Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Seksio sesarea merupakan proses pembedahan untuk melahirkan janin melalui


insisi dinding abdomen dan dinding uterus. Tindakan seksio sesarea diperkirakan akan
terus meningkat sebagai tindakan akhir dari berbagai kesulitan persalinan seperti distosia,
imminent uterine rupture, fetal distress, macrosomia da n perdarahan setelah melahirkan.
Persalinan seksio sesarea mempunyai risiko tinggi tidak hanya bagi sang ibu, tetapi juga
bagi janin yang terdapat di kandungan sang ibu. Meskipun berisiko tinggi, namun pada
1
kenyataannya angka kejadian seksio sesarea terus meningkat di negara Indonesia.
Berdasarkan survei demografi dan kesehatan pada tahun 2011, angka persalinan secara
seksio sesarea memiliki rata – rata 22,5% dari seluruh persalinan. Saat ini, bahkan
persalinan seksio sesarea bukan saja karena adanya indikasi dari ibu ataupun bayinya,
2
akan tetapi dikarenakan permintaan dari pasien sendiri.

Pada dasarnya, setiap seksio sesarea membutuhkan tindakan anestesi. Anestesi


dibagi menjadi dua, yaitu anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja
menekan aksis hipotalamus pituitari adrenal, sedangkan anestesi regional berfungsi untuk
3
menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal.

Anestesi umum berhubungan dengan depresi janin yang disebabkan oleh


pengaruh obat anestesi, maka dari itu kerap memerlukan tindakan resusitasi, namun
keuntungan pada anestesi umum berupa pengendalian jalan napas dan pernapasan yang
optimal, serta risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah. Sementara itu,
pada anestesi regional memiliki beberapa keuntungan, antara lain adalah sang ibu akan
tetap dalam keadaan sadar, mengurangi kemungkinan terjadi aspirasi, serta menghindari
depresi janin. Anestesi regional juga memiliki beberapa kerugian, seperti mual dan
muntah intrapartum, kemungkinan nyeri kepala setelah penusukan, lama kerja terbatas,
4
serta risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular meningkat.

Menurut Obsetric Anaesthesia Guidelines, teknik anestesi yang


direkomendasikan untuk seksio sesarea adalah teknik anestesi regional terutama anestesi
5
spinal ataupun epidural dibandingkan dengan anestesi umum. Oleh karena itu, pada
referat ini akan dibahas secara keseluruhan mengenai anestesi pada seksio sesarea.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Fisiologi Selama Kehamilan

Proses kehamilan merupakan rantai yang berkesinambungan yang mencakup


proses ovulasi, migrasi spermatozoa dan ovum, konsepsi dan pertumbuhan zigot,
implantasi, pembentukan plasenta, serta tumbuh kembang hasil konsepsi sampai
aterm. Maka dari itu, dengan adanya kehamilan, akan terjadi berbagai perubahan
6
anatomi dan fisiologis.

Pada umumnya, dalam periode kehamilan akan terjadi perubahan kondisi fisik,
serta tanda – tanda fisiologis mulai dari mual dan muntah, kepala pusing sampai
timbulnya keluhan secara umum seperti rasa panas dalam perut khususnya pada
lambung. Keluhan – keluhan tersebut akan terus meningkat setiap berat janin
bertambah. Penambahan berat janin mengakibatkan posisi rahim dalam perut naik
atau meninggi, kemudian rahim serta segala hal yang termuat di dalamnya akan
7
mendesak lambung.

Perubahan secara fisiologis selama kehamilan mempengaruhi beberapa sistem


yang meliputi :

• Efek pada Sistem Saraf Pusat

Konsentrasi alveolar minimum (MAC) semakin menurun selama


kehamilan. Pada saat cukup bulan akan turun sebanyak 40%. MAC kembali
normal pada hari ke tiga setelah kelahiran. Perubahan hormonal ibu dan
tingkat opioid endogen juga merupakan factor penting. Progesteron, yang
bersifat menenangkan ketika diberikan dalam dosis farmakologis, meningkat
hingga 20 kali lipat normal pada saat aterm. Lonjakan β-endorphin tingkat
selama persalinan dan persalinan juga cenderung memiliki peran penting.
Pasien hamil juga menunjukkan peningkatan sensitivitas untuk anestesi
lokal, dan blokade saraf terjadi pada konsentrasi anestesi lokal yang lebih
rendah. Istilah minimum konsentrasi analgesik local (MLAC) digunakan
dalam anestesi obstetrik untuk membandingkan potensi relatif anestesi local
dan efek aditif; MLAC didefinisikan sebagai konsentrasi analgesik lokal
mengarah pada efek analgesia yang memuaskan pada 50% pasien (EC 50).
Kebutuhan dosis untuk anestesi local juga menurun sekitar 30%. Hal ini
diduga karena ada mediasi dari hormone tetapi bisa juga dikarenakan
pembengkakan pleksus vena epidural.

