Anda di halaman 1dari 20

ASPEK – ASPEK SOSIAL YANG MEMPENGARUHI PERILAKU

SEHAT DAN KAITAN STATUS KESEHATAN IBU BAYI


BALITA DAN KELUARGA

OLEH:

SUKMAYANTI
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatdan
hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyellesaikan makalah ini tepat waktu.
Shalawat dan salam tak lupa selalu tercura kepada Rasulullah SAW, yang telah
member keselamatan pada umat manusia dari lubang kebodohan, dan dosa.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah. Adapun
judul makalah ini adalah “”ASPEK – ASPEK SOSIAL YANG MEMPENGARUHI
PERILAKU SEHAT DAN KAITAN STATUS KESEHATAN IBU BAYI BALITA
DAN KELUARGA”. Oleh karena itu penulis juga berterima-kasih kepada segenap
pihak yang telah membantu selama proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari, makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu,
masukan dari Dosen mata kuliah diharapkan oleh penulis agar tugas-tugas serupa
selanjutntnya bisa lebih baik.

Kendari,8 Maret 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan juga teknologi yang


membawa banyak perubahan terhadap kehidupan manusia baik dalam hal
perubahan pola hidup maupun tatanan sosial termasuk juga dalam bidang
kesehatan yang sering dihadapkan dalam suatu hal yang berhubungan langsung
dengan norma dan budaya yang dianut oleh masyarakat yang bermukim dalam
suatu tempat tertentu. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal)
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitandengan budi dan 1 akal manusia.

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata
Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan menurut Koentjaraningrat:
kebudayaan adalah seluruh kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur
oleh tata kelakuan yang harus didapatkanya dengan belajar dan yang semuanya
tersusun dalam kehidupan masyarakat Pengaruh sosial budaya dalam masyarakat
memberikan peranan penting dalam mencapai derajat kesehatan yang
setinggitingginya. Perkembangan sosial budaya dalam masyarakat merupakan
suatu tanda bahwa masyarakat dalam suatu daerah tersebut telah mengalami suatu
perubahan dalam proses berfikir. Perubahan sosial dan budaya bisa memberikan
dampak positif maupun negatif.

Hubungan antara budaya dan kesehatan sangat erat, sebagai salah satu
contoh suatu masyarakat desa yang sederhana dapat bertahan dengan cara
pengobatan tertentu sesuai dengan tradisi mereka. Kebudayaan atau kultur dapat
membentuk kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala
masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga
kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat
mereka mengerti tentang proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana
meluruskan keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya dengan kesehatan.

Masalah kesehatan merupakan salah satu faktor yang berperan penting


dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Melalui
pembangunan di bidang kesehatan diharapkan akan semakin meningkatkan
tingkat kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan dapat dirasakan oleh
semua lapisan masyarakat secara memadai (Dinas Kesehatan, 2007). Berhasilnya
pembangunan kesehatan ditandai dengan lingkungan yang kondusif, perilaku
masyarakat yang proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah terjadinya penyakit, pelayanan kesehatan yang berhasil dan berdaya
guna tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia.Akan tetapi pada kenyataanya,
pembangunan kesehatan masih jauh dari yang diharapkan. Permasalahan-
permasalahan kesehatan masih banyak terjadi. Beberapa diantaranya adalah:
penyakit-penyakit seperti DBD, flu burung, dan sebagainya yang semakin
menyebar luas, kasus-kasus gizi buruk yang semakin marak, prioritas kesehatan
rendah, serta tingkat pencemaran lingkungan yang semakin tinggi. sebenarnya
individu yang menjadi faktor penentu dalam menentukan status kesehatan.
Dengan kata lain, merubah pola hidup ataupun kebudayaan tentang kesehatan
yang biasa kita lakukan dan mengikuti perubahan zaman.

Masalah kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu masalah utama
dalam bidang kesehatan yang saat ini terjadi di Negara Indonesia. Setiap tiga
menit, di suatu tempat di Indonesia, anak di bawah usia lima tahun meninggal.
Selain itu, setiap jam seorang perempuan meninggal karena melahirkan atau
sebab-sebab yang berkaitan dengan kehamilan (UNICEF, 2012). Sampai saat ini
telah banyak program-program pembangunan kesehatan di Indonesia yang
ditujukan guna menanggulangi masalah-masalah kesehatan ibu dan anak (Maas,
2004). Pada dasarnya program-program tersebut lebih menitik beratkan pada
upaya-upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, angka kelahiran kasar dan
angka kematian ibu.

Kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan
yang terjadi pada negara berkembang terutama di Indonesia. Angka kematian bayi
menjadi indikator dalam menentukan derajat kesehatan anak karena merupakan cerminan
dari status kesehatan anak. Hal ini menjadi perhatian dari dunia Internasional dalam
target global Sustainable Development Goals (SDG’s) yaitu mengakhiri kematian bayi
baru lahir dan balita yang dapat dicegah hingga 12 per 1.000 kelahiran hidup dan Angka
Kematian Balita (AKABA) 25 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar
359 per 100.000 kelahiran hidup, Angka Kematian Neonatal (AKN) sebesar 19 kematian
per 1000 kelahiran hidup, Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 40 kematian per 1000
kelahiran hidup. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa kematian balita (0-59 bulan)
masih tinggi. Untuk itu, diperlukan kerja keras dalam upaya menurunkan angka kematian
tersebut.

Dalam menentukan derajat kesehatan, terdapat beberapa indikator yang


dapat digunakan antara lain angka kematian bayi, angka kesakitan bayi, status
gizi, dan angka harapan hidup saat lahir (WHO, 2016). Angka Kematian Bayi
(AKB) menjadi indikator pertama dalam menentukan derajat kesehatan anak,
karena merupakan cerminan dari status kesehatan anak saat ini. Sedangkan Angka
Kesakitan Bayi menjadi indikator kedua dalam menentukan derajat kesehatan
anak, karena nilai kesakitan mencerminkan lemahnya daya tahan tubuh bayi dan
anak balita (WHO, 2002). Menurut hasil Survey Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) pada tahun 2012.

Angka Kematian Bayi (AKB) mengalami penurunan dari tahun 1997


sebesar 97 per 1.000 kelahiran hidup, menjadi 44 per 1.000 kelahiran hidup pada
tahun 2007, kemudian turun lagi menjadi 40 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun
2012. Laju kematian bayi terbilang menurun namun lebih lambat dibandingkan
penurunan kematian balita dan masih cukup jauh dari target MDG’s keempat
yaitu menurunkan Angka Kematian Bayi sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup
pada tahun 2015 (Stalker, 2008). Sementara itu untuk angka kematian ibu
meningkat dari 228 pada tahun 2007 menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup
pada tahun 2013. Angka tersebut masih jauh dari target MDGs ke-5 yaitu
menurunkan angka kematian ibu menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2015 (BPS, 2012). Hal ini menempatkan Indonesia pada posisi ketiga
tertinggi untuk kematian ibu di ASEAN (WHO, 2013).

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini


adalah sebagai berikut:

1. Apa itu self concept?


2. Bagaimanalah aspek kesehatan dalam masyarakat?
3. Apa itu image kelompok dalam aspek kesehatan?
4. Bagaimana dentifikasi individu kepada kelompok?
5. Aspek budaya apa saja yang mempengaruhi perilaku kesehatan dan status
kesehatan?
6. Bagaimanakah proses perubahan dan inovasi?
7. Apa saja manfaat bagi petugas kesehatan dari mengetahui aspek budaya
apa saja yang mempengaruhi kesehatan dan status kesehatan?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Apa itu self concept


2. Untuk mengetahui Bagaimanalah aspek kesehatan dalam masyarakat
3. Untuk mengetahui Apa itu image kelompok dalam aspek kesehatan
4. Untuk mengetahui Bagaimana dentifikasi individu kepada kelompok
5. Untuk mengetahui Aspek budaya apa saja yang mempengaruhi perilaku
kesehatan dan status kesehatan
6. Untuk mengetahui Bagaimanakah proses perubahan dan inovasi
7. Untuk mengetahui Apa saja manfaat bagi petugas kesehatan dari
mengetahui aspek budaya apa saja yang mempengaruhi kesehatan dan
status kesehatan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengaruh Self Concept Terhadap Perilaku


Self concept merupakan bagian penting dalam perkembangan kepribadian.
Seperti dikemukakan oleh Rogers bahwa konsep kepribadian yang paling utama
adalah diri. Diri (self) berisi ide-ide, persepsi-persepsi dan nilai-nilai yang
mencakup kesadaran tentang diri sendiri. Konsep diri merupakan representasi diri
yang mencakup identitas diri yakni karakteristik personal, pengalaman, peran, dan
status sosial (Desmita, 2012).

