Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SKENARIO 2
Dosen Pengampu: Dr. drg. Suci Erawati, M.Kes

Disusun oleh:
Kelompok 3
Icha amanda hasturi lubis (223308010018)
Ishfahani Suriadi Ishak (223308010013)
Insan munawar batubara (223308010019)
Tiara Salsabila Putri (223308010022)
Reza Sembiring (223308010031)
Nabilla Anatasya Syahputri (223308010024)
Sonia salsabila Pohan (223308010043)
Ramijat Ryachudu Sitorus (223308010032)
Yinka Mutiara Annisa (223308010006)
Salsabila razmi harahap (223308010003)
Dalilah Fadia Putri (223308010005)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
2023
KATA PENGANTAR

Kehadiran dokter gigi dalam masyarakat adalah sangat penting untuk


memastikan kesehatan dan kualitas hidup setiap individu. Namun, seperti halnya
profesi lainnya, praktik kedokteran gigi juga dapat menghadapi tantangan dan
masalah serius, termasuk risiko malpraktik.

Dalam makalah ini, kami akan menggali lebih dalam tentang skenario
yang berkaitan dengan malpraktik kedokteran gigi, sebuah isu yang
mempengaruhi kepercayaan publik dan kualitas layanan kesehatan gigi secara
keseluruhan. Malpraktik dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari
kesalahan diagnosa hingga kesalahan prosedur medis yang berpotensi mengancam
nyawa pasien.

Melalui skenario kali ini, kami berharap dapat memberikan wawasan yang
komprehensif tentang penyebab, konsekuensi, dan langkah-langkah pencegahan
terkait malpraktik kedokteran gigi. Kami akan menganalisis studi kasus, peraturan
hukum, dan perspektif etis yang berkaitan dengan isu ini, dengan tujuan
meningkatkan kesadaran akan pentingnya praktik yang bertanggung jawab dan
menjaga kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran gigi.

Medan, 25 Juni 2023

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul ..................................................................................................... 1


Kata Pengantar ..................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
BAB I .................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ............................................................................................... 4
BAB II ................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN .................................................. Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 13

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Praktik kedokteran gigi adalah bidang yang sangat sensitif dan


memerlukan keahlian profesional yang tinggi. Dokter gigi bertanggung jawab
untuk memberikan perawatan gigi dan mulut yang berkualitas kepada pasien,
yang melibatkan berbagai prosedur medis dan tindakan yang mungkin melibatkan
risiko tertentu. Dalam konteks ini, pentingnya "informed consent" atau
persetujuan yang didasarkan pada pemahaman penuh pasien tentang prosedur
medis yang akan dilakukan sangatlah penting.

Informed consent adalah konsep hukum dan etis yang menekankan


pentingnya memberikan informasi yang jelas dan komprehensif kepada pasien
sebelum melakukan tindakan medis. Dalam konteks kedokteran gigi, informed
consent menjadi faktor penting dalam menjaga hak pasien untuk mengambil
keputusan yang terinformasi tentang perawatan gigi mereka.

Pentingnya informed consent dalam praktik kedokteran gigi sangatlah


relevan dalam konteks malpraktik. Malpraktik kedokteran gigi sering kali
melibatkan kasus di mana pasien tidak sepenuhnya memahami risiko, manfaat,
atau konsekuensi dari tindakan medis yang dilakukan. Kekurangan informasi yang
diberikan kepada pasien atau bahkan kegagalan dalam mendapatkan persetujuan
pasien sebelum tindakan dapat menyebabkan konsekuensi yang merugikan, baik
secara fisik maupun psikologis bagi pasien.

Dalam konteks hukum, dokter gigi diharapkan untuk menjalankan


kewajiban mereka dalam memberikan informasi yang cukup kepada pasien agar
mereka dapat membuat keputusan yang tepat dan berdasarkan pengetahuan penuh.
Melalui informed consent, pasien dapat memahami risiko potensial yang terkait

4
dengan prosedur yang diusulkan, alternatif perawatan yang ada, dan konsekuensi
yang mungkin terjadi jika mereka memilih atau menolak tindakan medis tertentu.

