Anda di halaman 1dari 11

Evaluasi Tengah Semester (ETS)

Hukum Kesehatan / B

REVIEW JURNAL BERDASAR PRINSIP BIOETIKA


DALAM PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN

Disusun Oleh:
Nurma Chrismawantika
1312100017

Dosen Pengampu:
Dr. Yovita Arie Mangesti, S.H., M.H

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
TAHUN 2023/2024
REVIEW JURNAL 1

Judul Informed Consent dalam Melindungi Perjanjian Medis Antara


Dokter dengan Pasien di Rumah Sakit
Jurnal Pendidikan dan Konseling
Volume dan Halaman Vol. 5 No.1
Tahun 2023
Penulis Yeni Triana, Tony Irawan, Sustiyanto, Arief Hariyadi Santoso
Link Jurnal http://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/jpdk/article/
view/11098/8536
Reviewer Nurma Chrismawantika
Tanggal 16 April 2023

Tujuan Penelitian Untuk menganalisis tentang Informed Consent dalam


melindungi Perjanjian Medis antara Dokter dengan Pasien di
Rumah Sakit bahwa perikatan ini tidak menjanjikan suatu hasil
yang pasti sehingga dapat menimbulkan tuntutan atas tindakan
malpraktik oleh pasien karena perbedaan persepsi antara dokter
dan pasien sebagai pihak yang awam dimana pasien selalu
mengharapkan suatu hasil yang pasti berupa kesembuhan,
sedangkan di dalam tindakan medis erat kaitannya dengan suatu
risiko medis
Subjek Penelitian Perjanjian Terapeutik antara Dokter dengan Pasien
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
Hasil Penelitian Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan
pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk
melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan
kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang
dimiliki oleh dokter tersebut. Informed consentatau persetujuan
tindakan medis adalah persetujuan yang yang diberikan oleh
pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut. Definisi ini diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor
585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Medis. Setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien
harus mendapat persetujuan, hal tersebut diatur dalam Pasal 45
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.
Persetujuan dari pasien dalam hal ini mempunyai arti yang
sangat luas sebab dengan sekali pasien membubuhkan tanda
tangannya di formulir persetujuan medis, maka dianggap
pasien telah informed dan pasien telah menyerahkan nasibnya
kepada dokter, dan dokter boleh melaksanakan apa yang
menurut dokter baik. Namun, di sisi pasien, informed consent
merupakan perwujudan dari hak pasien dimana pasien berhak
mendapatkan informasi penyakit yang dideritanya, tindakan
medis apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit akibat
tindakan itu alternatif terapi lainnya serta pronosisinya.
Tidak dapat dipungkiri atas tindakan medis yang dilakukan
dokter tersebut terdapat risiko medis karena tingkat kesembuhan
pasien tidak selalu dipengaruhi oleh kinerja dokter, tetapi
juga faktor lain seperti kehendak Tuhan. Dalam risiko
medis, subyek yang bertanggung jawab justru pasien.
Pasienlah yang harus menanggung kerugian. Kewajiban
menanggung ini didasari bahwa dokter sudah menjalankan
tindakan medis sesuai dengan standar profesi medis. Dokter
telah menjalankan aktivitasnya sesuai dengan apa yang
seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan.
Oleh karena itu, untuk mencegah tuntutan malpraktik karena
ketidaktahuan pasien sebagai pihak yang awam terhadap dunia
kedokteran diperlukan pelaksanaan mekanisme informed
consent. Tujuan dari informed consent adalah agar pasien
mendapat informasi yang cukup untuk dapat mengambil
keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan
Kesimpulan Berdasarkan Penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa
Informed consent dalam melindungi perjanjian medisantara
dokter dengan pasien diRumah Sakitbahwa perikatan ini
tidak menjanjikan suatu hasil yang pasti sehingga dapat
menimbulkan tuntutan atas tindakan malpraktik oleh pasien
karena perbedaan persepsi antara dokter dan pasien sebagai
pihak yang awam dimana pasien selalu mengharapkan suatu
hasil yang pasti berupa kesembuhan, sedangkan di dalam
tindakan medis erat kaitannya dengan suatu risiko medis.
informed consent antara dokter dengan pasien haruslah ada
untuk menghindari adanya tuntutan malpraktik dari pasien yang
disebabkan karena adanya kesenjangan pengetahuan.
REVIEW JURNAL 2

