Anda di halaman 1dari 28

TINJAUAN ETIKA KRISTEN TERHADAP KOMUNIKASI DOKTER PASIEN

DISUSUN OLEH :
NILAM ANGGRIANI TAMBUNAN (100100181) JOSEPHINE IRENA (100100227)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011

BAB I PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Salah satu faktor utama yang menyebabkan peningkatan kebiasaan berobat ke luar negeri adalah hubungan dan cara berkomunikasi dokter-pasien di negara kita yang sangat mengecewakan. Banyak opini menyebutkan, cara berkomunikasi dokter-pasien di Indonesia kalah jauh dibandingkan dokter-dokter di luar negeri. Padahal pasien dan dokter di negara kita berbahasa sama, bahasa Indonesia. Bukankah dengan persamaan bahasa lebih memungkinkan bagi seseorang untuk berkomunikasi, menunjukkan empati, memberi motivasi dan menyenangkan hati lawan bicaranya. Beberapa pasien mengungkapkan berobat di Singapura sangat puas, karena dapat berkonsultasi dengan dokter hingga 1 jam. Di Indonesia, seorang pasien bisa masuk ruang praktek dokter 15 menit saja sudah menjadi hal yang langka. Sebagian besar hubungan dokter-pasien pun hanya bersifat satu arah.

Seorang pasien pernah bercerita tentang pengobatan yang ia lakukan di Indonesia dan di Singapura. Oleh dokternya disebutkan bahwa ia menderita Diabetes. Dokternya menyampaikan bahwa penyakit ini tidak akan sembuh, seumur hidup dia akan tergantung pada obat dan semua dietnya harus diatur. Begitu pun ketika ia datang untuk kontrol, dokternya berkata tidak ramah karena ia tidak mengikuti apa yang telah dianjurkan. Ketika memeriksakan dirinya ke Singapura, dokter Singapura juga menyatakan dia terkena Diabetes. Tapi bedanya si dokter Singapura tersebut sambil tersenyum dan memberi motivasi padanya, sehingga hatinya pun menjadi tenang. Lantas dokter tersebut melanjutkan bahwa mengidap penyakit diabetes bukan berarti hidup menderita dan berakhir tragis. Yang perlu dilakukannya hanya mengatur diet dan memeriksakan diri secara teratur. Tidak berhenti sampai di situ, si dokter juga menyarankan dan mengantarkan sang pasien berkonsultasi dengan ahli gizi yang sudah menyiapkan daftar menu sehari-hari, lengkap dengan jumlah kalori setiap jenis

masakan bahkan untuk makanan khas Indonesia. Bayangkan begitu hebatnya kesadaran untuk memberikan value-added services disana. Berdasarkan data Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) DKI Jakarta, terdapat 99 kasus pengaduan terhadap profesi dokter dari tahun 1998-2006 (8 tahun). Menurut MKEK hal yang paling sering menjadi pokok sengketa adalah kelemahan komunikasi antara dokter dengan pasien atau antara rumah sakit dengan pasien. Kelemahan komunikasi tersebut dalam bentuk komunikasi sehari-hari yang diharapkan dapat mempererat hubungan antar individu maupun dalam bentuk pemberian informasi sebelum dilakukannya tindakan dan sesudah terjadinya risiko atau komplikasi. Kendala yang kerap timbul dalam komunikasi antara pasien dan dokter antara lain adalah keterbatasan waktu untuk bertemu atau pertemuan yang tidak efektif karena yang terjadi adalah komunikasi satu arah. Komunikasi satu arah adalah bila dokter merasa keluarga sudah paham akan keterangan yang diberikan padahal mereka sebenarnya tidak mengerti apa yang disampaikan. Padahal jika seorang dokter sudah berhadapan dengan pasien maka sudah seharusnya ia menyediakan waktu untuk pasiennya. Penting untuk diingat bahwa hubungan dan komunikasi yang tidak berjalan dengan baik akan membuat pasien merasa sungkan dan enggan untuk bertanya pada dokter, pasien hanya mengikuti saja apa yang disampaikan sang dokter. Akibatnya kerjasama dokterpasien dalam menentukan arah pengobatan tidak berjalan. Kita juga harus ingat bahwa memilih menjadi dokter berarti harus siap untuk belajar dan mengajar seumur hidup. Bukankah salah satu konsep World Health Organization (Organisasi Kesehatan Dunia/WHO) tentang kriteria seorang dokter yang baik adalah Comunicator, yang berarti mampu mempromosikan gaya hidup sehat melalui penjelasan dan advokasi efektif.

II. RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana gambaran komunikasi dokter pasien menurut kliping yang kami

kumpulkan? 2. Seperti apa tinjauan etika Kristen terhadap komunikasi dokter pasien? 3. Apa kesimpulan dan saran dari kliping yang dibahas?

BAB II KUMPULAN KLIPING


1. Dokter yang Jutek Akan Ditinggalkan Pasiennya
AN Uyung Pramudiarja - detikHealth
Jakarta, Komunikasi yang baik sangat penting bagi seorang dokter yang melakukan pelayanan langsung kepada pasiennya. Jika dokter tidak cakap berkomunikasi alias jutek, pasien akan lari ke pengobatan alternatif atau mencari dokter lain di luar negeri. Di Indonesia, kurangnya komunikasi juga sering memicu sengketa hukum. Data Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) DKI Jakarta mencatat antara tahun 1998-2006 ada 99 kasus pengaduan terhadap profesi dokter yang sebagian besar dipicu oleh lemahnya komunikasi antara dokter dengan pasien atau rumah sakit dengan pasien. Pakar ilmu kedokteran komunitas, Dr dr Herqutanto, MPH, MARS menilai hal ini sebagai salah satu faktor pemicu banyaknya pasien yang kabur untuk berobat ke luar negeri. Negara ikut dirugikan oleh tren semacam ini karena kehilangan salah satu sumber pendapatan. Dr Herqutanto mengatakan sampai saat ini memang tidak ada data resmi tentang berapa jumlah pasien yang kabur ke luar negeri maupun apa motivasinya. Namun dari informasi yang ia himpun dalam disertasinya, sebagian pasien memilih kabur karena kecewa dengan cara dokter lokal menjalin komunikasi. "Pasien datang ke dokter pasti membawa masalah. Sakit itu masalah. Kalau dokternya galak, tidak mendengarkan keluhan pasien dan suka memotong pembicaraan maka dokter itu justru menambah masalah," ungkap Dr Herqutanto usai dilantik sebagai doktor di Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Salemba, Jumat (11/2/2011). Menurutnya, dokter perlu dibekali model pelatihan berkomunikasi yang baik dalam kurikulum pendidikannya. Pendidikan dokter di luar negeri sudah menerapkan salah satu model pelatihan yakni The Calgary Cambridge Observation Guide, sementara di Indonesia belum banyak yang menerapkan. FKUI sendiri baru memikirkan konsep serupa pada tahun 2002, dengan menyusun sebuah modul pelatihan tentang komunikasi dan empati dalam pelayanan. Konsep itu baru benarbenar diterapkan sejak tahun 2005, bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). "Tapi itu juga bukan alasan bagi dokter-dokter angkatan tua untuk tidak komunikatif, sebab sebenarnya bisa dipelajari sendiri secara otodidak. Banyak dokter senior yang justru pakarnya komunikasi dan mereka sangat dicintai pasiennya," kata Dr Herqutanto meluruskan anggapan bahwa dokter tua biasanya lebih galak dan menakutkan.