Self concept menurut Baron & Byrne (dalam Helmi, 1999) merupakan
suatu asumsi-asumsi atau skema diri mengenai kualitas personal yang meliputi
penampilan fisik (tinggi, pendek, berat, ringan, dsb), trait / kondisi psikis (pemalu
dan pencemas) dan kadang-kadang juga berkaitan dengan tujuan dan motif utama.
Self concept dapat dikatakan merupakan sekumpulan yang dipegang oleh
seseorang tentang dirinya.

Menurut Soemanto (1998) self concept (konsep diri) adalah pikiran atau
persepsi seseorang tentang dirinya sendiri, merupakan salah satu faktor penting
yang mempengaruhi tingkah laku. Sementara itu Seifert & Hoffnung,
mendefinisikan self concept sebagai “suatu pemahaman mengenai diri atau ide
tentang diri sendiri”. Sementara itu, Atwater menyebutkan bahwa self concept
adalah keseluruhan gambaran diri, yang meliputi persepsi seseorang tentang diri,
perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya.
Selanjutnya Atwater mengidentifikasi self concept atas tiga bentuk. Pertama,
body image, kesadaran tentang tubuhnya, yaitu bagaimana seseorang melihat
dirinya sendiri. Kedua, idea self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapanharapan
seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self, yaitu bagaimana orang lain
melihat dirinya.
Menurut Bruns, self concept adalah hubungan antara sikap dan keyakinan
tentang diri kita sendiri. Sedangkan Pemily mendefinisikan self concept sebagai
sistem yang dinamis dan kompleks dari keyakinan yang dimiliki seseorang
tentang dirinya, termasuk sikap, perasaan, persepsi, nilai-nilai dan tingkah laku
yang unik dari individu tersebut. Sementara itu, Cawagas menjelaskan bahwa self
concept mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya,
karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kelebihannya atau
kecakapannya, kegagalannya, dan sebagainya (Desmita, 2012).

Self concept adalah pengetahuan dan gagasan seseorang tentang dirinya


serta sikap terhadap diri dan perilakunya. Self concept dibagi menjadi self
concept positif dan konsep diri negatif. Hurlock (dalam simanjutak, 2009)
menyatakan individu dengan konsep diri positif akan mengembangkan sikap-
sikap seperti kepercayaan diri, harga diri dan kemampuan untuk melihat dirinya
secara realistis. Kemudian individu 21 dapat menilai hubungan dengan orang lain
secara tepat dan akan menumbuhkan penyesuaian sosial yang baik. Sebaliknya,
self concept negatif akan mengambarkan perasaan tidak mampu dan rendah diri.
Individu akan merasa ragu dan kurang percaya diri.

Menurut Bruns (1993) suatu self concept yang positif dapat disamakan
dengan evaluasi diri yang positif, penghargaan diri yang positif, penerimaan diri
yang positif; self concept yang negatif menjadi sinonim dengan evaluasi diri yang
negatif, membenci diri, perasaan rendah diri dan tiadanya perasaan yang
menghargai pribadi dan penerimaan diri. Dari beberapa teori diatas maka dapat
diambil kesimpulan bahwa self concept merupakan sikap kepercayaan dirinya dan
keyakinan mengenai kelemahan dan kelebihan yang ada pada dirinya serta
karakteristik fisiknya yang terbentuk melalui persepsi dan interpretasi terhadap
diri sendiri dan lingkungannya.
Konsep diri adalah pemahaman tentang diri sendiri yang timbul akibat
interaksi dengan orang lain. Konsep diri merupakan faktor yang menentukan
(determinan) dalam komunikasi kita dengan orang lain (Riswandi, 2013: 64).
Konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri kita. Persepsi tentang diri
ini bisa bersifat psikologis, sosial dan fisis, menurut William D Brooks dalam
Jalaludin Rakhmat (2015: 98). Kebanyakan ahli-ahi tentang diri setuju, bahwa
konsep diri secara jelas dapat terdiferensiasikan dan terstruktur, yang merupakan
suatu keseluruhan yang stabil. Sepanjang kehidupan, konsep diri berkembang dan
berubah secara berkelanjutan, meskipun sulit untuk membedakan antara
perkembangan dan perubahan konsep diri (Fittz, 1972: 35). Dengan adanya
perkembangan dan perubahan tersebut, dapatlah diterima pendapat