Judul Kelalaian (Negligence) dan Malpraktik Medis


Jurnal Cross-Border
Volume dan Halaman Vol. 5 No.1, Halaman 463-473
Tahun 2022
Penulis Siti Rokayah, Gunawan Widjaja
Link Jurnal https://journal.iaisambas.ac.id/index.php/Cross-Border/article/
view/1099/876
Reviewer Nurma Chrismawantika
Tanggal 16 April 2023

Tujuan Penelitian Untuk menganalisis arti kelalaian (negligence) dan malpraktik


medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien
Subjek Penelitian Malpraktik Medis dalam Kedokteran
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif
yang bersifat deskriptif, dan menggunakan bentuk preskriptif.
Hasil Penelitian Seorang dokter dapat dikatakan melalukan malpraktik apabila ia
melakukan suatu tindakan yang salah atau ia tidak atau tidak
cukup mengurus pengobatan/perawatan pasien. Adanya sebuah
kelalaian diharapkan untuk semua orang berhati-hati dalam
melakukan sesuatu. Atau jika tidak maka akan menyebabkan
kerugian atau melukai orang lain, dan orang tersebut yang lalai
wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
Mulainya hubungan antara dokter dengan pasien adalah jika
seorang pasien meminta seorang dokter untuk mengobati dan
sang dokter pun menerimanya, maka saat itu terjadilah
hubungan kontrak antara dokter dan pasien.
Di dalam suatu kontrak terapeutik, seorang dokter tidak boleh
dengan begitu saja sepihak memutuskan hubungannya dengan
pasien, kecuali apabila sudah ada dokter lain yang
menggantikannya. Namun sebalikanya seorang pasien bisa saja
dengan bebas membatalkan apa yang terlah disetujuinya, tanpa
dokter bisa berbuat suatu apapun menuntut ganti rugi.
Dapat disimpulkan bahwa perjanjian antara dokter dan pasien
termasuk dalam wilayah hukum perdata dan harus memnuhi
ketentuan dalam KUHPerdata Pasal 1320. Apabila terjadi
pelanggaran terhadap perjanjian atau kontrak, maka pelanggaran
tersebut adalah perbuatan wanprestasi.

Kelalaian dalam malpraktik medis baru terjadi apabila


memenuhi unsur 4D, yaitu:
1. Duty to use due care
Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk
mengobati
2. Dereliction (breach of duty)
Apabila sudah ada kewajiban (duty), maka sang
dokter/perawat ruma sakit harus bertindak sesuai dengan
standard profei yang berlaku. Jika ada penyimpangan
dari standard tersebut, maka ia dapat dipersalahkan
3. Damage (injury)
Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktek medik adalah
cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien.
Walaupun seorang dokter ditufuh telah berlaku lalai,
namun jika tidak sampai menimbulkan
luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada
pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti rugi.
4. Direct Caution (proximate cause)
Harus ada hubungan kausa yang wajar antara sikap-
tindak tergugat (dokter) dengan kerugian (damage) yang
menjadi derita pasien sebagai akibatnya. Tindakan itu
harus merupakan penyebab langsung, hanya atas
penyimpangan saja tidak cukup untuk mengajukan
tuntutan ganti rugi
Dalam hal mapraktek medik, maka hal ini adalah termasuk
waprestasi terhadap informed consent.
Namun malpraktik medis tidak bisa dianggap sebagai suatu
perbuatan melawan hukum karena dokter dan pasien sudah
terikat perjanjian yang disepakati oleh satu sama lain, sehingga
mengikat kedua belah pihak, bukan berasalkan dari perjanjian
yang timbul karena Undang-Undang, sedangkan seperti yang
kita ketahui bahwa perbuatan melawan hukum adalah suatu
perikatan yang lahir dari Undang-Undang sebagai akibat dari
perbuatan manusia yang melanggar hukum.
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa 1) masih adanya tumpang tindih antara kelalaian dan
malpraktik medis. Pemerintah sebaiknya membuat peraturan
yang memperjelas mengenai kedua hal ini. 2) Kelalaian dalam
malpraktik medis apabila memenuhi unsur 4D yaitu duty to use
due care, dereliction, damage, dn direct caution. Dokter
diharapkan agar lebih berhati hati dalam melakukan tindakan
medis demi menghindari terjadinya malpraktik medis 3)
Kelalaian dalam malpraktik medis adalah wanprestasi yang tidak
bisa disamakan dengan perbuatan melawan hukum dan pidana.
REVIEW JURNAL 3

