Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi manusia mengingat kedudukan

manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain. Dalam

hubungan antara dokter dan pasien, komunikasi memiliki peran yang sangat penting.

Melalui komunikasi, pasien mengutarakan keluhan-keluhan yang dirasakan, dan

kemudian dokter menjelaskan cara penyembuhan kepada pasien. Dalam hubungan ini

diperlukan komunikasi yang efektif agar proses penyembuhan berjalan dengan baik

dan pasien merasa puas dengan pelayanan dokter.

Apabila dilihat secara kasat mata, hubungan dokter dan pasien tampak baik-

baik saja. Tetapi pada kenyataannya banyak komunikasi antara dokter dan pasien

yang tidak berjalan dengan baik. Komunikasi yang terjalin antara dokter dan pasien

masih banyak yang tidak efektif dan seimbang. Seperti yang diungkapkan Daeng

Muhammad Faqih, selaku Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter

Indonesia (PB-IDI) bahwa dokter di Indonesia banyak yang pasif dan kurang

mengomunikasikan penyakit serta pengobatan yang harus dijalani pasien. Pasien juga

mayoritas tidak aktif bertanya terkait kondisi dan pengobatan yang dijalani (dalam

http://health.kompas.com/read/2013/11/27/1112040/Kasus.dr.Ayu.Cermin.Buruknya.

Pola.Komunikasi.Dokter. Diunduh pada 4 Januari, pukul 13.22 WIB).

1
2

Sebagai sosok yang bantuannya dibutuhkan dan diberi kepercayaan oleh

orang lain, tidak seharusnya dokter memberikan kesan yang kurang menyenangkan

pada pasien karena dokter memiliki kewajiban yaitu memberikan pelayanan kepada

masyarakat dengan tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya dan

menjaga citra serta mutu yang dimilikinya terhadap sesama anggotanya (Soewono,

2006: 19). Sikap yang kurang menyenangkan dari dokter ini menyebabkan

komunikasi tidak berjalan dengan baik dan berdampak pada ketidakpuasan pasien.

Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus pengaduan dari pasien mengenai pelayanan

kesehatan seperti yang diungkapkan oleh Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen

Kesehatan Indonesia, dokter Marius Wijayarta, bahwa ada 454 pengaduan terkait

pelayanan kesehatan yang diterima yayasannya dalam kurun waktu 1999-2012. Dari

ratusan kasus tersebut, 66 persen di antaranya merupakan kasus yang berkaitan

dengan pelayanan dokter.

(http://nasional.kompas.com/read/2013/11/30/1919156/POGI.Jangan.Bandingkan.Do

kter.Indonesia.dengan.Singapura, diunduh pada 8 Februari, pukul 17.20 WIB).

Ketidakseimbangan komunikasi antara dokter dan pasien juga tampak ketika

pasien menganggap dokter sebagai sosok yang lebih tinggi sehingga menyerahkan

semua proses penyembuhan kepada dokter. Dalam keadaan lemah dan sakit saat

memeriksakan diri ke dokter, di situ pasien cenderung menerima begitu saja

perkataan dokter dan menyerahkan sepenuhnya proses penyembuhan dirinya kepada

dokter. Padahal seharusnya dokter dan pasien dapat berinteraksi secara dua arah dan
3

berdiskusi bersama mengenai proses penyembuhan. Diasumsikan bahwa dokter akan

terbuka kepada pasiennya mengenai sifat-sifat setiap penyakit, prognosisnya,

biayanya, dan sebagainya; dan pasien akan berbicara terus terang kepada dokter

(Tubbs dan Moss, 1996: 9). Interaksi secara dua arah ini juga dapat menghindari hal-

hal yang tidak diinginkan seperti misalnya malapraktik.

Hasil penelitian Schwarz dan Kart (dalam Soewono, 2006: 23) membuktikan

bahwa pratik dokter juga turut memengaruhi hubungan antara dokter dan pasien,

yaitu dalam perimbangan kekuasaannya. Dalam praktik dokter umum, kendali ada

pada pasien karena dokter umum sangat bergantung pada kedatangan pasien. Hal ini

berbeda dengan praktik dokter spesialis. Pada dokter umum, pasien dengan mudah

dapat memilih dokter mana yang ia inginkan. Hal ini disebabkan karena kondisi

profesi dokter umum sangat bergantung pada kehendak pasien. Dokter umum harus

memberikan pelayanan yang baik kepada pasien termasuk di dalamnya komunikasi

yang baik agar pasien tidak berpindah dokter.

Kelly B. Haskard Zolnierek dan M. Robin D. (dalam

http://mestyariotedjo.com/potret-komunikasi-dokter-dan-pasien/ Diakses 9 April,

pukul 13.50 WIB) dari Texas University melalui penelitian mereka dengan

menggunakan meta analisis, memperoleh hasil bahwa komunikasi dokter dan pasien

berhubungan sinergis dengan kepatuhan pasien selama pengobatan yang tentunya

berhubungan dengan prognosis kesembuhan pasien. Terdapat 18% risiko

ketidakpatuhan pasien yang lebih tinggi apabila komunikasi antara dokter dan pasien
4

tidak terjalin dengan baik. Dokter yang terlatih dalam kemampuan berkomunikasi

memperoleh kemajuan hasil yang signifikan yaitu sebesar 1,62 kali lebih besar

dibanding dokter yang tidak terlatih.

