Anda di halaman 1dari 4

Disain Ruang Praktik Bagi pasien Anak

PenulisArlete Suzy Puspa Pertiwi


PenerbitUnpad
BahasaIndonesia
Hak CiptaUnpad
Kata KunciAnak, Children, Dental Office, Design, Disain, Ruang Perawatan

Kecemasan pasien anak terhadap perawatan gigi sering kali timbul karena anak merasa
takut berada di ruang praktik dokter gigi. Ruangan praktik dokter gigi sebaiknya dibuat
senyaman mungkin sehingga anak merasa seperti di rumahnya sendiri. Ruangan praktik
tersebut dibedakan antara ruang tunggu dan ruang perawatan. Jika tempat p^Mktik tidak
terbatas hanya untuk pasien anak-anak, salah satu metode yang efektif di antaranya
adalah dengan pembuatan ruang tunggu yang dibuat sedemikian rupa khusus untuk anak.
Membuat ruang penerimaan yang nyaman dan hangat sehingga anak merasa tidak asing
ketika memasukinya, oleh karena itu dekorasi ruangan sangat memegang peranan penting
dan erat kaitannya dengan kondisi psikologis mereka. Makalah ini membahas mengenai
tata ruang praktik yang dapat membuat anak merasa nyaman.

The anxieties experienced by pediatric patients during dental treatment of ienly occur
because the child is afraid being in dental office. Dental office is preferred to be
arranged as comfortable as it can so a child is feeling like at their home. These were
separated between waiting and examination room If the practice is not limited to
children, one of effective method is to arrange a waiting room especially for children.
Reception room is arranged warmth and comfort so the child would not feel strange to
enter it. Room decorations play an important role and closely related to child’s
psychology. This paper will discuss about decoration of dental office which comfort
children.

Download: pdf

Pustaka Terkait

 Efek Klinis Echinacea Terhdap Pengendalian Rasa Nyeri Gigi Pada Anak -
Clinical Effect Of Echinacea As Dental Pain Control In Children
 Aspek Kognitif Pada Anak Usia 0-7 Tahun
 Mengembangkan Kecerdasan Emosional Pada Anak
 Gambaran Kesiapan Anak Masuk Sekolah Dasar Ditinjau Dari Hasil Tes Nst
(Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test)

http://pustaka.unpad.ac.id/archives/15515/
Dokter Untuk Bangsa  
Dr Widodo Judarwanto SpA
Rabu, 21 May 2008 23:08:53

Pdpersi, Jakarta - Satu abad hari kebangkitan nasional jatuh pada tanggal 20 Mei
2008. Tokoh intelektual lokalpada masa itu, yakni dr. Wahidin Sudirohusodo, alumni
Sekolah Dokter Jawa (STOVIA), memprakarsai pembentukan sebuah organisasi yang
bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan. Seratus tahun yang lalu tepatnya 20
Mei 1908, beliau mengumpulkan para murid dari STOVIA, OSVIA, Sekolah Guru,
Sekolah Pertanian, dan Sekolah Kedokteran Hewan di Jakarta, yang melahirkan Budi
Utomo.

Semangat dr Wahidin inilah yang terus berusaha dikumandangkan oleh para pendiri
republik ini dan para penerusnya demi menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa. Momentum kiprah Wahidin yang kebetulan seorang sosok dokter tidak lepas
dari perhatian pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk dijadikan peringatan
seabad kiprah dokter di Indonesia. Peringatan tersebut dijadikan tonggak awal
melakukan revitalisasi peran dokter atau mengembalikan peran dokter kepada trias
peran dokter, dan menggugah tanggung jawab sosial profesi (Profesional Social
Responsibility) para dokter. Aksi langsung yang akan dilakukan adalah melakukan
Gerakan Dokter untuk Bangsa.

Gerakan Dokter untuk Bangsa adalah gerakan yang menghimpun dan mengerahkan
segenap potensi dokter dan potensi masyarakat untuk menyehatkan bangsa. Dengan
melakukan aksi langsung kepada masyarakat dan bangsa ini secara nyata. Selain itu
potensi dokter harus direvitalisasi, sehingga dimanapun ditempatkan masyarakat dan
bangsa mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat dari profesi
dokter.

Persaingan Global
Dewasa ini terdapat kecenderungan terjadi peningkatan secara tajam angka kejadian
masyarakat yang berobat ke luar negeri. Tampaknya fenomena ini bukan hanya
mengakibatkan masalah ekonomi tetapi juga menyangkut harga diri bangsa. Mengapa
tenaga dokter dari anak bangsa tidak dipercaya masyarakatnya sendiri?

Bila dicermati indikasi berobat ke luarnegeri sebagian besar bukan karena di Indonesia
kurang dalam hal peralatan medis atau kurang pintarnya dokter. Alasan nonmedis yang
sering terjdi adalah rasa ketidakpercayaan yang cenderung diawali dengan masalah
kurangnya komunikasi antara pasien dan dokter. Banyak opini menyebutkan, cara
berkomunikasi dengan pasien dokter di Indonesia kalah jauh dibandingkan dokter di
luar negeri. Padahal pasien dan dokter Indonesia berbahasa yang sama, bahasa
Indonesia. Beberapa pasien mengungkapkan berobat di Singapura sangat puas, karena
dapat berkonsultasi dengan dokter hingga 1 jam. Di Indonesia, seorang pasien dapat
masuk ruang praktek dokter 15 menit saja sudah menjadi hal yang langka.

Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi tampaknya terdapat kecenderungan
partisipasi aktif peneliti dan dokter di Indonesia di forum ilmiah Internasional tidak
terlalu menonjol dibandingkan negara tetangga. Meskipun kita juga harus bangga masih
ada dokter Indonesia yang disegani dan diakui di dunia ilmiah internasional.

Permasalahan lain seperti maraknya kasus yang dicurigai malpraktek, masalah flu
burung atau gizi buruk masih menjadi ganjalan. Indikaton objektif yang mencerminkan
sehat-sakitnya satu bangsa dapat dilihat dari beberapa indeks global, antara lain: Human
Development Index (HDI), Human Poverty Index (HPI), Index of Economic Freedom
(IEF). HDI menggambarkan 3 variabel utama kehormatan satu bangsa, yaitu: kesehatan,
pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Saat ini nilai HDI bangsa kita, di tingkat
ASEAN-pun masih tertinggal dengan Vietnam.

Meskipun sebenarnya itu semua bukan parameter bermakna yang menunjukkan dunia
kedokteran Indonesia mundur. Tetapi, dunia kedokteran di Indonesia harus mawas diri
dengan beberapa fenomena tersebut.

Dalam menghadapi era globalisasi beberapa negara maju membagi tenaga dokter
menjadi pendidik atau dosen, klinikus atau dokter praktek dan peneliti. Di Indonesia
peran ketiga seringkali dirangkap oleh seorang dokter. Hal inilah yang berpotensi
menjadi hambatan dalam berkembangnya profesi seorang dokter.

Bagaimana kualitas pendidikan dokter bila dosennya sepanjang sore dan malam sudah
letih praktek di 3 tempat ? Bagaimana kuantitas dan kualitas penelitian bila ketiga
fungsi yang menyita waktu itu dikerjakan secara bersamaan?. Bagaimana kualitas
komunikasi dokter dengan pasien bila sebelumnya harus praktek di banyak tempat,
pasien banyak atau setelah letih mengajar ? Buruknya komunikasi diyakini sebagai
penyebab rendahnya kualitas dokter di Indonesia dan penyebab utama kasus yang
dicurigai malpraktek. Bagaimana layanan di Puskesmas bisa optimal bila dokter harus
setiap hari dihadapkan pada acara rapat dan birokrasi yang melelahkan.

Revitalisasi dan Mawas diri


Melihat kondisi yang demikian kompleks permasalahan dunia kedokteran di Indonesia
tampaknya harus lebih mawas diri dan segera berupaya melakukan revitalisasi. Dokter
harus merevitalisasi peran komprehensif pengabdiannya. Kontribusi pengabdian dokter
untuk penyehatan fisik harus dilakukan secara terintegrasi dengan proses penyehatan
mental dan sosial bangsa.

Para dokter cenderung terjebak pada rutinitas profesionalisme yang sempit. Banyak
dokter yang akhirnya lebih concern bahwa ilmu kedokteran hanyalah mempelajari
segala sesuatu tentang penyakit. Dokter lupa bahwa selain melakukan intervensi fisik,
juga harus berperan dalam intervensi mental dan sosial di tengah masyarakat. Dokter
dalam aktifitasnya seyogianya menetapkan trias peran dokter.

Dokter terlahir sebagai profesi mulia dan menyandang trias peran dokter yaitu agent of
change, agent of development, dan agent of treatment. Dokter diharap bukan hanya ahli
di bidang medis (agent of treatmen), melainkan juga mampu mengadakan perubahan
(agent of change) dan pengembangan (agent of development) pada masyarakat.
Menurut WHO perilaku ini disebut sebagai ?The Five Star Doctors? yaitu: Community
leader, Communicator, Manager, Decision maker dan Care provider.

Dokter adalah figur yang mengabdikan profesinya, tanpa terpengaruh pertimbangan-


pertimbangan agama, kedudukan sosial, jenis kelamin, suku dan politik kepartaian.
Artinya, dalam pekerjaan keprofesiannya dokter sarat dengan nilai kesetaraan.

Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan dan institusi profesi harus segera
bekerjasama untuk merumuskan modifikasi pembagian fungsi dokter pendidik, peneliti
dan klinisi secara tegas. Dengan tetap mempertimbangkan kehidupan yang layak bagi
tugas yang dibebankan.

Pendidikan kedokteran di Indonesia yang mencetak dokter masa depan harus menjadi
prioritas dan lebih mawas diri. Peningkatan kualitas dokter dengan tercipta pendidikan
dokter yang berorientasi ilmiah dengan basis penelitian, menggunakan kemajuan
teknologi dan meningkatkan pendidikan moral. Selain masalah komunikasi, citra
negatif dan kejadian malpraktek sering diinisiasi dengan kurangnya moral seorang
dokter.

Pendidikan dokter umum dan spesialis tidak harus dengan biaya sangat tinggi. Karena,
mengurangi kesempatan calon mahasiswa tidak mampu yang berkualitas tetapi juga
mengurangi perilaku ?profesi anti sosial? di masa depan.

Semoga dokter Indonesia sesuai dengan harapan bangsa. Apalagi profesi dokter sudah
terlanjur dinobatkan oleh masyarakat sebagai hamba kemanusiaan. Meskipun
seharusnya sama dengan profesi lainnya, karena dokter juga manusia.
 
http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=985&tbl=artikel

Anda mungkin juga menyukai