Anda di halaman 1dari 8

BLOK 4 – BIOETIKA DAN MEDIKOLEGAL

PEMICU 1

“Keinginan Mayasofanina memasang behel “

Disusun oleh:

Carissa Salsabila Harahap

230600082

Kelompok 2

FASILITATOR:

Agustinus,dr.,M.Ked(For),Sp.For

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Tren sosial, terutama di kalangan remaja, sering kali memainkan peran signifikan dalam pengambilan
keputusan terkait penampilan fisik. Dalam skenario ini menyoroti fenomena di mana keinginan untuk
memasang behel dapat dipicu oleh pengalaman teman sebaya, menciptakan tantangan etika bagi praktisi
medis. Pentingnya memberikan wawasan mendalam tentang keputusan pemasangan behel pada remaja tanpa
indikasi medis yang jelas dan mengajukan pertanyaan kritis terkait etika dalam praktik dokter gigi dapat
membantu merancang pedoman praktik yang lebih jelas dan etis terkait keinginan kosmetik pada populasi
remaja.

1.2 DESKRIPSI TOPIK

Pemicu 1
Nama Pemicu : Keinginan Mayasofanina memasang behel
Penyusun : Simson Damanik, drg., M.Kes; dr. Siti Syarifah, M.Biomed; dr. Agustinus,
M.Ked(For), Sp. For
Hari/ Tanggal: Rabu/ 06 Desember 2023
Waktu : 13.30-15.30 WIB
Seorang remaja wanita berusia 16 tahun bernama Mayasofanina datang ke praktek
dokter gigi tanpa keluhan, hanya ingin dipasangkan behel di Rahang atas dan Rahang bawah.
Hasil pemeriksaan dokter gigi, gigi pasien dalam keadaan oklusi baik tanpa ada maloklusi
gigi (bukan indikasi untuk dipasang behel) namun pasien inginmemaksakan dipasang behel
dengan alasan bnyak teman-temannya yang sudah memakai behel, setelah negosiasi harga lalu
kemudian dokter memasang behel tersebut. Dalam beberapa hari kemudian pasien datang lagi
dengan keluhan ada rasa sakit pada giginya dan panas dalam, pasien mengalami
ketidaknyamanan seperti memar pada kulit dan gusinya. Lalu dokter gigi meresepkan tablet
Natrium Diclofenac 3x1 dan Loratadine 2x1 masing-masing selama 3 hari. Dokter
memotivasinya dengan mengatakan masalahnya tidak apa-apa.

Pertanyaan :
1. Bagaimana sikap Dokter gigi yang melakuka pemasangan behel tersebut?
2. Bagaimana tindakan dokter gigi yang melakukan pemasangan behel dibandingkan
dengan yang tidak dipasang menurut prinsip dasar bioetika?
3. Bagaimana Saudara menanggapi keluhan pasien tersebut?
4. Apa pendapat Saudara ditinjau dari segi hukum, sosial budaya, sosial ekonomi, agama,
ras dan lain-lain?
5. Bagaimana menurut anda apabila anda mendapat kasus seperti ini, apa yang sebaiknya
anda lakukan?
6. Pada kasus ini, apakah tujuan dokter gigi meresepkan tablet Natrium Diclofenac dan
Loratadine? Jelaskan jawaban saudara?
7. Jika pemasangan behel berakibat seperti dalam skenario, apakah dokter tersebut bisa
dituntut?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Bagaimana sikap Dokter gigi yang melakuka pemasangan behel tersebut?


