Anda di halaman 1dari 13

DAFTAR ISI

Cover

DAFTAR ISI............................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Kata Pengantar........................................................................... 3


1.2 Latar Belakang........................................................................... 4
1.3 Rumusan Masalah...................................................................... 4
1.4 Tujuan........................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Malpraktek............................................................... 6


2.2 Jenis-Jenis Malpraktek............................................................... 7
2.3 Penerapan Pidana Terhadap Kelalaian Yang Dilakukan Oleh
Dokter Yang Menyebabkan Malpraktek.................................... 9

BAB III PENUTUP

Kesimpulan.......................................................................................... 13
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah menganugerahkan nikmat iman serta
limpahan barakah kepada kami, sehingga kami berkesempatan untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW,
yakni Suri tauladan ummat, hingga menjadi motivasi kami untuk berkarya melalui ilmu
bermanfaat. Tak lupa kami haturkan terimakasih kepada dosen pengampuh mata kuliah, yang
telah memberikan kami pemahaman akan beberapa disiplin ilmu sehingga kami mempunyai
bekal dalam menyelesaikan makalah kami, karena tanpa bimbingan dosen maka sulit bagi kami
untuk bisa menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang malpraktek.

Tiada lain tujuan kami Menyusun makalah ini, kecuali hanya untuk menambah
pengetahuan kita dalam bidang hukum Kesehatan, maka kami sediakan makalah ini yang di
dalamnya telah kami bahas tentang malpraktek mulai dari pengertian dasar serta dampak
pidananya.

Kami berharap dengan hadirnya makalah ini maka akan menambah ilmu pengetahuan
dan harapan besar kami semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk kami dan pembaca semuanya.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah malpraktik dalam pelayanan kesehatan pada akhir-akhir ini mulai ramai
diperbincangkan masyarakat dari berbagai golongan. Hal ini di tunjukan banyaknya pengaduan
kasus-kasus malpraktik yang diajukan masyarakat terhadap profesi kedokteran yang dianggap
telah merugikan pasien dalam melakukan perawatan. Sebenarnya dengan meningkatnya jumlah
pengaduan ini membuktikan bahwa masyarakat mulai sadar akan haknya dalam usaha untuk
melindungi dirinya sendiri dari tindakan pihak lain yang merugikan.
Dalam undang-undang yang berkaitan dengan kesehatan baik Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, maupun
UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak ada satu katapun
yang mengatur atau yang menjelaskan tentang pengertian malpraktek.
Berdasarkan coughlin’s law dictionary, malprakatik adalah sikap tidak professional yang
salah dari seseorang yang berprofesi, seperti dokter, perawat, ahli hukum, akuntan, dokter gigi,
dokter hewan dan sebagainya. Malpratik bisa diakibatkan karena sikap tindak yang bersifat tidak
peduli, kelalaian, atau kekurangan keterampilan atau kehati-hatian dalam pelaksanaan keawajiban
profesinya, tindakan salah yang sengaja atau praktek yang besifat tidak etis. Berdasakan
pengertian tersebut, malpraktik bisa terjadi pada semua profesi baik perawat, dokter, atau profesi
yang lain.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian malpraktek ?


2. Apa saja jenis-jenis malpraktek?
3. Bagaimanakah penerapan pidana terhadap kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang
menyebabkan malpraktek?

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan pengertian malpraktek.


2. Mengetahui jenis-jenis malpraktek.
3. Menganalisis penerapan pidana terhadap kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang
menyebabkan malpraktek.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Malpraktek