Dokter harus dapat berkomunikasi dengan baik dengan pasien karena dokter

dibekali dengan ilmu untuk berkomunikasi efektif dengan pasien ketika menempuh

pendidikan dokter. Namun pada kenyataannya masih banyak yang mengeluhkan

ketidaknyamanan ketika memeriksakan diri ke dokter, seperti yang dirasakan oleh

seorang pasien bernama Reni Judhanto yang memeriksakan diri ke dokter yang ia

nilai “galak”.

“Jadi, jika kita menemui dokter A, kita tak boleh banyak omong. Kita
hanya harus masuk ke kamar periksa dan diam. Baru bicara kalau ditanya,
kalau tak ditanya ya harus diam saja. Kita juga tak boleh tanya macam-
macam kepadanya. Padahal, kebiasaanku kalau periksa ke dokter pasti tanya
macam-macam, seperti bagaimana bisa terkena sakit itu, apa pantangannya
dsb. Nah, pertanyaan-pertanyaan itu pantang untuk ditanyakan ke dokter A.
Lucu kan? Selama ini aku tak pernah punya pengalaman 'buruk' dengan
dokter, kecuali dengan dokter A itu.
… sering banget aku dengar pengalaman yang lucu sekaligus
menjengkelkan setelah pertemuan mereka dengan dokter A. Dan, rata-rata
setelah itu mereka tak pernah lagi mau periksa ke dokter A.”
(http://renijudhanto.blogspot.com/2011/08/pengalaman-dengan-dokter-yang-

galak.html diunduh 8 Februari, pukul 16.48 WIB).

Pengalaman buruk berkomunikasi dengan dokter juga dialami oleh akun

bernama fuzzybeer dalam sebuah forum dunia maya yang kecewa dengan pelayanan

dokter yang tidak ramah ketika memeriksakan ayahnya.


5

“Bagaimana tidak, pasien terus menerus dari awal pembicaran selalu


diberi perkataan dengan nada tinggi, yang membuat kami sebagai pasien
terkesan seperti Maling Tertangkap Basah yang sedang di introgasi oleh
penyidik dari kepolisian. Sehingga ayah saya pun (Pasien) enggan bercerita
banyak tentang keluhan-keluhan nya, setiap ayah saya ngomong, berkali kali
dipatahkan dokter tersebut. Sangat tidak santun & terkesan angkuh. Setelah
kejadian tersebut ayah saya shock, dan kami sekeluarga memutuskan untuk
ganti dokter”
(http://www.kaskus.co.id/thread/551f416a507410943e8b4569/vidkecewa-dengan-

dokter-galuh-richata-sp-urologi/1 diunduh 8 Februari pukul 19.23 WIB)

Dokter memiliki otoritas dan wibawa serta monopoli dalam menjalankan

profesinya, sedang hal demikian tidak dimiliki pasien. Menghadapi kondisi yang

demikian, pasien akan memberikan kepercayaan kepada dokter, karena pasien yakin

bahwa dokter akan memberikan pelayanan secara profesional yang bermutu dan

bermanfaat sebagai tanggung jawab profesionalnya (Soewono, 2006: 20). Oleh

karena itu dokter harus bersikap ramah dan “welcome” terhadap pasien agar pasien

merasa nyaman sehingga proses penyembuhan dapat berjalan dengan baik dan

tercipta kesetiaan atau loyalitas dari pasien kepada dokter.

Hasil pengumpulan pendapat oleh Harris (dalam Tubbs dan Moss, 1996: 10)

menunjukkan bahwa pasien berpindah dokter adalah sebagai respon “berkenaan

dengan komunikas dokter-pasien”. Beberapa alasan yang diberikan pasien untuk

berpindah dokter seperti: Dokter tidak menyediakan waktu yang cukup untuk pasien:

51%; Dokter tidak ramah: 42%; Dokter tidak menjawab pertanyaan dengan jujur dan

lengkap: 40%; Dokter kurang berpengetahuan dan kurang kompeten: 37%;


6

Penjelasan dokter tidak dapat dimengerti: 30%; Dokter tidak memperlakukan pasien

dengan hormat: 27%; Dokter tidak selalu ada di tempat bilamana diperlukan: 27%.

Tingkat pendidikan pasien secara tidak langsung juga memengaruhi sikap

pasien dalam memilih pelayanan dokter. Melaui pendidikan, pasien dapat diajarkan

bagaimana mendeteksi adanya penipuan dan penyalahgunaan lain serta dibuat sadar

akan obat yang ada dan peluang untuk memperbaiki (Engel, 2012: 5). Pasien yang

memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung bersikap kritis dan tidak mudah

percaya begitu saja kepada dokter. Apabila dokter melakukan hal yang tidak

menyenangkan terutama ketika proses komunikasi berlangsung, pasien tidak segan-

segan untuk berpindah dokter. Seperti yang dialami oleh Ferry Jahaswara, seorang

Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berpendidikan S2, ia memutuskan untuk tidak lagi

memeriksakan diri ke dokter yang dinilainya bersikap seenaknya dalam memeriksa

pasien.