Judul Tanggung Jawab Hukum Dokter dalam Pelayanan Telemedicine


Jurnal -
Volume dan Halaman Vol.3 No.4
Tahun 2021
Penulis Sherly Primavita, Nayla Alawiya, Ulil Afwa
Link Jurnal http://journal.fh.unsoed.ac.id/index.php/SLR/article/view/103/82
Reviewer Nurma Chrismawantika
Tanggal 16 April 2023

Tujuan Penelitian Untuk mengetahui keselarasan pengaturan dan bentuk-bentuk


tanggung jawab secara hukum dokter dalam pelayanan
telemedicine pada struktur peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
Subjek Penelitian Pelayanan Telemedicine
Metode Penelitian Penelitian ini mengguanakan metode penelitian yuridis
normative dengan metode pendekatan peraturan perundang-
undangan (statue approach) dan pendekatan analitis (analytical
approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Metode pengolahan data dengan reduksi data, display data dan
klasifikasi data. Penelitian ini disajikan dalam bentuk teks
naratif dengan metode analisis data secara kualitatif
menggunakan analisis isi dan analisis perbandingan.
Hasil Penelitian Saat ini Indonesia memiliki Undang-Undang No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, namun di dalam undang-undang
tersebut belum terdapat aturan tentang praktik kedokteran
melalui telemedicine. Telemedicine di Indonesia sudah muncul
dengan berbagai aplikasi yang berfungsi sebagai platform
telemedicine seperti aplikasi Halodoc, Alodokter, dan lain-lain.
Aplikasi tersebut berfungsi sebagai sarana komunikasi atau
platform antara dokter dengan pasien.
Pengaturan-pengaturan yang mengatur mengenai tanggung
jawab hukum dokter dalam pelayanan telemedicine yang
memiliki derajat yang lebih rendah tidak saling bertentangan
dengan peraturan yang memiliki derajat yang lebih tinggi. Selain
itu, peraturan yang memiliki derajat yang lebih tinggi menjadi
dasar atau sumber dibentuknya peraturan yang memiliki derajat
yang lebih rendah.
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
dalam mengingat hanya mencantumkan UUD Tahun 1945 dan
tidak mencantumkan Undang-Undang Kesehatan yang pada saat
itu berlaku, yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan. Hal tersebut menunjukkan antara Undang-Undang
Praktik Kedokteran dengan Undang-Undang Kesehatan tidak
sinkron, yakni secara formal tidak berkaitan. Hal tersebut
diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
82/PUU-XIII/2015 menentukan bahwa tenaga medis tidak
termasuk dalam tenaga kesehatan. Oleh karena itu, Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak dapat
menjadi dasar hukum tanggung jawab hukum tenaga medis
dalam pelayanan telemedicine. akan tetapi jika dilihat dari
pelayanan yang diberikan oleh dokter sebagai tenaga medis
dalam pelayanan telemedicine, termasuk dalam pelayanan
kesehatan yang diatur dalam Undang-Undang Kesehatan
bentuk tanggung jawab hukum dokter terhadap pelayananan
telemedicine pada struktur peraturan perundang-undangan
Indonesia dapat berupa tanggung jawab hukum perdata, hukum
pidana dan hukum administrasi. Tanggung jawab hukum dokter
dalam pelayanan telemedicine ditemukan dalam Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016.
Kesimpulan Peraturan terkait tanggung jawab hukum dokter dalam
pelayanan telemedicine yang memiliki derajat lebih rendah tidak
saling bertentangan dengan peraturan yang memiliki derajat
yang lebih tinggi, peraturan yang memiliki derajat yang lebih
tinggi menjadi dasar atau sumber dibentuknya peraturan yang
memiliki derajat lebih rendah.
Bentuk tanggung jawab hukum dokter dalam pelayanan
telemedicine dapat dijelaskan dalam Peraturan-Peraturan yang
telah disebutkan di dalam jurnal
REVIEW JURNAL 4

