Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/328653314

Pertanggungjawaban Kelalaian Medik dalam Pelayanan Kesehatan

Conference Paper · November 2018

CITATIONS READS
0 1,146

1 author:

Amelia Martira
University of Indonesia
2 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Local Government and National Health Insurance System View project

All content following this page was uploaded by Amelia Martira on 01 November 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Pertanggungjawaban Kelalaian Medik
Amelia Martira
RSUD Kota Depok, Depok, Jawa Barat
irasjafii@gmail.com

Permasalahan sengketa medik pada pemberian layanan kesehatan yang melibatkan pasien
dan tenaga medis semakin hari semakin meningkat. Peningkatan ini juga dipicu dengan maraknya
pemberitaan melalui media massa. Kemudahan mengakses berbagai informasi mendorong
masyarakat untuk menjadi lebih kritis terhadap pemberitaan seputar pelayanan kesehatan.
Perhatian masyarakat terhadap isu kelalaian pada sengketa medik ini juga dipicu oleh
berkembangnya pemikiran masyarakat yang menjadi lebih paham akan hak-haknya sebagai
pasien. Oleh karena itu, menjadi suatu keniscayaan bahwa hubungan antara tenaga kesehatan dan
pasien yang berdasarkan suatu kepercayaan, rentan untuk terjadi sengketa dengan dugaan kelalaian
medik saat pasien tidak sembuh atau tidak puas atas layanan kesehatan yang ia terima.
Pada dasarnya, hubungan dokter dan pasien dalam konteks pemberian layanan kesehatan
tersebut merupakan suatu perikatan yang dikenal sebagai kontrak terapeutik.1 Terdapat dua jenis
perjanjian atau kontrak terapeutik antara dokter dan pasien dalam rangka pemberian layanan
kesehatan, yaitu:
 Perjanjian Hasil (resultaatsverbintenis)
Pada perjanjian hasil, prestasi yang diberikan dokter berupa hasil terapi yang disepakati
oleh pasien.
 Perjanjian Upaya (inspanningsverbintenis)
Pada perjanjian upaya, prestasi yang diberikan dokter berupa upaya maksimal untuk
menyembuhkan pasien.2 Umumnya bentuk perikatan antara dokter dan pasien merupakan
perjanjian upaya

Merujuk pada pasal 39 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran maka
kontrak terapeutik antara dokter dan pasien merupakan perjanjian upaya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa perikatan yang terjadi antara dokter dan pasien dalam pemberian layanan

1
Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, (s.l: Grafikatama Jaya, 1991), hlm. 76.
2
Ibid.

1
kesehatan tidak menjanjikan suatu hasil sebagai prestasi melainkan berbentuk upaya sesuai dengan
tujuan pemberian layanan kesehatan.
Dalam melakukan praktik kedokteran, terkadang seorang dokter menghadapi kejadian
yang tidak diharapkan (KTD) atas pelayanan kedokteran yang ia berikan. Kejadian tidak
diharapkan atau adverse event adalah insiden yang menyebabkan cedera pada pasien.3 Pengertian
lain menurut WHO adalah insiden yang disebabkan oleh tata laksana medis atau komplikasi yang
tidak berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien yang menyebabkan bertambah lamanya
perawatan atau disabilitas ketika pasien keluar dari perawatan medis.4 Terhadap terjadinya KTD
tersebut, seorang dokter dapat dimintakan pertanggungjawaban medik, namun terbatas pada KTD
yang dapat diperkirakan dan dicegah atau foreseeable error. KTD pada suatu perbuatan yang
seharusnya dapat diperkirakan dan dicegah ini dikenal sebagai kelalaian atau malpraktik medik.
Menurut J.D Peters yang dimaksud sebagai malpraktik medik adalah “…any professional
misconduct, including unreasonable lack of skill or fidelity in carrying out professional or
fiduciary duties.”5. Dengan demikian, malpraktik atau kelalaian medik dapat didefinisikan sebagai
kegagalan dalam menyelenggarakan standar pelayanan yang berlaku yang merupakan tanggung
jawab profesi dokter atau secara spesifik dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Seorang dokter melakukan tindakan yang tidak seharusnya ia lakukan, atau
b. Seorang dokter gagal memenuhi panduan yang ditetapkan sesuai standar pelayanan dalam
melakukan tindakan kedokteran.6
Terdapat empat elemen yang dikenal sebagai 4D untuk merumuskan apakah suatu tindakan
merupakan kelalaian medik, yaitu:
a. Duty atau Kewajiban
Kewajiban baru muncul apabila hubungan antara dokter dan pasien telah terbentuk. Tanpa
diawali adanya hubungan dokter dan pasien, maka tidak ada kewajiban dokter terhadap