“Saya bukan orang goblog2 banget, bukan sombong, saya lulusan S2


dengan IPK 4!! Saya pikir ini dokter terlampau sakti ya? sampai melakukan
diagnosa gak perlu memakai alat. … Jadi saya sebagai PNS, trauma periksa
disitu. Saya gak tahu letak salahnya dimana, tapi kayaknya dipandang
sebelah mata oleh rumah sakitnya.”

(http://setia1heri.com/2015/01/24/akibat-dipandang-sebelah-mata-pns-ini-trauma-

memakai-bpjs/, diunduh 15 Maret, pukul 13.42 WIB)

Hasil penelitian dari Raudhatul Ulfa yang berjudul ‘Hubungan Karakteristik

Pasien, Kualitas Layanan dan Hambatan Pindah dengan Loyalitas Pasien di Instalasi

Rawat Jalan Di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Tugu Depok” (2011) juga
7

membuktikan bahwa tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap keputusan

pasien dalam menggunakan pelayanan kesehatan. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan pasien maka pasien tersebut akan

cenderung loyal terhadap pelayanan rawat jalan di Rumah Sakit Tugu. Dalam

penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa salah satu faktor yang memegang

peranan di dalam pembentukan perilaku adalah faktor intern seperti kecerdasan atau

pengetahuan, kecerdasan dan pengetahuan tersebut diasah melalui pendidikan.

(http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20290552-T29590-Hubungan%20karakteristik.pdf.

Diunduh 21 April, pukul 19.30 WIB)

Orang yang berpendidikan lebih tinggi memiliki pengetahuan yang lebih luas.

Fungsi pengetahuan dapat membantu mengurangi ketidakpastian dan kebingungan

pasien dalam menentukan sikap. Dengan pengetahuan yang dimiliki, pasien dapat

memilah-milah mana yang dianggap penting dan mana yang tidak (Sutisna, 2002:

105). Pasien yang berpendidikan lebih tinggi memiliki kemampuan yang lebih untuk

bisa menentukan mana pelayanan dokter yang baik bagi dirinya mana yang tidak.
8

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan data dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan

Indonesia, masih banyak pengaduan masyarakat mengenai pelayanan kesehatan, yaitu

sebanyak 454 kasus. Dari ratusan kasus tersebut, 66 persen di antaranya berkaitan

dengan pelayanan dokter. Selain itu dari beberapa pengalaman pasien dalam

memeriksakan diri ke dokter, banyak yang merasa tidak puas dengan pelayanan

dokter, terutama dalam hal komunikasi dokter dan pasien. Hal ini membuktikan

bahwa komunikasi dokter dan pasien masih belum bisa terjalin dengan baik, sehingga

pasien merasa tidak puas dan memutuskan untuk berpindah dokter.

Tingkat pendidikan juga memengaruhi kesetiaan pasien. Hasil dari beberapa

studi dan penelitian menyebutkan bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi keputusan pasien untuk menggunakan sebuah pelayanan

kesehatan. Dengan pendidikan yang makin tinggi, pasien memiliki kemampuan untuk

memilah-milah mana pelayanan kesehatan yang baik untuk dirinya dan mana yang

tidak memberikan kepuasan bagi dirinya.

Komunikasi yang tidak terjalin dengan baik antara dokter dan pasien serta

tingkat pendidikan pasien menentukan sikap pasien, apakah pasien akan loyal atau

tidak. Oleh karena itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

hubungan antara kualitas komunikasi dokter-pasien dan tingkat pendidikan pasien

dengan loyalitas pasien.


9

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

a. Hubungan antara kualitas komunikasi dokter-pasien dengan loyalitas pasien.

b. Hubungan antara tingkat pendidikan pasien dengan loyalitas pasien.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Secara akademis, penelitian ini mencoba mengkaji hubungan kualitas

komunikasi dokter pasien dan tingkat pendidikan pasien dengan loyalitas

pasien, dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh para ahli

komunikasi, yaitu Teori Pertukaran Sosial sehingga penelitian ini dapat

bermanfaat dalam pengembangan ilmu komunikasi, khususnya bidang

komunikasi kesehatan atau medik.

b. Secara praktis, memberikan penjelasan tentang hubungan antara kualitas

komunikasi dokter-pasien dan tingkat pendidikan pasien dengan loyalitas

pasien sehingga dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai

pentingnya komunikasi antara dokter dan pasien dalam rangka peningkatan

layanan kesehatan.

c. Secara sosial, diharapkan dapat memberi masukan bagi praktik dokter umum

atau lembaga pelayanan kesehatan yang lain untuk meningkatkan kualitas


10

pelayanan kepada pasien, khususnya dalam proses komunikasi antara dokter

dengan pasien.

1.5. Kerangka Teori

1.5.1. Paradigma Penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma positivistik.

Penelitian dengan paradigma ini bertujuan untuk menjelaskan relasi kausalistik atau

hubungan sebab-akibat antar variabel. Paradigma ini dilandasi oleh asumsi bahwa

suatu gejala dapat diklasifikasikan ke dalam konsep-konsep tertentu. Maka peneliti

dapat melakukan penelitian dengan fokus pada beberapa variabel saja. Paradigma ini

memiliki isu filosofis yang kompleks, namun dapat dikategorikan ke dalam tiga tema

utama, yaitu: epistemologi, ontologi, dan aksiologi (Littlejohn, 2009: 23).