Obstruksi inferior vena cava oleh uterus yang membesar membuat


distensi dari pleksus vena epidural dan meningkatkan volume darah epidural.
Hal ini memiliki tiga efek utama:
(1) penurunan volume cairan serebrospinal tulang belakang,
(2) penurunan volume potensial epidural ruang, dan
(3) peningkatan tekanan epidural (ruang).

Dua efek pertama meningkatkan penyebaran ke sefalad solusi anestesi


lokal selama spinal dan epidural anestesi, sedangkan yang terakhir mungkin
mempersulit identifikasi ruang epidural. Pembengkakan epidural vena juga
meningkatkan kemungkinan penempatan jarum epidural atau kateter dalam
vena, menghasilkan injeksi intravaskular yang tidak disengaja.

• Perubahan Sistem Kardiovaskular

Curah jantung (cardiac output) meningkat secara dramatis selama


kehamilan. Peningkatan CO dari 4.5 l/menit menjadi 6.0 l/menit. Peningkatan
terbesar terjadi pada trimester I dan kenaikan CO lebih lanjut terjadi pada
kehamilan 24 minggu. Peningkatan CO menyebabkan meningkatnya frekuensi
nadi dan stroke volume.
Stroke volume meningkat dari 6.4 ml menjadi 70 ml pada pertengahan
kehamilan. Stroke volume semakin menurun menjelang aterm dan kenaikan
cardiac output dipertahankan dengan peningkatan frekuensi nadi.

Gambar 1. Perubahan cardiac output selama kehamilan

Dalam keadaan tidak hamil maka 70% dari berat badan adalah air;
• 5% adalah cairan intravaskular
• 70% adalah cairan intraseluler
• Sisanya adalah cairan interstisial

Dalam kehamilan, cairan intraseluler tidak berubah namun terjadi


peningkatan volume darah dan cairan interstisial. Peningkatan volume plasma
lebih besar dibandingkan peningkatan sel darah merah sehingga terjadi anemia
dan peningkatan kadar protein sehingga kekentalan (viskositas) darah
menurun.

Perubahan lokal terlihat jelas pada tungkai bawah dan akibat tekanan
yang ditimbulkan oleh uterus terhadap vena pelvik. Oleh karena 1/3 darah
dalam sirkulasi berada dalam tungkai bawah maka peningkatan tekanan
terhadap vena akan menyebabkan varises dan edema vulva dan tungkai.
Keadaan ini lebih sering terjadi pada siang hari akibat sering berdiri. Keadaan
ini cenderung untuk reversibel saat malam dimana pasien berada dalam
keadaan berbaring : edema akan direabsorbsi – venous return meningkat dan
output ginjal meningkat sehingga terjadi nocturnal diuresis.
Bila pasien dalam keadaan telentang, tekanan uterus terhadap vena
akan juga meningkat sehingga aliran balik ke jantung menurun dan terjadi
penurunan cardiac output. Suatu contoh ekstrim terjadi saat uterus menekan
vena cava dan menurunkan CO sehingga pasien terengah-engah dan dapat
menjadi tidak sadarkan diri. Dapat terjadi sensasi nause dan gejala muntah.
Gejala ini – Supine Hypotensive Syndrome harus senantiasa diingat saat
melakukan pemeriksaan kehamilan pada pasien hamil lanjut.

Gambar 2. Penurunan cardiac output pada kehamilan

• Perubahan Haematologi

Perubahan nilai hasil pemeriksaan darah seperti nilai haemoglobin


merupakan akibat dari kebutuhan kehamilan yang dipengaruhi oleh
peningkatan volume plasma. Peningkatan volume plasma menyebabkan
penurunan kadar haemoglobin.

Terjadi peningkatan eritrosit sebesar 18% dan terjadi peningkatan


volume plasma sebesar 45%. Dengan demikian maka terjadi penurunan hitung
eritrosit per mililiter dari 4.5 juta menjadi 3.8 juta. Dengan semakin
bertambahnya usia kehamilan, volume plasma semakin menurun dan hitung
eritrosit menjadi sedikit meningkat sehingga kadar hematokrit selama
kehamilan menurun namun sedikit meningkat menjelang aterm.