3
Indonesia, Menteri Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit,
Permenkes No. 1691/Menkes/Per/VIII/2011, Ps. 1 angka 3.
4
World Health Organization, Technical Annex 2: Glossary of Patient Safety Concepts and References,
http://www.who.int/patientsafety/taxonomy/icps_technical_annex2.pdf, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2016.
5
Soerjono Soekanto dan Herkutanto, Pengantar Hukum Kesehatan, (Bandung: CV Remadja Karya, 1987),
hlm. 156 mengutip pendapat dari J. Douglas Peters, dkk, Anesthesiology and the Law, (Washington: Health
Administration Press, 1983), hlm. 3.
6
Marciano A. Lewis, Carol D. Tamparo dan Brenda M. Tatro, Medical Law, Ethics and Bioethics for the
Health Professional, (Philadelphia: F.A Davis Company, 2012), hlm. 66.

2
pasien. Sebagai contoh adalah ketika seorang pasien membuat janji temu dengan dokter,
datang berobat dan membuat janji temu kembali untuk mendapatkan terapi lanjutan. Pada
kondisi ini, dikarenakan telah terbentuknya hubungan dokter dan pasien dalam bentuk
perikatan atau kontrak terapeutik maka telah muncul kewajiban dokter terhadap pasien.
b. Derelict atau penyimpangan dari kewajiban
Dalam hal ini pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan harus dapat membuktikan
bahwa dokter telah gagal memenuhi standar pelayanan yang dibutuhkan dan ditetapkan
oleh profesi kedokteran.
c. Direct cause atau sebab langsung
Unsur ini menunjukan bahwa adanya hubungan antara pelanggaran tanggung jawab profesi
yang dilakukan oleh dokter sebagai pemberi pelayanan medik dengan kerugian atau cedera
yang terjadi pada pasien. Selain itu, tidak terdapat kondisi atau tindakan intervensi lain
diantara tindakan medis yang diduga dengan cedera atau kerugian yang muncul. Dalam
menentukan penyebab langsung dari suatu kerugian terkadang menemukan kesulitan oleh
karena kompleksitasnya suatu kejadian yang menyebabkan kerugian pada pasien.
d. Damages atau kerugian
Kerugian merujuk kepada kompensasi yang harus diberikan kepada pasien akibat cedera
yang ia derita akibat tindakan medik tersebut. Dalam hal ini, bentuk kerugian dapat berupa
kerugian aktual atau kerugian compensatory dan kerugian punitif. Yang dimaksud sebagai
kerugian aktual adalah kerugian yang mengkompensasi cedera yang ireversibel berupa
biaya pengobatan yang sudah dikeluarkan dan biaya kesehatan yang akan dikeluarkan.
Selanjutnya yang dimaksud sebagai kerugian punitif adalah kerugian yang bersifat
menghukum pelaku dan memberikan korban pengganti rasa penderitaan, sakit dan
gangguan psikologis yang ia alami.7
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa terhadap kelalaian medik yang dilakukan
oleh dokter maka seorang dokter dapat dimintakan pertanggungjawaban medik.
Pertanggungjawaban medik yang dikenal dalam hukum di Indonesia adalah pertanggungjawaban
pidana, perdata, displin dan etika profesi. Pertanggungjawaban medik tersebut dapat dikenakan
secara sekaligus terhadap seorang dokter yang diduga melakukan kelalaian medik. Hal ini
sebagaimana yang disampaikan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada Putusan