1.5.2. State of The Art

Berikut adalah beberapa penelitian yang memiliki kesamaan tema dengan

penelitian Hubungan Kualitas Komunikasi Dokter-Pasien dan Tingkat Pendidikan

Pasien dengan Loyalitas Pasien:

a. Penelitian “Pengaruh Kualitas Komunikasi Ibu-Penyuluh ASI dan Tingkat

Pendidikan Ibu terhadap Tingkat Pengetahuan ASI Eksklusif” oleh Mona


11

Ranisatuhu (2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

kualitas komunikasi ibu-penyuluh ASI dan tingkat pendidikan ibu terhadap

tingkat pengetahuan ASI Eksklusif. Variabel dari penelitian ini adalah

Kualitas Komunikasi Ibu-Penyuluh ASI, Tingkat Pendidikan Ibu, dan Tingkat

Pengetahuan ASI Eksklusif. Dalam penelitian ini, teori yang digunakan

adalah Teori Penetrasi Sosial oleh Altman dan Taylor. Teori ini

mengungkapkan bahwa sejalan dengan dua orang belajar untuk mengenal satu

sama lain melalui proses keterbukaan diri atau memberikan informasi yang

lengkap mengenai diri masing-masing, maka hubungan diantara keduanya

akan semakin mendalam dan penting. Penelitian ini menghasilkan suatu

kesimpulan yaitu terdapat hubungan antara kualitas komunikasi ibu-penyuluh

AS dengan tingkat pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif, terdapat hubungan

antara tingkat pendidikan ibu dengan tingkat pengetahuan ASI eksklusif, dan

terdapat kecenderungan hubungan antara kualitas komunikasi ibu-penyuluh

ASI dan tingkat pendidikan ibu dengan tingkat pengetahuan ibu tentang ASI

eksklusif.

b. Penelitian “Hubungan Antara Kualitas Komunikasi Terapeutik Perawat

dengan Tingkat Kepuasan Pasien pada Layanan Rawat Inap di Rumah Sakit

Panti Wilasa ‘Citarum’ Semarang” oleh Suko Dwi Nugroho (2010). Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kualitas

komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kepuasan pasien pada layanan


12

rawat inap di Rumah Sakit Panti Wilasa. Variabel independen dari penelitian

ini adalah Kualitas Komunikasi Terapeutik Perawat dan variable dependennya

adalah Tingkat Kepuasan. Teori komunikasi yang digunakan dalam

mendukung penelitian ini adalah Teori Sensitivitas Retorik yang menyatakan

bahwa komunikasi efektif muncul dari sensitivitas dan peduli dalam

menyesuaikan apa yang Anda katakan kepada pendengar; dan Teori Penetrasi

Sosial oleh Altman dan Taylor yang menyatakan bahwa komunikasi bergerak

dari tingkatan-tingkatan yang relatif dangkal dan tidak intim sampai pada

tingkatan yang lebih dalam dan pribadi. Hubungan antara kualitas komunikasi

terapeutik perawat dan tingkat kepuasan pasien didukung oleh teori

Pertukaran Sosial. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa

terdapat hubungan yang positif antara Kualitas Komunikasi Terapeutik

Perawat dengan Tingkat Kepuasan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik

kualitas komunikasi terapeutik perawat, semakin tinggi pula tingkat kepuasa

pasien.

c. Penelitian “Hubungan Antara Intensitas Konsumsi Berita Online dan Tingkat

Pendidikan terhadap Loyalitas Pembaca Surat Kabar Cetak Suara Merdeka”

oleh Tantra W Wardhana (2012). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui apakah terdapat hubungan antara intensitas konsumsi berita

online dan tingkat pendidikan dengan loyalitas pembaca surat kabar cetak

Suara Merdeka. Variabel dalam penelitian ini adalah Intensitas Konsumsi


13

Berita Online, Tingkat Pendidikan, dan Loyalitas Pembaca. Dalam penelitian

ini, teori komunikasi yang digunakan adalah Teori Ekologi Media McLuhan

yang menyatakan bahwa teknologi memengaruhi komunikasi melalui

teknologi baru, dampak dari teknologi baru memengaruhi masyarakat dan

perubahan dalam masyarakat menyebabkan perubahan lebih jauh dalam

teknologi. Teori yang lain yang digunakan adalah Teori Media Baru.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

negatif antara konsumsi berita online terhadap loyalitas pembaca surat kabar

cetak Suara Merdeka dan terdapat hubungan positif antara tingkat pendidikan

terhadap loyalitas pembaca surat kabar cetak Suara Merdeka.

Sebagai makhluk sosial, manusia pasti membutuhkan interaksi dengan orang

lain. Dalam berinteraksi atau berhubungan dengan orang lain, manusia harus melalui

proses komunikasi. Komunikasi sendiri memiliki banyak definisi dari berbagai ahli.

