Anda di halaman 1dari 11

Presiden SBY memprihatinkan peningkatan perilaku masyarakat yang berobat ke

luar negeri. Demikian salah satu masalah yang disampaikan dalam siaran pers
presiden setelah menghadiri rapat kerja di Departemen Kesehatan, Selasa tanggal
13 Maret 2007 (http://www.presidensby.info). Hal ini mungkin menjadi masalah
tersendiri bagi pemerintah. Tampaknya bukan hanya mengakibatkan masalah
ekonomi tetapi juga menyangkut harga diri bangsa. Mengapa tenaga dokter dari
anak bangsa tidak dipercaya masyarakatnya sendiri?

PERSAINGAN GLOBAL

Sebuah fakta menyebutkan, pejabat rumah sakit pemerintah negara tetangga


mengatakan lebih dari seratus ribu warga Indonesia berobat ke Singapura setiap
tahunnya. Selain Singapura, pasien asal Indonesia juga mendominasi di sejumlah
rumah-rumah sakit di Malaysia dan Ghuang Zou Cina. Jumlah devisa negara yang
tersedot ke RS-RS luar negeri mencapai US$600 juta setiap tahunnya. General
Manager National Healthcare Group International Business Development Unit
(NHG IBDU) Kamaljeet Singh Gill mengungkapkan, sebanyak 50% pasien
internasional yang berobat ke Singapura adalah warga Indonesia. Berdasarkan
data yang dihimpun, setiap tahunnya, wisatawan medis atau medical tourist yang
berobat ke Singapura mencapai 200.000 per tahun.

Data lainnya menunjukkan, jumlah pasien Indonesia yang berobat di RS Lam Wah
Ee Malaysia mencapai 12.000 per tahun atau sekitar 32 pasien per hari.
Sementara, di RS Adventist Malaysia jumlah pasien Indonesia yang terjaring
mencapai 14.000 per tahun atau sekitar 38 pasien per hari. Sementara jumlah
warga Sumatera Utara dan sekitarnya yang berobat ke Penang, Malaysia,
mencapai seribu orang setiap bulannya.

MENGAPA TERJADI

Faktor penyebab terjadinya peningkatan kebiasaan berobat ke luar negeri sangat


bervariasi. Pada umumnya masyarakat beranggapan hal itu terjadi karena
kecanggiahn sarana medis dan kemampuan tenaga media di Indonesia yang
kurang. Sebagian besar indikasi berobat ke luar negeri adalah bukan karena
keterbatasan alat dan kemampuan dokter, tetapi karena permintaan keluarga
pasien. Secanggih apapun sarana medis atau sepintar apapun dokternya tidak
akan berarti bila tidak ada rasa percaya. Kepercayaan pasien terhadap dokter
adalah kunci utama keberhasilan penanganan suatu penyakit.

Banyak opini menyebutkan, cara berkomunikasi dengan pasien dokter di


Indonesia kalah jauh dibandingkan dokter di luar negeri. Padahal pasien dan
dokter Indonesia berbahasa yang sama, bahasa Indonesia. Beberapa pasien
mengungkapkan berobat di Singapura sangat puas, karena dapat berkonsultasi
dengan dokter hingga 1 jam. Di Indonesia, seorang pasien dapat masuk ruang
praktek dokter 15 menit saja sudah menjadi hal yang langka.

Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi tampaknya terdapat kecenderungan
partisipasi aktif peneliti dan dokter di Indonesia di forum ilmiah Internasional
tidak terlalu menonjol dibandingkan negara tetangga. Tetapi kita juga harus
bangga masih ada dokter Indonesia yang disegani dan diakui di dunia ilmiah
internasional.

Permasalahan lain seperti maraknya kasus yang dicurigai malpraktek, masalah flu
burung atau gizi buruk masih menjadi ganjalan. Meskipun hal itu bukan
parameter bermakna yang menunjukkan dunia kedokteran Indonesia mundur.
Tetapi, dunia kedokteran di Indonesia harus mawas diri dengan beberapa
fenomena tersebut.

Dalam menghadapi era globalisasi beberapa negara maju membagi tenaga dokter
menjadi pendidik atau dosen, klinikus atau dokter praktek dan peneliti. Di
Indonesia secara ideal beban dokter pengajar sebagian besar adalah mengajar
mahasiswa dan sebagian kecil penelitian dan edukasi masyarakat. Sedangkan
dokter klinisi kegiatannya sebagian besar adalah melayani masyarakat, sebagian
kecil penelitian dan edukasi masyarakat. Dokter peneliti sebagian besar
kegiatannya adalah penelitian, sebagian kecil lainnya mengajar mahasiswa dan
edukasi masyarakat.