2. Dokter Perlu Batasi Pasien Agar Tidak Terlalu Sibuk


AN Uyung Pramudiarja - detikHealth Jakarta, Terlalu banyak melayani pasien juga berdampak pada sikap dan pelayanan dokter. Dokter yang terlalu sibuk menjadi lebih jutek atau kurang komunikatif dengan pasiennya, sehingga pasien memilih lari ke pengobatan alternatif. Saking banyaknya pasien yang harus dilayani, kadang-kadang dokter kurang mendengarkan pasiennya. Bahkan sering dijumpai ketika pasien baru mulai menceritakan keluhannya, dokter sudah lebih dulu selesai menuliskan resep obat. Pakar ilmu kedokteran komunitas, Dr dr Herqutanto, MPH, MARS mengatakan ada banyak faktor yang membuat beberapa dokter begitu sibuknya sehingga sulit menjalin komunikasi yang baik dengan pasiennya. Faktor regulasi atau peraturan tentang praktik dokter adalah salah satunya. "Dahulu tidak ada batasan bagi dokter mengenai waktu dan tempat praktiknya. Baru setelah ada UU Praktik Kedokteran No 29 tahun 2004, dokter dibatasi maksimal hanya boleh praktik di 3 tempat," ungkap Dr Herqutanto usai dilantik sebagai doktor di Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia (FKUI), Salemba, Jumat (11/2/2011). Pembatasan itu diharapkan dapat memperbaiki komunikasi dokter dengan pasiennya. Dr Hequtanto yakin, para dokter masa kini akan mematuhi Undang-undang tersebut karena jika melanggar sanksinya tidak hanya pencabutan izin praktik tetapi juga bisa terkena sanksi pidana. Namun bagi Dr Herqutato yang merupakan doktor pertama di bidang Ilmu Kedokteran Komunitas yang pernah diluluskan FKUI, pembatasan waktu dan tempat praktik saja tidak cukup. Kesibukan dokter masih akan tinggi jika jumlah pasiennya tidak dibatasi. "Waktu dan tempat praktiknya terbatas tapi kalau jumlah pasiennya masih tak terbatas ya sama saja. Sehebat apapun dokternya, kalau sudah sampai ke pasien keseratus sekian pasti akan capek," tambah Dr Herqutanto. Menurutnya, pembatasan jumlah pasien belum bisa dilakukan bagi dokter Indonesia karena harus diimbangi dengan regulasi tentang pembiayaan. Misalnya seperti di luar negeri, penghasilan dokter tetap layak meski pasiennya sedikit karena setiap pasien dijamin oleh asuransi. "Aturan tentang pembiayaan harus ada dulu. Kalau sekarang mau dibatasi (jumlah pasiennya), bisa nangis dokter-dokter kita," kata Dr Herqutanto.

3. Komunikasi Dokter Pasien, Percepat Kesembuhan


Penulis: Lusia Kus Anna | Editor: Lusia Kus Anna Jumat, 30 Juli 2010 | 10:54 WIB Kompas.com - Sehebat apa pun, para dokter tetap manusia, bisa membuat kesalahan diagnosis atau kelalaian. Pasien juga bukan sekedar objek. Dokter perlu menjelaskan kondisi dan tindakan medis yang dilakukan pada tubuh pasien. Karena itu komunikasi yang baik adalah unsur penting dalam proses penyembuhan pasien. Sayangnya, komunikasi dua arah seringkali tidak terjalin dalam hubungan dokter dan pasiennya. Pasien seolah takut untuk bertanya dan tak bisa dipungkiri masih banyak dokter yang tidak bersedia memperlakukan pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Kalau mau jujur, masih banyak oknum dokter yang bersikap arogan dan terkesan tak mau

mendengar pendapat pasiennya. Di berbagai tempat, mayoritas penyebab masalah antara dokter dan pasien disebabkan karena salah informasi yang menyebabkan salah interpretasi. Memang kesalahan dalam praktik medis tidak mungkin dihilangkan, karena manusia bukanlah mesin dan tidak pernah ada kasus pasien yang benar-benar identik. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir ini sudah ada upaya dari kalangan dokter sendiri untuk memperbaiki komunikasi dokter-pasien, namun sebagai pasien kita juga wajib mengetahui apa saja yang menjadi hak kita sebagai pasien dan membekali diri dengan informasi sehingga tidak harus melulu bersikap pasrah. Bila merasa ragu dengan keputusan dokter, pasien berhak mencari pendapat kedua dari dokter lain. "Pasien yang aktif bertanya dan menyampaikan pendapat serta kekhawatirannya akan sangat membantu dokter untuk memahami pasien dan penyakitnya. Selama ini terdapat perbedaan yang besar antara apa yang diyakini pasien tentang penyakitnya dengan apa yang dokter ketahui," kata Richard Street Jr, seorang ahli komunikasi dari Texas A&M University, Amerika Serikat. Secara teoretis untuk melakukan diagnosis, dokter perlu berkomunikasi dan memeriksa pasien. Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat (inspeksi), meraba (palpasi), mengetukngetukkan tangan (perkusi), dan menggunakan alat-alat kedokteran (auskultasi). Karena itu untuk mengetahui kondisi pasien juga tak dapat digantikan dengan konsultasi perawat lewat telepon. Dokter yang berhalangan hadir ketika pasiennya membutuhkan penanganan memang diperbolehkan mendelegasikan pada dokter lain. Tetapi, pendelegasian itu seharusnya dilakukan pada dokter lain yang memiliki kualifikasi kompetensi setara.

4. Kasus Prita, Cermin Buruk Komunikasi Pasien-Dokter


Jumat, 11 Desember 2009 | 13:27 WIB Prita Mulyasari saat berbicara mengenai pengalamannya dalam dunia blog saat perhelatan akbar Pesta Blogger 2009 di Gedung Smesco, Jakarta Selatan, Sabtu (24/10). JAKARTA, KOMPAS.com Kasus yang menimpa Prita Mulyasari seharusnya bisa dicegah apabila ada komunikasi yang baik antara pasien dan dokter. Demikian dikatakan Ketua Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Jakarta Barat Prof dr Budi Sampurna, SH, SpF, DFM.