Rogers (Hall & Lindzey, 1978: 499), bahwa struktur diri berkembang dan
berubah seiring waktu. Di masa kanak-kanak awal, ada kecenderungan
perkembangan yang berasal dari citra diri (self image) yang positif atau negatif.
Selanjutnya diri terbentuk melalui interaksi dengan lingkungan, khususnya
lingkungan yang terdiri dari orang-orang yang signifikan (orangtua, sibling). Pada
saat anak memiliki sensitifitas sosial disertai kemampuan kognisi dan kemampuan
perseptualnya menjadi matang, konsep diri menjadi berbeda dan lebih kompleks.

Berk (1996: 280, 355, 467) menjelaskan bahwa perkembangan konsep diri
diawali dari usia 2 tahun (ada rekognisi diridengan melihat dirinya di kaca, foto,
videotape); masa kanak-kanak awal (konsep dirinya bersifat kongkrit, biasanya
berdasar karakteristik nama, penampilan fisik, barang-barang milik dan
tingkahlaku sehari-hari); masa kanak-kanak pertengahan (ada transformasi dalam
pemahaman diri, mulai menjelaskan diri dengan istilah-istilah sifat kepribadian,
mulai dapat membandingkan karakteristik dirinya dengan peer-nya). Faktor-
faktor yang bertanggungjawab terhadap perubahan konsep diri ini dapat
dialamatkan pada perkembangan kognitif yang pasti mempengaruhi perubahan
struktur diri. Isi dari perkembangan konsep diri paling banyak berasal dari
interaksi dengan orang lain, yang dijelaskan oleh Mead mengenai diri adalah
‘suatu campuran tentang apa yang dipikirkan orang-orang signifikan di sekitar
kita tentang kita’. Hal ini memperlihatkan bahwa ketrampilan mengambil
perspektif (perspektif-taking) muncul selama masa anak, khususnya kemampuan
mengimajinasikan apa yang dipikirkan orang lain, memainkan peranan penting
dalam perkembangan diripsikologisnya; masa remaja (pendefinisiandiri menjadi
lebih selektif, meskipun orangtua tetap berpengaruh, kelompok peers menjadi
lebih penting di usia 8-15 tahun, konsep diri menjadi meningkat dengan
memperoleh umpan balik dari teman dekat).

Menurut Harter, 1990 (dalam Steinberg, 1993: 256) anak-anak dalam


menjelaskan dirinya lebih bersifat sederhana dan kongkrit dibandingkan remaja
yang menjelaskan dirinya lebih kompleks dan abstrak. Perkembangan konsep diri
pada masa remaja diteliti oleh Livesley & Bromley, 1973; Marsh, 1989;
Montemayor & Eisen, 1977; Harter, 1990; Marsh, 1989 (Steinberg, 1993: 256),
dengan memaparkan hasil bahwa konsep diri masa remaja berbeda strukturnya
dan lebih terorganisir dibanding masa anak-anak. Contoh, bila anak
mengemukakan statement tentang traitsnya maka nampak kontradiktif: “Saya
bersahabat, saya pemalu”. Sedang statement remaja lebih terorganisir: “Saya
pemalu saat bertemu pertama kali dengan orang lain”.

Self Concept ditentukan oleh tingkatan kepuasan yang dirasakan oleh diri
sendiri terutama bagaimana cara individu itu dapat merefleksikan kepuasannya
kepada orang lain. Apabila orang lain merasakan kepuasan yang kita berikan
direspon sebagai hal yang positif maka orang lain akan merasakan kepuasan yang
yang sama. Tetapi sebaliknya apabila kepuasan yang kita berikan direspon negatif
oleh masyarakat maka dalam jangka waktu lama masyarakat akan merasa tidak
puas. Kondisi semacam ini kita harus melakukan promosi bagai mana tingkat
kepuasan yang kita terima akan direspon positip bagi orang lain . Misal : apabila
kita merasa puas dengan sistem kartu gosok pendaftaran, sedangkan orang lain
merasa lebih repot, maka Rumah Sakit harus melakukan upaya penjelasan sistem
tersebut justru akan lebih memudahkan. Self Contact adalah hal yang penting
dalam upaya kesehatan, karena akan mempengaruhi perilaku masyarakat.