Judul Analisis Yuridis Aborsi yang Dilakukan oleh Dokter Obgyn atas
Permintaan Pasien atau Keluarga
Jurnal Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP)
Volume dan Halaman Vol. 6, No.3
Tahun 2022
Penulis Robert One Daniesha Mahendra, Aris Prio Agus Santoso
Link Jurnal https://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JISIP/article/view/
3421/2690
Reviewer Nurma Chrismawantika
Tanggal 16 April 2023

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah praktik aborsi
yang dilakukan oleh dokter obgyn atas permintaan pasien atau
keluarga termasuk dalam pelanggaran etik.
Subjek Penelitian Tindakan Aborsi oleh Dokter Obgyn
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
library research dengan pengumpulan data sekunder yang
diperoleh melalui kepustakaan (peraturan perundang-undangan,
dan doktrin-doktrin hukum) yang berhubungan dengan judul
penelitian.
Hasil Penelitian Kode etik kedokteran sewajarnya berlandaskan etik dan norma-
norma yang mengatur hubungan antar manusia, yang asas-
asasnya terdapat dalam falsafah Pancasila, sebagai landasan idiil
dan UUD 1945 sebagai landasan strukturil. Dengan maksud
untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu
kedokteran, maka para dokter balk yang tergabung dalam
perhimpunan profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), maupun
secara fungsional terikat dalam organisasi pelayanan, pendidikan
dan penelitian telah menerima Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI).
Ketentuan dalam pasal-pasal KUHP tersebut sangat jelas tidak
memberikan peluang dilakukan aborsi, jika pemberlakuan
ketentuan pasal tersebut mutlak dan tidak ada alasan apapun.
Segala bentuk tindakan aborsi dilarang bagi wanita, tanpa
memberikan alternatif untuk menyediakan teknologi kesehatan
reproduksi yang aman yang dapat mengurangi resiko kematian
wanita hamil, disebabkan adanya resiko penyakit yang berat
yang membahayakan jiwa wanita hamil tersebut. Kosekuensinya
petugas medis khususnya dokter, bidan dan petugas lainnya
dianggap sebagai pelanggar hukum ketika mereka melakukan
tindakan aborsi dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa. Oleh
karena, itu perlu diundangkan peraturan yang lebih efektif dan
mampu memberikan solusi yang tepat bagi masyarakat serta
dapat memberikan peluang pada petugas medis untuk
melakukan aborsi dengan ketentuan dan batasan yang telah
ditentukan dengan baik.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas dalam KUHP terdapat
larangan terhadap aborsi, dan bagi ibu serta pelakunya dapat
dikenakan sanksi pidana. Memang pasien memiliki hak atas
dirinya sendiri dan juga apa yang diperlukan bagi dirinya,
namun perlu digaris bawahi bahwa janin yang hidup di dalam
rahim pasien itu juga memiliki hak hidup tersendiri yang perlu
dihormati, sehingga pasien tidak dapat menghilangkan hak
tersebut dengan melakukan aborsi. Sebagaimana Pasal 28B (2)
UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal ini diperkuat
pada Pasal 9 (1) UU No. 39/1999 yang menjelaskan bahwa
setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
Kesimpulan Meninjau pasal 10 Kode Etik Kedokteran bahwa Setiap dokter
harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi
hidup mahluk insani. Artinya dokter obgyn dalam hal ini wajib
melindungi hidup janin yang masih berada dalam kandungan
(khusus janin yang masih hidup). Apabila Dokter Obgyn
menyetujui untuk melakukan aborsi artinya yang bersangkutan
telah melakukan pelanggaran etik. Jika yang demikian ini tetap
dibiarkan maka akan menjadi percobaan pembunuhan janin
(Abortus Provocatus Criminalis). Dan di dalam KUHP terdapat
larangan terhadap aborsi, dan bagi ibu serta pelakunya dapat
dikenakan sanksi pidana.
REVIEW JURNAL 5

Judul Pertanggungjawaban Hukum Dokter Program Internsip dalam


Pelayanan Kesehatan Terhadap Pasien
Jurnal Audito Comparative Law Journal
Volume dan Halaman Vol.2, Issue 2
Tahun 2021
Penulis Ade Irwanto, Fakhruddin
Link Jurnal https://ejournal.umm.ac.id/index.php/audito/article/view/
16501/9344
Reviewer Nurma Chrismawantika
Tanggal 16 April 2023