Budi menyarankan, jembatan penghubung antara pasien dan dokter harusnya diperkuat. Hal ini pun sedang diupayakan mengingat kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan informasi medis terus meningkat. Kesadaran dokter, bahwa masyarakat butuh ketenangan dengan mengetahui penyakitnya, pun kian bertambah. Budi menyampaikan hal itu dalam seminar awam bertajuk Bagaimana Berobat Secara Pintar yang digelar dalam rangka memperingati HUT Ke-90 RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) pekan lalu. Dalam seminar itu, diberikan pengetahuan mengenai pendekatan diagnosis dan terapi seorang dokter serta saran dan cara-cara dalam menghindari malapraktik. Budi menyarankan agar pasien tak ragu untuk bertanya kepada dokter mengenai penyakitnya sehingga terhindar dari miskomunikasi yang berujung pada perselisihan. Selain itu, dokter pun seharusnya lebih komunikatif terhadap pasien mengenai penyakit yang pasien alami. Dalam kesempatan terpisah, Ketua Konsili Kedokteran Indonesia (KKI) Prof dr Menaldi Rasmin, Sp P(K) FCCP, memberikan tanggapan terhadap kasus malapraktik secara umum. Ia secara pribadi mengatakan, tak ada dokter yang sengaja berniat melakukan kesalahan dalam melakukan praktik karena menyangkut kredibilitas dan kariernya. "Kalau sengaja melakukannya, lambat laun semua orang akan tahu dan lama-lama akan terhenti kariernya. Perlu diingat bahwa dokter juga seorang manusia," ujarnya. Menurut Menaldi, semua dokter akan berupaya bekerja sebaik yang ia lakukan. Namun, sebuah kecelakaan dan sebuah hal lain bisa saja terjadi di luar tindakan yang diprediksi. "Semua tindakan medis tentulah berisiko. Semua kemungkinan risiko sudah dicoba untuk dicegah, dipersiapkan kemungkinan terburuk sehingga jika memang terjadi sesuatu yang di luar dugaan, maka bisa saja keluarga pasien tidak terima. Tapi ini namanya sengketa medis dan bukan malapraktik karena itu yang paling penting adalah komunikasi antara dokter dan pasien," tandasnya. Lebih jauh, Menaldi menjelaskan bahwa seorang dokter bekerja hanya untuk kepentingan pasien. Jika pasien tak mau melakukan tindakan, maka itu terserah pada pasien. Tugas dokter hanya menjelaskan. Namun, pilihan tetap pada pasien. "Jika pasien mau melakukan tindakan,

maka pasien harus diberi tahu dan setuju. Pasien juga harus menandatangani surat persetujuan tindakan medis. Yang penting, kata dia, dokter harus mementingkan pasien dan bukan dirinya sendiri. Jangan lupa untuk komunikasikan hal buruk dan baik yang mungkin terjadi terhadap pasien di antara pasien dan dokter sehingga mengurangi risiko sengketa medis. "Sebaiknya berikan saja semua keterangan medis yang menjadi hak pasien, tapi perlu diingatkan juga bahwa dokter bukanlah dewa dan bisa saja terjadi hal-hal yang di luar perhitungan kita," tandas Menaldi. dr.Intan Airlina Febiliawanti

5. Komunikasi Rumah Sakit dan Pasien Belum Efektif


Senin, 21 Desember 2009 | 06:50 WIB Kompas.com/Dhoni Setiawan JAKARTA, KOMPAS.com - Mengantisipasi kesalahpahaman atau konflik dengan pasien, tenaga kesehatan di rumah sakit, seperti perawat dan dokter, harus bisa mempraktikkan komunikasi yang efektif dengan pasien. Paling tidak dokter harus bisa dan bersedia menjelaskan secara runtut dan jelas mengenai rencana tindakan yang akan dilakukan. Demikian dikemukakan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Farid M Husain seusai seminar Peran Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) dalam Mengantisipasi Tren Perubahan, Sabtu (19/12) di Jakarta. Perlu didorong peningkatan kualitas sumber daya manusia di rumah sakit agar lebih pintar berkomunikasi. Dunia kerumahsakitan sudah masuk era baru perlindungan dan keselamatan pasien. Kasus Prita Mulyasari dan Omni Internasional terjadi karena tak ada komunikasi yang efektif, kata Farid. Keahlian berkomunikasi dengan pasien ini, lanjut Farid, perlu dipelajari dokter dan tenaga lain yang terlibat dalam pelayanan kesehatan sejak di bangku pendidikan bersamaan dengan ilmu kesehatan dan kedokteran yang lain. Poin penilaian Ketua Umum Persi Sutoto menambahkan, komunikasi antara pasien dan dokter ini sebenarnya secara tidak langsung menjadi salah satu poin penilaian akreditasi rumah sakit.

Di dalam pedoman program keselamatan pasien Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia yang telah disahkan Menteri Kesehatan itu disebutkan, rumah sakit harus mempunyai dokter penanggung jawab pelayanan. Bukan hanya itu, dokter tersebut juga harus menjelaskan secara rinci kepada pasien tindakan-tindakan yang akan dan telah dilakukan. Kini penilaian akreditasi yang dilakukan secara berkala tiga tahun sekali, kata Farid, akan makin fokus pada perlakuan rumah sakit terhadap pasien sejak pasien masuk rumah sakit hingga ke sistem rujukannya. Jika pelayanan rumah sakit terhadap pasien tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, rumah sakit itu tak akan lulus akreditasi. Sekarang baru sekitar 60 persen rumah sakit yang lulus akreditasi dari jumlah keseluruhan rumah sakit yang ada, sekitar 1.300 rumah sakit, ujarnya. Guru besar Kedokteran Forensik dan Studi Medikolegal Universitas Indonesia, Herkutanto, dan anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), Budi Sampurna, mengingatkan agar rumah sakit menerjemahkan dan mempertajam sekaligus membuat pedoman mengenai perilaku insan kerumahsakitan yang baik, termasuk dalam hal ini komunikasi. (LUK)

6. Lemah, Komunikasi Dokter-Pasien di Indonesia


Asep Candra | | Senin, 12 Mei 2008 | 18:44 WIB JAKARTA, SENIN - Fenomena banyaknya pasien Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri dalam pandangan Menko Kesra Aburizal Bakrie bukan hanya persoalan kemajuan peralatan medis serta teknologi semata. Namun menurutnya, hal yang ikut berpengaruh besar adalah minimnya perhatian dan waktu yang disediakan dokter untuk berkomunikasi dengan pasien. "Saya kira salah satu masalahnya adalah lemahnya komunikasi. Banyak dokter di Indonesia yang tak bisa meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan pasiennya, sehingga pasien merasa kurang nyaman," ungkap Menko Kesra dalam sambutannya saat meresmikan beroperasinya Rumah Sakit Puri Indah di Jakarta Barat hari ini. Menko menilai bahwa jam kerja para dokter di Indonesia memang sangat padat. Hal ini pun tidak terlepas dari masih sangat minimnya tenaga ahli medis profesional di Tanah Air . "Para dokter memang sangat kurang waktunya untuk memberi perhatian lebih kepada pasien.

Minimnya jumlah dokter juga menjadi penyebabnya sehingga yang harus diupayakan adalah bagaimana kita mencetak sebanyak-banyaknya dokter-dokter yang dapat berkomunikasi, memberi waktu dan perhatian bagi pasien," ujarnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Pondok Indah Health Group, Dr. Hermansyah Kartowisastro mengakui bahwa untuk mengubah citra rumah sakit di Indonesia menjadi lebih baik sekaligus membuat para pasien tidak lagi berobat ke luar negeri adalah tantangan besar. "Untuk itu, kami telah mulai berupaya melakukan berbagai terobosan di antarannya dengan memanfaatkan teknologi informasi guna meningkatkan kenyamanan, keselamatan dan keamanan pasien," ujarnya. Dalam penerapannya di lapangan, RS Puri indah sendiri telah menggunakan sistem database komuputer seperti masalah peresepan yang merupakan wujud dari konsep paperless hospital. Dengan sistem teknologi informasi ini, jelas Hermansyur, rumah sakit menjadi lebih terbuka dan aman. "Semua juga bisa terhubung secara online satu sama lain, dan juga menghubungi rekan baik di dalam dan luar negeri," teranga. Salah satu contoh sederhana misalnya masalah alergi pada pasien yang sudah tercatat sejak masuk RS. "Ketika dokter atau bagian lain membuka file di komputer, akan ada alert mengenai bagian apa dari pasien yang mengalami alergi. Ini juga sangat bermanfaat untuk membuat resep obat. Jadi ini akan memudahkan dokter dan membuat pasien aman," ujarnya.

