Anda di halaman 1dari 16

Minimnya jumlah tenaga kesehatan menjadi bumerang pada saat ini,bukan saja

di Indonesia, tetapi juga hampir seluruh negara di dunia. WHOtelah mengeluarkan satu

outline tentang Framework for Action on Interprofessional Education and Collaborative

Practice. Global Health Workforcemenjadi sebuah kebutuhan untuk memperkuat sistem

kesehatan yang membina kerja sama kolaboratif yang sukses dan bisa diaplikasikan ke

sistem kesehatan lokal. Hal ini menjadi tantangan bagi para pembuat kebijakan, pekerja

kesehatan, manajer, dan anggota masyarakat seluruh dunia.

Banyak hal yang menjadi pemicu krisis dan masalah dalam bidang kesehatan.

Kita bisa mengangkat beberapa hal sebagai contoh. Pertama, sekitar 4,3 juta pekerja

kesehatan telah bulat diakui sebagai penghalang terbesar untuk mencapai Millenium

Development Goals yang berhubungan dengan kesehatan. Kedua, masalah yang terjadi

dalam skala nasional adalah sentralisasi perencanaan kesehatan dalam kurun waktu yang

cukup lama berdampak pada ketidakberhasilan dalam usaha mencapai tujuan

pembangunan kesehatan, yaitu peningkatan status derajat kesehatan masyarakat. Ketiga,

bahwasannya pelayanan kesehatan selama ini belum terkolaborasi dengan baik, sehingga

hasilnya pun tidak optimal dan hanya menghabiskan banyak biaya.

Dalam hal ini, kita sedang mencari inovasi, solusi, dan sistem transforming yang

dapat menjamin suplai tenaga kesehatan yang cukup. Salah satu dari sekian banyak

pilihan yang menjanjikan, adalah adanya Interprofessional Colaboration. Kolaborasi


interprofesi penting untuk meningkatkan efektivitas dan kualitas sistem pelayanan

kesehatan.

Kolaborasi interprofesi dalam pelayanan kesehatan memiliki potensi

komprehensif untuk menawarkan perawatan pasien yang hemat biaya dan penekanan

baru pada promosi kesehatan serta pencegahan penyakit. Kolaborasi interprofesi juga

merupakan implementasi dari undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah pada sektor kesehatan, dimana dibutuhkan sebuah tim dalam

pelayanan kesehatan. Tim tersebut bukan hanya terdiri dari para dokter, tetapi dapat dari

berbagai bidang yang terkait, bisa perawat, ahli gizi, teknisi, dan lain sebagainya. Lalu,

bagaimanakah pengejawantahan konsep ini?

Kita membutuhkan Interprofessional Education demi kolaborasi tim yang baik

dalam pelayanan kesehatan. Interprofessional Education atau terjemahan dalam bahasa

indonesianya, Pendidikan Interprofesional, merupakan model pendidikan yang relevan

untuk mencapai target kesehatan yang selaras dengan Millenium Development Goals dan

juga menjadi realisasi nyata dari Undang-undang Nomor 22 tahun 1999. Interprofessional

Education (IPE) melibatkan pendidik dan peserta didik dari dua atau lebih profesi

kesehatan dan disiplin dasar mereka, yang bersama-sama menciptakan dan memelihara

lingkungan belajar yang kolaboratif. Interdisipliner tim sangat penting dalam penyediaan

layanan kesehatan. Pembagian kerja antara medis, keperawatan, dan anggota praktisi
kesehatan berarti bahwa tidak ada profesional tunggal yang dapat memberikan pelayanan

kesehatan yang lengkap.

Tujuan dari IPE bagi mahasiswa adalah untuk belajar bagaimana berfungsi

dalam tim interprofesional dan membina pengetahuan, keterampilan, dan nilai dalam

praktek masa depan mereka, yang pada akhirnya menyediakan perawatan pasien

interprofesional sebagai bagian dari sebuah tim kolaboratif dan difokuskan pada

peningkatan hasil pasien. Tim interprofesional terdiri dari anggota dari profesi kesehatan

yang berbeda yang memiliki pengetahuan khusus, keterampilan, dan kemampuan.

Keberadaan IPE tak terlepas dari rana filsafinya. Bermula dari ide besar Paulo

Freira dengan konsepnya tentang Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan (Liberatory

Education) dan Mangunwijaya dengan konsepsinya tentang Pendidikan Berbasis Realitas

Sosial (Problem Possing Education), kita menemukan wadah pendidikan sejati yang

terejewantahkan dalam bentuk Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan Problem

Based Learning (PBL). Pendidikan kesehatan telah sampai pada kesadaran untuk

menjadikan masalah sebagai bahan pembelajaran. Namun, kita membutuhkan kolaborasi

agar antara satu profesi kesehatan dengan profesi kesehatan lainnya bisa bekerja sama

dalam sebuah tim. Tentu saja kerja sama ini semakin mengefektifkan kinerja KBK dan

PBL dalam dunia pendidikan kesehatan kita.