Perubahan kadar haemoglobin paralel dengan yang terjadi pada


eritrosit. Mean Cell Haemoglobin Concentration (MCHC) pada keadaan non
pregnant adalah 34% yang berarti bahwa setiap 100 ml eritrosit mengandung
34 g haemoglobin.
Nilai ini selama kehamilan tidak berubah, bererti nilai volume eritrosit
total dan haemoglobin total yang meningkat selama kehamilan.

Gambar 3. Perubahan haematologi pada kehamilan

a) Zat besi

Dengan peningkatan jumlah eritrosit, kebutuhan terhadap zat besi


dalam proses produksi hemoglobin meningkat. Bila suplemen zat besi
tidak diberikan, kemungkinan akan terjadi anemia defisiensi zat besi.

Kebutuhan zat besi pada trimester kedua kehamilan kira-kira 6–7


mg/hari. Bila suplemen zat besi tidak tersedia, janin akan menggunakan
cadangan zat besi maternal. Sehingga anemia pada neonatus jarang terjadi;
akan tetapi defisiensi zat besi berat pada ibu dapat menyebabkan
persalinan preterm, abortus, dan janin mati.

b) Leukosit

Terjadi kenaikan kadar leukosit selama kehamilan dari 7.109 / l


dalam keadaan tidak hamil menjadi 10.5.109 / l. Peningkatan ini hampir
semuanya disebabkan oleh peningkatan sel PMN – polimorfonuclear. Pada
saat inpartu, jumlah sel darah putih ininakan menjadi semakin meningkat
lagi.
c) Trombosit

Pada kehamilan terjadi thromobositopoeisis akibat kebutuhan yang


meningkat. Kadar prostacyclin (PGI2) sebuah “platelet aggregation
inhibitor” danThromboxane (A2) sebuah perangsang aggregasi platelet
dan vasokonstriktor meningkat selama kehamilan. Nilai rata – rata selama
awal kehamilan adalah 275.000 / mm3 sampai 260.000 / mm3 pada
minggu ke 35. Mean Platelet Size sedikit meningkat dan life span
trombosit lebih singkat.

d) Sistem Pembekuan Darah

Kehamilan disebut sebagai hipercoagulable state. Terjadi


peningkatan kadar fibrinogen dan faktor VII sampai X secara progresif.
Kadar fibrinogen dari 1.5 – 4.5 g/L (tidak hamil) meningkat dan sampai
akhir kehamilan mencapai 4 – 6.5 g/L. Sintesa fibrinogen terus meningkat
akibat meningkatnya penggunaan dalam sirkulasi uteroplasenta atau
sebagai akibat tingginya kadar estrogen.

Faktor II, V dan XI sampai XIII tidak berubah atau justru malah
semakin menurun. Peningkatan resiko tromboemboli yang terkait dengan
kehamilan lebih diakibatkan oleh stasis vena dan kerusakan dinding
pembuluh darah dibandingkan dengan adanya perubahan faktor koagulasi
itu sendiri.

• Sistem Respirasi

Perubahan fisik pada sistem respirasi terjadi sejak awal kehamilan dan
terjadi untuk memperbaiki sistem pertukaran gas selama kehamilan. Pada
fisiologi pernafasan dikenal 4 volume paru dan 4 kapasitas paru.
Volume paru terdiri dari dari :

1. Tidal volume: volume udara yang di inspirasi dan di ekspirasi pada tiap
kali pernafasan
2. Inspiratory reserve volume: jumlah maksimum udara yang dapat di
inspirasi dalam situasi tidal volume normal
3. Expiratory reserve volume: jumlah maksimum udara yang dapat di
ekspirasi dari posisi istirahat ekspirasi-akhir
4. Residual volume: volume udara yang tersisa dalam paru setelah ekspirasi
maksimal

Kapasitas paru terdiri dari :


 Kapasitas paru total
 Kapasitas vital
 Kapasitas inspirasi
 Kapasitas residual fungsional

Frekuensi pernafasan tidak berubah dan elevasi diafragma menurunkan


volume paru saat istirahat namun terdapat peningkatan tidal volume sebesar 40%
serta terjadi kenaikan minute ventilation dari 7.25 liter menjadi 10.5 liter.