Berbicara mengenai malpraktik atau malpractice berasal dari kata “mal” yang berarti
buruk. Sedang kata “practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Dengan demikian secara harfiah
dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik “buruk” yang dilakukan dokter dalam hubungannya
dengan pasien.
Pengertian malpraktek tidak tercantum dalam ketentuan khuhus, tetapi yang dapat kita
jumpai adalah pengertian kealpaan (kelalaian) menurut doktrin, yang sering diterjemahkan dengan
“kesalahan” terdiri atas:
a. Kesengajaan
b. kealpaan
Kedua hal tersebut dibedakan, “kesengajaan” adalah dikehendaki, sedangkan “kealpaan”
adalah tidak dikehendakinya. Umumnya para pakar sependapat bahwa “kealpaan” adalah bentuk
kesalahan yang lebih ringan dari “kesengajaan”. Itulah sebabnya, sanksi atau ancaman hukum
terhadap pelanggaran norma pidana yang dilakukan dengan dengan “kealpaan” lebih ringan.
Simons menerangkan “kealpaan” dapat diartikan yaitu tidak berhati-hati melakukan
sebuah perbuatan, di samping dapat menduga akibat-akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu
perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah
mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-
undang. Kealpaan terdapat apabila seseorang tetap melakukan perbutan itu meskipun ia telah
mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat di duganya akibat itu lebih dahulu oleh sipelaku
adalah suatu syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat di
pertanggungjawabkan kepadanya sebagai kealpaan.
Meskipun demikian dokter adalah manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan dalam
menjalankan profesinya, baik yang dilakukan secara sengaja (dolus) maupun tidak sengaja (lalai,
culpa). Sehingga terkadang niat untuk menolong dan menyembuhkan penyakit seorang pasien
tidak selalu dapat berhasil dengan baik yang berakibat cacat bahkan kematian pasien disebabkan
baik dari tingkat kecerdasannya tinggdi sehingga bersikap lebih kritis atau karena ketidak
tahuannya terhadap pelayanan yang diberikan dokter. Pada umunya terjadi miskonsepsi yang
menganggap setiap kegagalan praktek medis tersebut sebagai akibat adanya tindakan dokter yang
dapat dikategorikan sebagai malpraktik medis atau akibat kelalaian medis dan akibatnya pasien
yang merasa tidak puas dan mengadukan/melaporkan kasus tersebut melalui jalur hukum.
Pengertian malpraktik secara umum menyebutkan adanya kesembronoan (professional
miscounduct) atau ketidakcakapan yang tidak dapat diterima (unreasonable lack of skill) yang
diukur dengan derajat ilmiah yang lazimnya dipraktikan pada setiap situasi dan kondisi di dalam
komunitas yang mempunyai reputasi dan keahlian rata-rata.
Pendapat para ahli tentang pengertian malpraktek:
1. Farid Anfasa Molloek
Malpraktek adalah tindakan tenaga medis yang melanggar prosedur, yang harus dinilai secara
kasuistik karena rumah sakit yang satu dengan yang lain berbeda SOPnya.
2. M. Yusuf Hanafiah
Malpraktik adalah kelalaian seorang dokter untuk menggunakan tingkat keterampilan dan ilmu
pengetahuan yang lazim dipergunakan untuk obati pasien menurut ukuran dan lingkungan
yang sama.

2.2 Jenis-Jenis Malpraktek

Secara etimologi, malpraktek adalah suatu tindakan atau intervensi yang salah yang
dilakukan oleh suatu profesi. Kesalahan tersebut kerap kali berawal dari adanya tindakan kelalain
atau kegagalan dlam mengaplikasikan ilmu pengetahuan serta keterampilan yang sesuai. Dalam
dunia medis, melpraktek terbagi menjadi beberapa jenis, yakni:
1. Criminal Malpraktek
Sesuatu perbuatan dapat dikategorikan criminal malpraktek jika memenuhi rumusan
delik pidana. Yaitu memenuhi unsur (baik positif maupun negativ) harus merupakan
perbuatan tercela (actusreus) serta dilakukan dengan sikap batin yang salah (mean
rea) berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (recklessness) atau kealpaan
(negligence).
Contoh criminal malpraktek yang bersifat intensional:
a. Melakukan euthanasia
b. Melakukan aborsi tanpa alasan medis
c. Membuka rahasia pasien tanpa alasan yang memenuhi unsur hokum
d. Menerbitkan surat-surat keterangan pada pasien yang tidak benar.
Contoh criminal malpraktek yang bersifat recklessness:
a. Melakukan tindakan yang tidak memenuhi aspek legal
b. Melakukan tindakan tanpa informed consent
Contoh criminal malpraktek yang bersifat negligence:
a. Kelalaian meninggalkan kassa dalam perut pasien pasca operasi
b. Kelalaian sehingga pasien mengalami luka atau bahkan meninggal dunia
2. Civil Malpraktek
Dikategorikan civil malpraktek jika petugas tidak melakukan kewajibannya (cacat
janji), yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati.
Beberapa tindakan yang dapat dikategorikan civil malpraktek antara lain:
a. Tindakan melakukan (negative act) apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan.
b. Melakukan (positive act) apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tapi
terlambat.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pada civil malpraktek, tanggung gugat (liability) dapat bersifat individual atau
korporasi, selain itu dapat pula dialihkan kepada pihak lain berdasrkan principle of
vicarious liability. Dalam hal ini kesalahan sub-ordinat dapat dialih tanggung
jawabkan pada ordinatnya.
3. Administrative Malpraktek
Disebut administrative malpraktek jika petugas melanggar hokum administrasi
Negara. Pemerintah memiliki kewenangan police power untuk mengeluarkan
berbagai aturan di bidang kesehatan. Seperti misalnya, peraturan di bidang kesehatan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan tersebut dapat
dipersalahkan.
Contoh tindakan administrative malpraktek
a. Menjalankan praktek tanpa ijin
b. Melakukan tindakan diluar lisensi atau ijin yang dimiliki
c. Melakukan praktik dengan menggunakan ijin yang daluarsa
d. Tidak membuat rekam medic/catatan tindakan
Jika terjadi pelanggaran administrative malpraktek maka sanksinya adalah
administrasi. Akan tetapi dengan dikeluarkannya undang-undang nomor 29/2004
tentang praktik kedokteran, maka pelanggaran tersebut diatas dapat dipidanakan
(pasal 75 jo pasal 79).
2.3 Penerapan Pidana Terhadap Kelalaian Yang Dilakukan Oleh Dokter Yang Menyebabkan
Malpraktek