8. Dokter-Pasien: Hubungan yang Menyembuhkan!


Editor: Asep Candra Kamis, 10 Maret 2011 | 11:06 WIB KOMPAS.com - Begitu saya melangkahkan kaki di ruang perawatan penyakit dalam, dari tempat tidur paling ujung, dekat jendela, seorang pasien langsung bangun, duduk, sambil setengah berteriak, Nak dokter, saya dok, Pak Katimin, pasien dokter. Mendengar itu, sedikit agak kaget, say melihat ke arah suara yang memanggil itu. Oh ya, beliau Pak Katimin, pasien saya yang berobat terakhir kira-kira satu tahun lalu.

"Hubungan baik, kedekatan antara dokter-pasien merupakan bagian penting dalam proses penyembuhan. Hubungan baik ini, menurut penelitian menyerupai efek plasebo"

Katimin, sebuah nama yang sudah jarang kita jumpai sekarang. Nama yang sangat khas dari etnis jawa, khusunya Jawa Tengah. Bagi saya nama ini juga sudah sangat familiar, beliau adalah pasien saya yang sudah berusia lanjut, lebih dari 85 tahun. Lebih kurang sejak 10 tahun lalu beliau selalu berobat dengan saya karena keluhan sesak nafas, hipertensi, dan pembesaran prostat. Seketika saya melihat Pak Katimin yang masih saya ingat dengan baik wajahnya itu, agak bergegas saya menuju ke tempat beliau. Dari balik wajahnya yang sudah keriput, saya lihat ekspresi senang, gembira dan juga keheranan, seolah-olah tidak percaya, mungkin tidak percaya akan bertemu saya lagi. Sambil menepuk-nepuk dan memijet pundaknya. Beberapa lama saya terdiam, kemudian saya bertanya, Ada apa bapak? Kenapa bapak sampai kesini? Apa yang bapak rasakan? Dengan suara pelan, dan agak terputus-putusmungkin karena sesak , beliau menjawab: saya sakit nak dokter- bapak ini kalau memanggil saya, nak dokter saya batuk dan nafas saya sesak sekali, berbaringpun saya sesak nak. Bapak tidak berobat? Tidak nak, tapi saya ada ke tempat praktik nak dokter beberapa kali, setiap saya ke sana nak dokter tidak ada. Terakhir waktu saya ke sana, ada yang memberitahu bahwa nak dokter sudah pindah, jawab beliau. Cukup lama saya duduk di tepi tempat tidur pasien. Sambil tetap memegang pundaknya, pikiran saya menerawang jauh ke desa tempat beliau tinggal. Suatu desa yang terletak di hilir, di tepi Sungai Indragiri. Untuk sampai ke rumah sakit ini, dengan menaiki sampan/pompong yang bermesin (speedboat), akan memerlukan waktu yang cukup lama, bisa tiga sampai empat jam. Perjalanan yang sangat melelahkan tidak hanya bagi orang tua yang sakit, saya sendiri pun, yang masih sehat, rasanya tidak akan kuat. Tidak terbayangkan bagaimana susahnya beliau menuruni anak tangga yang curam apalagi waktu pasang surut yang hanya dibuat dari kayu bakau, untuk bisa sampai ke sampan/pompong itu. Seakan saya merasakan betapa sakitnya pinggang beliau dengan tulang-tulang yang sudah rapuh itu, ketika harus menghadapi hentakan-hentakan kuat akibat sampan/pompong melawan derasnya arus sungai indragiri. Alangkah kecewa, dan sedihnya hati beliau, bila saya sebagai dokter yang dipercaya, tidak dapat memberikan yang terbaik untuk beliau. Karena itu setelah selesai visit saya kumpulkan

semua perawat dan saya minta mereka untuk juga melayani beliau sebaik-baiknya, dan kalau ada masalah agar menghubungi saya segera. Setelah dirawat sekitar satu minggu, Alhamdulillah keadaan pasien mengalami kemajuan. Batuk, dan keluhan sesaknya jauh berkurang. Pnumoni, radang paru yang dideritanya juga membaik, dan hipertensi beliau juga terkontrol. Aneh, saya seolah-olah tidak percaya, pasien usia lanjut, umur lebih dari 85 tahun, dengan pnemoni bisa membaik? Padahal secara teoritis prognosisnya sangat jelek, pasien biasanya meninggal. Saya ingat Deng Xiaoping, Soeharto dan banyak tokoh-tokoh lain yang meninggal karena pnemoni, apa yang mereka tidak punya? Sementara Pak Katimin ini hanya seorang petani pengguna kartu Jamkesmas dengan segala macam keterbatasan. Kesembuhan Pak Katimin ini, seperti menjadi tanda tanya juga bagi saya. Apakah ini yang dinamakan hubungan baik yang menumbuhkan kepercayaan, keyakinan antara dokterpasien? Apakah hubungan baik ini yang membantu penyembuhan pasien? Ya, saya kira ini bisa terjadi, di samping kehendak Allah. Hubungan yang baik, kedekatan antara dokter-pasien merupakan bagian penting dalam proses penyembuhan. Hubungan yang baik ini, menurut penelitian menyerupai efek plasebo. Pengalaman saya setelah puluhan tahun jadi dokter juga menunjukkan hal demikian. Banyak pasien yang merasa sudah sembuh, kalau sudah masuk ruang praktik seorang dokter yang dipercayainya, yang hubungannnya terjalin dengan baik. Keluhan-keluhan yang dirasakan begitu saja akan hilang. Penelitian juga menunjukkan bahwa luka pascaoperasi lebih cepat sembuh bila operasi dilakukan oleh dokter yang ramah, bersahabat dengan pasien. Harapan hidup pasien kanker juga meningkat bila dirawat oleh dokter yang bersikap ramah, bersahabat, menghargai , dan peduli dengan pasiennya. Sayang, hubungan baik yang menumbuhkan kepercayaan, keyakinan antara dokter-pasien sudah mulai luntur. Industrialisasi pelayanan kesehatan, kemajuan teknologi kedokteran, berkembangnya spesialisasi-subspesialisasi, sistem renumerasi dokter, sistem dan kualitas pendidikan kedokteran, kesadaran tinggi akan hak-hak pasien, menurunnya moralitas, idealisme sebagian dokter, sebagian dokter yang masih selalu merasa paling tahu, pasien merasa juga mulai pintar, dan perubahan sosio-ekonomi masyarakat lainnya sangat mempengaruhi hubungan dokter-pasien sekarang ini.