Konsep pembagian fungsi dokter yang ideal ini, di Indonesia saat ini sulit
terlaksana. Alasan utama adalah menyangkut masalah dukungan dana. Tidak
dipungkiri, di Indonesia hanya menjadi seorang dokter peneliti atau pengajar sulit
untuk dapat hidup layak. Sehingga pada umumnya di Indonesia seorang dokter
harus merangkap ketiga fungsi itu secara bersamaan. Belum lagi ditambah
dengan aturan membolehkan praktek di tiga tempat. Pada umumnya di negara
maju dokter hanya diperbolehkan praktek di satu tempat. Meski dengan
manajemen waktu yang paling canggih atau sepintar apapun dokternya. Bila
menerima beban berat ini seorang dokter pasti sulit menghasilkan ”out come”
yang maksimal. Permasalahan di atas bertambah karena rasio dokter dengan
masyarakat yang masih sangat kecil. Belum lagi dalam posisi tertentu dokter
seperti dokter Puskesmas, sering dibebani tugas administrasi dan birokrasi yang
banyak dan rumit.

Bagaimana kualitas pendidikan dokter bila dosennya sepanjang sore dan malam
sudah letih praktek di 3 tempat ? Bagaimana kuantitas dan kualitas penelitian bila
ketiga fungsi yang menyita waktu itu dikerjakan secara bersamaan ? Bagaimana
kualitas komunikasi dokter dengan pasien bila sebelumnya harus praktek di
banyak tempat, pasien banyak atau setelah letih mengajar ? Buruknya komunikasi
diyakini sebagai penyebab rendahnya kualitas dokter di Indonesia dan penyebab
utama kasus yang dicurigai malpraktek. Bagaimana layanan medis di Puskesmas
bila dokter harus setiap hari dihadapkan pada acara rapat dan birokrasi yang
melelahkan. Sebenarnya kita harus kagum dengan profil dokter di Indonesia, yang
bisa sukses di semua fungsi tersebut. Tetapi tidak banyak orang untuk bisa
menjadi manusia super seperti itu.

Dokter sudah terlanjur dianggap masyarakat sebagai profesi ”sosial” oleh


masyarakat. ”Dokter juga manusia”, membutuhkan kehidupan layak seperti
profesi lainnya. Tetapi bila dokter memberikan tarif yang agak mahal, langsung
divonis ”mata duitan”. Tetapi masyarakat tidak akan pernah memvonis negatif
bila profesi pengacara dengan tarifnya yang jutaan hingga ratusan juta.
Kecenderungan dominasi pertimbangan materi ini, nantinya akan diperumit oleh
semakin tingginya pendidikan dokter umum atau dokter spesialis saat ini.
Bayangkan untuk sekolah dokter dan dokter spesialis harus menghabiskan biaya
puluhan hingga ratusan juta rupiah.
MAWAS DIRI

Melihat kondisi yang demikian kompleks permasalahan dunia kedokteran di


Indonesia ini sepertinya sulit terpecahkan. Tetapi hal ini bukan alasan untuk dapat
meningkatkan kualitas dunia kedokteran di Indonesia. Pemerintah dan institusi
profesi harus segera bekerjasama untuk merumuskan modifikasi pembagian
fungsi dokter pendidik, peneliti dan klinisi secara tegas. Dengan tetap
mempertimbangkan kehidupan yang layak bagi tugas yang dibebankan.

Aturan satu tempat praktek untuk dokter klinisi atau dua tempat untuk dokter
pengajar di rumah sakit pendidikan mungkin bisa mengurangi permasalahan yang
ada. Kecuali dokter yang berpraktek di daerah dengan keterbatasan tenaga
dokter. Dengan membuat aturan satu tempat praktek sebenarnya tidak akan
mengurangi lahan dokter. Karena secara alamiah pasien akan tetap mencari
karisma dan profesionalitas dokter tertentu dimanapun tempatnya. Dalam hal
manajemen waktu dan kualitas layanan akan menguntungkan tugas dokter dan
kepentingan pasien.