Tujuan Penelitian Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban dokter


program Internsip terhadap kesalahan dalam tindakan pelaksanaan
medis.
Subjek Penelitian Tanggung Jawab Dokter Program Internship dalam Pelayanan
Kesehatan
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode
Penelitian Normatif. Metode tersebut adalah suatu pendekatan
yang dilakukan untuk mengkaji peraturan perundangundangan,
norma-norma, kaidah-kaidah, konsep-konsep hukum, dan
pendapat para ahli hukum yang terdapat dalam berbagai
kepustakaan atau literatur yang terkait langsung dengan objek
penelitian ini
Hasil Penelitian Peserta program Internsip adalah dokter baru lulus Program
Pendidikan Dokter berbasis kompetensi yang akan menjalankan
praktik kedokteran dan/atau mengikuti pendidikan dokter
spesialis. Penyelenggaraan pelaksanaan Program Internsip oleh
Komite Internsip Dokter Indonesia bekerjasama dengan
pemangku kepentingan Penempatan Dokter baru pada wahana
program Internsip dilakukan oleh KIDI bekerjasama dengan KIDI
Provinsi dan Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi
Kabupaten/Kota.
Dalam hal ini dokter program Internsip ini tidak sendiri tapi
didampingi oleh dokter Pendamping dimana seorang dokter
pendamping ini bertugas untuk membimbing mendampingi dokter
yang melakukan program Internsip ini selama dokter program
Internsip ini masih menjalankan program Internsipnya dirumah
sakit. Dokter pendamping yaitu dokter yang masih aktif praktek
minimum 2 tahun, bersedia mengikuti pelatihan menjadi
pendamping dan bersedia secara aktif melakukan tugas
pendampingan. Dokter pendamping program Internsip
bertanggungjawab memberi bimbingan dan arahan kepada dokter
Internsip.
Sanksi pelanggaran terhadap dokter Internsip mengacu pada
peraturan dan yurisprudensi hukum mengenai tenaga kesehatan.
Selama proses hukum, program internsip peserta yang
bersangkutan akan ditunda sampai diperoleh putusan berkekuatan
hukum tetap. Sanksi pidana dan atau perdata dapat diikuti oleh
sanksi administratif sesuai yang ditetapkan dalam peraturan
menteri kesehatan dan peraturan konsil kedokteran Indonesia
tentang dokter internsip. Dokter program Internsip
bertanggungjawab secara hukum apabila terjadi kesalahan yang di
lakukannya. Hal itu akan dikoordinasikan ke bidang komite
Internsip dan akan dibahas secara bersama antara pihak wahana
Internsip dan dokter pendamping di rumah sakit. Dokter Internsip
bekerja dibawah bimbingan atau arahan dari dokter pendamping.
Pertanggungjawaban muncul ketika kegiatan pelayanan yang
dilakukan oleh dokter Internsip tidak sesuai dengan perjanjian
pelayanan kesehatan yang dilakukan terhadap pasien, termasuk
ketika adanya pelayanan kesehatan yang dilakukan dan
bertentangan dengan Undang-Undang misalkan ketika dokter
Internsip mengambil keputusan secara mandiri untuk melakukan
praktik pelayanan kesehatan sementara dokter Internsip tersebut
tidak memiliki kewenangan untuk melakukan itu, dokter Internsip
mengabaikan instruksi atau arahan dari dokter pendamping untuk
melakukan kegiatan pelayanan tertentu terhadap pasien yang
keseluruhan itu berakibat pada kerugian yang dialami oleh pasien.
Kesimpulan Hubungan hukum antara Dokter Program Internsip dengan Pasien
dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung sebagai hubungan
biomedis aktif-pasif, hubungan aktif-pasif ini dimana dokter yang
berperan penting dalam dunia kesehatan dan pasien sebagai peran
yang pasif, sehingga dalam hal ini yang akan Bertanggungjawab
terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien,
adalah bentuk Pertanggung Jawaban Perdata, Pertanggung
Jawaban Hukum Pidana, Tanggung Jawab Hukum Administrasi
dan Pertanggung Jawaban Wahana Internsip dokter dan/atau
(dokter peserta Internsip, Dokter Pendamping dan Rumah Sakit)

Anda mungkin juga menyukai