Harrold D. Lasswell (dalam Nasir, 2009: 3) mendefinisikan komunikasi sebagai

tindakan yang menjawab pertanyaan “siapa yang menyampaikan, apa yang

disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa, dan apa pengaruhnya”. Selain itu

komunikasi dapat diartikan pula sebagai proses penyampaian informasi dalam sebuah

interaksi tatap muka yang berisi ide, perasaan, perhatian, makna, serta pikiran, yang

diberikan pada penerima pesan dengan harapan si penerima pesan menggunakan

informasi tersebut untuk mengubah sikap dan perilaku. Tidak dapat dipungkiri,

kegiatan komunikasi pasti terjadi dalam berbagai bidang kehidupan, salah satunya
14

dalam bidang kesehatan, yaitu dalam hal pelayanan medis. Komunikasi yang terjadi

dalam bidang kesehatan contohnya adalah komunikasi yang terjadi antara dokter

dengan pasien.

1.5.3. Kualitas Komunikasi Dokter-Pasien

Komunikasi antara dokter dan pasien masuk ke dalam jenis komunikasi

interpersonal. Pengertian komunikasi interpersonal oleh Joseph A. Devito dalam

bukunya “The Interpersonal Communication Book” (1989: 4) adalah proses

pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang, atau di antara sekelompok

kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika.

Komunikasi interpersonal juga merupakan pertukaran yaitu tindakan menyampaikan

dan menerima pesan secara timbal balik, bersifat dua arah yang berarti melibatkan

dua orang dalam suatu interaksi, di mana di dalamnya terdapat unsur dialogis dan

ditunjukkan kepada sasaran terbatas dan dikenal (dalam Nasir, 2009: 37).

Pentingnya situasi komunikasi interpersonal ialah karena prosesnya

memungkinkan berlangsung secara dialogis. Komunikasi yang berlangsung secara

dialogis selalu lebih baik daripada secara monologis. Monolog menunjukkan suatu

bentuk komunikasi dimana seseorang berbicara, yang lain mendengarkan, jadi tidak

terdapat interaksi. Yang aktif hanya komunikator saja, sedang komunikan bersikap
15

pasif. Dialog adalah bentuk komunikasi interpersonal yang menunjukkan terjadinya

interaksi. Dalam proses komunikasi dialogis tampak adanya upaya dari para pelaku

komunikasi untuk terjadinya pengertian bersama (mutual understanding) dan empati.

Disitu terjadi rasa saling menghormati bukan disebabkan status sosial ekonomi,

melainkan didasarkan pada anggapan bahwa masing-masing adalah manusia yang

wajib, berhak, pantas, dan wajar dihargai dan dihormati (Effendi, 1993: 60).

Meurut Effendi (1993: 63) komunikasi interpersonal memiliki beberapa

kelebihan, antara lain:

a. Komunikasi yang terjadi dua arah (two way traffic communication) antara

komunikator dan komunikan dapat saling tukar fungsi dan dalam posisi

sederajat sehingga informasi dapat disampaikan secara lebih detail,

mendalam dan jelas karena baik komunikator dan komunikan boleh bicara

dan bertanya.

b. Umpan balik dapat diketahui seketika (immediate feedback) sehingga

menguntungkan komunikator karena dapat mengetahui reaksi dari

komunikan terhadap pesan yang disampaikan saat itu juga.

Bentuk komunikasi ini umumnya dilakukan melalui tatap muka secara

langsung seperti pada pasien yang melakukan pemeriksaan ke dokter.


16

Dalam proses penyembuhan pasien, diperlukan kualitas komunikasi yang baik

antara dokter dengan pasien. Kualitas komunikasi antar pribadi, dalam hal ini antara

dokter dengan pasien, diartikan sebagai faktor-faktor yang dapat menumbuhkan

hubungan antar pribadi yang baik, sebab hubungan adalah jantung dari komunikasi

interpersonal (Littlejohn, 2009: 253). Dalam usaha penyembuhan tersebut pasien

akan selalu berkomunikasi untuk mendapatkan informasi atas penyakit yang

dideritanya serta alternatif bentuk terapi yang ditawarkan dokter kepadanya. Dalam

upaya penyembuhan ini diperlukan komunikasi dua arah antara dokter dengan pasien.

Komunikasi dua arah ini bukan merupakan hal yang mudah dilakukan. Dokter

dituntut sebagai komunikator yang baik dan sabar. Tingkat keberhasilan komunikasi

antara dokter dan pasien ditentukan oleh beberapa kriteria, antara lain: kecakapan

dokter, sikap dokter, pengetahuan dokter sebagai komunikator, dan sistem sosial

budaya (Soewono, 2006: 28-29).

Anthony P. Goldstein (1975) juga mengembangkan apa yang disebut sebagai

“relationship enchancement methods” (metode peningkatan hubungan) dalam

psikoterapi. Ia memerumuskan metode ini degan tiga prinsip, yaitu: Makin baik

hubungan interpersonal, (1) makin terbuka pasien mengungkapkan perasaannya, (2)

makin cenderung ia meneliti perasaannya secara mendalam beserta penolongnya

(dokter), (3) makin cenderung ia mendengar dengan penuh perhatian dan bertindak

atas nasihat yang diberikan dokter. Dari segi psikologi komunikasi, dapat dinyatakan

bahwa makin baik hubungan interpersonal, maka makin terbuka orang untuk
17

mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya tentang orang lain dan persepsi

dirinya sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung di antara mereka

(Rakhmat, 2008: 120).

Komunikasi dapat dikatakan efektif apabila orang berhasil menyampaikan apa

yang dimaksudkannya (Tubbs dan Moss, 1996: 22). Efektifitas komunikasi tidak

hanya bisa dilihat dari frekuensi atau kuantitasnya saja, tetapi dibutuhkan juga suatu

kualitas komunikasi.