Gambar 4 & 5. Perubahan fisik pernafasan dan perubahan kapasitas & volume
paru.
4. Traktus Gastrointestinal

Perubahan pada traktus gastro intestinal terutama disebabkan oleh


relaksasi otot polos. Keadaan ini dipicu oleh tingginya kadar progesteron
selama kehamilan. Tonus otot-otot traktus digestivus menurun, sehingga
motilitas seluruh taktus digestivus juga kurang. Makanan lebih lama berada
dilambung dan apa yang telah dicernakan lebih lama berada dalam usus-usus.
Terjadinya konstipasi juga karena pengaruh hormone progesterone yang
meningkat. Selain itu, tingginya kadar progesteron mengganggu
keseimbangan cairan tubuh, dan meningkatkan kolesterol darah.

Sekresi saliva menjadi lebih asam dan lebih banyak dan asam lambung
menurun. Pembesaran uterus menekan diagfragma, lambung dan intestine.
Gigi berlubang terjadi lebih mudah pada saliva yang bersifat asam selama
masa kehamilan dan membutuhkan perawatan yang baik untuk mencegah
karies gigi.

 Relaksasi sfingter oesophageus menyebabkan regurgitasi asam lambung


sehingga menyebabkan keluhan panas didada ( heartburn ).

 Sekresi dan motilitas lambung menurun sehingga pengosongan lambung


terhambat, keadaan ini menyebabkan pencernaan semakin efisien namun
menyebabkan rasa mual.

 Motilitas usus halus menurun sehingga absorbsi akan berlangsung lebih


lama.

 Motilitas usus besar menurun sehingga absorbsi lebih lama namun


menyebabkan obstipasi.

 Pertumbuhan janin dan uterus meningkatkan rasa haus dan selera makan.
Gambar 6. Perubahan traktus gastrointestinal

2.2 Seksio Sesarea

2.2.1 Definisi

Seksio sesarea didefinisikan sebagai suatu tindakan pembedahan untuk


melahirkan janin melalui insisi pada dinding perut dan dinding uterus dengan syarat
11
rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram.

2.2.2 Epidemiologi

Berdasarkan data WHO, angka persalinan seksio sesarea di dunia terus


meningkat. Pada tahun 1970 sekitar 5 – 7% dari seluruh persalinan dan kemudian
pada tahun 1987 meningkat menjadi 24,4%, lalu pada tahun 1996 dengan berbagai
upaya diusahakan agar persalinan seksio sesarea dapat diturunkan menjadi 22,8% dan
12
terus ditekan, serta dikendalikan hingga stabil dalam kisaran antara 15 – 18%.

Di Indonesia angka persalinan seksio sesarea juga meningkat sangat tajam.


Berdasarkan data yang sudah diperoleh oleh RISKESDAS pada tahun 2010
menunjukkan angka kejadian seksio sesarea sebesar 15,3% dengan angka terendah di
13
Sulawesi Tenggara 5,5% dan tertinggi di DKI Jakarta dengan angka sebesar 27,2%
2.2.3 Klasifikasi

Menurut Lucas et al, seksio sesarea berdasarkan tingkatan urgensi dibagi


9
menjadi :

5. Emergency

Seksio sesarea dimana terdapat ancaman langsung terhadap nyawa sang ibu
maupun janin.

6. Urgent

Seksio sesarea dimana terdapat keadaan penyulit maternal maupun fetal,


namun tidak mengancam nyawa sang ibu maupun janin.

7. Scheduled

Seksio sesarea dimana keadaan menuntut persalinan segera namun tidak ada
penyulit fetal maupun maternal.

8. Elective

Seksio sesarea yang dilakukan pada waktu yang disesuaikan dengan keinginan
ibu dan juga kesiapan tim maternal.

Menurut Benson dan Pernoll, seksio sesarea dapat diklasifikasikan menjadi 4


14
berdasarkan teknik pembedahan yang dilakukan, yaitu sebagai berikut :

 Seksio Sesarea Transperitoneal Profunda

Suatu teknik pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen bawah


uterus. Teknik pembedahan ini paling sering digunakan pada seksio sesarea
karena mempunyai beberapa keunggulan seperti kesembuhan lebih baik dan
tidak banyak menimbulkan perlekatan, namun kerugian dari teknik
pembedahan ini adalah bias terdapat kesulitan dalam mengeluarkan janin
sehingga dapat memungkinkan terjadi luka insisi yang lebih luas dan disertai
dengan perdarahan.
 Seksio Sesarea Ekstraperitoneal

Suatu teknik yang dilakukan tanpa insisi peritoneum melainkan dengan dengan
mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung kemih ke bawah atau ke garis
– garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi di segmen bawah.