University of Leicester, De Montfort University, dan University of Northampton

telah melakukan pelatihan dan pendidikan interprofesional inovatif untuk mahasiswa

kesehatan dan kepedulian sosial, yang akan meningkatkan pelayanan kesehatan kepada

pasien. Lebih dari 10.000 mahasiswa kesehatan mengikuti pelatihan dan pendidikan

selama lima tahun terakhir dalam mempersiapkan diri untuk nantinya bekerja dalam tim.

Program IPE dari ketiga universitas di atas melibatkan mahasiswa keperawatan,

mahasiswa kedokteran, apoteker, pekerja sosial, terapis bicara, dan terapis bahasa, serta

professional terkait lainnya. Hal ini bertujuan agar terciptanya kolaborasi kerja tim yang

handal untuk saling berbagi informasi dan keterampilan.

Yang menjadi pertanyaan untuk kita, relevankah Interprofessional Education

bagi dunia pendidikan kesehatan di Indonesia, khususnya di NTT? Apakah IPE bisa

memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi dunia pendidikan kesehatan kita?

Idealisme untuk menerapkan IPE dalam pendidikan kesehatan belum bisa diukur

efektivitasnya secara riil di Indonesia karena belum ada institusi atau lembaga pendidikan

kesehatan yang menerapkannya. Namun, beberapa universitas di luar negeri telah

menerapkan dan hasilnya memuaskan. Jadi, bisa dikatakan bahwa keberadaan IPE

sebagai sebuah model pendidikan baru sepatutnya layak dicoba dan diterapkan dalam

dunia pendidikan kesehatan kita di Indonesia. Hal ini juga tak terlepas dari semua

pertimbangan yang sudah dijelaskan sebelumnya, seperti terkait Millenium Development


Goals, Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dan kebutuhan dunia akan pelayanan

kesehatan yang optimal.


Keselamatan pasien merupakan hal yang harus diutamakan oleh semua praktisi
kesehatan. Namun pada praktiknya, masih banyak praktisi kesehatan yang tidak
mengutamakan keselamatan pasien karena lemahnya pengetahuan dan komunikasi
diantara praktisi kesehatan. Disamping itu, berkembangnya kompleksitas
penyakit dan masalah kesehatan memperburuk kondisi tersebut.
Interprofessional Education (IPE) sebagai proses pendidikan dua atau lebih
profesi kesehatan untuk saling belajar dan bekerja satu sama lain, bisa
menjadi solusi dalam meningkatkan keselamatan pasien.

Prof. dr. Iwan Dwi Prahasto, MMedSc, PhD yang merupakan Ketua Ikatan Ahli
Farmakologi Indonesia (IKAFI) mengatakan bahwa dengan IPE, seluruh profesi
kesehatan akan saling bertukar ilmu dan saling menjalin komunikasi demi
kolabori efektif dan tercapainya pelayanan kesehatan yang maksimal. Seluruh
profesi kesehatan harus menyadari bahwa hal yang paling penting dari IPE
adalah untuk meningkatkan keselamatan pasien. Semua profesi kesehatan,
harus menyadari bahwa ketika bekerja harus mengutamakan keselamatan pasien.
Semua harus mengacu kepada for the sake of patient, jelas Iwan dalam Seminar
dan Workshop Interprofessional Education, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan (FKIK) UMY di Asri Medical Center (AMC) pada Sabtu, (15/3).

Menurutnya, banyak profesi kesehatan sekarang ini yang mengalami masalah


komunikasi saat menangani pasien. Misalnya, seorang dokter memerintahkan
seorang perawat untuk memberikan tindakan medis terhadap pasien. Namun dalam
instruksinya, dokter seringkali memberi perintah yang tidak jelas mengenai
tindakan medis apa yang harus diambil atau terhadap pasien mana tindakan
medis akan dilakukan. Sementara perawat yang diberi instruksi tersebut
misalnya, tidak mau melakukan cross check terhadap instruksi tersebut.
Melakukan cross check juga harus dilakukan semua profesi kesehatan agar
tidak terjadi kesalahpahaman, imbuhnya.
Tidak adanya komunikasi yang baik juga sering terjadi diantara perawat dan
mahasiswa koas. Misalnya, mahasiswa koas saat tidak mengerti bagaimana
mengambil tindakan medis yang diinstruksikan oleh perawat seringkali enggan
untuk bertanya karena perasaan sungkan. Padahal hal tersebut bisa
mengakibatkan medication error dan berimbas pada keselamatan pasien.
Menurutnya, berdasarkan hal tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa
penguasaan ilmu di beberapa profesi kesehatan masih lemah. Karena itu,
penguasaan ilmu menjadi hal mutlak untuk dimilikki semua profesi kesehatan.