Untuk sebuah komunikasi yang efektif, menurut de Vito (1997: 259-264), ada

lima kualitas umum yang perlu dipertimbangkan, antara lain:

- Keterbukaan (openness), menunjukkan adanya sikap untuk saling terbuka di

antara pelaku komunikasi dalam melangsungkan proses komunikasinya.

- Empati (emphaty), yaitu kemampuan seseorang untuk mengetahui dan

memahami apa yang dialami orang lain.

- Sikap positif (positiveness), yaitu sikap positif terhadap diri sendiri dan orang

lain.

- Dukungan (supportiveness), yaitu sikap pelaku komunkasi yang mendukung

terjadinya komunikasi tersebut.

- Kesetaraan (equality), adanya unsur kesamaan yang dimiliki pihak-pihak yang

berkomunikasi. Misalnya adanya kesamaan bahasa dan budaya akan

memudahkan terjadinya komunikasi yang efektif.


18

Keefektifan hubungan antar pribadi adalah taraf seberapa jauh akibat-akibat

dari tingkah laku kita sesuai dengan yang kita harapkan. Bila kita berinteraksi

dengan orang lain, biasanya kita ingin menciptakan dampak tertentu, merangsang

munculnya gagasan-gagasan tertentu, menciptakan kesan tertentu, atau

menimbulkan reaksi tertentu dalam diri orang lain. Keefektifan kita dalam hubungan

antar pribadi ditentukan oleh kemampuan kita untuk mengomunikasikan secara jelas

apa yang ingin kita sampaikan, menciptakan kesan yang kita inginkan, atau

memengaruhi orang lain sesuai kehendak kita (Supratiknya, 1995: 24).

Dalam komunikasi dokter dan pasien yang berkualitas, dokter yang

dibutuhkan adalah dokter yang “friendly”, satisfied with service, client centered

approach, best attitudes. Pasien menghendaki agar dokter bersikap ramah dan

memahami kebutuhan pasien. Hubungan dokter dan pasien dalam pelayanan pasien

kesehatan merupakan hubungan yang spesifik, karakteristik dijiwai oleh sifat

“altruistic” yang mengandung makna bahwa pekerjaan yang dilakukan berorientasi

utama untuk menolong dengan kasih sayang dan tidak semata-mata menjual jasa

(Tarjoto dan kawan-kawan, 2006: 55).

Perlu dipahami bahwa untuk mendapatkan kualitas komunikasi, hubungan

antara pasien dan dokter harus lebih berfokus pada aspek-aspek manusiawi sehingga

hal tersebut tidak sepenuhnya sama dengan hubungan antar individu, akan tetapi di
19

antara keduanya akan terjalin hubungan yang erat yang membawa manfaat melalui

kesepakatan bersama bagi keduanya (Nasir, 2009: 201).

Komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien dapat mempermudah

proses penyembuhan pasien. Apabila proses tersebut dilalui dengan baik maka

berpengaruh pada kepuasan pasien dan pada loyalitas pasien.

1.5.4. Tingkat Pendidikan Pasien

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Jenjang pendidikan formal, terdiri atas:

- Pendidikan Dasar (Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah)

- Pendidikan Menengah (Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah,

Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah

Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan)


20

- Pendidikan Tinggi (Akademi, Institut, Sekolah Tinggi, Universitas)

1.5.5. Loyalitas Pasien

Loyalitas adalah situasi dimana konsumen bersikap positif terhadap produk

atau produsen (penyedia jasa) dan disertai pola pembelian ulang yang konsisten

(Tjiptono, 2000: 111). Loyalitas menurut Hermawan (dalam Hurriyati, 2005: 126)

merupakan manifestasi dari kebutuhan fundamental manusia untuk memiliki, men-

support, mendapatkan rasa aman dan membangun keterikatan serta menciptakan

emotional attachment. Dalam loyalitas terdapat strong feeling, artinya kedalaman

perasaan manusia terhadap suatu hal. Perasaan ini yang menjadi unsur utama dan

menentukan keeratan serta loyalitas.

Loyalitas dapat diartikan pula sebagai Repeat Purchase (kesetiaan terhadap

pembelian suatu produk), Retention (ketahanan terhadap pengaruh yang negatif

mengenai perusahaan), dan Referrals (mereferensikan secara total esistensi

perusahaan) (Kotler dan Keller, 2009: 57). Loyalitas konsumen atau pasien dapat

dinilai dari beberapa indikator, yaitu:

- Pembelian/transaksi ulang yang konsisten. Pasien menggunakan kembali

pelayanan kesehatan.

- Rekomendasi produk/jasa pelayanan kesehatan kepada orang lain.


21

- Komitmen/tidak mudah berubah. Komitmen berarti kemauan pasien untuk

tetap menggunakan pelayanan kesehatan di masa yang akan datang dan

enggan untuk beralih ke tempat lain.