 Seksio Sesarea Klasik

Suatu teknik pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen atas uterus atau
korpus uteri. Teknik seksio sesarea klasik ini dilakukan apabila segmen bawah
rahim sulit untuk dicapai, bayi dengan kelainan letak terutama jika selaput
ketuban sudah pecah. Tindakan ini dilakukan dimulai dengan insisi vertikal pada
bagian bawah korpus uteri di atas lipatan vesikouteri melalui peritoneum viseral
ke dalam miometrium. Setelah masuk ke dalam kavum uterus, insisi diperluas ke
arah kaudal dan kranial. Lalu dilanjutkan dengan pelahiran bayi, plasenta, serta
selaput ketuban. Teknik pembedahan ini memiliki kelemahan berupa
penyembuhan dari luka insisi relatif sulit, adanya risiko terjadi perlekatan dengan
dinding abdomen, dan terjadinya ruptur uterus pada kehamilan berikutnya.
Teknik pembedahan ini juga memiliki keuntungan seperti pengeluaran janin
yang cepat, serta tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik.

4. Seksio Sesarea diserta Histerektomi

Pengangkatan uterus setelah tindakan seksio sesarea yang biasa disebabkan


oleh atonia uteri yang tidak dapat di atasi, keadaan uterus miomatosus yang
besar dan banyak, atau keadaan ruptur uterus yang tidak dapat diatasi.

2.2.4 Indikasi

Seksio sesarea dilakukan pada kasus – kasus tertentu dimana persalinan


pervaginam tidak dapat dilakukan ataupun akan memaksakan risiko yang tidak
semestinya kepada sang ibu ataupun janin. Pada setiap kasus persalinan, penilaian dan
penentuan tindakan yang baik dibutuhkan untuk menentukan apakah seksio sesarea
atau persalinan pervaginam yang lebih baik untuk dilakukan.

Pada persalinan ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan suatu


persalinan yaitu kekuatan ibu, janin, jalan lahir, serta psikologi ibu dan penolong.
Apabila terdapat salah satu gangguan ataupun kelainan pada salah satu faktor
tersebut, dapat mengakibatkan persalinan tidak berjalan dengan lancar bakan dapat
15
menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan janin.

Indikasi seksio sesarea dimulai dengan kelainan jalan lahir, seperti sempitnya
panggul, dugaan akan terjadinya trauma persalinan pada jalan lahir sehingga
kelahirannya tidak bisa melalui jalan vagina. Lalu, pada akhirnya dilanjutkan ke
faktor janin dan kekuatan ibu. Kelainan janin yang memungkinkan dilakukannya
seksio sesarea, misalnya makrosemia, kelainan letak, serta fetal distress syndrome.
Lalu pada kelainan kekuatan ibu yang memungkinkan dilakukannya seksio sesarea,
yaitu seperti mengejan lemah, kontraksi lemah, ibu dengan penyakit jantung dan
penyakit menahun lainnya yang mempengaruhi tenaga.

3
Secara terperinci, berbagai indikasi dilakukannya seksio sesarea adalah :

1. Indikasi ibu
2. Primigravida Tua

3. Distosia
4. Malposisi dan malpresentasi janin
5. Gawat janin
6. Ketuban pecah dini
7. Plasenta previa
8. Abrupsio plasenta
9. Hipertensi dalam kehamilan
10. Ruptur uterus
11. Makrosomia
12. Prolaps tali pusat
13. Kehamilan ganda
14. Indikasi waktu
15. Atas permintaan ibu
2.2.5 Kontraindikasi

Seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan sang ibu dan janin, adanya faktor
yang menghambat berlangsungnya tindakan seksio sesarea, seperti adanya gangguan
mekanisme pembekuan darah pada ibu, lebih dianjurkan untuk dilakukan persalinan
pervaginam dikarenakan insisi yang menyebabkan perdarahan dapat seminimal
mungkin. Seksio sesarea umumnya tidak dilakukan pada kasus keadaan janin sudah
mati dalam kandungan, shock pada ibu atau anemia berat yang belum teratasi, serta
pada janin dengan kelainan kongenital mayor yang berat atau terjadi infeksi dalam
3
kehamilan.

Konsiderasi Anestesi pada Pasien Obstetrik

Semua pasien memasuki ruang bersalin berpotensi memerlukan layanan


anestesi, baik yang direncanakan ataupun emergensi. Pasien yang membutuhkan
perawatan anestesi bagian persalinan atau sesar harus menjalani evaluasi pra-anestesi
terfokus sedini mungkin. Ini harus terdiri dari riwayat kesehatan ibu, riwayat anestesi
dan kebidanan sebelumnya, pengukuran tekanan darah, penilaian jalan napas, dan
pemeriksaan punggung untuk regional anestesi.

Terlepas dari waktu asupan oral terakhir, semuanya pasien dianggap memiliki
perut penuh dan berisiko terhadap aspirasi paru. Karena durasi persalinan sering
memanjang, guideline biasanya memperbolehkan untuk minum sejumlah kecil air
peroral pada persalinan tanpa komplikasi. Periode puasa minimum untuk seksio
sesarea elektif tetap kontroversial, tetapi disarankan untuk 6 jam untuk makanan
ringan dan 8 jam untuk makanan berat.

Obat penghambat H2 (ranitidine, 100–150 mg per oral atau 50 mg intravena)


atau metoclopramide, 10 mg secara oral atau intravena, juga harus dipertimbangkan
pada pasien berisiko tinggi dan pada mereka yang diharapkan menerima anestesi
umum. H2 blocker mengurangi volume lambung dan pH. Metoclopramide
mempercepat pengosongan lambung, mengurangi volume lambung, dan
meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian bawah.
2.3 Anestesi Pada Seksio Sesarea

2.3.1 Pemilihan Teknik Anestesi

Dalam setiap kasus persalinan, terutama seksio sesarea, setiap pasien harus
dievaluasi sedemikian rupa untuk menentukan teknik anestesi mana yang akan
digunakan pada saat seksio sesarea karena melalui evaluasi, setiap informasi yang
didapat akan menentukan kelancaran dan keberhasilan prosedur teknik anestesi yang
akan dilakukan. Bahkan dalam keadaan darurat atau emergency, evaluasi singkat tetap
16
diperlukan agar prosedur teknik anestesi berjalan dengan lancar dan aman.

2.3.1.1 Anestesi Regional

Teknik anestesi regional mempunyai keuntungan yang utama berupa


kesadaran ibu pada saat seksio sesarea dilakukan dan minimnya paparan obat anestesi
terhadap janin. Teknik anestesi regional juga mempunyai kekurangan berupa mual
dan muntah intrapartum, kemungkinan nyeri kepala setelah penusukan, lama kerja
terbatas, serta risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular meningkat.

Pada seksio sesarea, teknik anestesi regional yang digunakan ada 3, yaitu
sebagai berikut

1. Anestesi Spinal

Teknik anestesi spinal merupakan teknik anestesi pada seksio sesarea yang
paling direkomendasikan dikarenakan onset yang cepat dan presentase angka
kegagalan anestesi spinal yang sangat rendah, yaitu lebih rendah dari 1%.
Pada teknik anestesi spinal, risiko terjadinya hipotensi sangat tinggi
dibandingkan teknik anestesi epidural dikarenakan onset dari sympathectomy
yang cepat dan dosis yang tidak dititrasi. Oleh karena itu, pada anestesi spinal
sering digunakan vasopressors untuk mengembalikan stabilitas tekanan darah
pasien. Vasopressors yang paling sering digunakan adalah ephedrine dan
beberapa penelitian juga mengatakan bahwa pemberian phenylephrine sebagai
prophylactic infusion bersamaan dengan prosedur spinal juga memberikan
efek yang cukup efektif dalam mencegah hipotensi, namun pemberian
vasopressors juga harus diperhatikan pada pasien seksio sesarea karena dapat
17
menimbulkan fetal asidosis.

2. Anestesi Epidural
Teknik anestesi epidural merupakan salah satu bentuk teknik anestesi blok
neuroaksial, dimana penggunaannya lebih luas daripada anestesi spinal. Ruang
epidural berada diluar selaput dura. Radiks saraf berjalan di dalam ruang epidural
ini setelah keluar dari bagian lateral medula spinalis, dan selanjutnya menuju ke
arah luar. Pada teknik anestesi epidural memiliki keuntungan berupa risiko
hipotensi yang rendah dan berkurangnya risiko terjadinya Postdural Puncture
Headache karena insersi jarum tidak melalui dura, namun teknik anestesi
epidural lebih sulit dilakukan daripada anestesi spinal dan onset obat anestes
lebih lama, ditambah lagi pada anestesi epidural membutuhkan obat anestesi
18
lokal yang lebih banyak.

3. Combined Spinal-Epidural Anesthesia (CSEA)

Teknik anestesi CSEA merupakan teknik anestesi gabungan antara spinal dan
epidural yang menyediakan onset cepat, serta efektivitas penambahan obat
anestesi lewat epidural catheter. Teknik anestesi CSEA ini biasa dilakukan
pada operasi yang membutuhkan prosedur tambahan sehingga membuat durasi
19
operasi menjadi lama.

2.3.1.2 Anestesi Umum

Teknik anestesi umum mempunyai keuntungan yang utama berupa kendali


dan kontrol pada jalur napas sehingga stabilitas tekanan darah dapat dikendalikan
secara penuh, namun teknik anestesi umum mempunyai kelemahan yang
menyebabkan depresi janin akibat paparan obat anestesi terhadap janin. Teknik
anestesi umum biasa dilakukan jika adanya kejadian darurat atau emergency dan
kontraindikasi pada anestesi spinal, seperti penolakan pasien terhadap anestesi spinal,
infeksi pada tempat penusukkan jarum, koagulopati, hypovolemic shock, serta
20
kenaikkan tekanan intrakranial.

2.3.2 Pemilihan Teknik Anestesi Pada Penyakit Maternal

1. Rheumatic Disease

Rheumatic Heart Disease adalah penyakit jantung yang paling sering ditemukan
dalam prosedur anestesi. Tujuan utama dalam manajemen anestesi pada pasien
dengan mitral stenosis berupa
(1)Pengendalian heart rate,
(2) manajemen segera jika acute atrial fibrillation dan pengembalian
ke sinus rhytm,
(3) menghindari kompresi aortacaval,
(4) pengendalian venous return yang cukup,
← (5) pengendalian SVR yang cukup, dan
(6) pencegahan nyeri, hypoxemia, hypercarbia, dan asidosis yang bisa
meningkatkan risiko pulmonary vascular resistance.

Pada penyakit jantung ini, teknik anestesi spinal dan epidural merupakan
pilihan yang direkomendasikan karena melalui teknik – teknik ini obat
anestesi dapat diberikan dalam dosis tambahan dan dosis total dapat dititrasi
ke sensory level yang diinginkan. Ditambah lagi, melalui onset yang melambat
karena anestesi epidural memungkinkan sistem kardiovaskular ibu untuk
mengkompensasi terjadinya blokade simpatik, yang meghasilkan risiko
hipotensi yang lebih rendah. Selain itu, blockade segmental menyelamatkan
pompa otot ekstremitas bawah, yang membantu venous return. Teknik anestesi
umum tidak direkomendasikan karena peningkatan pulmonary arterial
pressure dan takikardi selama laringoskopi dan intubasi trakea. Ditambah lagi
dampak buruk dari positive pressure ventilation terhadap venous return dapat
21
mengakibatkan cardiac failure.

2. Diabetes Mellitus

Aspek paling penting pada pasien diabetes yang akan menjalani prosedur
anestesi adalah kontrol yang cukup glukosa darah pasien sebelum menjalani
prosedur anestesi. Oleh karena itu, pada pasien diabetes diperlukan
pengontrolan glukosa darah jauh sebelum prosedur anestesi dilakukan
sehingga status pre-operasi pasien dapat dioptimalkan.

Pada pasien diabetes mellitus, anestesi regional lebih direkomendasikan


daripada anestesi umum karena pada anestesi umum dapat menyebabkan
22
pengosongan gaster, peningkatan respon hemodinamik terhadap intubasi dan
terganggunya counterregulatory respon hormon terhadap hipoglikemia selama
pasien tidak sadar. Pada teknik anestesi regional, baik itu anestesi spinal atau
epidural, keduanya dapat dilakukan pada pasien diabetes asalkan kontrol
glukosa ibu baik dan pasien menerima preanesthetic volume expansion dengan
non-dextrose yang mengandung larutan garam yang seimbang. Kehadiran
autonomic neuropathy pada pasien diabetes dapat meningkatkan risiko
hemodynamic yang tidak stabil. Oleh karena itu teknik anestesi epidural lebih
direkomendasikan untuk pasien diabetes yang sudah parah karena onset yang
23
lebih lambat pada sympathetic blockade.

3. Asma

Pada penyakit asma, teknik anestesi regional lebih direkomendasikan karena


menghindari stimulasi jalan napas, terutama pada teknik anestesi epidural
yang memungkinkan titrasi karena onset yang lebih lambat sehingga
mengurangi risiko ketidaknyamanan pernapasan dari stimulasi sensory level
yang mendadak. Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat angka
kejadian kecil bahwa teknik anestesi spinal pada pasien seksio sesarea dapat
menimbulkan komplikasi akut bronkospasme. Bila pasien memiliki keadaan
dimana tidak dapat diposisikan secara terlentang, anestesi umum dapat
24
dilakukan sebagai gantinya.