Di dalam KUHP, perbuatan yang menyebabkan orang lain luka berat atau mati yang
dilakukan secara tidak sengaja dirumuskan didalam Pasal 359 dan 360. Adapun unsur-
unsur dari pasal 359 dan 360 adalah sebagai berikut:
1. Adanya unsur kelalaian (culpa)
2. Adanya wujud perbuatan tertentu
3. Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain
4. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain
itu.
Jika 4 unsur di atas dibandingkan dengan unsur pembunuhan dalam pasal 338, maka
terlihat bahwa unsur 2, 3 dan 4 dari pasal 359 tidak ada bedanya dengan unsur pembunuhan
dalam pasal 338. Perbedaannya terletak hanya pada unsur kesalahannya yaitu pasal 359 kesalahan
dalam bentuk kurang hati-hati (culpa), sedangkan kesalahan dalam pasal 338 (pembunuhan)
dalam bentuk kesengajaan.
Demikian pula jika kita bandingkan antara resiko medik dengan malpraktek medik. Baik
pada resiko medik dan malpraktek medik terkandung unsur 2,3 dan 4 yaitu ada wujud perbuatan
tertentu yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien, perbuatan tersebut sama-sama berakibat luka
berat maupun matinya orang lain ada hubungan kasual. Tetapi ada satu unsur yang berbeda dari
resiko medik dengan melpraktek medik, yaitu pada resiko medik ditemukan unsur kelalaian,
sedangkan pada malpraktek medik jelas ditemukan adanya unsur kelalaian.
Selain itu, khusus didalam pelayanan kesehatan, kelalaian juga dikaitkan dengan
pelayanan yang tidak memenuhi (dibawah) standar profesi (standar pelayanan medis) yang dalam
prakteknya juga perlu digunakan untuk membedakan antara resiko medik dan Malpraktek medik.
Kalau terhadap pasien telah dilakukan prosedur sesuai standar pelayanan medis, tetapi pasien
akhirnya luka berat atau mati, ini merupakan resiko medis. sedangkan bagi pasien yang
mengalami luka berat maupun kematian sebagai akibat dokter melakukan pelayanan dibawah
standar medis, maka hal ini berarti terjadai malpraktek medik.
Agar tidak terjadi salah pengertian tentang timbulnya resiko yang merugikan pasien,
diperlukan adanya informasi yang jelas dan lengkap oleh dokter dengan bahasa yang muda
dimengerti oleh pasien dan dengan mengingat dimana komunikasi tersebut dilakukan. Di sinilah
pentingnya wawancara kesehatan, sehingga pada akhirnya pasien bersedia memberikan
persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan dokter dalam usaha menyembuhkan
penyakitnya pada transaksi terapeutik. Ini berarti bahwa unsur kelalaian sangat berperan dalam
menentukan dipidana atau tidaknya seorang dokter dan kelalaian dalam bidang kedokteran sangat
erat kaitannya dengan pelaksanaan standar profesi dokter. Tidak hanya unsur kelalaian didalam
resiko medik, juga mengandung arti bahwa baik pasal 359 maupun 360 KUHP tidak bisa
diterapkan bagi tindakan dokter yang memiliki resiko medik, karena salah satu unsur dari pasal
359 maupun 360 KUHP tidak dipenuhi didalam resiko medik.
Selain itu, tindakan dokter terhadap pasien juga mempunyai alasan pembenar
sebagaimana disebutkan dalam pasal 50 KUHP dan pasal 51 ayat 1 KUHP. Sedangkan untuk
dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban dalam
hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai berikut:
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak
harus normal.
2. Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
3. Tidak adanya alas an penghapus kesalahan atau pemaaf.
Dengan demikian, agar suatu tindakan medis tidak bersifat melawan hukum, maka
tindakan tersebut harus:
1. Dilakukan sesuai dengan standar profesi kedokteran atau dilakukan secara legeartis,
yang tercermin dari:
a. Adanya indikasi medis yang sesuai dengan tujuan perawatan yang konkrit
b. Dilakukan sesuai prosedur ilmu kedokteran yang baku.
2. Dipenuhinya hak pasien mengenai informed consent
Perlu kita sadari bahwa tindakan medis dokter kadang-kadang memang menghasilkan
akibat yang tidak diinginkan baik oleh dokter maupun pasien, meskipun dokter telah
berusaha maksimal. Karena hampir semua tindakan medis hakekatnya adalah
penganiayaan yang dibenarkan oleh Undang-undang, sehingga kemungkinan
timbulnya resiko cidera atau bahkann kematian sangat sulit untuk dihindari, terutama
yang berkaitan dengan tindakan pembiusan dan pembedahan.
Sebagaimana diuraikan diatas, hukum pidana menganut asas “tiada pidana tanpa
kesalahan”. Selanjutnya dalam pasal 2 KUHP disebutkan, “ketentuan pidana dalam perundang-
undangan indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu delik di Indonesia”.
Perumusan pasal ini menentukan bahwa setiap orang yang berada dalam wilayah hukum
Indonesia, dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana atas kesalahan yang dibuatnya.
Berdasarkan pada ketentuan itu, profesi dokter tidak terlepas dari ketentuan pasal tersebut.
Apalagi seorang dokter dalam pekerjaannya sehari-hari selalu berkecimpung dengan perbuatan
yang diatur dalam KUHP.
Sekalipun hukum pidana mengenal penghapusan pidana dalam pelayanan kesehatan,
yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagaimana halnya yang terdapat didalam
yurisprudensi, namun tidak serta merta alasan pembenar dan pemaaf tersebut menghapus suatu
tindak pidana bagi profesi dokter. Salah satu yurisprudensi yang memuat alasan pembenar dan
alasan pemaaf dalam pelayanan kesehatan adalah yurisprudensi dalam kasus “Natanson V. Klien
tahun 1960”. Yurisprudensi ini berisi “persetujuan (informed consent)” sebagai peniadaan pidana.
Namun demikian, tidak berarti bahwa bagi profesi dokter dibebaskan dari segala tanggung jawab
pidana, sebab alasan pembenar dan alasan pemaaf bagi tindakan dokter, hanya terdapat pada
pengecualian-pengeculian tertentu.
Beberapa dasar peniadaan hukuman yang tercantum dalam pasal-pasal KUHP, berlaku
pula hukum kedokteran, yaitu :
1. Pasal 44 (sakit jiwa)
2. Pasal 48 (adanya unsur daya paksa/overmacht)
3. Pasal 49 (pembelaan diri terpaksa)
4. Pasal 50 (melaksanakan ketentuan undang-undang)
5. Pasal 51 (melaksanakan perintah jabatan sah)
Selain itu, dikenal pula beberapa keadaan sebagai dasar peniadaan hukuman di luar
Undang-Undang tertulis tersebut, yaitu :
1. Tidak ada hukuman walaupun memenuhi semua unsur delik, karena hilangnya sifat
bertentangan dengan hukum material.
2. Tidak ada hukuman karena tidak adanya kesalahan.
Secara umum dikatakan bahwa diluar keadaan-keadaan tersebut, tidak ada lagi dasar-
dasar peniadaan hukuman. Namun untuk bidang kedokteran, ada faktor-faktor khusus yang tidak
dijumpai pada hukum yang berlaku umum, misalnya kecelakaan medik (medical accident) atau
resiko pengobatan (risk of treatment).
Guwandi menyusun sistematika untuk beberapa dasar peniadaan hukuman atau kesalahan
khusus bidang medik, yaitu:
1. Resiko pengobatan (risk of treatment)
- Resiko yang inharen atau melekat
- Reaksi alergi
- Komplikasi dalam tubuh pasien
2. Kecelakaan medic (medical accident)
3. Kekeliruan penilaian klinis (non-negligent error of judgment)
4. Volenti non fit iniura
5. Contributory negligence.
Dalam suatu tindak medik tertentu, selalu ada risiko yang melekat pada tindak medik
tersebut (inherent risk of treatment). Apabila dokter melakukan tindak medik tersebut dengan
hati-hati, seizin pasien dan berdasarkan SPM (Standar Pelayanan Medik), tetapi ternyata risiko itu