1.5.6. Hubungan Kualitas Komunikasi Dokter-Pasien dengan Loyalitas Pasien

Hubungan antara kualitas komunikasi dengan loyalitas pasien dapat dikaitkan

dengan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) yang dikemukakan oleh

Altman dan Taylor. Dalam teori pertukaran sosial dikatakan bahwa hubungan akan

berlanjut apabila relatif memberikan keuntungan dan diputuskan apabila merugikan

(Littlejohn, 2009: 292). John Thibaut dan Harold Kelley (1959) (dalam Rakhmat,

2008: 121) menyimpulkan model pertukaran sosial sebagai berikut: “Asumsi dasar

yang mendasari seluruh analisis adalah bahwa setiap individu secara sukarela

memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup

memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya.” Empat konsep pokok dalam teori

ini adalah:

- Ganjaran, ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari

suatu hubungan.

- Biaya, adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan.
22

- Hasil/laba, adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu merasa dia

tidak memperoleh laba sama sekali dalam suatu hubungan interpersonal, ia

akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba.

- Tingkat perbandingan, yakni menunjukkan ukuran baku yang dipakai sebagai

kriteria dalam menilai hubungan individu.

Teori Pertukaran Sosial, berdasarkan penelitian Thibaut dan Kelley

menyatakan bahwa dorongan utama dalam hubungan interpersonal adalah kepuasan

dari kepentingan pribadi dua orang yang terlibat. Kepuasan kita akan suatu hubungan

berakar dari membandingkan penghargaan dan pengorbanan yang ada dalam

hubungan itu dengan level perbandingan (comparison level) kita. Level perbandingan

adalah standar yang mewakili perasaan orang mengenai apa yang mereka harus

terima dalam hal penghargaan dan pengorbanan dari sebuah hubungan. Jika

hubungan kita sesuai atau bahkan melebihi level perbandingan kita, teori pertukaran

sosial ini memprediksi bahwa kita akan merasa puas dengan hubungan tersebut (West

dan Turner, 2008: 221).

Apabila pasien merasa puas dengan pelayanan yang diberikan dokter,

pelayanan dan pengobatan yang diterima sesuai dengan ekspektasi pasien, maka ada

kemungkinan pasien tersebut akan melanjutan hubungan dengan menggunakan

kembali pelayanan kesehatan, dan sebaliknya, apabila pelayanan kesehatan dirasa

tidak memberi kepuasan bagi pasien maka tidak akan ada loyalitas pasien.
23

1.5.7. Hubungan Tingkat Pendidikan Pasien dengan Loyalitas Pasien

Melalui pendidikan, pasien dapat diajarkan bagaimana mendeteksi adanya

penipuan dan penyalahgunaan lain, serta dibuat sadar akan obat yang ada dan peluang

untuk memperbaiki. Siapa saja dapat mengambil manfaat dari memiliki wawasan

yang lebih luas. Pasien yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan

kesejahteraan yang baik umumnya sangat sensitif terhadap pelayanan kesehatan.

Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, pasien menuntut pelayanan kesehatan yang

lebih baik (Engel, 2012: 5).

Menurut Philip Kotler dan Gary Armstrong (1996: 89) keputusan pembelian

(atau penggunaan sebuah pelayanan kesehatan) sangat dipengaruhi diantaranya oleh

faktor pendidikan. Tingkat pendidikan juga menentukan luasnya pengetahuan

seseorang. Fungsi pengetahuan dapat mengurangi kebingungan dan ketidakpastian

yang berhubungan dengan informasi seputar layanan jasa kesehatan. Sehingga

dengan pengetahuan yang dimiliki, pasien dapat memilah-milah mana yang dianggap

penting dan mana yang tidak (Sutisna, 2002: 105).


24

Geometri Hubungan Antar Variabel

Kualitas Komunikasi Dokter-


Pasien (X1)

Loyalitas Pasien (Y)

Tingkat Pendidikan Pasien


(X2)

1.6. Hipotesis

- Terdapat hubungan antara kualitas komunikasi dokter-pasien dengan loyalitas

pasien.

- Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan pasien dengan loyalitas pasien.

1.7. Definisi Konseptual

a. Kualitas komunikasi dokter-pasien adalah kondisi saat terjadi interaksi

antara dokter dan pasien secara langsung atau tatap muka dan bersifat

pribadi yang dapat meningkatkan hubungan antar pribadi.


25

b. Tingkat pendidikan pasien adalah tahapan pendidikan formal terakhir dari

pasien yang sudah ditempuh dengan suatu kelulusan.

c. Loyalitas pasien adalah situasi dimana pasien bersikap positif terhadap

pelayanan dokter dan diserta pola penggunaan pelayanan kesehatan

tersebut secara berulang (Tjiptono, 2000: 111).

1.8. Definisi Operasional

Definisi operasional diukur dengan indikator sebagai berikut:

a. Kualitas Komunikasi Dokter-Pasien

- Keterbukaan (openness), menunjukkan adanya sikap untuk saling

terbuka dari dokter kepada pasien dalam melangsungkan proses

komunikasinya.

- Empati (emphaty), yaitu kemampuan dokter untuk mengetahui dan

memahami apa yang dialami pasien.

- Sikap positif (positiveness), yaitu sikap positif dokter terhadap diri

sendiri dan orang lain.

- Dukungan (supportiveness), yaitu sikap dokter yang mendukung

terjadinya proses komunikasi dokter-pasien.


26

- Kesetaraan (equality), adanya unsur kesetaraan yang dimiliki dokter

dan pasien.

b. Tingkat Pendidikan Pasien

Jenjang pendidikan formal terakhir pasien:

Pendidikan Dasar dan Menengah:

- Sekolah Dasar (SD) /Madrasah Ibtidaiyah (MI)

- Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Madrasah Tsanawiyah (MTs)

- Sekolah Menengah Atas (SMA)/MA, Sekolah Menengah Kejuruan

(SMK)/MAK

Pendidikan tinggi:

- Perguruan Tinggi: Akademi, Institut, Sekolah Tinggi, Universitas

c. Loyalitas Pasien

- Pembelian/transaksi ulang yang konsisten. Pasien menggunakan

kembali pelayanan kesehatan.

- Rekomendasi produk/jasa pelayanan kesehatan kepada orang lain.

- Komitmen/tidak mudah berubah. Komitmen berarti kemauan

pasien untuk tetap menggunakan pelayanan kesehatan dimasa yang

akan datang dan enggan untuk beralih ke tempat lain.


27

1.9. Metode Penelitian

1.9.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah explanatory

research. Explanatory research merupakan sebuah tipe penelitian yang bersifat

menjelaskan hubungan kausalitas antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa.

Variabel yang akan dijelaskan dalam penelitian ini adalah variable kualitas

komunikasi dokter-pasien (X1), variabel tingkat pendidikan pasien (X2), dan

loyalitas pasien (Y). Penelitian ini dilakukan di Klinik Mitra Keluarga Sampangan

dan difokuskan pada hubungan pasien dengan salah satu dokter di Klinik Mitra

Keluarga Sampangan.

1.9.2. Populasi

Populasi didefinisikan sebagai seperangkat unit analisis yang lengkap yang

sedang diteliti. Populasi pada penelitian ini adalah para pasien yang pernah menjalani

pemeriksaan pada satu dokter di Klinik Mitra Keluarga Sampangan. Klinik Mitra

Keluarga dipilih sebagai obyek penelitian karena merupakan klinik dokter umum

dimana terjadi penurunan jumlah kunjungan pasien pada bulan Maret 2015. Pada

bulan Februari 2015 rata-rata pasien yang datang per hari berjumlah 34 pasien, dan di

bulan Maret 2015 berjumlah 30 pasien.


28

1.9.3. Sampel

Jumlah sampel yang akan diteliti adalah sebanyak 40 responden. Sampel

sebanyak 40 responden ini dipilih karena jumlah populasi yang tidak diketahui

dengan pasti dan populasi kurang lebih homogen dalam sifat yang ingin diukur.

Responden adalah para pasien yang pernah menjalani pemeriksaan pada satu dokter

di Klinik Mitra Keluarga Sampangan sekurang-kurangnya satu kali.

Penulis menggunakan tenik pengumpulan sampel Accidental Sampling.

Menurut Sugiyono (2004: 77), Accidental Sampling yaitu teknik pengambilan

sampling yang mengambil responden sebagai sampel berdasaran kebetulan, yaitu

siapa saja yang kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel

dengan kriteria utamanya adalah orang tersebut merupakan pasien yang pernah

melakukan pemeriksaan kesehatan di Klinik Mitra Keluarga Sampangan.

1.9.4. Jenis Data dan Sumber Data

1.9.4.1.Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari responden.
29

1.9.5. Alat dan Teknik Pengumpulan Data

1.9.5.1.Alat pengumpulan data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner

yang berisi sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi

dari responden.

1.9.5.2.Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara mewawancarai

responden.

1.9.6. Teknik Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh diolah kembal melalui tahap-tahap

sebagai berikut:

1.9.6.1.Editing

Yaitu kegiatan mengoreksi dan meneliti kembali semua jawaban responden

yang masuk dengan melihat apakah sudah benar atau belum dan untuk mengetahui

lengkap atau tidaknya jawaban dari responden.


30

1.9.6.2.Coding

Mencakup proses mengatur data, mengorganisasikan data ke dalam suatu

kategori (Kriyantono, 2006: 163).\

1.9.6.3.Scoring

Memberikan nilai berupa angka pada jawaban pertanyaan untuk memperoleh

data kuantitatif yang diperlukan dalam pengujian hipotesis

1.9.6.4.Tabulasi

Yaitu menggolongkan kategori jawaban responden ke dalam tabel-tabel.

1.9.7. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif, yaitu analisis

statistik data-data yang diperoleh dan diolah dalam bentuk angka-angka. Analisis

bersifat kuantitatif digunakan untuk menguji hubungan dan menganalisis data yang

diperoleh dari responden yang diteliti, kemudian dibuat secara sistematis, faktual, dan

akurat berdasarkan data di lapangan. Data yang diperoleh kemudian dihitung dengan

menggunakan analisis koefisien korelasi Kendall’s tau-b dan dianalisis dengan

menggunakan perhitungan dari program SPSS (Statistical Product and Service

Solution). Analisis koefisien korelasi Kendall’s tau-b digunakan untuk mencari

hubungan dan menguji hipotesis antara dua variabel atau lebih, yaitu antara kualitas
31

komunikasi dokter-pasien (varibel X1) dengan loyalitas pasien (Y) dan tingkat

pendidikan pasien (Variabel X2) dengan loyalitas pasien (Variabel Y).

Anda mungkin juga menyukai