7
Ibid., hlm. 67.

3
Pengujian pasal 66 ayat (3) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang
berbunyi sebagai berikut:

Ketentuan pelaporan secara pidana dan/atau gugatan secara perdata tentu tetap diperlukan
untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan pada umumnya dari tindakan
dokter atau dokter gigi yang berada di luar cakupan disiplin profesi kedokteran, atau untuk
melindungi hak pasien manakala tindakan dokter atau dokter gigi yang dinyatakan oleh
MKDKI melanggar disiplin profesi kedokteran ternyata menimbulkan kerugian pada
pasien.8
Dari pertimbangan tersebut, jelaslah bahwa tindakan dokter yang melakukan pelanggaran disiplin
kedokteran dan menimbulkan kerugian bagi pasien dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana
dan perdata sekaligus.
Pertanggungjawaban pidana tindakan kelalaian medik diatur berdasarkan ketentuan pasal
359 KUHP mengenai perbuatan kelalaian yang menyebabkan mati atau cedera berat. Selanjutnya
ketentuan pidana mengenai kelalaian medik diatur lebih spesifik lagi berdasarkan pasal 84
Undang-Undang No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan
Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun.
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian,
setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.9

Dengan demikian jika terjadi kelalaian medik yang menyebabkan cedera berat atau meninggal
dunia maka seorang dokter dapat diminta pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban perdata kelalaian medik juga diatur baik secara umum sebagai
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) menurut pasal 1365 KUHPerdata maupun secara khusus
menurut UU Kesehatan dan Undang-Undang Tenaga Kesehatan. Menurut peraturan perundang-
undangan bahwa perbuatan kelalaian yang menyebabkan kerugian pada pasien dapat dimintakan
ganti rugi. Dalam hal gugatan terhadap kelalaian medik, maka pasien dan/atau keluarga sebagai
pihak penggugat harus membuktikan perbuatan dokter yang ia dalilkan sebagai perbuatan
melawan hukum. Adapun hal-hal yang harus dibuktikan adalah sebagai berikut:

8
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 14/PUU/XII/2014, hlm. 65.
9
Indonesia, Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan, UU No. 36 tahun 2014, No. 298 tahun 2014, TLN
No. 5608., Psl. 84.

4
a. Harus ada yang melakukan perbuatan
b. Perbuatan itu harus melawan hukum
c. Perbuatan tersebut harus menimbulkan kerugian pada orang lain
d. Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat ditimpakan kepadanya.10
Pembuktian ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi pasien yang awam ilmu kedokteran
untuk membuktikan apakah terdapat kesalahan pada terapi yang dilakukan oleh dokter yang
menyebabkan kerugian pada pasien.
Pertanggungjawaban medik baik secara pidana maupun perdata menimbulkan dampak
yang tidak hanya dikeluhkan di Indonesia namun juga di dunia. Pembuktian yang sulit, waktu
penyelesaian yang lama serta biaya yang mahal menjadi isu utama pertanggungjawaban medik di
pengadilan merupakan hal yang kerap dikritik masyarakat berkaitan dengan kelalaian medik.
Tidak hanya itu, gugatan maupun tuntutan pidana kelalaian medik ini juga memberikan dampak
dilakukannya praktik kedokteran defensif oleh dokter yang mengalami tuntutan malpraktik medik.
Adapun praktik kedokteran defensif merugikan pelayanan kesehatan terutama pasien, dimana
dapat menyebabkan peningkatan biaya kesehatan atau pun sulitnya pasien risiko tinggi untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan.
Hillary Clinton dan Barrack Obama juga mengkritik pertanggungjawaban kelalaian medik
atau dikenal sebagai Tort of Law yang berlaku di Amerika Serikat. Dalam hal ini, pelaksanaan
hukum Tort konvensional tidak memberikan dampak bagi perbaikan mutu pelayanan kesehatan.
Menurut keduanya, seharusnya hukum pertanggungjawaban medik mampu memberikan hasil
sebagai berikut
a. Menurunkan risiko kejadian yang tidak diharapkan (KTD) yang dapat dicegah
b. Mengembangkan komunikasi terbuka antara dokter dan pasien
c. Memastikan pasien memiliki akses untuk mendapatkan kompensasi yang adil atas
perbuatan lalai dokter yang telah terbukti.
d. Menurunkan nilai premi asuransi pertanggungjawaban medik yang ditanggung oleh
pemberi layanan kesehatan.11