tetap terjadi, maka dokter itu tidak dapat dipersalahkan.
Dalam penjelasan resmi atas pasal 44 UU praktik kedokteran ditentukan sebagai berikut:
1. Yang dimaksud dengan “standar pelayanan” adalah pedoman yang harus diikuti oleh
dokter dalam menyelenggarakan praktek kedokteran.
2. Yang dimaksud dengan “strata sarana pelayanan” adalah tingkatan pelayanan yang
standar tenaga dan peralatannya sesuai dengan kemampuan yang diberikan.
Tentang kekeliruan penilaian klinis pun sebenarnya juga dapat dipahami karena
bagaimanapun sebagai seorang manusia dokter tidak dapat lepas dari kemungkinan melakukan
kesalahan. Suatu adagium dalam hukum yang terkenal berbunyi errare humanum est (kesalahan
adalah manusiawi), agaknya perlu direnungkan. Suatu teori respectable minority rule yang
menyebutkan bahwa seorang dokter tidak dianggap berbuat lalai apabila ia memilih salah satu
dari sekian banyak cara pengobatan yang diakui oleh dunia kedokteran.
Dengan diundangkannya Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, maka
ancaman pidana terhadap kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang
mengakibatkan pasien menderita cacat atau luka-luka, tidak lagi semata-mata mengacu pada
ketentuan Pasal 359,360, dan 361 KUHP, karena didalam Undang-undang kesehatan sendiri telah
dirumuskan ancaman pidananya. Ancaman tersebut dimuat dalam pasal 198 Undang-undang No.
36 Tahun 2009 tentang kesehatan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Malpraktik dokter merupakan bentuk kelalaian dari dokter dalam melakukan tindakan
medik yang mengakibatkan rasa sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan kerugian
lainnya. Kedua, dokter dapat dipertanggungjawabkan terhadap kasus malpraktik yang merugikan
pasien karena perbuatan melawan hukum yaitu bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku,
melawan hukum hak subyektif orang lain; melawan kaidah kesusilaan, dan bertentangan dengan
kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang.
Bahwa pasal 359 dan 338 KUHP tidak dapat diterapkan pada tindakan dokter yang
memiliki resiko medik . Hal ini disebabkan karena pada resiko medik ada salah satu unsur dalam
pasal 359 dan 338 KUHP yang tidak dapat dipenuhi, yaitu unsur kelalaian. Namun bila unsur
kelalaian dari tindakaan dokter dapat dibuktikan, maka pasal 359 atau 360 KUHP dapat
dikenakan kepada dokter yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan luka berat ataupun
hilangnya nyawa pasien. disamping itu berdasarkan 2 dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu
alasan pembenar (resiko pengobatan) dan alasan pemaaf (terjadinya kecelakaan pada operasi
yang sulit). Pengaturan pertanggungjawab hukum dokter yang melakukan malpraktek kedokteran,
pada dasarnya didasarkan kepada kesalahan atau kelalaian baik yang disengaja maupun yang
tidak disengaja. Untuk kesalahan yang disengaja kalau mengakibatkan korbanya meninggal dunia
disamakan dengan pembunuhan, dan kalau korbannya tidak meninggal dunia dinamakan tindakan
penganiayaan dengan sanksi penganiayaan.

DAFTAR PUSTAKA

https://media.neliti.com/media/publications/3105-ID-penegakan-hukum-pidana-terhadap-resiko-medik-
dan-malpraktek-dalam-pelaksanaan-tu.pdf
MAKALAH
MALPRAKTEK

DOSEN : MURPRATIWI, SH., MH

OLEH :

AULIA YUWANALDA NIRWAN (2002374201004)


WARDAYANI PASTRY (2002374201104)
RAHMAT (2002374201080)
ILHAM NASIR (2002374201050)
YOSEF THOMAS (2002374201084)
DIDIT AMANDA (2002374201045)

MATA KULIAH HUKUM KESEHATAN


UNIVERSITAS ANDI DJEMMA PALOPO
2023

Anda mungkin juga menyukai