Berdasarkan kasus tersebut, sikap dokter gigi tersebut sangat tidak profesional, tidak etis, dan
dapat merugikan pasien.Hal tersebut dilihat dari beberapa kode etik kedokteran yang dilanggar
oleh dokter tersebut,yaitu:

 Dokter gigi tidak memberikan informasi yang benar, jelas, dan lengkap tentang indikasi,
kontraindikasi, risiko, dan manfaat dari pemasangan behel. Dokter gigi seharusnya
menjelaskan kepada pasien bahwa behel adalah alat ortodontik yang digunakan untuk
mengatasi maloklusi gigi, bukan sekedar alat hias atau gaya. Dokter gigi juga seharusnya
menjelaskan bahwa pemasangan behel tanpa indikasi dapat menimbulkan komplikasi seperti
kerusakan gigi, gusi, atau tulang rahang, serta infeksi atau peradangan pada jaringan mulut
 Dokter gigi seharusnya memberikan penanganan yang tepat dan efektif jika terjadi masalah
atau keluhan dari pasien. Dokter gigi tidak boleh mengabaikan atau menyepelekan kondisi
pasien

2. Bagaimana tindakan dokter gigi yang melakukan pemasangan behel dibandingkan


dengan yang tidak dipasang menurut prinsip dasar bioetika?
Tindakan dokter gigi yang melakukan pemasangan behel dibandingkan dengan yang tidak
dipasang dapat dinilai dari sudut pandang prinsip dasar bioetika, yaitu:

 Autonomy. Prinsip ini menetapkan bahwa kemungkinan bahwa orang harus memilih dan
memutuskan sendiri harus dihormati. Dokter gigi yang memasang behel mungkin berpikir
bahwa ia menghormati otonomi pasien yang ingin dipasang behel, tetapi sebenarnya ia tidak
memberikan informasi yang benar, jelas, dan lengkap tentang indikasi, kontraindikasi, risiko,
dan manfaat dari pemasangan behel. Dokter gigi yang tidak memasang behel mungkin
berpikir bahwa ia melindungi kepentingan pasien yang sebenarnya tidak membutuhkan
behel, tetapi sebenarnya ia juga harus menghargai keinginan pasien dan memberikan edukasi
yang memadai tentang pilihan-pilihan yang ada.
 Beneficence. Prinsip ini menetapkan menyiratkan bekerja demi kesejahteraan, melindungi
tanpa merugikan. Dokter gigi yang memasang behel mungkin berpikir bahwa ia memberikan
manfaat kepada pasien yang ingin memperbaiki penampilan giginya, tetapi sebenarnya ia
merugikan pasien dengan menimbulkan komplikasi yang tidak perlu dan mengambil
keuntungan dari ketidaktahuan pasien. Dokter gigi yang tidak memasang behel mungkin
berpikir bahwa ia menghindari kerugian bagi pasien yang tidak memerlukan behel, tetapi
sebenarnya ia juga harus memberikan manfaat kepada pasien dengan memberikan alternatif
lain yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien.
 Keadilan(justice). Prinsip terakhir menyiratkan bahwa ada keadilan antara tiga isu utama:
biaya, manfaat dan risiko. Pada saat yang sama, ini identik dengan distribusi yang adil antara
tanggung jawab, aset material, dan hak. Dokter gigi yang memasang behel mungkin berpikir
bahwa ia memberikan keadilan kepada pasien yang mampu membayar harga yang disepakati,
tetapi sebenarnya ia tidak memberikan keadilan kepada pasien yang tidak mendapatkan
pelayanan yang berkualitas, aman, dan sesuai dengan standar keamanan. Dokter gigi yang
tidak memasang behel mungkin berpikir bahwa ia memberikan keadilan kepada pasien yang
tidak dikenakan biaya yang tidak perlu.