10
Rosa Agustina, 10 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pasca Sarjana FHUI, 2003), hlm.
35-36.
11
Hillary Rodham Clinton dan Barrack Obama, “Making Patient Safety the Centerpiece of Medical
Liability Reform”, The New England Journal of Medicine, (Mei 2006), hlm. 2205.

5
Harapan ini dapat tercapai apabila pertanggungjawaban medik tidak semata-mata berupa ganti rugi
namun juga memperhatikan prinsip-prinsip keselamatan pasien untuk meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan, seperti:
a. Belajar dari pengalaman melalui laporan keselamatan pasien
b. Melakukan root cause analysis untuk mencari akar masalah
c. Melakukan pembaharuan sistem untuk mencegah kejadian berulang.
d. Pemanfaatan teknologi.
Pemberian ganti rugi atas kerugian yang dialami pasien akibat perbuatan lalai yang
dilakukan dokter merupakan bentuk pertanggungjawaban medik bidang perdata. Apabila selama
pemeriksaan di pengadilan, dokter terbukti melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
pada pasal 1365 KUHPerdata, pasal 58 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan
pasal 77 Undang-Undang Nno. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, maka ia harus membayar
ganti rugi sesuai dengan gugatan yang diajukan oleh pasien dan/atau keluarga. Tentu saja hal ini
menimbulkan masalah berupa beban finansial yang harus ia tanggung untuk membayar ganti rugi
tersebut. Atas adanya risiko beban finansial akibat kelalaian medik, seorang dokter sebaiknya
memiliki sistem perlindungan finansial dalam bentuk asuransi pertanggungjawaban medik
ataupun tabungan solidaritas para dokter yang lebih bersifat gotong royong.
Dalam hal pertanggungjawaban medik dalam bidang perdata, rumah sakit yang
mempekerjakan tenaga kesehatan juga dapat diminta pertanggungjawaban kelalaian medik.
Bentuk pertanggungjawaban medik rumah sakit diatur berdasarkan ketentuan pada pasal 1367
KUHPerdata dan pasal 46 Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Adapun
ketentuan pasal 46 Undang-Undang Rumah Sakit adalah sebagai berikut:

Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan
atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.12

Bentuk pertanggungjawaban rumah sakit ini dikenal dengan nama Vicarious Liability yaitu
tanggung jawab rumah sakit terhadap seluruh kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
bekerja di dalam rumah sakit tersebut.

12
Indonesia, Undang-Undang tentang Rumah Sakit, UU No. 44 tahun 2009, LN No. 153 tahun 2009, TLN
5072, Ps. 46.

6
Peliknya penyelesaian sengketa medik di pengadilan yang membutuhkan biaya besar,
waktu yang lama dan pembuktian yang sulit membuat banyak negara memikirkan bentuk
penyelesaian sengketa kelalaian medik di luar pengadilan. Salah satu yang cukup banyak
dikembangkan adalah alternatif penyelesaian sengketa seperti negosiasi, mediasi, arbitrase dan
sebagainya. Hanya saja penyelesaian sengketa kelalaian medik ini hanya menyangkut
pertanggungjawaban perdata dan tidak dilakukan dalam bidang pidana. Peraturan perundang-
undangan di Indonesia mengharuskan penyelesaian sengketa kelalaian medik yang menyebabkan
kerugian pada pasien diselesaikan terlebih dahulu di luar pengadilan melalui mediasi. Hal ini
sebagaimana diatur pada pasal 29 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang
berbunyi sebagai berikut:

Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,
kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.13