Pendidikan kedokteran di Indonesia yang mencetak dokter masa depan juga


harus mawas diri. Peningkatan kualitas dokter yang berorientasi ilmiah dengan
basis penelitian, menggunakan kemajuan teknologi dan meningkatkan pendidikan
moral. Pendidikan dokter umum dan spesialis tidak harus dengan biaya tinggi.
Karena, mengurangi kesempatan calon mahasiswa tidak mampu yang berkualitas
tetapi juga mengurangi perilaku ”profesi anti sosial” di masa depan. Seleksi
penerimaan calon dokter dan dokter spesialis harus transparan, bukan hanya
mempentingkan kalangan sendiri.

Tampaknya hal yang ideal ini dalam waktu dekat sulit diwujudkan. Tetapi bila ada
kemauan maka akan tercipta dunia kedokteran Indonesia yang berkualitas dan
dipercaya masyarakatnya. Dokter masa depan adalah mengutamakan
profesionalitas, bertehnologi tinggi, beretika dan berkomunikasi baik dengan
pasiennya. Sehingga keprihatinan presiden SBY tentang perilaku masyarakat yang
berobat di luar negeri dapat diminimalkan.

Artikel oleh : Dr Widodo Judarwanto SpA (www.pdpersi.co.id)


http://astaqauliyah.com/2007/03/mawas-diri-dunia-kedokteran-indonesia/

Kompetensi dokter layanan kedokteran primer termuat dalam dokumen Konsil


Kedokteran Indonesia (KKI) tahun 2006 berjudul “STANDAR KOMPETENSI
DOKTER” yang menjabarkan dalam 7 area kompetensi :

1. AREA KOMUNIKASI EFEKTIF; mampu menggali dan bertukar informasi secara


verbal dan nonverbal denganpasien semua usia, anggota keluarga, masyarakat,
kolega, dan profesi lain.

2. AREA KETERAMPILAN KLINIS; melakukan prosedur klinis dalam menghadapi


masalah kedokteran sesuai dengan kebutuhan pasien dan kewenangannya.

3. AREA LANDASAN ILMIAH ILMU KEDOKTERAN; mengidentifikasi, menjelaskan,


dan merancang penyelesaian masalah kesehatan secara ilmiah menurut ilmu
kedokteran-kesehatan mutakhir untuk mendapat hasil yang optimum.

4. AREA PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN : mengelola masalah kesehatan


individu, keluarga, maupun masyarakat secara komprehensif, holistik,
bersinambung, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan
primer.

5. AREA PENGELOLAAN INFORMASI : mengakses, mengelola, menilai secara kritis


kesahihan dan kemamputerapan informasi untuk menjelaskan dan menyelesaikan
masalah, atau mengambil keputusan dalam kaitan dengan pelayanan kesehatan
di tingkat primer.

6. AREA MAWAS DIRI DAN PENGEMBANGAN DIRI : melakukan praktik kedokteran


dengan penuh kesadaran atas kemampuan dan keterbatasannya; mengatasi
masalah emosional, personal, kesehatan, dan kesejahteraan yang dapat
mempengaruhi kemampuan profesinya; belajar sepanjang hayat; merencanakan,
menerapkan, dan memantau perkembangan profesi secara sinambung.

7. AREA ETIKA, MORAL, MEDIKOLEGAL DAN PROFESIONALISME SERTA


KESELAMATAN PASIEN : berprilaku profesional dalam praktik kedokteran serta
mendukung kebijakan kesehatan; bermoral dan beretika serta memahami isu etik
maupun aspek medikolegal dalam praktik kedokteran; menerapkan program
keselamatan pasien.

http://dinkes.malangkota.go.id/index.php/berita-terbaru/150-kompetensi-dokter

betapa seringnya kita senantiasa memyebut-nyebut “Mawas Diri” baik dalam


percakapan ataupun dalam sambutan-sambutan tanpa mengerti makna ataupun
hakekat yang sebenarnya dari pada mawas diri itu. Karena sering di ucapkan,
maka pengertian mawas diri itu sendiri lalu menjadi tidak bermakna kembali.
sesungguhnya apabila kita amati bersama, maka segala peristiwa, kejadian,kasus-
kasus baik sifatnya kriminalitas, konflik antar etnis, antar golongan ekonomi, antar
desa dan antar kota, korupsi, penyalahgunaan wewenang dan lain-lain peristiwa
yang mempunyai konotasi yang negatif, tiadak disebabakan oleh tidak adanya
“mawas diri” demikian hebat dan luasnya akibat yg di timbulkannnya, karena
kebanyakan kita tidak mawas diri. oleh karena itu pemilihan dari judul ini
merupakan kebiasaan hampir di sekitar lingkungan kita, adapun dampak negatif
dampak negatif dari pembangunan yang kita sama-sama saksikan pada dewasa ini
adalah kecenderungan masyarakat kita ke arah matearilisme, konsumerisme,
hedonisme, individualisme, securalisme, hilangnya rasa gotong royong
pendakalan nilai- nilai etik, moral dan agama, hal ini kalau kita biarkan berlarut-
larut akan menjadi sebuah tradisi dan menghilangkan kemajuan yang telah
tercapai. sehubungan dengan hal tersebut di atas, marilah kita bersama-sama
mengadakan penelaahan yang lebih mendalam tentang pengertiaan mawas diri
samapai pegertian hakiki dan sekaligus mengamalkannya. dengan pengertian
hakiki tersebut dan pengamalannya, maka kecenderungan masyarakat kita yang
negatif tersebut di atas sedikit demi sedikit dan berangsur-angsur dapat di
hilangkan.

2. pengertian mawas diri


mawas diri menurut kamus Beasar Bahasa indonesia, edisi kedua, balai pustaka
1993, ialah melihat(memeriksa dan mengoreksi) diri sendiri secara
jujur,instropeksi, kita harus mawas diri agar kita janagan membuat kesalahan
yang sama. mawas diri menurut Marbangun Hardjowirogo ialah meninjau ke
dalam, hati nurani kita guna mengetahui benar tidaknya, suatu tindakan yang
telah di ambil.

secara teknis psikiologis usaha tersebut dapat dinamakan juga instropeksi yang
pada dasarnya ialah pencarian tanggung jawab ke hati nurani mengenai suatu
perbuatan. orang jawa sering berbicara tentang mawas diri dan berusaha pula
untuk mempraktikkannya guna mendapatkan jawaban atas persoalan yang di
hadapinya yakni apakah suatu perbuatan yang di lakukannya, suatu tindakan yang
di ambilnya secara moral dapat di benarkan dan dapat di pertanggungjawabkan.
adapun jawaban yang di cari adalah menelaah hati nurani dalam hubungan
denagan ”mawas diri” ini , maka pernahkah kita berfikir tentang manfaat dan nilai
sebuah cermin? kata dasar ”cermin’ menurut kamus besar bahasa indonesia
adalah suatu yang menjadi teladan atau pelajaran juga sebagai suatu yang
membayangkan perasaan yaitu isi hati dan keadaan batin. untuk itulah Tuhan
Yang Maha Esa sering memperingatkan dalam Al-qur`an dengan mempertayakan
”afalaa ta`qiluun(apakah kalian berfikir) cermin pada hakekatnya membantu
setiap orang yang beriman dalam menepishati dan perasaan dari ketakutan tidak
terpenuhinya persyaratan etika dan estetika dalam pergaulan. bercermin dapat
melatih setiap orang yang beriman untuk memperkaya jiwaagar pandai
mensyukiri nikmat ALLAH SWT bercermin hendaknya tidak hanya mengejar
kepuasan lahiriyah semata atau sebatas menggapai kemolekan duniawi. ketika
bercermin seharusnya kita berniat mencapai komelakan ukhrowi yang hakiki.
untuk setiap kali bercermin islam mengajarkan suatu Do`a “allahumma
kemaahassanta fa hassin khulugii”(Ya Tuhan, sebagaimana engkau telah percantik
diriku, percantik pulalah budi pekertiku)

menurut hasan al bashri, sufi terkemuka dari angkatan tabi’iin ada 2 alasan kita
perlu mawas diri:
1. karena dosa-dosa yang kita lakukan, kita tidak tahu apakah ALLOH SWT masih
berkenan mengampuni dosa-dosa itu atau tidak

2. karena usia kita yang tersisa, kita tidak tahu apakah kita dapat
mempergunakansisa usia kita secara baik dan produktif.

http://juzzto.wordpress.com/2008/01/25/mawas-diri/

Mawas Diri" meninjau kedalam hati nurani kita untuk mengetahui benar atau tidak suatu
tindakan. nah secara gamblang kita akan tahu apa itu mawas diri sebagai tindakan untuk
bersikap "Tahu diri", pernyataan yang menimbulkan pertanyaan sederhana dan akan
menghasilkan jawaban sederhana pula, Tahu dirikah anda?

Jawaban yang paling tepat adalah attitude serta sikap dalam keseharian yang akan menjadi
jawabannya, sikap kita akan merefleksikan apakah kita adalah orang yang "tahu diri" atau
tidak. contoh sederhana, ketika seseorang diberikan sesuatu yang berguna oleh orang lain,
namun orang yang diberi tidak menghargai apa yang telah dilakukan/diberikan kepadanya,
padahal hal yang diberikan merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup,
bagi masa depan yang lebih baik dan banyak hal yang tidak dapat dibalas dengan materi.
Penghargaan dan sikap yang tidak diberikan secara layak kepada orang tua yang telah
memberikan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup, pendidikan yang layak
bahkan masa depan serta harapan yang besar.

Sekarang apakah kita atau anda sudah menghargai dan membalas kebaikan semua orang,
kepada orang tua, kepada guru yang berperan sebagai second parents atau orang tua kedua
setelah keluarga. apakah kita menghargai sahabat, teman sejawat serta partner kerja. padahal
mereka semua telah secara tidak langsung membantu kita untuk menjadikan kita hidup lebih
baik!. hal sedemikian mengingatkan kita akan pelajaran moral dan agama pada sekolah-sekolah
yang pernah kita lalui atau sedang anda jalani saat ini.

http://hadi-tzu.blogspot.com/2011/03/mawas-diri-tahu-diri.html

P2KB dan Cara lain Mendapatkan SKP

Tentu sebagai dokter baru yang telah mendapat STR yang hanya berlaku 5 tahun maka langkah
selanjutnya adalah berusaha untuk memperpanjang STR tersebut. Kali ini aku pengen bagi info
soal P2KB yang infonya didapat dari milis TS FK Unpad, sumbernya email dari dr. Dyah Waluyo
(IDI).

Bagi dokter yang saat ini sudah mendapat STR, maka untuk perpanjangan STR (resertifikasi),
tidak ujian tetapi mengikuti program pengembangan pendidikan berkelanjutan P2KB atau
continuing professional development (cpd). Tujuan P2KB sebenarnya bukan hanya untuk
mendapat SKP tetapi lebih penting adalah menjaga kompetensi kita sebagai dokter.

Berbeda dengan CME (continued medical education) yang dulu, untuk nilai SKP tidak hanya dari
kegiatan eksternal saja (seminar, simposium, dll) tetapi juga dari kegiatan internal dan pribadi.
Kegiatan pribadi adalah kegiatan pembelajaran yang kita lakukan sendiri sebagai dokter,
misalnya membaca jurnal, menjawab uji diri, praktik pribadi, dll. Adapun kegiatan internal
adalah kegiatan kita sebagai dokter di institusi tempat kerja, misalnya memeriksa pasien di
klinik, rs atau puskesmas; mengikuti ronde besar, mengikuti seminar internal di RS, dll. Buku
tentang P2KB online bisa baca di sini. Contoh : misal untuk kegiatan memeriksa pasien tanpa
intervensi (konsultasi), hitung jumlah pasien TS sebulan. Bila jumlah pasien 1-50/bulan maka ts
mendapat 1 SKP per bulan, bila jumlah pasien lebih dari 50 maka ts mendapat skp 2 SKP untuk
bulan itu. Jadi dari memeriksa pasien tanpa intervensi setahun s mendapat 12 - 24 SKP. Contah
lain dengan mendapatkan 12 SKP dari membaca majalah kedokteran Indonesia (MKI) bisa
dengan jalan berlangganan selama setahun.

http://dokternida.blogspot.com/2009/05/p2kp-dan-cara-lain-mendapatkan-skp.html

Beberapa ketetapan PB IDI tentang proses pemberian akreditasi kegiatan P2KB (Program
Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan)/CPD (Continuing Professional
Development) eksternal atau CME(Continuing Medical Education). Permohonan SKP IDI untuk
suatu kegiatan CME diajukan 3 bulan sebelum kegiatan yang direncanakan dan SKP akan
dikeluarkan 1 bulan sebelum kegiatan berlangsung. Biaya permohonan SKP IDI mengacu pada
SK PB IDI no 108/PB/A.4/08/2007 tanggal 15 Agustus 2007. Permohonan yang terlambat akan
memerlukan biaya yang lebih besar.