3. Bagaimana Saudara menanggapi keluhan pasien tersebut?


Dalam menanggapi pasien yang memaksakan kehendaknya, seorang dokter harus dapat
berkomunikasi dengan baik yaitu menjelaskan prosedur dan efek samping yang akan terjadi jika
pasien tetap memaksakan kehendaknya, menjelaskan secara rinci kondisi gigi pasien dan
mengapa pemasangan behel mungkin tidak diperlukan. Gunakan bahasa yang mudah dipahami
dan hindari istilah teknis yang mungkin membingungkan pasien. Pihak lain mana pun tidak
boleh memaksakan kehendak atas diri tenaga medis. Tenaga medis dalam banyak hal wajib
mendengarkan pendapat pihak-pihak lain, tetapi tidak boleh bertindak sematamata karena
terpaksa mengikuti pendapat lain tersebut. Keputusan terakhir berada dalam tanggung jawab
dokter. Oleh karena otonomi moral yang dimiliki pasien, maka dokter berkewajiban memberikan
informasi untuk mendapatkan persetujuan, namun tidak boleh memaksakan persetujuan tersebut
(Felenditi, 2009)
4. Apa pendapat Saudara ditinjau dari segi hukum, sosial budaya, sosial ekonomi, agama,
ras dan lain-lain?
UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 45 ayat (1) dan (2) yang
menyatakan bahwa, “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter dan dokter gigi terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan. Persetujuan diberikan
setelah pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap”. Oleh karena itu, dokter gigi seharusnya
memastikan bahwa setiap tindakan medis yang dilakukannya didasari oleh pertimbangan medis
yang cermat dan mematuhi standar etika serta hukum yang berlaku.

5. Bagaimana menurut anda apabila anda mendapat kasus seperti ini, apa yang sebaiknya
anda lakukan?
Dalam situasi seperti ini, penting untuk melakukan beberapa tindakan. Pertama, Dokter gigi
perlu mengevaluasi ulang kondisi pasien. Periksa apakah ada reaksi alergi terhadap material
behel atau apakah ada masalah lain yang muncul setelah pemasangan behel. Kedua, Dokter gigi
menjelaskan dengan jelas kepada pasien mengenai kondisinya dan kemungkinan efek samping
dari pemasangan behel. Diskusikan juga mengenai perawatan yang tepat setelah pemasangan
behel. Jika ada reaksi alergi atau ketidaknyamanan setelah pemasangan behel, dokter perlu
memberikan penanganan yang sesuai seperti obat yang diresepkan. Tetapi jika ada masalah yang
lebih serius, seperti infeksi, perlu tindakan medis lebih lanjut. Setelah itu, sarankan pasien untuk
kembali berkonsultasi jika keluhan atau gejala tidak membaik atau bahkan memburuk. Hal ini
penting untuk menjamin keamanan dan kenyamanan pasien. Pastikan pasien memahami risiko,
perawatan, dan pentingnya melaporkan gejala yang timbul setelah pemasangan behel.

Menjaga komunikasi terbuka antara dokter gigi dan pasien serta memberikan perawatan yang
sesuai dengan keadaan pasien merupakan hal yang sangat penting dalam kasus seperti ini.

6. Pada kasus ini, apakah tujuan dokter gigi meresepkan tablet Natrium Diclofenac dan
Loratadine? Jelaskan jawaban saudara?
Dalam kasus ini, tujuan dokter gigi meresepkan tablet Natrium Diclofenac dan Loratadine untuk
mengatasi sakit dan panas pada gigi pasien setelah prosedur behel. Natrium Diclofenac adalah
analgesik non-steroidal yang digunakan untuk meredakan rasa sakit, sedangkan Loratadine
adalah obat anti-histaminik yang digunakan untuk mengatasi sakit, pembengkakan, dan rasa
panas pada bagian tubuh, termasuk gigi.
Obat-obatan ini digunakan untuk membantu mengurangi sakit dan panas pada gigi setelah behel,
karena behel dapat menyebabkan peradangan gigi dan tulang hidung. Efek samping dari Natrium
Diclofenac dan Loratadine sangat sedikit dan berkelanjutan. Natrium Diclofenac dan Loratadine
dapat berkesan dengan ucapan air apel dan/atau susu.
Meskipun obat-obatan ini digunakan untuk mengatasi sakit dan panas pada gigi setelah behel,
penting bagi pasien untuk menginformasikan dokter gigi tentang keluhan atau sakit yang
berlebihan selama penggunaan obat-obatan ini. Dokter gigi akan meninjau respon obat-obatan
terhadap kondisi pasien dan mengajuste dosis atau jenis obat yang diberikan sesuai dengan
kondisi kesehatan pasien.

7. Jika pemasangan behel berakibat seperti dalam skenario, apakah dokter tersebut bisa
dituntut?
Dalam skenario tersebut, dokter gigi mungkin bisa dituntut karena telah memasang behel tanpa
indikasi medis yang jelas. Meskipun pasien meminta pemasangan behel, seharusnya dokter
melakukan evaluasi medis yang cermat dan memberikan penjelasan mengenai risiko dan manfaat
sebelum melakukan tindakan. Pemasangan behel tanpa indikasi medis dapat menyebabkan
masalah kesehatan seperti yang dialami oleh pasien, dan dokter bertanggung jawab untuk
memastikan tindakan medis yang dilakukannya sesuai dengan standar medis yang berlaku. Oleh
karena itu, dokter tersebut bisa dituntut atas tindakannya.
BAB III
KESIMPULAN

Studi kasus ini menyoroti pentingnya kepatuhan dokter gigi terhadap prinsip-prinsip bioetika
dalam praktik kedokteran gigi, terutama dalam konteks pemasangan behel atau perawatan
kosmetik lainnya. Dokter gigi harus memastikan bahwa setiap tindakan perawatan didasarkan
pada kebutuhan kesehatan pasien, memberikan informasi yang jelas dan komunikasi yang
terbuka, serta mematuhi standar profesi medis dan etika profesional. Kesimpulan: Dalam
praktik kedokteran gigi, penting untuk mempertimbangkan prinsip-prinsip bioetika, seperti non-
maleficence, autonomy, dan justice, dalam memberikan perawatan kepada pasien. Dokter gigi
harus memastikan bahwa setiap tindakan perawatan didasarkan pada kebutuhan kesehatan
pasien, dan tidak boleh melakukan tindakan yang tidak diperlukan atau tidak didasarkan pada
indikasi medis yang jelas. Selain itu, dokter gigi juga harus mematuhi standar profesi medis dan
etika profesional, serta siap menghadapi implikasi hukum jika tidak mematuhi standar tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. KODE ETIK KEDOKTERAN GIGI INDONESIA (KODEKGI).

https://fkg.unair.ac.id/en/wp-content/uploads/2021/06/Buku-Kode-Etik-
Kedokteran-Gigi-2020.pdf. (5 Desember 2023)
2. Afandi, D., 2017. Kaidah Dasar Bioetika Dalam Pengambilan keputusan

Klinis Yang Etis. Jurnal Majalah Kedokteran Andalas, 40(2), pp. 111-122.
3. PENEGAKAN OTONOMI PASIEN MELALUI PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS
(INFORMED CONSENT) Dionisius Felenditi 2009
4. Triana Y. Damanik LS. Tarigan SW. et al. Kebijakan Penerapan Informed Consent Oleh
Dokter Gigi Dalam Memberikan Pelayanan Medis. Jurnal Pendidikan Dan Konseling
(JPDK) 2023; 5(1): 763–767. https://doi.org/10.31004/jpdk.v5i1.11035
5. SAVITRY PE, Wathoni N. Karakterisasi Efisiensi Penjerapan pada Nanopartikel
Natrium Diklofenak dalam Sediaan Topikal. Farmaka. 2018 Aug 18;16(2).
6. "Medical Law and Ethics" oleh Jonathan Herring. Halaman 112. Menjelaskan tentang
kewajiban dokter untuk memberikan perawatan medis yang sesuai dengan standar yang
berlaku dan risiko tuntutan hukum jika tindakan medis tidak sesuai dengan standar.

Anda mungkin juga menyukai