9. IDI: Dugaan Malapraktik, Hanya Masalah Komunikasi


Jumat, 10 Juli 2009 | 15:12 WIB JAKARTA, KOMPAS.com Maraknya dugaan malapraktik yang terjadi belakangan ini disebabkan kurangnya komunikasi antara pasien dan dokter. Demikian diungkapkan Prof DR dr Zubairi Djoerban SpPD, KHOM, Ketua Majelis Pengembangan Keprofesian (MPPK) PB Ikatan Dokter Indonesia. "Mal praktik ada di mana pun di seluruh dunia, dokter adalah manusia biasa. Yang disangka mal praktik adalah masalah komunikasi," terangnya di Hotel Sahid Jakarta, Jumat (10/7). Kurangnya komunikasi tersebut, lanjut Zubairy, disebabkan karena dokter masih bersifat kaku dalam menangani pasiennya. Selain itu, keluarga pasien masih banyak juga yang bersifat pasif dan hanya menunggu informasi dari pihak rumah sakit. Untuk mengatasi hal itu, Zubairy menyarankan agar dokter sebaiknya lebih "bersahabat" dengan pasien. Selain memeriksa, dokter harus membangun komunikasi secara personal dengan pasiennya. Sebaliknya, keluarga pasien juga harus aktif menanyakan perkembangan pasien. "Percayalah tidak ada dokter yang bertujuan menjerumuskan pasiennya," tegas dia.

10. Komunikasi Dokter Pasien, Percepat Kesembuhan


Jumat, 30 Juli 2010 | 10:54 WIB Kompas.com - Sehebat apa pun, para dokter tetap manusia, bisa membuat kesalahan diagnosis atau kelalaian. Pasien juga bukan sekedar objek. Dokter perlu menjelaskan kondisi dan tindakan medis yang dilakukan pada tubuh pasien. Karena itu komunikasi yang baik adalah unsur penting dalam proses penyembuhan pasien. Sayangnya, komunikasi dua arah seringkali tidak terjalin dalam hubungan dokter dan pasiennya. Pasien seolah takut untuk bertanya dan tak bisa dipungkiri masih banyak dokter yang tidak bersedia memperlakukan pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Kalau mau jujur, masih banyak oknum dokter yang bersikap arogan dan terkesan tak mau mendengar pendapat pasiennya. Di berbagai tempat, mayoritas penyebab masalah antara dokter dan pasien disebabkan karena salah informasi yang menyebabkan salah interpretasi. Memang kesalahan dalam praktik medis tidak mungkin dihilangkan, karena manusia bukanlah mesin dan tidak pernah ada kasus pasien yang benar-benar identik.

Meskipun dalam beberapa tahun terakhir ini sudah ada upaya dari kalangan dokter sendiri untuk memperbaiki komunikasi dokter-pasien, namun sebagai pasien kita juga wajib mengetahui apa saja yang menjadi hak kita sebagai pasien dan membekali diri dengan informasi sehingga tidak harus melulu bersikap pasrah. Bila merasa ragu dengan keputusan dokter, pasien berhak mencari pendapat kedua dari dokter lain. "Pasien yang aktif bertanya dan menyampaikan pendapat serta kekhawatirannya akan sangat membantu dokter untuk memahami pasien dan penyakitnya. Selama ini terdapat perbedaan yang besar antara apa yang diyakini pasien tentang penyakitnya dengan apa yang dokter ketahui," kata Richard Street Jr, seorang ahli komunikasi dari Texas A&M University, Amerika Serikat. Secara teoretis untuk melakukan diagnosis, dokter perlu berkomunikasi dan memeriksa pasien. Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat (inspeksi), meraba (palpasi), mengetukngetukkan tangan (perkusi), dan menggunakan alat-alat kedokteran (auskultasi). Karena itu untuk mengetahui kondisi pasien juga tak dapat digantikan dengan konsultasi perawat lewat telepon. Dokter yang berhalangan hadir ketika pasiennya membutuhkan penanganan memang diperbolehkan mendelegasikan pada dokter lain. Tetapi, pendelegasian itu seharusnya dilakukan pada dokter lain yang memiliki kualifikasi kompetensi setara.

11. Akhiri Hubungan Dokter-Pasien yang Paternalistik


Senin, 23 Maret 2009 | 21:26 WIB SOLO, KOMPAS.com Hubungan antara dokter dan pasiennya yang dulu menganut pola paternalistik sudah waktunya diubah menjadi setara. Hubungan yang baik antarkedua pihak akan berdampak pada kesehatan yang lebih baik, kenyamanan yang lebih tinggi terhadap terapi pasien, kepuasan lebih tinggi pada pasien dan dokter, serta penurunan risiko malapraktik. Ini dikatakan Dr dr Achmad Arman Subijanto, MS, Senin (23/3) di Solo. Subijanto akan dikukuhkan sebagai guru besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Selasa besok, pidato berjudul "Peran Komunikasi dalam Menjalankan Profesi Dokter yang Berkualitas di Masyarakat." Komunikasi yang kurang baik antara dokter dan pasien lama-lama menumbuhkan kurangnya kepercayaan masyarakat pada dokter. Tidak heran, menurut Subijanto, muncul fenomena

dukun cilik Ponari di Jombang. Fenomena itu menunjukkan menurunnya minat orang sakit memeriksakan diri ke dokter. Ini bisa dipengaruhi oleh tingginya biaya kesehatan maupun berkurangnya kepercayaan masyarakat pada pelayanan dokter. "Padahal apa yang dilakukan Ponari tidak ada dasar ilmiahnya," katanya

12. Dokter dan Pasien Itu Sejajar


Kamis, 13 Agustus 2009 | 22.07 WIB KOMPAS/YUNIADHI AGUNG JAKARTA, KOMPAS.com Hal yang kerap dikeluhkan pasien saat berobat adalah sikap dokter yang enggan berkomunikasi secara intens. Setelah mendengarkan keluhan pasien, lalu tanya sekadarnya, dokter langsung memberikan resep. Kondisi ini semakin parah ketika perawat mengambil sikap cuek. Senyumnya disembunyikan, membuat pasien yang datang untuk dapat perhatian lebih, malah pulang dengan jengkel. "Pasa saat itu terjadi maka usaha untuk menjalin komunikasi yang terjalin, antara dokter dan pasien, gagal total," kata Dr M Nasser SpKK.D.Law, dalam seminar bertajuk "Hukum Medik" di RS Gading Pluit, Jakarta, Kamis (13/8). Sikap tenaga medis yang demikian, menurut Nasser, mengindikasikan bahwa mereka masih melihat pasien sebagai subordinatnya. Hal seperti ini harus ditinggalkan. "Dokter dan pasien adalah mitra, ekual. Kalau merasa lebih tinggi maka yang akan terjadi tidak hanya tak mau bicara tapi bisa melanggar hak asasi," tutur dokter yang juga Ketua Pusat Studi Bioetik dan Hukum Kesehatan ini. Lebih jauh, dalam seminar yang banyak dihadiri dokter dan praktisi hukum itu, Nasser juga mengangkat tanggung jawab rumah sakit di saat pasien bertambah parah oleh karena reaksi obat. Dalam kasus ini, baik pasien, dokter, maupun rumah sakit tidak ada yang salah. Namun yang sering terjadi, kata Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia ini, baik dokter maupun rumah sakit diam saja. Akibatnya, pasien tinggal lebih lama di rumah sakit dan biaya perawatannya membengkak. "Mereka tidak boleh diam saja. Dokter dan rumah sakit harus jujur. Ini tidak boleh ditimpakan ke pasien," tuturnya. Untuk itulah, Nasser menekankan, untuk ke depan rumah sakit mesti membenahi tata kelolanya. Posisi pasien sejajar dengan dokter dan rumah sakit sehingga komunikasi terjalin baik. Maka hal-hal di atas bisa diminimalisasi. "Karena sebetulnya, kita

eksis karena pasien. Kita ada karena pasien ada," tandasnya secara terbuka.

