Anda di halaman 1dari 7

LEMBAR TUGAS MANDIRI

Empati, Etika Profesionalisme, dan Kedokteran

Nama : Juwita Sari


NPM : 1806144765
Kelas : DK17

Talkshow: Tantangan Mempraktikkan Profesionalisme di Daerah


Terpencil

Humanisme adalah suatu pandangan atau sistem pemikiran rasionalis yang


mementingkan kepentingan utama manusia daripada hal-hal ilahi atau supernatural.
Humanisme adalah sikap filosofis dan etis yang menekankan nilai dan agensi manusia,
baik secara individu dan kolektif, dan umumnya akan lebih menyukai pemikiran dan bukti
kritis atau yang dikenal sbagai pikiran rasionalisme dan empirisme dibandingkan
penerimaan dengan takhayul. 1 Selain melakukan intervensi fisik, idealnya seorang dokter
juga berperan dalam melakukan intervensi moral dan sosial di masyarakat, seperti yang
dilakukan oleh dokter pendahulu seperti Wahidin Sudirohusodo, Budi Oetomo, dan dokter
pendahulu lain karena mereka turut aktif terhadap pembangunan dan sosial
kemasyarakatan. Menurut saya, seorang dokter sebaiknya menerapkan trias fungsi, yaitu
dokter sebagai agen perubahan, agen pembangunan, serta agen pengobatan. Seorang dokter
sebaiknya mempelajari pendekatan humanistik dan kultural yaitu mengenai cara bergaul,
berbicara, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat daerah setempat, bersikap profesional
dan beretika. Hal ini tentunya akan mengakibatkan output yang positif dimana dimanapun
dokter tersebut berada dan setiap gerak dokter pun dapat diterima oleh masyarakat atau
komunitas dan menjadi individu yang tak terpisahkan dalam masyarakat. Untuk itulah
seorang dokter harus ikut terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, bukan statis
hanya bekerja di lingkungan kesehatan saja. Hal inilah yang dilakukan oleh dr Atikah
Sayogo, Narasumber Talkshow Modul EEP di kelompok 17 dan 18 di tempat
internshipnya di Papua. Walaupun hanya satu tahun mendapat kesempatan pergi ke daerah
untuk internship, dr Atikah merasa bersyukur mendapatkan banyak pengalaman berharga

1
di Papua. Menurut cerita para narasumber talkshow kali ini, seorang dokter bukan hanya
melayani dan mengobati kesehatan pasien, tetapi bisa dari aspek manapun. Seperti yang
ditunjukkan oleh rekan kerja mereka setelah melakukan praktik kedokteran hingga sore,
malam di hari yang sama dokter tersebut memutuskan untuk menjadi guru mengaji anak-
anak pedalaman di daerah tersebut. Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa seorang
dokter internship dapat berjualan kebutuhan sehari-hari seperti menjual makanan asli
Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, atau dari bagian Indonesia manapun. Akan tetapi,
menurut saya perlu diperhatikan juga kondisi pasar bagaimana dan daya beli masyarakat
disana agar bisa mendapatkan pengalaman yang nyata. Akan tetapi, dr Atikah memilih
untuk mempertimbangkan durasi internship yang sebentar, yaitu hanya satu tahun apakah
ingin digunakan sia- sia saja sehingga ia memutuskan untuk mengembangkan diri dan
lingkungannya dengan membuat program sustainable dimana program ini dengan
memberikan buku sebanyak-banyaknya untuk ditempatkan di pojok rumah sakit, sehingga
anak- anak yang sedang ke rumah sakit bisa membaca buku tersebut sambil menunggu.
Diharapkan tingkat literasi dan pengetahuan anak-anak di daerah akan meningkat seiring
dengan kemauan membaca yang meningkat. Salah satu keuntungan dokter melakukan
internship ke daerah adalah turut serta menjadi komunikator di daerah tersebut, misalnya
saat ada pasien pre-eklampsia datang ke rumah sakit dalam kondisi sudah komplikasi. Saat
itu dr Atikah bertanya kepada para petugas tersebut mengapa tidak diberikan MgSO4
dahulu sebagai tata laksana awal pasien pre-eklampsia. Puskesmas tersebut menjawab
bahwa tidak ada stok MgSO4 disana, tetapi dr Atikah memutuskan untuk menghubungi
puskesmas dan mencari stok obat di gudang. Berkat perannya sebagai komunikator antara
Rumah Sakit rujukan dan puskesmas daerah mengenai MgSO4, dr Atikah menemukan stok
obat tersebut di gudang puskesmas dan berhasil merestock obat tersebut di puskesmas.
Disinilah menurut saya peran dokter bukan hanya memberikan pengobatan, tetapi dapat
berperan juga sebagai komunikator. Saat di Papua, dr Atikah merasakan hubungan antar
masyarakat Papua sangat indah, tolong menolong lebih akrab yang membuat dr Atikah
merasa dibantu dan dihargai oleh masyarakat sekitar. dr Atikah mengambil banyak
pelajaran dari pengalaman internshipnya yaitu we often take things for granted karena kita
yang hidupnya di perkotaan lupa mensyukuri mendapatkan akses listrik, air, internet
dengan baik, berbeda dengan saudara kita yang berada di daerah pedalaman. Akan tetapi,

2
saat tidak mendapatkan akses internet dengan baik, hubungan antara manusia menjadi
sangat erat.
Istilah profesionalisme medis digunakan dengan cara yang berbeda. Dalam arti
luas, profesionalisme medis mencakup tiga dimensi utama: yaitu pengetahuan ahli,
pengaturan diri dari profesi, dan kewajiban untuk menundukkan kepentingan pribadi
praktisi dengan kebutuhan, minat, dan otonomi pasien. Elemen yang digunakan untuk
menggambarkan profesionalisme medis adalah altruisme, empati, humanisme, dan standar
etika moral yang tinggi.2 Profesionalisme dalam kedokteran dapat didefinisikan menjadi
kemampuan dokter melakukan pertimbangan yang spesifik dn memiliki sikap serta
perilaku yang bertanggung jawab dan bertindak sesuai kemampuan clinical reasoning. Hal
inilah yang pernah dirasakan oleh dr Wulan saat melakukan internship di Pulau
Halmahera, yaitu saat dihadapkan dengan pasien apendisitis dimana dokter spesialis bedah
sedang tidak berada di Rumah Sakit. Hal ini bermula saat beliau memiliki ambisi untuk
bisa melakukan apendektomi selama internship. Beliau giat dan tekun untuk menjadi
asisten dokter bedah saat melakukan apendektomi, dokter spesialis bedah tersebut
memberikan tantangan kepada dr Wulan apabila sudah menjadi asisten apendektomi
selama 3x, dr Wulan diperbolehkan melakukan apendektomi dengan dokter spesialis bedah
tersebut menjadi asistennya. Dr Wulan merasa semakin bersemangat untuk hal ini. Namun,
suatu hari saat dokter spesialis bedah tersebut sedang berada di Jakarta, Rumah Sakit di
Pulau Bacang didatangi oleh pasien anak yang butuh apendektomi. Dr Wulan merasakan
konflik batin yang berat karena ia merasa sudah pernah melihat dan mejadi asisten
apendektomi, tetapi di satu sisi ia belum berhak melakukan itu sebagaimana kapabilitasnya
sebagai dokter umum. Setelah melakukan diskusi dengan manajemen rumah sakit dan
dokter spesialis bedah melalui panggilan telefon, diputuskanlah untuk merujuk pasien
tersebut ke Rumah Sakit Ternate yang memang membutuhkan waktu selama 1 jam dari
Pulau Bacang. Menurut saya hal ini sudah bijak karena tidak menganggap pasien sebagai
boneka percobaan saja. dr Wulan sudah menerapkan kode etik kedokteran pasal 17 dimana
setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat, kecuali apabila ia yakin terdapat
dejawat lain yang bersedia dan mampu memberikan pengobatan tersebut, hal itulah yang
disadari oleh dr Wulan. Dalam hal ini dijumpai masalah kesehatan di luar kompetensi
dokter Wulan sebagai dokter umum, sehingga ia memutuskan untuk melakukan rujukan
dengan sejawat lain di Rumah Sakit Ternate yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan

3
pasien saat itu. Dengan keterbatasan fasilitas di daerah, merujuk merupakan pilihan sehari-
hari yang dapat ditempuh. Akan tetapi, perlu dipikirkan secara matang dengan
pertimbangan apakah tidak akan memperberat ekonomi pasien yang mendapat rujukan
mengingat hanya pengobatan saja yang dibayarkan gratis kepada pasien, bagaimana
kebutuhan sehari-hari disana dan apa yang akan dilakukan pasien untuk bertahan hidup. Ini
secara tidak langsung mengajarkan kepada kita untuk memilih keputusan secara bijak dan
dipertimbangkan baik dan buruknya pilihan yang diambil. Menurut saya seorang dokter
juga perlu diasah mengenai hard skill, soft skill, art and knowledge juga demi keberhasilan
pengobatan karena pasien merupakan subjek pembelajaran yang kompleks. Skill juga perlu
diasah dan diperbaharui karena pada saat teori yang didapatkan di pre klinik, kita akan
beranggapan bahwa kita sudah pasti bisa melakukanya tetapi saat berhadapan secara
langsung dengan pasien, tidak selamanya kasus pasien sesuai dengan di buku-buku
pembelajaran. Saya pernah membaca kwajiban dokter terhadap dirinya sendiri adalah
wajib senantiasa untuk mengikuti perkembangan ilmu pendidikan, pengetahuan, dan
teknologi kesehatan atau kedokteran di indonesia bahkan di dunia. Saya semakin bersyukur
dan bangga bahwa kesejahteraan dan kemaslahatan seorang dokter sudah ada panduannya
di kode etik kedokteran Indonesia hingga UU Kedokteran di Indonesia sehingga seorang
dokter tidak perlu was-was atau khawatir akan posisinya. Internship di daerah merupakan
pilihan yang tepat untuk meningkatkan pengetahuan mengingat banyaknya kasus yang
ditangani perhari. Dr Wulan mengatakan kepada kami dalam memberikan pengobatan
kepada pasien, bahasa memang merupakan aspek yang sangat penting, akan tetapi saat
dihadapkan dengan pasien yang berbeda bahasa dengan kita, tidak perlu khawatir karena
bahasa tubuh, mimik wajah, dan sentuhan merupakan cara agar pengobatan yang akan kita
berikan dapat diterima pasien asalkan kita dapat menunjukkan empati dan niat semata
untuk membantu pasien dengan hati tulus dan ikhlas. dr Wulan juga menceritakan
pentingnya profesionalisme dalam bidang medis saat ia dihadapkan dengan ilmu teman
sejawat yang tidak di update benar. Hal ini ia rasakan saat datang pasien yang
mengonsumsi obat yang salah karena anjuran dokter sebelumnya. Setiap dokter pun harus
memperlakukan teman sejawat seperti dia ingin diperlakukan sebagaimana mestinya. Agar
tidak terlihat menjatuhkan teman sejawat yang lain, dr Wulan pun harus beralasan
mengganti obat yang dikonsumsi pasien dengan beberapa alasan dan untungnya pasien pun
mengerti. RS tempat dr Wulan internship pun memberikan kesempatan kepada para

4
karyawannya untuk mengembangkan skill mereka melalui tiket gratis seminar di Jakarta
selama 1x. Karena banyaknya perawat yang tidak bisa memasang infus kepada pasien,
akhirnya dr Wulan dan para sejawatnya melakukan pelatihan gratis setelah bekerja kepada
para perawat. Semangat profesionalisme dan tolong menolong antar manusia sangat erat di
lingkungan medis di Pulau Bacang karena jika hidup mampu diulang, dr Wulan ingin
melatih lebih banyak kemampuannya saat menjalani masa pendidikan di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Profesionalisme juga dapat ditunjukkan melalui
melakukan riset terlebih dahulu kondisi apa yang akan dihadapi karena dr Wulan sempat
salah menggunakan benang dalam menjahit muka, yang dimana seharusnya tidak
menggunakan benang tersebut yang akan menimbulkan scar di wajah pasien tersebut
selamanya padahal terdapat benang khusus di wajah yang tidak akan menimbulkan scar
jika dokter lebih aware akan pengetahuan dan kemampuannya. Hal inilah yang
menyebabkan saya ingin terus meningkatkan kemampuan saya bukan hanya untuk ujian
pendidikan kedokteran, akan tetapi demi kesehatan dan kesejahteraan pasien saya
dimanapun berada.
Sistem kesehatan yang melayani beragam populasi membutuhkan profesional
kesehatan yang kompeten dalam merawat pasien dan kelompok populasi yang berbeda,
misal usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, status migran, dan etnis. Kompetensi
budaya di antara profesional kesehatan dipandang sebagai salah satu strategi untuk
memastikan akses yang sama ke perawatan kesehatan di berbagai kelompok dan untuk
memastikan bahwa pasien menerima perawatan sesuai kebutuhan mereka. Namun, banyak
dokter yang tidak cukup siap untuk memenuhi kebutuhan populasi yang semakin beragam.
3
Berbeda dengan dr Atikah, ia merasa sudah siap saat memutuskan mendaftar internship di
Papua. Mengetahui bahwa ia yang notabene hidup di kota sejak lahir, ia melakukan riset
terlebih dahulu mengenai daerah tujuannya karena sadar bahwa daerah yang dituju adalah
daerah yangakan berbeda suku, ras, dan golongan yang mengakibatkan perbedaan perilaku
sehari-hari. dr Atikah mengatakan bahwa keunikan di Papua adalah hukum pemerintah
berjalan beriringan dengan hukum adat setempat. Ketika terjadi konflik antar suku,
beberapa orang sudah pasti terluka dan dilarikan ke IGD Rumah Sakit terdekat dari tempat
konflik, dokter dan perawat disana menerima korban tersebut dengan hati yang was-was
karena kedua belah pihak yang berkonflik menimbulkan kegaduhan di RS karena ingin
sama-sama menyaksikan proses penanganan teman sukunya yang terluka. Jika salah satu

5
pihak yang berkonflik mendapat jatihan, pihak korban akan meminta tebusan berupa uang
tunai per jahitan. dr Atikah menceritakan bahwa jika sedang berkonflik antar suku dan
pihak korban mendapat 25 jahitan, sudah pasti pihak korban akan meminta uang tunai
sebesar 25 juta kepada pihak lawan. Oleh sebab itu, dokter di rumah sakit tersebut terpaksa
berbohong kepada pihak lawan dengan mengurangi jumlah jahitan yang ada. Selain itu,
aspek budaya yang masih kental di Papua adalah pengobatan ke dukun. Masyarakat Papua
jika sakit akan memutuskan mendapatkan pengobatan ke dukun, sedangkan jika
dibutuhkan pemeriksaan laboratorium dan rontgen, masyarakat baru pergi ke rumah sakit.
Menurut dr Atikah kasus yang paling memprihatinkan adalah saat ibu baru saja melahirkan
di dukun. Dukun tersebut tidak mengetahui bahwa ibu tersebut baru saja mengalami
perdarahan, sehingga mau tidak mau ibu tersebut harus dibawa ke rumah sakit. Setelah di
bawa ke rumah sakit, kondisi ibu tersebut sudah cukup parah dan untungnya bisa
diselamatkan oleh tim medis disana. Solusi dari permasalahan ini agar tidak menimbulkan
konflik baru antara tim medis dengan budaya penduduk setempat adalah membiarkan
pasien pergi ke dukun, tetapi dengan syarat pasien tersebut harus tetap mengonsumsi obat-
obatan dari dokter dan menjalani rangkaian pemeriksaan yang dianjurkan oleh dokter.
Menurut saya tidak ada win-win solution yang tepat dilakukan untuk permasalahan ini dan
demi ketentraman dan ketertiban semua pihak. Kemampuan komunikasi, keterbukaan
pikiran, dan bersabar merupakan kunci keberhasilan untuk menghadapi pertentangan
antara dukun dan tim medis saat ini. Selain itu, menurut saya solusi lain adalah tim medis
dapat melakukan edukasi dan pelatihan gratis kepada para dukun di daerah tersebut dan
diharapkan dapat mengurangi komplikasi medis yang terjadi.
Melalui Talkshow modul EEP-3 ini, saya merasa bersyukur dan bangga akan
pengalaman senior-senior yang membanggakan. Menarik untuk mendengarkan
pengalaman internship dari para senior, meningat tidak sedikit pro dan kontra mengenai
apakah diperlukan atau tidak program ini, bagaimana hak dan kewajiban para sejawat
pelaksana, dan lain-lain. Menurut saya program internship ke daerah pedalaman di
Indonesia sendiri terasa sangat bermanfaat, bukan hanya mematangkan diri menjadi the
real doctor, kita dapat melakukan manajemen holistik pada pasien baik dari sisi
humanisme, profesionalisme, dan budaya adat istiadat. Secara tidak langsung ini menjadi
tempat guna mempersiapkan mental para dokter muda supaya tidak “kaku” saat bekerja
langsung di masyarakat dan ini terlihat sudah melalui pengalaman para narasumber dalam

6
talkshow ini. Dari pro-kontra yang ada memang tidak semudah membalik telapak tangan
dari kekurangan program internship ini, diharapkan “stakeholder’ yang ada memberikan
dukungan dan pengertian kepada sistem medis di Indonesia agar program internship ini
menjadi lebih baik.

Referensi:
1. Ajayi VO. Science and humanism[Internet]. Nigeria: Benne State University; 2018
August[cited 2020 Dec 18]. Available from
https://www.researchgate.net/publication/327020110_Science_and_Humanism
2. Boracci R, Victor M. Medical professionalism models of regulation and professionl
autonomy. Rev Arg de Car. 2015 Jul[cited 2020 Dec 18];83(3):241-3. Available
from
https://www.researchgate.net/publication/281764845_Medical_Professionalism_M
odels_of_Regulation_and_Professional_Autonomy DOI: 10.7775/rac.v83.i3.5834.
3. Sorensen J, Norredam M, Dogra N, Bot MLE, Suurmond J, Krasnik A. Enhancing
cultural competence in medical education. Int J Med Educ. 2017[cited 2020 Dec
18]; 8:28-30. Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5275746/
doi: 10.5116/ijme.587a.0333. ddd

Anda mungkin juga menyukai