Permohonan SKP IDI diajukan ke :

Badan P2KB IDI Pusat untuk kegiatan yang bertingkat nasional

Badan P2KB IDI wilayah setempat untuk kegiatan yang bertingkat wilayah/lokal dengan
ketentuan yang sama.
Tata cara permintaan SKP IDI untuk kegiatan CME

Mengajukan surat permohonan kepada P2KB IDI pusat/wilayah dan Surat permohonan disertai
lampiran :

1. TOR kegiatan yang berisi : (a) tema, kegiatan, materi, metoda, assessment (b) acara lengkap :
rincian waktu, topik, pembicara dan moderator (c)rencana evaluasi penyelenggara (d)susunan
panitia

2. Riwayat hidup pembicara dan moderator serta pernyataan kesediaan dari pembicara

3. Penyelenggara CME dari sub organisasi IDI pusat/cabang (kecuali PDSp/PDPP pusat atau
cabang) diminta melampirkan surat pengakuan sebagai sub organisasi IDI dari ketua MPPK IDI
pusat

4. Organisasi/institusi/lembaga penyelenggara CME non IDI diminta melampirkan surat


keputusan pengakuan dari institusi/lembaga penyelenggara kegiatan CME non IDI dari ketua
BP2KB Pusat.

Tata cara permintaan pengakuan bagi sub organisasi IDI (non PDSp/PDPP) dari ketua MPPK IDI
Pusat

Mengajukan permohonan pendaftaran ulang (re-registrasi) sebagai organisasi atau lembaga di


bawah naungan IDI kepada ketua MPPK Pusat.

2. Menyertakan bukti syarat administrasi: (a) Foto kopi SK dari PB IDI tentang kepengurusan
yang terakhir (b)Aktivitas kegiatan CME 2 tahun terakhir (2005 dan 2006)

Tata cara permintaan pengakuan bagi institusi/lembaga penyelenggara kegiatan CME non IDI

Mengajukan surat permohonan pengakuan kepada IDI cq BP2KB IDI Pusat

Menyertakan bukti syarat administrasi di bawah ini :

Berkedudukan di wilayah Indonesia dan mempunyai alamat yang jelas atau bila berkedudukan
di LN perlu melampirkan rekomendasi dari perhimpunan terkait.

Berbadan hukum (yayasan, PT, LSM) dengan susunan pengurus yang jelas
LSM dan penyelenggara training profesional pelu melampirkan rekomendasi dari perhimpunan
dokter yang terkait dengan tema kegiatan.

Untuk pengakuan/akreditasi ini berlaku ketentuan sebagai berikut :

Berlaku untuk jangka 1 tahun. Lembaga yang 5 (lima) tahun berturut-turut memperoleh Kredit
A akan mendapatkan Pengakuan Otomatis yang berarti kegiatannya otomatis diakui oleh IDI>

Pengakuan bagi penyelenggara dikelompokkan dalam 4 tingkat : A, B, C dan D.

Syarat penyelenggaraan kegiatan CME

Diselenggarakan oleh lembaga/organisasi yang kompeten dan terakreditasi oleh BP2KB.

2. Kegiatan harus memiliki : (a)Tujuan umum/khusus (b)Materi yang relevan dengan


kompetensi dokter calon peserta (c) Pengajar kompeten di bidangnya dan memberikan
pernyataan tertulis bahwa ia tidak mempunyai kepentingan tertentu.

Kegiatan yang dilaksanakan paralel di beberapa tempat atau berseri, harus dimintakan
kreditnya secara sendiri-sendiri.

4. Pelaksanaan kegiatan : (a)lama waktu ceramah minimal 25 menit dan tersedia waktu untuk
diskusi interaktif (b) ada assessment bagi peserta (misalnya pretest dan post test)

Dilakukan evaluasi atas penyelenggaraan.

Dalam kondisi pembicara dianggap tidak memenuhi kualifikasi, maka kegiatan P2KB terkait
tidak akan diakui dan tidak memperoleh kredit P2KB walaupun materi dan lembaga
penyelenggara terakreditasi.

Bila kegiatan merupakan kerja sama dengan lembaga LN, maka nilai kredit pendidikannya
sesuai dengan nilai yang disepakati oleh penyelenggara.

Sumber : http://infoidi.com/article.php?story=20080920202825281

Anda mungkin juga menyukai