B. Pengaruh Image Kelompok Terhadap Perilaku Kesehatan

Image seorang individu sangat dipengaruhi oleh image kelompok. Sebagai


contoh, anak seorang dokter akan terpapar oleh organisasi kedokteran dan orang-
orang dengan pendidikan tinggi, sedangkan anak buruh atau petani tidak terpapar
dengan lingkungan medis dan besar kemungkinan juga tidak bercita-cita untuk
menjadi dokter.
Image perorangan akan sangat dipengaruhi oleh image kelompok
Sebagai Contoh:“ seorang guru apabila sakit akan berobat ke dokter, sedangkan
bapak petani apabila sakit pergi ke dukun, maka akan berpengaruh pada keluarga
petani juga akan berobat ke dukun, walaupun sekolah menganjurkan ke
Puskesmas. Image masyarakat bahwa patah tulang harus disembuhkan pada
dukun sangkal putung maka apabila ada keluarga kita patah tulang akan dibawa
ke sangkal putung bukan ke dokter orthopedi ”

C. Pengaruh Indentifikasi Individu dalam kelompok terhadap perilaku


kesehatan
Beberapa indentitas sosial yang mempengaruhi status kesehatan diantaranya :
 Umur,
 Jenis kelamin,
 Pekerjaan,
 Sosial ekonomi à dalam segi epidemiologi faktor individu sangat
berpengaruh dalam status kesehatan disamping, lingkungan dan agent.
Indentifikasi tersebut akan mempengaruhi dalam pembentukan kelompok
sosial dan cara aktifitasnya, dimana kelompok sosial kemudian membentuk
budaya/ perilaku kelompok. Contoh : Perilaku anak muda yang merokok dimulai
dari individu dalam kelompok, Kelompok kerja dengan debu akan merangsang
orang lain pakai masker dll. Perilaku kelompok suatu desa lebih senang BAB
disungai ternyata ketika mereka BAB di sungai terbiasa terjadi transaksi
pekerjaan, perjodohan dll, sehingga walaupun dibuatkan tempat BAB yang baik
mereka tetap akan kembali disungai jika dilihat dari aspek umur,maka ada
perbedaan golongan penyakit berdasarkan golongan umur.misalnya dikalangan
balita banyak yang menderita penyakit infeksi, sedangkanpada golongan dewasa
atau usia lanjut lebih banyak menderita penyakit kronis.demikian juga dengan
aspek golongan menurut jenis kelamin,dikalangan wanita lebih banyak menderit
kanker payudara,sedangkan pada pria,lebih banyak menderita kanker prosat.
begitu juga dengan jenis pekerjaan,dikalangan petani lebih banyak menderita
penyakit cacingan,karena aktifiasnya banyak dilakukan disawah,sedangkan pada
buruh tekstil lebih banyak menderita penyakit salura pernafasan karena banyak
terpapar debu. keadaan sosial ekonomi juga mempengaruhi pada pola
penyakit,bahkan juga berpengaruh pada kematian, misalnya angka kematian
lebih tinggi pada golonga yang status ekonominya rendah dibandingkan dengan
status ekonominya tinggi. demikian juga obesitas lenih ditemukan pada kalangan
masyarakat dengan status ekonoinya tinggi.

D. Aspek budaya yang mempengaruhi perilaku kesehatan dan status


kesehatan

Menurut G.M. Foster (1973), aspek budaya dapat mempengaruhi kesehatan :

1. Pengaruh tradisi Tradisi adalah suatu wujud budaya yang abstrak


dinyatakan dalam bentuk kebiasaan, tata kelakuan dan istiadat.