Mediasi yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa kelalaian medik ini diharapkan
memberikan akses terhadap keadilan bagi para pihak. Hanya saja, hingga saat ini belum ada
peraturan yang mengatur mediasi di luar pengadilan mengenai sengketa medik di Indonesia.
Ketiadaan peraturan perundang-undangan ini yang ditenggarai sebagai penyebab kurang
populernya mediasi dalam penyelesaian sengketa medik.
Sama halnya di berbagai negara seperti Amerika Serikat, tampaknya Indonesia juga
memerlukan reformasi hukum kesehatan terutama masalah kelalaian medik. Pembuktian yang
sulit dan tidak dipahaminya ilmu kedokteran di pengadilan membutuhkan pembentukan tim saksi
ahli untuk membantu Hakim membuat putusan yang berkeadilan. Selain itu, diperlukan juga
perangkat peraturan perundang-undangan yang mendorong penyelesaian sengketa kelalaian medik
di luar pengadilan. Terkait dengan beban finansial yang ditanggung oleh dokter dalam rangka
memberikan ganti rugi, diperlukan suatu sistem pertanggungjawaban medik atau medical liability
system. Hal ini menjadi penting, mengingat telah diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN), dimana hubungan dokter dan pasien tidak lagi semata-mata persoalan perdata namun juga
isu publik dikarenakan dokter memberikan pelayanan kesehatan dalam rangka menjalankan urusan

13
Indonesia. Undang-Undang tentang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009, LN No. 144 Tahun 2009, TLN
No.5063, Ps. 29.
.

7
pemerintah di bidang kesehatan. Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan
terkait kelalaian pelayanan kesehatan menjadi suatu kebutuhan dalam rangka untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan.
Sebagai kesimpulan bahwa pertanggungjawaban medik atas kelalaian yang dilakukan oleh
dokter dapat berupa pertanggungjawaban perdata, pidana, disiplin maupun etika. Untuk
pertanggungjawaban pidana mengacu pada sistem peradilan pidana dan pertanggungjawaban
perdata dapat dimintakan kepada dokter apabila terdapat kelalaian yang menyebabkan kerugian
pada pasien. Baik pertanggungjawaban pidana maupun perdata memerlukan pembuktian ilmiah
berdasarkan kesalahan yang dilakukan oleh dokter. Pada pertanggungjawaban perdata, pasien
yang melakukan gugatan menjadi pihak yang dibebankan pembuktian. Banyaknya persoalan
berkaitan dengan pertanggungjawaban medik ini menghendaki agar dilakukan reformasi hukum
di bidang kesehatan. Terutama dikarenakan hubungan dokter dan pasien tidak lagi semata-mata
hubungan perdata namun dengan hadirnya Jaminan Kesehatan Nasional telah menjadi urusan di
bidang publik.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pasca Sarjana FHUI, 2003.
Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. s.l: Grafikatama Jaya, 1991.

Clinton, Hillary Rodham dan Barrack Obama. “Making Patient Safety the Centerpiece of Medical
Liability Reform”. The New England Journal of Medicine. (Mei 2006). Hlm. 2205-2208.

Indonesia. Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan, UU No.36 Tahun 2014, LN No. 298 tahun
2014, TLN No. 5608.

Indonesia. Undang-Undang tentang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009, LN No. 144 Tahun 2009,
TLN No.5063.

Indonesia, Undang-Undang tentang Rumah Sakit, UU No. 44 tahun 2009, LN No. 153 tahun 2009,
TLN 5072.

Indonesia, Menterian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Keselamatan Pasien


Rumah Sakit. Permenkes No. 1691/Menkes/Per/VIII/2011.

Lewis, Maraciano A, Carol D. Tamparo dan Brenda M. Tatro. Medical Law, Ethics and Bioethics
for the Health Professional. Philadelphia: F.A Davis Company, 2012.

8
Soekanto, Soerjono dan Herkutanto. Pengantar Hukum Kesehatan. Bandung: CV Remadja Karya,
1987.

World Health Organization. “Technical Annex 2: Glossary of Patient Safety Concepts and
References” http://www.who.int/ patientsafety/ taxonomy/ icps_technical_annex2.pdf,
diakses 1 Oktober 2016.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai