PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada umumnya, dalam periode kehamilan akan terjadi perubahan kondisi fisik,
serta tanda – tanda fisiologis mulai dari mual dan muntah, kepala pusing sampai
timbulnya keluhan secara umum seperti rasa panas dalam perut khususnya pada
lambung. Keluhan – keluhan tersebut akan terus meningkat setiap berat janin
bertambah. Penambahan berat janin mengakibatkan posisi rahim dalam perut naik
atau meninggi, kemudian rahim serta segala hal yang termuat di dalamnya akan
7
mendesak lambung.
Dalam keadaan tidak hamil maka 70% dari berat badan adalah air;
• 5% adalah cairan intravaskular
• 70% adalah cairan intraseluler
• Sisanya adalah cairan interstisial
Perubahan lokal terlihat jelas pada tungkai bawah dan akibat tekanan
yang ditimbulkan oleh uterus terhadap vena pelvik. Oleh karena 1/3 darah
dalam sirkulasi berada dalam tungkai bawah maka peningkatan tekanan
terhadap vena akan menyebabkan varises dan edema vulva dan tungkai.
Keadaan ini lebih sering terjadi pada siang hari akibat sering berdiri. Keadaan
ini cenderung untuk reversibel saat malam dimana pasien berada dalam
keadaan berbaring : edema akan direabsorbsi – venous return meningkat dan
output ginjal meningkat sehingga terjadi nocturnal diuresis.
Bila pasien dalam keadaan telentang, tekanan uterus terhadap vena
akan juga meningkat sehingga aliran balik ke jantung menurun dan terjadi
penurunan cardiac output. Suatu contoh ekstrim terjadi saat uterus menekan
vena cava dan menurunkan CO sehingga pasien terengah-engah dan dapat
menjadi tidak sadarkan diri. Dapat terjadi sensasi nause dan gejala muntah.
Gejala ini – Supine Hypotensive Syndrome harus senantiasa diingat saat
melakukan pemeriksaan kehamilan pada pasien hamil lanjut.
• Perubahan Haematologi
a) Zat besi
b) Leukosit
Faktor II, V dan XI sampai XIII tidak berubah atau justru malah
semakin menurun. Peningkatan resiko tromboemboli yang terkait dengan
kehamilan lebih diakibatkan oleh stasis vena dan kerusakan dinding
pembuluh darah dibandingkan dengan adanya perubahan faktor koagulasi
itu sendiri.
• Sistem Respirasi
Perubahan fisik pada sistem respirasi terjadi sejak awal kehamilan dan
terjadi untuk memperbaiki sistem pertukaran gas selama kehamilan. Pada
fisiologi pernafasan dikenal 4 volume paru dan 4 kapasitas paru.
Volume paru terdiri dari dari :
1. Tidal volume: volume udara yang di inspirasi dan di ekspirasi pada tiap
kali pernafasan
2. Inspiratory reserve volume: jumlah maksimum udara yang dapat di
inspirasi dalam situasi tidal volume normal
3. Expiratory reserve volume: jumlah maksimum udara yang dapat di
ekspirasi dari posisi istirahat ekspirasi-akhir
4. Residual volume: volume udara yang tersisa dalam paru setelah ekspirasi
maksimal
Gambar 4 & 5. Perubahan fisik pernafasan dan perubahan kapasitas & volume
paru.
4. Traktus Gastrointestinal
Sekresi saliva menjadi lebih asam dan lebih banyak dan asam lambung
menurun. Pembesaran uterus menekan diagfragma, lambung dan intestine.
Gigi berlubang terjadi lebih mudah pada saliva yang bersifat asam selama
masa kehamilan dan membutuhkan perawatan yang baik untuk mencegah
karies gigi.
Pertumbuhan janin dan uterus meningkatkan rasa haus dan selera makan.
Gambar 6. Perubahan traktus gastrointestinal
2.2.1 Definisi
2.2.2 Epidemiologi
5. Emergency
Seksio sesarea dimana terdapat ancaman langsung terhadap nyawa sang ibu
maupun janin.
6. Urgent
7. Scheduled
Seksio sesarea dimana keadaan menuntut persalinan segera namun tidak ada
penyulit fetal maupun maternal.
8. Elective
Seksio sesarea yang dilakukan pada waktu yang disesuaikan dengan keinginan
ibu dan juga kesiapan tim maternal.
Suatu teknik yang dilakukan tanpa insisi peritoneum melainkan dengan dengan
mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung kemih ke bawah atau ke garis
– garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi di segmen bawah.
Suatu teknik pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen atas uterus atau
korpus uteri. Teknik seksio sesarea klasik ini dilakukan apabila segmen bawah
rahim sulit untuk dicapai, bayi dengan kelainan letak terutama jika selaput
ketuban sudah pecah. Tindakan ini dilakukan dimulai dengan insisi vertikal pada
bagian bawah korpus uteri di atas lipatan vesikouteri melalui peritoneum viseral
ke dalam miometrium. Setelah masuk ke dalam kavum uterus, insisi diperluas ke
arah kaudal dan kranial. Lalu dilanjutkan dengan pelahiran bayi, plasenta, serta
selaput ketuban. Teknik pembedahan ini memiliki kelemahan berupa
penyembuhan dari luka insisi relatif sulit, adanya risiko terjadi perlekatan dengan
dinding abdomen, dan terjadinya ruptur uterus pada kehamilan berikutnya.
Teknik pembedahan ini juga memiliki keuntungan seperti pengeluaran janin
yang cepat, serta tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik.
2.2.4 Indikasi
Indikasi seksio sesarea dimulai dengan kelainan jalan lahir, seperti sempitnya
panggul, dugaan akan terjadinya trauma persalinan pada jalan lahir sehingga
kelahirannya tidak bisa melalui jalan vagina. Lalu, pada akhirnya dilanjutkan ke
faktor janin dan kekuatan ibu. Kelainan janin yang memungkinkan dilakukannya
seksio sesarea, misalnya makrosemia, kelainan letak, serta fetal distress syndrome.
Lalu pada kelainan kekuatan ibu yang memungkinkan dilakukannya seksio sesarea,
yaitu seperti mengejan lemah, kontraksi lemah, ibu dengan penyakit jantung dan
penyakit menahun lainnya yang mempengaruhi tenaga.
3
Secara terperinci, berbagai indikasi dilakukannya seksio sesarea adalah :
1. Indikasi ibu
2. Primigravida Tua
3. Distosia
4. Malposisi dan malpresentasi janin
5. Gawat janin
6. Ketuban pecah dini
7. Plasenta previa
8. Abrupsio plasenta
9. Hipertensi dalam kehamilan
10. Ruptur uterus
11. Makrosomia
12. Prolaps tali pusat
13. Kehamilan ganda
14. Indikasi waktu
15. Atas permintaan ibu
2.2.5 Kontraindikasi
Seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan sang ibu dan janin, adanya faktor
yang menghambat berlangsungnya tindakan seksio sesarea, seperti adanya gangguan
mekanisme pembekuan darah pada ibu, lebih dianjurkan untuk dilakukan persalinan
pervaginam dikarenakan insisi yang menyebabkan perdarahan dapat seminimal
mungkin. Seksio sesarea umumnya tidak dilakukan pada kasus keadaan janin sudah
mati dalam kandungan, shock pada ibu atau anemia berat yang belum teratasi, serta
pada janin dengan kelainan kongenital mayor yang berat atau terjadi infeksi dalam
3
kehamilan.
Terlepas dari waktu asupan oral terakhir, semuanya pasien dianggap memiliki
perut penuh dan berisiko terhadap aspirasi paru. Karena durasi persalinan sering
memanjang, guideline biasanya memperbolehkan untuk minum sejumlah kecil air
peroral pada persalinan tanpa komplikasi. Periode puasa minimum untuk seksio
sesarea elektif tetap kontroversial, tetapi disarankan untuk 6 jam untuk makanan
ringan dan 8 jam untuk makanan berat.
Dalam setiap kasus persalinan, terutama seksio sesarea, setiap pasien harus
dievaluasi sedemikian rupa untuk menentukan teknik anestesi mana yang akan
digunakan pada saat seksio sesarea karena melalui evaluasi, setiap informasi yang
didapat akan menentukan kelancaran dan keberhasilan prosedur teknik anestesi yang
akan dilakukan. Bahkan dalam keadaan darurat atau emergency, evaluasi singkat tetap
16
diperlukan agar prosedur teknik anestesi berjalan dengan lancar dan aman.
Pada seksio sesarea, teknik anestesi regional yang digunakan ada 3, yaitu
sebagai berikut
1. Anestesi Spinal
Teknik anestesi spinal merupakan teknik anestesi pada seksio sesarea yang
paling direkomendasikan dikarenakan onset yang cepat dan presentase angka
kegagalan anestesi spinal yang sangat rendah, yaitu lebih rendah dari 1%.