13. Jumat, 04 Desember 2009 10:00 WIB


Komunikasi Cegah Diagnosis Kurang Tepat Penulis : Ikarowina Tarigan KOMUNIKASI yang baik antara dokter dan pasien bisa meminimalkan potensi diagnosis yang kurang akurat. Akan tetapi, kurangnya budaya mengeluh pada pasien dan terbatasnya waktu berdiskusi dengan dokter sering kali memicu kecurigaan adanya malapraktik, penyimpangan dalam kegiatan praktik dokter. Survei pelayanan dokter yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dengan melibatkan 700 pasien yang tersebar di 4 kota di Indonesia (Medan, Mataram, Yogyakarta, Jakarta) menemukan, sekitar 42% pasien menganggap waktu yang disediakan untuk berkonsultasi dengan dokter terlalu sedikit. Selain itu, survei yang dilakukan dari Agustus hingga November 2009 ini menemukan bahwa 30,5% pasien mengaku pernah meragukan diagnosis dokter. Hal ini, terang Ketua YLKI Huzna Zahir, bisa dikurangi dengan memperbaiki komunikasi antara dokter dan pasien. Pasien sebagai konsumen, tidak perlu takut bertanya."Kita sebagai pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, beranilah bertanya," tutur Huzna dalam seminar awam yang mengangkat tema Bagaimana Berobat Secara Pintar di Jakarta, Selasa (1/12). Di sisi lain, lanjut Huzna, dokter juga harus lebih proaktif dalam memberikan penjelasan pada pasien. Meskipun pasien tidak bertanya, adalah kewajiban dokter untuk menjelaskan mengenai kondisi penyakit, manfaat setiap jenis obat yang diberikan, serta risiko yang mungkin muncul terhadap pasien. Jumlah dokter yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan pasien, terang Huzna, membuat mereka lebih mudah diorganisasi. "Akan lebih mudah memperbaiki komunikasi dan mengedukasi dokter jika dibandingkan dengan pasien." Setelah memberikan penjelasan, tambah Huzna, dokter harus memastikan bahwa pasien benar-benar paham atau tidak.

Pentingnya komunikasi dalam mencegah malapraktik ini juga dibenarkan oleh Kepala Biro Hukum dan Organisasi Setjen Depkes RI Prof dr Budi Sampurna. Kalau pasien mengalami sesuatu, jelas dia, segeralah bertanya kepada dokter atau cari tahu pendapat kedua. Turut aktifnya pasien bisa mengurangi kejadian malapraktek. "Bertanyalah, speak up," tegas Budi. Hal senada dikatakan dr Sukamto Koesno SpPD dari Departemen Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (RSCM/FKUI). Komunikasi, menurut dia, akan berjalan baik jika tidak ada kecurigaan. "Dalam komunikasi harus ada kerja sama antara dokter dan pasien." Pengaduan pasien Jika pasien merasa belum mendapatkan pelayanan terbaik, terang Budi, pasien berhak mengadu. Idealnya, menurut dia, keluhan pertama disampaikan kepada lembaga atau rumah sakit yang memberikan pelayanan. "Hal ini untuk mendapatkan respons tercepat." Kalau tidak memuaskan, lanjut dia, pasien bisa mengadu ke dinas kesehatan setempat atau lembaga perlindungan konsumen yang bergerak di bidang kesehatan. Huzna juga menyampaikan hal yang senada. Jika berkaitan dengan ganti rugi, tambah dia, pasien bisa mengadu ke lembaga bantuan hukum atau lembaga bantuan konsumen. Akan tetapi, jika merasa kurang puas dengan dokternya, terang dia lagi, pasien bisa menyampaikan keluhan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). "Lembaga ini bisa mencari tahu apakah dokter telah melakukan prosedur yang tepat atau tidak." (*/S-3)

14. Dokter Perlu Batasi Pasien Agar Tidak Terlalu Sibuk


AN Uyung Pramudiarja - detikHealth Jakarta, Terlalu banyak melayani pasien juga berdampak pada sikap dan pelayanan dokter. Dokter yang terlalu sibuk menjadi lebih jutek atau kurang komunikatif dengan pasiennya, sehingga pasien memilih lari ke pengobatan alternatif. Saking banyaknya pasien yang harus dilayani, kadang-kadang dokter kurang mendengarkan

pasiennya. Bahkan sering dijumpai ketika pasien baru mulai menceritakan keluhannya, dokter sudah lebih dulu selesai menuliskan resep obat. Pakar ilmu kedokteran komunitas, Dr dr Herqutanto, MPH, MARS mengatakan ada banyak faktor yang membuat beberapa dokter begitu sibuknya sehingga sulit menjalin komunikasi yang baik dengan pasiennya. Faktor regulasi atau peraturan tentang praktik dokter adalah salah satunya. "Dahulu tidak ada batasan bagi dokter mengenai waktu dan tempat praktiknya. Baru setelah ada UU Praktik Kedokteran No 29 tahun 2004, dokter dibatasi maksimal hanya boleh praktik di 3 tempat," ungkap Dr Herqutanto usai dilantik sebagai doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Salemba, Jumat (11/2/2011). Pembatasan itu diharapkan dapat memperbaiki komunikasi dokter dengan pasiennya. Dr Hequtanto yakin, para dokter masa kini akan mematuhi Undang-undang tersebut karena jika melanggar sanksinya tidak hanya pencabutan izin praktik tetapi juga bisa terkena sanksi pidana. Namun bagi Dr Herqutato yang merupakan doktor pertama di bidang Ilmu Kedokteran Komunitas yang pernah diluluskan FKUI, pembatasan waktu dan tempat praktik saja tidak cukup. Kesibukan dokter masih akan tinggi jika jumlah pasiennya tidak dibatasi. "Waktu dan tempat praktiknya terbatas tapi kalau jumlah pasiennya masih tak terbatas ya sama saja. Sehebat apapun dokternya, kalau sudah sampai ke pasien keseratus sekian pasti akan capek," tambah Dr Herqutanto. Menurutnya, pembatasan jumlah pasien belum bisa dilakukan bagi dokter Indonesia karena harus diimbangi dengan regulasi tentang pembiayaan. Misalnya seperti di luar negeri, penghasilan dokter tetap layak meski pasiennya sedikit karena setiap pasien dijamin oleh asuransi. "Aturan tentang pembiayaan harus ada dulu. Kalau sekarang mau dibatasi (jumlah pasiennya), bisa nangis dokter-dokter kita," kata Dr Herqutanto.

15. Pasien dan Petugas Kesehatan Harus Saling Empati


Vera Farah Bararah - detikHealth Jakarta, Banyak faktor yang bisa mempengaruhi kepuasaan dari pasien, salah satunya adalah faktor komunikasi antara petugas kesehatan dengan klien dalam hal ini pasien serta keluarganya. Karena komunikasi yang efektif antara keduanya, bisa memberikan hasil yang lebih maksimal. Pada umumnya komunikasi yang baik adalah komunikasi yang efektif antara kedua belah pihak. Komunikasi yang efektif ini mencakup adanya proses timbal balik antar komunikator, mengurangi ketidakjelasan yang bisa mempengaruhi komunikasi, kerjasama yang baik sehingga tercipta efektivitas, diperlukan sikap dinamis dalam hal feksibilitas berkomunikasi serta komunikasi yang diciptakan menimbulkan dua dampak. Melihat rumitnya prinsip dari komunikasi yang efektif, rasanya sudah saatnya petugas kesehatan memahami tujuan berkomunikasi dengan klien. Klien yang dimaksud adalah pasien dan juga keluarganya, ujar Prof Dr dr Endang Sri Murtiningsih Basuki, MPH dalam acara Pengukuhan Guru Besar FKUI di Aula FKUI, Jakarta, Sabtu (26/6/2010). Prof Endang menambahkan sebelum menjalin hubungan, maka petugas kesehatan sebaiknya mencari tahu terlebih dahulu ciri dari klien yang akan ditangani. Pasien dan keluarganya merupakan klien yang unik, karena perasaan serta emosinya tidak bisa disamakan dengan klien lain pada umumnya. Jika dipahami lebih lanjut, ada tiga hal yang berkecamuk di dalam pikiran pasien serta keluarganya jika harus dihadapkan pada masalah kesehatan, yaitu: 1. penyakit yang dideritanya. Pikiran yang timbul seperti apakah ia bisa sembuh, berapa lama ia bisa bertahan hidup atau bagaimana nasib keluarganya jika ia meninggal. 2. Biaya yang harus dikeluarkannya. Seseorang tidak akan pernah tahu berapa biaya yang harus dikeluarkannya untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Selain itu sebagian besar penduduk Indonesia tidak terlindung oleh jaminan kesehatan yang memadai. 3. Dokter seperti apa yang akan dihadapinya. Secara umum pasien memikirkan petugas kesehatan seperti apa yang akan menanganinya. Kondisi ini biasanya dipengaruhi oleh keluhan teman, pengalaman sendiri atau kabar yang beredar di sekitarnya.

Setiap pasien harusnya merasa nyaman dan yakin bahwa dirinya akan mendapatkan pelayanan yang penuh kasih dan bermartabat, meskipun tidak mengenal salah satu petugas di sana. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi kita, ungkap Profesor yang lahir di Solo 64 tahun silam. Prof Endang menuturkan pertemuan pertama antara petugas kesehatan dengan pasien adalah salah satu periode emas. Bila periode ini bisa dilalui dengan baik, maka akan tercipta kepercayaan pasien pada petugas kesehatan. Tapi bila periode ini terlewatkan, akan sulit tercipta rasa saling percaya antara petugas kesehatan dan pasien. Jika komunikasi yang tercipta antara petugas kesehatan dengan pasien tidak berjalan dengan baik, maka akan menimbulkan beberapa dampak, yaitu: 1. Dampak pertama adalah pasien akan memilih untuk mendapatkan fasilitas kesehatan di luar negeri. Data menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah pasien yang berobat ke luar negeri semakin meningkat. 2. Dampak kedua adalah pasien akan lari ke pengobatan alternatif yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu saat ini pengobatan alternatif sudah semakin menjamur dan bisa ditemukan dimana-mana.

Kunci sukses dari hubungan dokter pasien ini adalah sebuah pengakuan bahwa pasien juga seorang pakar. Seorang dokter mungkin piawai menentukan diagnosis, menentukan penyebab penyakitnya, tapi hanya pasien yang memiliki pengalaman tentang rasa sakit yang dialaminya serta pengetahuan tentang kondisi sosio ekonominya. Untuk itu kedua belah pihak harus saling berempati. Klien dengan segala permasalahannya memerlukan empati dari petugas kesehatan, sebaliknya klien juga harus berempati pada petugas kesehatan. Tentu saja petugas kesehatan harus professional dalam menjalankan tugasnya, ujar dokter lulusan spesialis kesehatan masyarakat University of California.

II. RANGKUMAN KLIPING


Komunikasi yang baik adalah unsur penting dalam proses penyembuhan pasien. Namun, kadang pihak dokter sering melupakan itu. Kadang yang diingat hanyalah hal yang

penting dalam proses penyembuhan sang pasien adalah kepatuhan sang pasien mengikuti segala anjuran dokter. Karena itu pihak dokter terkadang lupa bagaimana cara berkomunikasi dengan pasien yang belum tentu bisa memberikan respons yang para dokter harapkan. Keluhan keluhan yang dialamatkan kepada pasien cenderung berbicara tentang bagaimana nada bicara sang dokter yang terkesan menghakimi bahkan memvonis kehidupan pasien. Masalah komunikasi jugalah yang membuat umumnya rakyat Indonesia melarikan diri ke luar negeri untuk pengobatan yang sebenarnya bisa dilakukan di Indonesia. Apakah alasannya? Kembali lagi ke cara komunikasi. Cara dokter dokter di luar negeri berkomunikasi dengan pasiennya selalu dibandingkan dengan dokter-dokter di Indonesia. Para pasien seringkali mengatakan bahwa dokter di luar negeri lebih baik. Padahal sebenarnya inti dari yang disampaikan dokter di luar negeri dan di Indonesia itu sama. Kadang dokter di Indonesia melupakan bahwa yang terpenting adalah kenyamanan sang pasien ketika kita memberitahukan keadaannya / penyakitnya. Sadarkah Anda, bahwa keberhasilan penyembuhan umumnya didukung oleh kerja-sama antara pasien dan dokter? Dan bagaimana mungkin kerja-sama itu terjalin jika tidak ada komunikasi yang baik diantara kedua belah pihak? Komunikasi yang baik bisa diawali dengan pemilihan kata-kata yang tepat, penggunaan nada yang tepat serta keramahan sang dokter dalam menghadapi sang pasien. Tujuan dokter untuk melakukan pengobatan bukan semata-mata hanya untuk menyembuhkan penyakit yang diderita sang pasien saja, tapi juga memotivasi sang pasien untuk mau turut serta mempercepat penyembuhannya.

BAB III TINJAUAN ETIKA KRISTEN


A. KOMUNIKASI DOKTER PASIEN
Komunikasi dokter-pasien merupakan hubungan yang berlangsung antara dokter/ dokter gigi dengan pasiennya selama proses pemeriksaan/pengobatan/perawatan yang terjadi di ruang praktik perorangan, poliklinik, rumah sakit, dan puskesmas dalam rangka membantu menyelesaikan masalah kesehatan pasien. Sedangkan komunikasi efektif dokter-pasien merupakan pengembangan hubungan dokter-pasien secara efektif yang berlangsung secara efisien, dengan tujuan utama penyampaian informasi atau pemberian penjelasan yang diperlukan dalam rangka membangun kerja sama antara dokter dengan pasien. Komunikasi yang dilakukan secaraverbal dan non-verbal menghasilkan pemahaman pasien terhadap keadaan kesehatannya, peluang dan kendalanya, sehingga dapat bersama-sama dokter mencari alternatif untuk mengatasi permasalahannya. Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya adalah untuk mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih memberikan dukungan pada pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya. Menurut beberapa ahli: Kurtz (1998) : komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Atas dasar kebutuhan pasien, dokter melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien. Komunikasi efektif dokter-pasien adalah kondisi yang diharapkan dalam pemberian pelayanan medis namun disadari bahwa dokter dan dokter gigi di Indonesia belum

disiapkan untuk melakukannya. Untuk itu dirasakan perlunya memberikan pedoman (guidance) untuk dokter guna memudahkan berkomunikasi dengan pasien dan atau keluarganya. Melalui pemahaman tentang hal-hal penting dalam pengembangan komunikasi dokter-pasien diharapkan terjadi perubahan sikap dalam hubungan dokter pasien. Whitcomb, M.E.( 2000) : Dalam kurikulum tradisional pendidikan dokter, keterampilan komunikasi ditujukan untuk menggali riwayat penyakit. Kita harus mengajarkan kepada mahasiswa untuk mengerti bahwa hal itu merupakan bagian yang termudah. Kita harus mengajarkan kepada mereka tentang berkomunikasi dengan pasien, terutama dalam hal mendengarkan secara aktif.