Dalam makalah ini, kami akan menganalisis pentingnya informed consent


dalam konteks malpraktik kedokteran gigi. Kami akan menyelidiki studi kasus,
panduan etis, dan hukum yang terkait dengan isu ini, dengan tujuan meningkatkan
pemahaman tentang perlunya komunikasi yang efektif antara dokter gigi dan
pasien, serta perlunya memberikan informasi yang jelas dan komprehensif tentang
perawatan gigi yang diusulkan.

Melalui pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya informed consent,


kami berharap dapat meningkatkan kesadaran akan hak-hak pasien dan
mendorong praktik kedokteran gigi yang bertanggung jawab, aman, dan bermutu
tinggi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi malpraktik?

2. Apa definisi informed consent?

3. Bagaimana analisis kasus skenario 2 berdasarkan segi hukum kesehatan?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui dan memahami definisi malpraktik.

2. Mengetahui dan memahami definisi informed consent.

3. Mengetahui dan memahami analisis kasus skenario 2 berdasarkan segi hukum


kesehatan.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Malpraktik Menurut Undang-Undang


Pengertian Malpraktik menurut peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia yang sekarang berlaku tidak ditemukan pengertian mengenai
malpraktik. Akan tetapi menjelasan malpraktik terdapat di dalam Pasal 11 ayat (1)
huruf (b) Undang-undang No.6 Tahun 1963 tentang tenaga kesehatan, yang telah
dinyatakan dihapus oleh Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan16.
Pasal 11 ayat (1) huruf (b) Undang-undang tenaga kesehatan :
1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam kitab undang-
undang hukum pidana dan peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap
tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan- tindakan administratip dalam hal
sebagai berikut :
a. Melalaikan kewajiban
b. Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh
seseorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya
maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan.
c. Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga
kesehatan.
d. Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-
undang.
Sedangkan pengertian malpraktik azrul azwar memiliki beberapa
pengertian :
1. Malpraktik merupakan setiap kesalahan profesional yang diperbuat
oleh dokter, oleh karena pada waktu melakukan idak menilai, tidak
berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, dperbuat
atau di lakukan oleh dokter pada umumnya, di dalam situasi dan
kondisi yang sama.

6
2. Malpraktik merupakan setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter,
oleh karena melakukan pekerjaan kedokteran di bawah standar yang
sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat di lakukan oleh
setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama.
3. Malpraktik merupakan setiap kesalahan profesional diperbuat oleh
dokter, yang di dalamnya termasuk kesalahan karena perbuatan yang
tidak masuk akal serta kesalahan karena keterampilan ataupun
kesetiaan yang kurang dalam menyelanggarakan kewajiban atau dan
ataupun kepercayaan profesional yang dimilikinya.

2.2. Pengertian Informed Consent


Informed consent yaitu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien (Permenkes
No. 290 Tahun 2008). Informed consent terdiri dari kata informed yang berarti
telah mendapat informasi dan consent berarti persetujuan (SK Direktur Jenderal
Pelayanan Medik tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik). Persetujuan ini
diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan tentang tindakan kedokteran yang
akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi cukup tentang
tindakan kedokteran yang dimaksud. IDI (2005) menyebutkan informed consent
juga berfungsi sebagai proses komunikasi efektif antara dokter dengan pasien dan
bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dilakukan dan tidak akan dilakukan
terhadap pasien.

7
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Analisis Kasus


Kasus yang disajikan melibatkan tindakan pencabutan gigi yang
dilakukan oleh Dokter Gigi C tanpa adanya informed consent dari pasien
perempuan tersebut. Analisis kasus ini dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum kesehatan terutama yang
terkait dengan informed consent pasien.
Informed consent adalah prinsip hukum dan etis yang menekankan
pentingnya memberikan informasi yang jelas dan komprehensif kepada
pasien sebelum melakukan tindakan medis. Informed Consent adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau walinya yang berhak kepada
dokter untuk melakukan suatu tindakan medis terhadap pasien sesudah
memperoleh informasi lengkap dan yang dipahaminya mengenai tindakan
itu (Octaria dan Trisna, 2016).
Dalam kasus ini, tindakan pencabutan gigi yang dilakukan oleh
Dokter Gigi C tanpa informed consent melanggar prinsip ini. Pasien
memiliki hak untuk memahami risiko, manfaat, dan konsekuensi dari
prosedur medis yang diusulkan sebelum memberikan persetujuan.
Tindakan Dokter Gigi C tanpa informed consent dapat dianggap sebagai
pelanggaran terhadap hak pasien dan merupakan pelanggaran etika dan
hukum kesehatan.
Sebagai dokter gigi, Dokter Gigi C memiliki kewajiban hukum dan
etis untuk memberikan informasi yang cukup kepada pasien. Hal ini
termasuk menjelaskan secara jelas dan komprehensif tentang prosedur
yang akan dilakukan, risiko potensial yang terkait, dan alternatif perawatan
yang ada. Sebelum tindakan pencabutan gigi tetap perlu diberikan
penjelasan (informed consent) yang meliputi diagnosis, tatacara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan lain, risikonya dan