Pada teknik anestesi spinal, risiko terjadinya hipotensi sangat tinggi
dibandingkan teknik anestesi epidural dikarenakan onset dari sympathectomy
yang cepat dan dosis yang tidak dititrasi. Oleh karena itu, pada anestesi spinal
sering digunakan vasopressors untuk mengembalikan stabilitas tekanan darah
pasien. Vasopressors yang paling sering digunakan adalah ephedrine dan
beberapa penelitian juga mengatakan bahwa pemberian phenylephrine sebagai
prophylactic infusion bersamaan dengan prosedur spinal juga memberikan
efek yang cukup efektif dalam mencegah hipotensi, namun pemberian
vasopressors juga harus diperhatikan pada pasien seksio sesarea karena dapat
17
menimbulkan fetal asidosis.
2. Anestesi Epidural
Teknik anestesi epidural merupakan salah satu bentuk teknik anestesi blok
neuroaksial, dimana penggunaannya lebih luas daripada anestesi spinal. Ruang
epidural berada diluar selaput dura. Radiks saraf berjalan di dalam ruang epidural
ini setelah keluar dari bagian lateral medula spinalis, dan selanjutnya menuju ke
arah luar. Pada teknik anestesi epidural memiliki keuntungan berupa risiko
hipotensi yang rendah dan berkurangnya risiko terjadinya Postdural Puncture
Headache karena insersi jarum tidak melalui dura, namun teknik anestesi
epidural lebih sulit dilakukan daripada anestesi spinal dan onset obat anestes
lebih lama, ditambah lagi pada anestesi epidural membutuhkan obat anestesi
18
lokal yang lebih banyak.
Teknik anestesi CSEA merupakan teknik anestesi gabungan antara spinal dan
epidural yang menyediakan onset cepat, serta efektivitas penambahan obat
anestesi lewat epidural catheter. Teknik anestesi CSEA ini biasa dilakukan
pada operasi yang membutuhkan prosedur tambahan sehingga membuat durasi
19
operasi menjadi lama.
1. Rheumatic Disease
Rheumatic Heart Disease adalah penyakit jantung yang paling sering ditemukan
dalam prosedur anestesi. Tujuan utama dalam manajemen anestesi pada pasien
dengan mitral stenosis berupa
(1)Pengendalian heart rate,
(2) manajemen segera jika acute atrial fibrillation dan pengembalian
ke sinus rhytm,
(3) menghindari kompresi aortacaval,
(4) pengendalian venous return yang cukup,
← (5) pengendalian SVR yang cukup, dan
(6) pencegahan nyeri, hypoxemia, hypercarbia, dan asidosis yang bisa
meningkatkan risiko pulmonary vascular resistance.
Pada penyakit jantung ini, teknik anestesi spinal dan epidural merupakan
pilihan yang direkomendasikan karena melalui teknik – teknik ini obat
anestesi dapat diberikan dalam dosis tambahan dan dosis total dapat dititrasi
ke sensory level yang diinginkan. Ditambah lagi, melalui onset yang melambat
karena anestesi epidural memungkinkan sistem kardiovaskular ibu untuk
mengkompensasi terjadinya blokade simpatik, yang meghasilkan risiko
hipotensi yang lebih rendah. Selain itu, blockade segmental menyelamatkan
pompa otot ekstremitas bawah, yang membantu venous return. Teknik anestesi
umum tidak direkomendasikan karena peningkatan pulmonary arterial
pressure dan takikardi selama laringoskopi dan intubasi trakea. Ditambah lagi
dampak buruk dari positive pressure ventilation terhadap venous return dapat
21
mengakibatkan cardiac failure.
2. Diabetes Mellitus
Aspek paling penting pada pasien diabetes yang akan menjalani prosedur
anestesi adalah kontrol yang cukup glukosa darah pasien sebelum menjalani
prosedur anestesi. Oleh karena itu, pada pasien diabetes diperlukan
pengontrolan glukosa darah jauh sebelum prosedur anestesi dilakukan
sehingga status pre-operasi pasien dapat dioptimalkan.
3. Asma
5. Renal Diseases
6. Hematological Disorders
7. HIV
Pada anestesi umum, banyak sekali faktor yang harus diperhatikan dalam
tindakan anestesi umum yang akan dilakukan kepada pasien seksio sesarea
yang terinfeksi HIV. Beberapa penelitian menyatakan bahwa adanya efek yang
buruk dari obat anestesi golongan opioid terhadap sistem imun pasien yang
terinfeksi HIV, namun data yang dibutuhkan masih belum cukup untuk
memastikan hubungan obat anestesi opioid dengan sistem imun pasien yang
26
terinfeksi HIV.
Pada teknik anastesi regional, Risiko dilakukannya pada pasien yang terinfeksi
HIV masih sangat kurang informasinya. Beberapa penelitian mendapati bahwa
adanya Komplikasi sering terjadi pada pasien seksio sesarea dengaan HIV yang
dilakukan tindakan anestesi regional, komplikasi tersebut adalah adanya
penyebaran obat anestesi lokal yang mengakibatkan infeksi ke sistem saraf pusat,
lalu kemudian terjadinya sekuel neurologik.
Ada juga penelitian anestesi regional yang dilakukan terhadap pasien seksio
sesarea yang terinfeksi HIV memperlihatkan bahwa anestesi regional bisa
dilakukan tanpa adanya sekuel efek samping. Hal ini juga diperkuat dengan tidak
ditemukannya komplikasi neurologik atau infeksi yang berhubungan dengan
perjalanan obstetri maupun anestesi. Fungsi imun pasien seksio sesarea tetap
stabil pada masa peripartum. Walaupun jumlah pasien yang diteliti masih sedikit,
namun dengan adanya evaluasi medis dan pertimbangan yang terperinci, anestesi
regional merupakan pilihan yang bisa diterima bagi pasien seksio sesarea yang
27
terinfeksi HIV.
8. Obesitas
Pada pasien dengan obesitas belum ada teknik anestesi yang lebih
direkomendasikan. Pemilihan teknik anestesi pada pasien obesitas tidak
menentu dikarenakan pada teknik anestesi regional, terutama spinal didapati
kesulitan dalam penempatan jarum spinal, sedangkan pada epidural dapat
menyebabkan penyebaran yang tidak merata dan memiliki tingkat kegagalan
yang tinggi. Lalu, pada anestesi umum juga didapati penyulit intubasi
28
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk intubasi relatif lebih lama.
1. Pre-eclampsia
2. Placenta Accreta
1. Anestesi Umum
Efek langsung dari terpaparnya obat anestesi lewat plasenta dapat menghambat
dan memperlambat inisiasi menyusui pertama. Lalu, dikarenakan adanya waktu
yang diperlukan sang ibu untuk bangun dan pemulihan kognitif, interaksi pertama
antara sang ibu dan bayi yang baru lahir juga menjadi tertunda. Oleh karena itu,
dengan interval tersebut antara kelahiran dan inisiasi menyusui pertama dapat
berdampak negatif terhadap keberhasilan inisiasi menyusui.
2. Anestesi Regional
2.3.5 Komplikasi
1. Anestesi Umum
• Aspirasi
2. Anestesi Regional
• Hipotensi
Bila pasca bedah didapati adanya kondisi gawat darurat segera dipindahkan
ke ICU untuk perawatan yang lebih optimal bersamaan dengan unit anestesi
untuk lebih mudah dalam pengendalian hemodinamik sang ibu. Setelah
keadaan pasien sudah stabil, baru dipindahkan ke tempat pasien semula
dirawat.
3. Pemberian cairan
4. Pengendalian Nyeri
Sejak pasien sadar dalam 24 jam pertama rasa nyeri masih dirasakan di daerah
pembedahan. Oleh karena itu, untuk mengurangi rasa nyeri tersebut dapat
diberikan obat – obat analgesia seperti pethidine dengan dosis 100 – 150 mg atau
morphine sebanyak 10 – 15 mg secara intramuskular atau perinfus.
5. Mobilisasi
Mobilisasi segera tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu jalannya
penyembuhan pasien. Mobilisasi berguna untuk mencegah terjadinya
thrombosis dan emboli. Miring ke kanan dan kiri sudah dapat dimulai sejak 6
– 10 jam setelah pasien sudah sadar. Latihan pernafasan juga dapat dilakukan
pasien sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah pasien sadar. Pada hari
kedua, pasien dapat diminta untuk duduk selama 5 menit dan bernafas
sedalam – dalamnya lalu dihembuskan disertai dengan batuk – batuk kecil
untuk melonggarkan jalan napas sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada
dirinya untuk segera pulih. Kemudian posisi tidur terlentang diganti menjadi
setengah duduk. Lalu, secara perlahan, hari demi hari pasien dianjurkan
belajar untuk duduk selama sehari, selanjutnya berjalan sendiri pada hari ke-
37
3 sampai ke-5 pasca pembedahan.
BAB III
PENUTUP
19
13. Pernoll ML. 2001. Early Pregnancy Complications. In: Benson and Pernoll’s
Handbook of Obstetrics & Gynecology Tenth Edition. New York: McGraw-
Hill; p.295-324.