Senada dengan hal tersebut, Prof. Jill Thistletwaite dari Queensland


University yang juga menjadi pembicara dalam seminar tersebut menyatakan
bahwa masalah komunikasi memang sering menjadi pemicu tindakan medication
error. Jill mengatakan, selain tidak terjalinnya komunikasi yang baik,
munculnya gape diantara profesi kesehatan juga menjadi masalah dalam
komunikasi interprofresi kesehatan, beberapa profesi kesehatan seringkali
ada yang merasa lebih superior dibanding yang lain. Padahal seharusnya,
seluruh profesi kesehatan bisa menyatukan visi misi dan memiliki team work
yang baik sehingga keselamatan pasien pun terjaga.

Adapun acara seminar dan workshop ini diadakan selama dua hari, mulai hari
ini hingga besok, Minggu (16/3). Seminar dan workshop ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui pembelajaran antar
profesi kesehatan. Acara ini diisi oleh pembicara dari Griffith University,
Queensland University, University of Philliphines, UMY, Universitas Gadjah
Mada, Universitas Indonesia, IKAFI dan Kementerian Kesehatan RI serta
diikuti oleh mahasiswa, dosen dan praktisi kesehatan dari berbagai kota di
Indonesia. (Asri)
TUGAS KP 1.1.2.3 Topik Kuliah Pengantar: INTERPROFESSIONAL COMMUNICATION
Pemberi Kuliah: dr. Detty Iriyani, M.Kes., M.Pd-Ked, AIF

Pertanyaan:

1.

Menurut Anda, apakah tantangan untuk melaksanakan interprofessional


education? 2.

Bagaimana cara mengatasinya?

Jawaban:

1.

Menurut Anda, apakah tantangan untuk melaksanakan interprofessional


education?

Menurut saya, ada banyak tantangan dalam melaksanakan interprofessional


education. Berikut akan saya jabarkan 2 tantangan yang saya anggap sebagai
tantangan utama, yaitu:

Komunikasi yang baik

Komunikasi merupakan tantangan paling utama dalam interprofessional


education ini. Banyak kasus patient safety dan malpraktek terjadi akibat
miscommunication yang sepela tapi berujung pada kesalahan fatal. Contohnya
pada kasus Willie King yang berasal dari Florida yang mengalami malpraktek
yaitu akibat miscommunication sehingga mengalami salah amputasi kaki. Jika
hal ini terjadi, tentu saja yang disalahkan adalah dokter atau tenaga medis
yang terkait karena kelalaian mereka. Kasus-kasus itu tak jarang juga membuat
oknum yang terkait sering berkelit. Contohnya seperti kasus salah operasi
otot kaki yang dulu pernah terjadi dimana dokter yang bertugas seharusnya
mengoperasi otot kaki kanan namun malah mengoperasi otot kaki kiri dan tidak
menemukan kejanggalan yang sesungguhnya ada di otot kaki kanan. Oknum yang
terlibat berkelit bahwa mereka melakukan one plus one service dimana dia
hanya mengecek dan melakukan aksi pencegahan terjadi pula di otot kaki kiri.
Tentu saja ini masuk dalam kategori adverse event. Miscommunication terjadi
antar tenaga medis adalah yang paling fatal. Misalnya hubungan antara resep
dokter dengan apoteker, apabila salah pemahaman, akan merugikan pasien. Atau
kelalaian perawat yang malas mencek ulang nama pasien, apabila ada pasien
yang bernama sama dan terjadi salah panggil. Tentu saja check up atau bahkan
operasi yang telah dijadwalkan untuk si A bisa salah menjadi untuk si B.

Perbedaan Pendapat/Perspektif

Perbedaan Pendapat atau Perspektif bagi orang-orang yang saling bekerjasama


merupakan hal yang lumrah dan biasa terjadi dalam suatu rangkaian atau
kelompok yang berkesinambungan. Kelompok adalah suatu wadah dimana terdapat
lebih dari dua orang yang memiliki tujuan yang sama dan saling bekerja sama
dalam mencapai tujuan. Dalam pembahasan ini kita membahas kelompok yang
bekerja atau berhubungan di bidang medical atau kesehatan. Adanya IPE ini
adalah guna menjadi proses pembelajaran dimana mahasiswa kesehatan atau
tenaga kesehatan dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda yang
bertujuan untuk melakukan interaksi dan berkolaborasi demi terciptanya usaha
kesehatan yang preventif, kuratif, promotif, dan rehabilitatif. Jika terjadi
suatu silang pendapat dalam kelompok yang bertujuan sama itu, maka akan
menghasilkan suatu produk atau jasa yang bisa saja membuat suatu harm yang
seharusnya tidak terjadi atau dikenal sebagai adverse event. Patient safety
sering ditekankan dan topic yang sudah sering diperdebatkan. Banyaknya
kasus-kasus malpraktek that could be avoided perfectly malah terjadi akibat
silang pendapat ini. Dalam dunia kedokteran saat ini, aspek dokter bukanlah
sebagai superior lagi atau tidak juga dianggap inferior. Melainkan satu
cabang lain atau individu lain yang mempunyai peranan penting namun dianggap
setara atau sederajat dengan individu lain yang bekerja dalam bidang yang
sama dan dokter juga bergantungan dengan individu lain seperti perawat,
spesialis, bahkan administrasi sekalipun. Jika silang pendapat berlanjut,
tentu saja ini akan berefek signifikan dalam kinerja tim dan tidak efisien.
Apalagi jika dalam pekerjaan kita membawa emosi pribadi atau masalah pribadi
saat menangani pasien, maka kerentanan terjadinya kesalahan dan pelanggaran
patient safety akan mudah terjadi.

2.

Bagaimana cara mengatasinya?

Sebenarnya melihat dari kedua tantangan yang telah saya jabarkan sebelumnya,
solusi agar tidak lagi hal ini terjadi adalah kembali pada kemantapan standar
kompetensi seorang dokter. Kita harus mengkaji ulang dan benar-benar
mengevaluasi tent

ang Apakah mereka berkompetensi untuk menjadi seorang dokter? saat


terjadinya ujian. Tanpa bermaksud untuk

mem-framing suatu lembaga institusi atau instansi pemerintahan, kadang


banyak terjadi kecurangan atau sejumlah uang yang terlibat dalam pelulusan
mahasiswa kedokteran yang acap kali dan telah well-known di masyarakat.
Sehingga kadang dokter atau bidan atau tenaga medis

lainnya sering ikut terseret dalam tuduhan yang salah sasaran. Kembali pada
peribahasa Karena

nila setitik, rusaklah susu sebelanga.

Banyak orang yang was

-was dan meragukan kualitas dokter dan tenaga medis lainnya akibat
orang-orang tertentu. Seperti penulisan resep, dimana seorang dokter
menuliskan resep yang akan diteruskan ke bagian apotek. Apabila terjadi
kesalah penulisan, bisa saja terjadi salah tanggap dan salah pemberian obat
ke pasien. Mungkin bagus/buruknya suatu tulisan tangan adalah sepele, namun
jika salah satu dua huruf bisa menimbulkan kematian apalagi jika salah
meluluskan yang tidak berkompetensi dan tidak bertanggung jawab, tentu saja
akan menimbulkan kematian-kematian yang tidak seharusnya terjadi. Selain itu,
jika sebenarnya tenaga-tenaga medis atau dokter-dokter telah berkualitas
baik dan memiliki silang pendapat, tentu saja itu adalah hal wajar yang bisa
dihindari. Untuk orang-orang

yang berprofesi dalam bidang medis, selalu ditekankan akan Belajar hingga
akhir hayat. Ini

bisa diterapkan menjadi suatu solusi untuk keselarasan pendapat. Tenaga


medis yang saling terkait bisa saja saling share, bertukar informasi,
bertanya, dan berdiskusi akan suatu kasus atau bisa disebut sebagai
evidence-based learning. Tentunya ketika pemahaman sama walaupun orang yang
terlibat berbeda karakter, untuk suatu pekerjaan yang membutuhkan logika
konkrit dan tidak diperbolehkannya celah untuk kesalahan fatal, dapat
terjadi satu pemikiran karena pemahaman dan pengetahuan yang sama. Cara lain
untuk meningkatkan kekompakan dan pelurusan perbedaan pendapat ada yang
sudah terasa familier dan sering dilakukan, yaitu: Seminar. Dalam seminar
kita banyak belajar hal baru dan tak awam lagi soal partisipannya dating dari
kalangan professor hingga mahasiswa, jadi kita bisa saling belajar dan share
mengenai pengalaman masing-masing

Anda mungkin juga menyukai