8
komplikasi yang mungkin terjadi, serta prognosisnya (Oktarina, 2010).
Dalam kasus ini, tindakan Dokter Gigi C untuk langsung melakukan
pencabutan gigi tanpa memberikan kesempatan kepada pasien untuk
menandatangani informed consent menunjukkan kegagalan dalam
memenuhi kewajiban ini.
Kasus ini menunjukkan pentingnya dokter gigi mematuhi prinsip
informed consent dalam praktik mereka. Dokter gigi harus secara aktif
berkomunikasi dengan pasien, menjelaskan dengan jelas tentang prosedur
yang diusulkan, risiko yang terkait, dan alternatif perawatan yang ada.
Rekomendasi praktis yang dapat diambil dari kasus ini termasuk
peningkatan pelatihan dan kesadaran dokter gigi terkait dengan pentingnya
informed consent, penerapan prosedur formal untuk memperoleh informed
consent dari pasien, dan perluasan pengetahuan hukum kesehatan dalam
praktik sehari-hari.
Pertama, pasien atau keluarga pasien sebaiknya berkonsultasi
dengan pengacara yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam bidang
hukum kesehatan. Pengacara tersebut akan membantu memahami hak-hak
pasien, menganalisis bukti dan faktor-faktor hukum yang terkait dengan
kasus, serta memberikan nasihat hukum yang tepat.
Keluarga pasien harus mengumpulkan dan mempertahankan semua
dokumen dan bukti terkait dengan kasus ini. Ini mungkin termasuk catatan
medis, hasil pemeriksaan, bukti bahwa informed consent tidak diberikan,
dan bukti adanya kerugian atau kematian pasien. Bukti-bukti ini akan
menjadi dasar untuk membangun klaim malpraktik yang kuat.
Keluarga pasien dapat melaporkan tindakan yang diduga sebagai
malpraktik kepada otoritas yang berwenang, seperti Dewan Kedokteran
atau Badan Pengawas Kesehatan setempat. Otoritas ini akan melakukan
penyelidikan terhadap klaim dan dapat mengambil tindakan disipliner
terhadap dokter gigi yang terlibat jika terbukti melakukan pelanggaran.
Keluarga pasien dapat mempertimbangkan untuk mengajukan
gugatan malpraktik melalui pengadilan. Dalam hal ini, pengacara akan

9
membantu mempersiapkan gugatan, melibatkan ahli medis untuk
memberikan kesaksian ahli, dan memperjuangkan hak-hak pasien di
pengadilan. Gugatan dapat mencakup klaim atas pelanggaran informed
consent, kerugian fisik atau psikologis yang ditimbulkan, dan klaim atas
kehilangan nyawa.

3.2. Langkah-Langkah Hukum oleh Pasien


Tindakan malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sudah
diatur hukumnya dalam peraturan perundang-undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang kesehatan dan kode etik kedokteran yang berlaku selain itu
juga adapun sanksi terhadap perbuatan tindakan tenaga medis yang
melakukan malpraktik, sanksi yang dimaksud antara lain, sanksi pidana,
sanksi perdata, sanksi administrasi dan sanksi moral, dimana sanksi-sanksi
tersebut berupa pidana penjara, ganti rugi, teguran, denda atau pembekuan
izin akibat kelalaian tersebut dan pelanggaran terhadap norma dan
moralitas (Lajar, Dewi & Widyantara, 2020). Dalam kasus ini, pasien
perempuan tersebut meninggal dunia setelah dirawat di rumah sakit ruang
ICU selama 3 hari. Jika terbukti bahwa tindakan pencabutan gigi tanpa
informed consent menjadi faktor yang berkontribusi pada kematian pasien,
Dokter Gigi C dapat menghadapi konsekuensi hukum dan etis yang serius.
Tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap standar
perawatan medis yang wajar dan mengakibatkan kerugian fisik yang serius
atau bahkan kematian pasien. Keluarga pasien memiliki dasar hukum
untuk menuntut dokter C atas malpraktik yang diduga dilakukan.

3.3. Langkah-Langkah Hukum oleh Dokter


Herdasarkan skenario, terdapat dokter gigi yang melakukan
tindakan tanpa informed consent dan pasien meninggal dunia setelah
tindakan tersebut. Dokter Gigi C sebaiknya segera berkonsultasi dengan
pengacara yang memiliki spesialisasi dalam hukum kesehatan. Pengacara
ini akan membantu untuk memahami implikasi hukum yang terkait dengan

10
tindakan yang dilakukan oleh dokter Gigi C, memberikan nasihat hukum
yang sesuai, serta membantu dalam menghadapi tuntutan malpraktik yang
diajukan oleh keluarga pasien. Dasar-dasar hukum yang memberikan
perlindungan hukum terhadap dokter dalam menjalankan profesi
kedokteran apabila terjadi dugaan malpraktek terdapat dalam Pasal 50
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU
RI, 2004), pasal 27 ayat (1) dan pasal 29 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU RI, 2009). Perlindungan hukum
tersebut tidak seperti konsep perlindungan ilmu exact yang selalu dapat
terukur (Sutrisno, Hartini & Erika, 2020).
Dokter Gigi C perlu melakukan evaluasi terhadap tindakan yang
dilakukan, termasuk dalam hal memberikan informed consent kepada
pasien. Mengkaji apakah tindakan tersebut sesuai dengan standar
profesional yang berlaku di bidang kedokteran gigi akan membantu dokter
Gigi C dalam mempertahankan posisinya dalam proses hukum yang akan
dihadapi. Dokter Gigi C sebaiknya bersedia berkooperasi dalam
investigasi yang mungkin akan dilakukan oleh otoritas yang berwenang,
seperti Dewan Kedokteran atau Badan Pengawas Kesehatan. Hal ini
meliputi memberikan keterangan yang jujur dan lengkap mengenai
kejadian tersebut serta memberikan tanggapan yang baik terhadap
keluarga pasien yang telah mengajukan tuntutan. Dalam upaya
menghindari proses hukum yang panjang dan mahal, dokter Gigi C dapat
mempertimbangkan opsi mediasi atau penyelesaian alternatif lainnya
dengan keluarga pasien. Mediasi merupakan proses di mana pihak-pihak
yang terlibat bertemu dengan mediator yang netral untuk mencapai
kesepakatan damai. Langkah ini dapat membantu meredakan konflik yang
terjadi.
Secara umum dokter gigi sudah mengetahui aturan batasan
kewenangan dalam melakukan perawatanngigi terutama dibidang
ortodonti, namun tetap melanggar aturan tersebut. Dengan tanpaaadanya
kompetensi dan kewenangan yanggdimiliki dokter gigi serta tidak

11
dilakukan rujukan kepada dokter gigi spesialis ortodonti yang lebih
berkompetensi, dokter gigi tersebut dapat dikenakan sanksi disiplin dan
dapat dikenai pertanggungjawaban secaraapidana. Pemangku kepentingan
harus melakukan pembinaan dan pengawasan secara berkesinambungan,
hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir kemungkinan-kemungkinan
oleh sebab pelayanan kesehatan yang diberikannya, misalnya terjadinya
malpraktek (Sutrisno, Hartini & Erika, 2020).

12
DAFTAR PUSTAKA

Octaria, H., & Trisna, W. (2016). Pelaksanaan Pemberian Informasi dan


Kelengkapan Informed Consent di Rumah Sakit Umum Daerah
Bangkinang (RSUD Bangkinang). Jurnal Kesehatan Komunitas, 3(2).

Oktarina. (2010). KEBIJAKAN INFORMED CONSENT DALAM


PELAYANAN GIGI. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 3-8.

Sutrisno, E., Hartini, I., & Erika. (2020). PERLINDUNGAN HUKUM DALAM
MALPRAKTIK UNTUK PELAYANAN KESEHATAN GIGI. Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia.

13

Anda mungkin juga menyukai