14. DeCherney. 2007. Operative delivery. In : Current Diagnosis and Treatment
th
Obsetrics & Gynecologist. 10 Edition. New York : McGraw Hill Companies.
15. Kinsella SM, Walton B, Sashidharan R, et al. Category-1 caesarean section: a
survey of anaesthetic and peri-operative management in the UK. Anaesthesia.
2010;65:362–8.
16. Riley ET, Cohen SE, Macario A, et al. Spinal versus epidural anesthesia for
cesarean section: a comparison of time efficiency, costs, charges, and
complications. Anesth Analg. 1995;80:709–12.
17. Ng K, Parson J, Cyna AM, Middelton P. Spinal versus epidural anaesthesia for
caesarean section. Cochrane Database Syst Rev. 2004;2.
18. Ranasinghe JS, Steadman J, Toyama T, et al. Combined spinal epidural
anaesthesia is better than spinal or epidural alone for caesarean delivery. Br J
Anaesth. 2003;91:299–300.
19. Afolabi BB, Lesi FE, Merah NA. Regional versus general anaesthesia for
caesarean section. Cochrane Database Syst Rev. 2006;10.
20. Blaise G, Langleben D, Hubert B. Pulmonary arterial hypertension:
pathophysiology and anesthetic approach. Anesthesiology. 2003;99:1415–32.
21. Vohra A, Kumar S, Charlton AJ, Olukoga AO, Boulton AJ, McLeod D. Effect
of diabetes mellituson the cardiovascular responses to induction of anesthesia
and tracheal intubation. BrJ Anaesth. 1993;71:258–61.
22. Lev-Ran A. Sharp temporary drop in insulin requirement after caesarean
section in diabeticpatients. Am J Obstet Gynecol. 1974;120:905–8..
23. Kawabata KM. Two cases of asthmatic attack caused by spinal anesthesia.
Masui. 1996;45:102–6.
24. Gambling DR, Douglas MJ, McKey RSF. Obstetric anesthesia and uncommon
rd
disorders. 3 ed. Cambridge: Cambridge University Press; 2008.
25. Evron S, Glezerman M, Harow E, et al. Human immunodeficiency virus:
anesthetic and obstetric considerations. Anesth Analg. 2004;98:503–511
26. Avidan M.S, Groves P, Blott M, et al. Low complication rate associated with
cesarean sectionunder spinal anesthesia for HIV-1-infected women on
antiretroviral therapy. Anesthesiology. 2002;97:320–324.
20
27. Whitty RJ, Maxwell CV, Carvalho JC. Complications of neuraxial anesthesia
in an extreme morbidly obese patient for cesarean section. Int J Obstet Anesth.
2007;16:139–44.
28. Dyer RA, Piercy JL, Reed AR. The role of the anaesthetist in the management
of the pre-eclamptic patient. Curr Opin Anesthesiol. 2007;20:168–74
29. Chestnut DH, Dewan DM, Redick LF, et al. Anesthetic management for
obstetric hysterectomy: a multiinstitutional study. Anesthesiology.
1989;70:607–10.
30. Sener EB, Guldogus F, Karakaya D, et al. Comparison of neonatal effects of
epidural and general anesthesia for cesarean section. Gynecol Obstet
Investig. 2003;55:41–5.
31. O’Sullivan G. Aspiration: risk, prophylaxis and treatment. In: Chestnut DH,
Wong CA, Tsen LC, Ngan Kee W, Beilin Y, Mhyre JM, editors. Obstetric
th
anesthesia principles and practice. 5 ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2014. p. 665–83.
32. Quinn AC, Milne D, Columb M, et al. Failed trachéal intubation in obstetric
anaesthesia: 2 year national case-control study in the UK. Br J Anaesth.
2013;110:74–80.
33. Palahniuk RJ, Schnider SM, Eger 2nd EI. Pregnancy decreases the
requirement for inhaled anesthetic agents. Anesthesiology 1974;41:82–3.
34. Tsen LC. Anesthesia for cesarean delivery. In: Chestnut DH, Wong CA, Tsen LC,
Ngan Kee W, Beilin Y, Mhyre JM, editors. Obstetric anesthesia principles and
practice. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014. p. 545–603
35. D’Angelo R, Smiley R, Riley ET, Segal S. Serious complications related to
obstetric anesthesia. The serious complications repository project of the
Society for Obstetric Anesthesia and Perinatology. Anesthesiology.
2014;120:1505–12.
36. Mochtar, Rustam. (1998). Sinopsis Obsetri, Jilid 2, Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC