1.2 Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan contoh kepada dokter dan dokter
gigi tentang pentingnya komunikasi efektif dan efisien antara dokter dan pasien
sebagai salah satu upaya untuk mencapai profesionalisme dalam praktek kedokteran
dan kedokteran gigi.
BAB II
Pembahasan
2.1 Kasus
Mitha, perempuan berusia 25 tahun, datang ke sebuah klinik gigi di bilangan
Dharmawangsa. Mitha datang ke klinik tersebut setelah melihat unggahan promo
untuk paket pemutihan gigi di social media klinik tersebut. Di social media klinik
tersebut juga menampilkan berbagai macam foto kasus sebelum dan sesudah
perawatan sehingga Mitha lebih tertarik melakukan perawatan.
Ketika Mitha datang ke klinik tersebut, Mitha meminta untuk dirawat oleh
drg. Machsya. Drg. Machsya memiliki STR dan SIP sebagai dokter gigi umum yang
terdaftar di klinik tersebut. Kemudian Mitha dianjurkan untuk melakukan
pemasangan veneer yang biayanya mahal, bukannya melakukan pemutihan karena
dokter tersebut beralasan veneer dapar merapikan posisi gigi Mitha yang berantakan.
Akan tetapi drg. Machsya tidak menjelaskan secara menyeluruh proses perawatan
veneer.
Pada saat selesai preparasi crown, Mitha meminta melihat kaca, Mitha kaget,
struktur giginya berkurang banyak hingga ada yg begitu kecil. Ternyata gigi tersebut
telah dimatikan sarafnya oleh drg. Machsya, dengan alasan untuk mencapai posisi
veneer yang lebih estetis, karena posisi awal dari gigi Mitha berdesakan. Mitha
merasa dirugikan dan ingin menntut dokter gigi tersebut, karena gigi sehatnya
dikorbankan.
2.2 Pembahasan
Berdasarkan kasus diatas dapat dilihat bahwa permasalahan yang
munculdisebabkan kurangnya komunikasi antara Mitha dan drg. Machsya. Bersumber
dari maslah komunikasi ini lalu timbul masalah muncul selanjutnya yaitu terjadi
pelanggaran dalam kaidah-kaidah dasar etika kedokteran.
Berdasarkan SURAT KEPUTUSAN NOMOR: SKEP/034/PB PDGI/V/2008
TENTANG KODE ETIK KEDOKTERAN GIGI INDONESIA PENGURUS BESAR
PERSATUAN DOKTER GIGI INDONESIA.
Drg. Machsya telah melanggar :
Pasal 3
Dalam menjalankan profesinya Dokter Gigi di Indonesia tidak boleh dipengaruhi oleh
pertimbangan untuk mencari keuntungan pribadi
Ayat (1)
Dokter gigi di Indonesia dilarang melakukan promosi dalam bentuk apapun seperti
memuji diri, mengiklankan alat dan bahan apapun, memberi iming-iming baik
langsung maupun tidak langsung dan lain-lain dengan tujuan agar pasien berobat
kepadanya.
Pada kasus ini drg. Machsya melanggar kaidah beneficence, karena drg.
Machsya tidak memaksimalkan hak Mitha sebagai pasien yaitu hak untuk
mendapatkan perawatan dan penjelasan secara lengkap dan jelas mengenai perawatan
yang akan dilakukan terhadap dirinya. Seharusnya Mitha mendapatkan penjelasan
tentang keuntungan dan kerugian tiap prosedur perawatan dan penjelasan secara rinci
tahapan perawatan yang akan dilakukan. Selain itu, kaidah beneficence lain yang
dilanggar yaitu memandang pasien bukan sebagai tindakan yang hanya
menguntungkan dokter, karena dilihat dari cerita ini bahwa drg. Machsya
menawarkan veneer yang jauh lebih mahal dari niat awal Mitha yang datang untuk
memutihkan giginya, akan tetapi Mitha merasa drg. Machsya melakukan penipuan,
karena selain harga perawatan yang beda jauh, Mitha merasa drg. Machsya
mengorbankan jaringan giginya yang sehat untuk mendapatkan keuntungan.
Dalam kaidah Autonomi, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak
manusia. Setiap individu harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak
untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam hal ini pasien diberikan hak untuk
berpikir secara logis dan mennetukan perawatan yang akan diambil. Dalam kasus
diatas, drg. Machsya tidak menghargai hak Mitha untuk menentukan perawatan.
Selain itu drg. Machsya juga tidak membuat informed consent, yang berisikan
persetujuan rencana perawatan yang akan diberikan, sehingga dapat mencegah
timbulnya kesalahpahaman komunikasi antara dokter dan pasien. Seorang dokter
harus dapat mengkomunikasikan semua informasi tentang kondisi pasien, diagnosa,
prognosis, prosedur tindakan perawatan, hasil akhir dan juga efek samping dari
tindakan perawatan dengan bahasa yang dimengerti pasien. Sehingga setelah pasien
mengerti tentang keadaannya dan memutuskan tindakan yang akan diambil, baru
pasien diminta untuk mendatangani informed consent, bila pasien setuju atas tindakan
atau rencana perawatan yang ditawarkan, atau pasien dapat menolak menandatangani
bila psien tidak setuju akan perawatan yang ditawarkan. Dalam kaidah justice drg.
Machsya melakukan penyalahgunaan kekuasaan sebagai dokter, karena muncul kesan
bahwa drg. Machsya memaksakan perawatan dalam hal ini pembuatan veneer
terhadap Mitha.
BAB III
Kesimpulan dan Saran
3.1 Kesimpulan
dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa seluruh pelanggaran terhadap
kaidah-kaidah dasar etika kedokteran pada kasusu tersebut penyebab utamanya adalah
defisiensi komunikasi antara drg. Machsya dan Mitha. Kurang komunikasi tersebut
mengakibatkan kesalah pahaman dan pengambilan keputusan yang kurang maksimal
dari pasien sehingga pada saat selesai prosedur pasien merasa dirugikan.
3.2 Saran
saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah:
1. drg. Machsya harus memperbaiki kemampuan komunikasi antara dokter dan
pasien dalam menjalankan praktek kedokteran dan juga memastikan bahwa
pasien mengerti setiap tindakan yang akan diterima, keuntungan dan kerugian
dari perawatan, serta alternatif tindakan perawatan.
2. Drg. Machsya harus memastikan bahwa setiap penjelasan informasi yang
diberikan oleh dokter, dimengerti secara jelas, sehingga pasien dapat
mengambil keputusan perawatan secara optimal, demi keamanan dan
kenyamanan bersama.
3. Setalah pasien mengerti dan memahami prosedur tindakan perawatan yang
akan diterima, pasien diminta untuk melakukan penandatanganan informed
consent sebagai catatan bahwa telah diberikan informasi menyeluruh tentang
prosedur perawatan dan pasien setuju untuk dilakukan perawatan.