal
tersebut sebagai syarat bagi terjadinya tindak pidana (Suhardy, 2016).
Kepastian hukum merupakan instrumen penting dalam menjamin keselamatan
tenaga kesehatan sehingga pemerintah tidak dapat melakukan tindakan sewenang-wenang
terhadap penugasan tenaga Kesehatan (Muhammad Sadi, 2015). Terlebih jika melihat
peraturan perundang-undangan mengenai tenaga kesehatan nampaknya belum ada yang
mengatur penjaminan kepastian hukum bagi tenaga kesehatan sekalipun sudah ada
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan namun saat ini ada
peraturan pelaksanaan dan petunjuk teknis Undangundang Tenaga kesehatan dan undang-
undang lainnya yang mengatur tentang perlindungan hukum dan keselamatan kerja bagi
Tenaga Kesehatan.

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.1.1 Hak dokter diatur pada Undang-Undang Praktik Kedokteran No 29 Tahun 2004
Pasal 50 dan beberapa kewajiban dokter diatur dalam beberapa pasal pada Undang-
Undang Praktik Kedokteran, yang keseluruhannya jika dihimpun, maka kewajiban
dokter adalah mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran yang berkelanjutan
yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi
oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran, memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin
Praktik (SIP), memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien ke
dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan lebih baik,
apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan
segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia, melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya, serta
menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya. Di luar kewajiban terhadap
pasien tersebut, dokter juga mempunyai kewajiban umum, kewajiban terhadap
teman sejawat, dan kewajiban terhadap diri sendiri yang ditetapkan dalam Kodeki.
3.1.2 Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan hukum dan
keselamatan kerja bagi dokter diatur dalam UU Praktik Kedokteran, namun saat ini
belum ada peraturan pelak-sanaan dan petunjuk teknis yang mengatur mengenai
penjaminan kepastian hukum bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban rumah sakit
dalam memberikan keselamatan dan kesehatan kerja bagi tenaga Kesehatan
tertuang pada Pasal 7 Peraturan Menteri Kesehatan No. 24 Tahun 2016 Tentang
Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit ayat (1) menyatakan Pelaksanaan
rencana K3RS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c pasal tersebut tertuang
pada huruf (f) yang menyatakan bahwa semua sarana prasarana RS dimaksudkan
dalam menjamin K3RS sehingga jelas bahwa RS menjamin semua pengadaan APD
guna melindungi dokter dan petugas kesehatan lainnya. Selain pem-berian APD,
21
RS juga bertanggung jawab untuk memodifikasi ruangan sesuai standart pelayanan
selama masa pandemi sesuai dengan kapasitas risiko yang diterima. Pasal 29
UndangUndang No. 44 Tentang Rumah Sakit ayat (2) Pelanggaran atas kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi admisnistratif.

22
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundangan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 (UUDN RI 1945)
Amandemen keempat yang disahkan 10 Agustus 2002, Lembaran Negara Tahun 1959
Nomor 75.

Burgerlijk Wetboek (Stb. Th. 1847 Nomor 23)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3821) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886)

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4431)

Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063)

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5072)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5607);

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan


Kedokteran;

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 915);

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 308)

Buku

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta 2010.

Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan, Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta,


Jakarta. 2005.

23
Benyamin Lumenta, Pasien , Citra , Peran Dan Perilaku Edisi 6, Kanisius, Jakarta. 2009.

Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, Nuha Medika, Jogjakarta, 2014.

Danny Wiradharm, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, (Jakarta: Binra Rupa Aksara, 1996),
h. 45, dikutip dalam Anny Isfandyarie, Malpraktik & Resiko Medik Dalam Kajian
Hukum Pidana, Jakarta: Prestasi Pustaka, 1996.

Donald J.Griffin, Hospitals : What They Are and How They Work vol : 4, Jones and Bartlett
Learning, Canada, 2011.

J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
2010.

Michel Daniel Mangkey, Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Dalam Memberikan


Pelayanan Medis, Lex et Societatis, Volume II Nomor 8, 2014.

M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Buku
Kedokteran, Jakarta: EGC, 2019.

Muhamad Sadi, Etika & Hukum Kesehatan ; Teori dan Aplikasinya di Indonesia,
Prenadamedia Group, 2015.

Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung, 2015.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2015

Rinanto Suryadhimirtha, Hukum Malapraktik Kedokteran, Yogyakarta:


Total Media, 2011

Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum ED 10, Ui Press

Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga
Melakukan Medikal Malpraktik, Bandung: Karya Putra Darwati, 2012.

Titik Triwulan,Perlindungan hukum bagi pasien, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.2016

24

Anda mungkin juga menyukai