B. TINJAUAN ALKITAB TENTANG KOMUNIKASI DOKTER PASIEN Komunikasi merupakan salah satu bentuk pelayanan dalam dunia medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya. Kita sebagai orang percaya baiklah mulai belajar melayani dalam hal apapun juga termasuk berkomunikasi yang baik mengikuti teladan Yesus. Seperti yang tertulis dalam Markus 1: 21-28, Yesus menyebuhkan ibu mertua Petrus. Yesus memegang tangan perempuan itu dan menjamahnya. Yesus merasakan apa yang sedang terjadi dalam dirinya, merasakan pergumulan batinnya. Ia membuka mata perempuan itu, membangunkan, dan membangkitkannya agar ia melihat kenyataan dengan pandangan baru. Dalam hal ini bukan berarti kita melakukan mujizat terhadap orang sakit, namun kita diharapkan dapat melayani orang lain dengan penuh kasih seperti yang dilakukan Yesus. Pelayanan itu dapat dinyatakan dalam bentuk komunikasi juga.(Berkomunikasi dalam Pelayanan dan Misi oleh FranzJosef Eilers hal 81). Allah dan Kristus memerintahkan supaya kita mengasihi sesama manusia. Juruselamat memberi kita teladan bagaimana melakukannya (I Yoh. 4:7, 21). Hal ini diajarkan oleh Allah dan merupakan salah satu buah Roh (Gal. 5:22). Tanpa

kasih, karunia-karunia dan pengurbanan-pengurbanan tidak ada gunanya. Kasih adalah perintah yang agung (I Kor. 13:1, 2, 3). Kita harus mengenakan kasih ini, mengikutinya, melimpah dan meneruskannya, dan, sambil saling merangsang satu sama lain untuk memilikinya juga, kita harus bersungguh-sungguh, tidak memihak dan bersemangat. Kebajikan ini harus berkaitan dengan kebaikan persaudaraan dan harus dilaksanakan dengan hati murni. Kita harus menunjukkannya kepada orang-orang kudus, hamba-hamba tuhan, keluarga kita, orang-orang sebangsa, orang-orang asing, musuh; ya, kepada semua orang dan menunjukkannya dengan cara melayani kebutuhan orang lain, melegakan orang asing, mengunjungi orang sakit, memberi pakaian kepada yang membutuhkan, bersimpati dan memberi dukungan kepada yang lemah, mengampuni, menahan diri (Mat. 25:35) . Kasih kepada semua orang merupakan bukti bahwa kita ada dalam terang pemuridan dengan Kristus dan kehidupan rohani. Ini merupakan penggenapan Hukum Taurat, adalah baik dan menyenangkan dan menjadi sebuah ikatan yang menyatukan dan kesempurnaan yang diperlukan untuk kebahagiaan sejati (Rm. 13:8-10).

C. TINJAUAN UNDANG-UNDANG TERHADAP KOMUNIKASI DOKTER PASIEN


Komunikasi antara dokter dengan pasien merupakan sesuatu yang sangat penting dan wajib. Kewajiban ini dikaitkan dengan upaya maksimal yang dilakukan dokter dalam keberhasilan seorang dokter untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang pengobatan pasiennya. Keberhasilan dari upaya tersebut dianggap tergantung dari riwayat penyakit pasien dan penyampaian informasi mengenai penatalaksanaan pengobatan yang diberikan dokter. Melihat pentingnya komunikasi timbal balik yang berisi informasi ini, maka secara jelas dan tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Paragraf 2, Pasal 45 ayat (2), (3), Paragraf 6, Pasal 50 huruf (c), Paragraf 7, Pasal 52 huruf (a), (b), dan Pasal 53 huruf (a).

Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 434/Menkes/SK/X/1983. Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang Undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri. Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum. Paragraf 6 dan 7 dalam Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran secara jelas menyebutkan mengenai hak dan kewajiban dokter dan hak dan kewajiban pasien yang di antaranya memberikan penjelasan dan mendapatkan informasi. Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar individual dalam bidang kesehatan (The Right of Self Determination). Meskipun sebenarnya sama fundamentalnya, hak atas pelayanan kesehatan sering dianggap lebih mendasar.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN
Kita sebagai dokter, dalam melakukan pelayanan medis dalam bentuk komunikasi yang baik perlu memahami bahwa yang dimaksud dengan komunikasi tidaklah hanya sekadar komunikasi verbal, melalui percakapan namun juga mencakup pengertian komunikasi secara menyeluruh yang didasarkan oleh kasih kepada sesama kita. Dalam komunikasi dokter-pasien diperlukan kemampuan berempati, yaitu upaya menolong pasien dengan pengertian terhadap apa yang pasien butuhkan. Menghormati dan menghargai pasien adalah sikap yang diharapkan dari dokter dalam berkomunikasi dengan pasien, siapa pun dia, berapa pun umurnya, tanpa memerhatikan status sosialekonominya. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan medis adalah dasar pengembangan komunikasi efektif dan menghindarkan diri dari perlakuan diskriminatif terhadap pasien.

B. SARAN
Perlu dipikirkan pendidikan etika dan moral yang lebih mendalam pada kurikulum pendidikan kedokteran. Dalam diri calon dokter harus benar-benar tertanam bahwa hubungan komunikasi dengan pasien adalah hal yang mutlak harus diperhatikan. Mengingat profesi dokter adalah hubungan yang lebih bersifat sosial daripada bersifat ekonomis. Paradigma yang ada di masyarakat bahwa dokter adalah sosok penyembuh yang tidak boleh dikritisi sikap dan prilakunya dalam mengobati harus perlahan-lahan diubah. Bagi para dokter yang saat ini telah memiliki lahan yang

tetap, lancar dan baik, hubungan komunikasi antara dokter dan pasien harus senantiasa diperhatikan dan dapat menjadi bagian dari solusi dalam mengatasi masalah malpraktik. Karena dalam hal sengketa medik yang sering terjadi adalah adanya kesenjangan persepsi antara dokter dan pasien. Pasien dan keluarga merasa kurang puas dengan pengobatan yang dilakukan, sedangkan dokter dan rumah sakit merasa sudah melakukan pengobatan secara optimal.

Anda mungkin juga menyukai