Ada beberapa tradisi di dalam masyarakat yang dapat berpengaruh negatif juga
positif.
 Contoh negatif : tradisi cincin leher. Meskipun berbahaya karena
penggunaan cincin ini bisa membuat tulang leher menjadi lemah dan bisa
mengakibatkan kematian jika cincin dilepas, namun tradisi ini masih
dilakukan oleh sebagian perempuan Suku Kayan. Mereka meyakini bahwa
leher jenjang seperti jerapah menciptakan seksual atau daya tarik seksual
yang kuat bagi kaum pria. Selain itu, perempuan dengan leher jenjang
diibaratkan seperti naga yang kuat sekaligus indah.
 Contoh positif: tradisi nyirih yang dapat menyehatkan dan menguatkan
gigi.

2. Sikap fatalistis: Sikap fatalistis yang juga mempengaruhi perilaku


kesehatan. Contoh : beberapa anggota masyarakat di kalangan kelompok
tertentu (fanatik) sakit atau mati adalah takdir, sehingga masyarakat kurang
berusaha untuk segera mencari pertolongan pengobatan bagi anaknya yang
sakit.

3. Pengaruh nilai Nilai yang berlaku didalam masyarakat berpengaruh


terhadap perilaku kesehatan. Contoh masyarakat memandang lebih
bergengsi beras putih daripada beras merah, padahal mereka mengetahui
bahwa vitamin B1 lebih tinggi pada beras merah daripada beras putih.

4. Sikap ethnosentris Sikap yang memandang kebudayaan sendiri yang paling


baik jika dibandingkan dengan kebudayaan pihak lain. Misal sikap seorang
yang menggunakan vitsin pada makanannya yang menganggap itu lebih
benar daripada orang yang tidak menggunakan vitsin padahal vitsin tidak
bagi kesehatan.

5. Pengaruh perasaan bangga pada statusnya Contoh : dalam upaya perbaikan


gizi, di suatu daerah pedesaan tertentu menolak untuk makan daun
singkong, walaupun mereka tahu kandungan vitaminnya tinggi. Setelah
diselidiki ternyata masyarakat beraggapan daun singkong hanya pantas
untuk makanan kambing dan mereka menolaknya karena status mereka
tidak dapat disamakan dengan kambing.

6. Pengaruh norma Contoh : upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan
bayi banyak mengalami hambatan karena ada norma yang melarang
hubungan antara dokter yang memberikan pelayanan dengan bumil sebagai
pengguna pelayanan.

7. Pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan Apabila


seorang petugas kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku kesehatan
masyarakat, maka yang harus dipikirkan adalah konsekuensi apa yang akan
terjadi jika melakukan perubahan, menganalisis faktorfaktor yang
terlibat/berpengaruh pada perubahan dan berusaha untuk memprediksi
tentang apa yang akan terjadi dengan perubahan tersebut.

E. pengaruh konsekuensi dari inovasi kesahatan terhadap perilaku


kesehatan

Tidak ada kehidupan sosial masyarakat tanpa perubahan, dan sesuatu


perubahan selalu dinamis artinya setiap perubahan akan diikuti perubahan kedua,
ketiga dan seterusnya. apabila seorang pendidik kesehatan ingin melakukan
perubahan perilaku kesehatan masyarakat,maka yang harus dipikirkan adalah
konsekuensi apa yang akan terjadi jika melakukan perubahan,menganalisis faktor-
faktor yang terlibat/berpengaruh terhadap perubahan,dan berusaha untuk
memprediksi tentang apa yang akan terjadi dengan perubahan tersebutapabila ia
tahu budaya masyarakat setempat dan apabila ia tahu tentang proses perubahan
kebudayaan,maka ia harus dapat mengantisipasi reaksi yang muncul yang
mempengaruhi outcome dari perubahan yang telah direncanakan.

Artinya seorang petugas kesehatan kalau mau melakukan perubahan


perilaku kesehatan harus mampu menjadi contoh dalam perilakukanya sehari-hari.
Ada anggapan bahwa petugas kesehatan merupakan contoh rujukan perilaku
hidup bersih sehat, bahkan diyakini bahwa perilaku kesehatan yang baik adalah
kepunyaan/ hanya petugas kesehatan yang benar.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Untuk mencapai status kesehatan yang baik, baik fisik, mental maupun
kesejahteraan sosial, setiap individu atau kelompok harus mampu
mengidentifikasi setiap aspirasi, untuk memenuhi kebutuhan, dan mengubah atau
mengantisipasi keadaan lingkungan agar menjadi lebih baik. Kesehatan, sebagai
sumber kehidupan sehari-hari, bukan sekedar tujuan hidup. Kesehatan merupakan
konsep yang positif yang menekankan pada sumber-sumber social, budaya dan
personal. Dengan teori Blum ini kita dapat memperbaiki kondisi lingkungan yang
buruk, dan juga hal-hal yang dapat mempengaruhi status kesehatan. Seperti
dengan cara memperbaiki 4 aspek utama  kesehatan, yaitu genetik, lingkungan,
perilaku dan pelayanan kesehatan.

B. Saran

            Melihat kondisi kesehatan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan,


maka perlu peran aktif semua pihak dalam mengatasi masalah kesehatan
masyarakat,.Penyedia layanan kesehatan, masyarakat, pemerintah dan perusahaan
perlu menjabarkan peta jalan pengembangan kesehatan masyarakat secara terpadu
dan berkelanjutan.,Dibutuhkan kerjasama dalam merumuskan dan mengembangkan
program kesehatan masyarakat sesuai karakteristik daerah setempat sehingga tahap
perubahan menuju masyarakat sehat  dalam pengelolaan kesehatan masyarakat
menjadi bagian kesadaran dan pengetahuan masyarakat dan pada akhirnya memiliki
self belonging bahwa kesehatan merupakan milik dan tanggung jawab bersama.
Selain itu, pola penyegaran, pembinaan, pemberdayaan dan penguatan jaringan
organisasi Puskesmas, Poskesdes, Posyandu, UKS/UKGS dan PMR sangatlah
penting didalam mengembangkan sistem kesehatan masyarakat dengan tujuan
menuju masyarakat sehat dan sejalan dengan melibatkan masyarakat semaksimal
mungkin. Dengan partisipasi semaksimal mungkin dari organisasi aktif yang berada
di masyarakat seperti Kader Posyandu, PKK, Taruna Karya, Pramuka, Sarjana
Penggerak Pedesaan dan organisasi lainnya serta didukung oleh MUSPIDA setempat.
DAFTAR PUSTAKA

Irene Tarakanita. (2001). “Hubungan Status Identitas Etnik dan Konsep Diri
Mahasiswa pada Kelompok Etnik Sunda dan Kelompok Etnik Cina”.Tesis. Bandung:
PPS UNPAD.

Jalaludin Rakmat. (2015). (ed 30). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda
Karya. Papalia. D.E & S.W. Olds. (1993). A Child’s World, Infancy Through
Adolesence.. USA: Mc. Graw-Hill, Inc.

Riswandi. (2013). Psikologi Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Steinberg, L.


(1993). Adolesence. New York: Mc Graw Hill, Inc.

Syaifuddin Azwar. (2013). PenyusunanSkala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Triyono. (2013). Metodologi Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sodik, M. A., & Nahak, T. (2018). Incidence of Malaria, Prevention behavior and
Nutritional Status: Analysis Of Factors That Cause Malaria Diseases In Umalor
Village District Of West Malacca. Indonesian Journal of Nutritional Epidemiology
and Reproductive, 1(1), 11-20.

Siyoto, S., & Sodik, M. A. (2015). Dasar metodologi penelitian. Literasi Media
Publishing. Foster/Anderson. 2009. Antropologi Kesehatan, terj. UI-Press:
Yogyakarta The Field of Medical Anthropology

Yetti Wira Citerawati SY.2012.Aspek sosiobudaya dan kesehatan.www.aspek-


sosiobudayadan-kesehatan.com/pdf diakses tanggal 4 September 2014.

Sodik, M. A., & Nzilibili, S. M. M. (2017). The Role Of Health Promotion And
Family Support With Attitude Of Couples Childbearing Age In Following Family
Planning Program In Health. Journal of Global Research in Public Health, 2(2), 82-
89. S

odik, M. A., Astikasari, N. D., Fazrin, I., Chusnatayaini, A., & Peristiowati, Y.
(2018). Dental health child with retardation mental and parents behavior. Indian
Journal of Physiotherapy and Occupational TherapyAn International Journal, 12(4),
278-282.

Green, 1980, Health Education Planning, A Diagnostic Approach, The John Hopkins
University, Maryland, Mayfield Publishing Company
Sumber Internet : http://journalbuddies.com/self-esteemresource/journal-writing-
improvesself-esteem/

Anda mungkin juga menyukai