4. Neurological, Neuromuscular, and Muscoskeletal Disorders

Pada kelainan neurologikal, neuromuskular dan muskoskeletal, teknik anestesi


regional lebih direkomendasikan, kecuali apabila adanya kontraindikasi
25
seperti kenaikan tekanan intrakranial atau tethered spinal cord.

5. Renal Diseases

Pada penyakit ginjal, teknik anestesi regional lebih direkomendasikan jika


tidak ada kelainan koagulasi. Teknik anestesi umum juga dapat dilakukan
namun harus menghindari obat anestesi yang di ekskresi lewat ginjal yang
20
dapat menyebabkan renal toxicity dan gagal ginjal.

6. Hematological Disorders

Pada kelainan hematological, pasien dengan anemia yang paling sering


ditemukan dalam prosedur anestesi. Tujuan utama dalam pasien dengan
anemia berat pada seksio sesarea adalah (1) menghindari hypoxemia dan
okisgenasi yang cukup, (2) Pengelolaan jalan napas dengan waktu sesingkat
mungkin dalam tindakan anestesi umum, (3) Pengendalian hemodinamik yang
stabil, (4) menghindari hipotermia, dan (5) menghindari hipoventilasi. Maka
dari itu, kedua teknik anestesi dapat dilakukan, namun teknik anestesi yang
lebih dianjurkan adalah teknik anestesi regional karena dapat
meminimalisirkan terjadinya blood loss sehingga tidak memperparah anemia
20
pada pasien seksio sesarea.

7. HIV

Umumnya pasien yang terinfeksi HIV memiliki riwayat medis/sosial yang


mempengaruhi perjalanan infeksi HIV. Penyalahgunaan obat, khususnya
penyalahgunaan obat intravena masih menjadi faktor risiko utama sebagai
implikasi anestesi. Oleh karena itu pemeriksaan fisik yang rinci dan
dokumentasi defisit neurologik harus diperhatikan sebelum tindakan anestesi
dilakukan.

Pada anestesi umum, banyak sekali faktor yang harus diperhatikan dalam
tindakan anestesi umum yang akan dilakukan kepada pasien seksio sesarea
yang terinfeksi HIV. Beberapa penelitian menyatakan bahwa adanya efek yang
buruk dari obat anestesi golongan opioid terhadap sistem imun pasien yang
terinfeksi HIV, namun data yang dibutuhkan masih belum cukup untuk
memastikan hubungan obat anestesi opioid dengan sistem imun pasien yang
26
terinfeksi HIV.

Pada teknik anastesi regional, Risiko dilakukannya pada pasien yang terinfeksi
HIV masih sangat kurang informasinya. Beberapa penelitian mendapati bahwa
adanya Komplikasi sering terjadi pada pasien seksio sesarea dengaan HIV yang
dilakukan tindakan anestesi regional, komplikasi tersebut adalah adanya
penyebaran obat anestesi lokal yang mengakibatkan infeksi ke sistem saraf pusat,
lalu kemudian terjadinya sekuel neurologik.

Ada juga penelitian anestesi regional yang dilakukan terhadap pasien seksio
sesarea yang terinfeksi HIV memperlihatkan bahwa anestesi regional bisa
dilakukan tanpa adanya sekuel efek samping. Hal ini juga diperkuat dengan tidak
ditemukannya komplikasi neurologik atau infeksi yang berhubungan dengan
perjalanan obstetri maupun anestesi. Fungsi imun pasien seksio sesarea tetap
stabil pada masa peripartum. Walaupun jumlah pasien yang diteliti masih sedikit,
namun dengan adanya evaluasi medis dan pertimbangan yang terperinci, anestesi
regional merupakan pilihan yang bisa diterima bagi pasien seksio sesarea yang
27
terinfeksi HIV.

8. Obesitas
Pada pasien dengan obesitas belum ada teknik anestesi yang lebih
direkomendasikan. Pemilihan teknik anestesi pada pasien obesitas tidak
menentu dikarenakan pada teknik anestesi regional, terutama spinal didapati
kesulitan dalam penempatan jarum spinal, sedangkan pada epidural dapat
menyebabkan penyebaran yang tidak merata dan memiliki tingkat kegagalan
yang tinggi. Lalu, pada anestesi umum juga didapati penyulit intubasi
28
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk intubasi relatif lebih lama.

2.3.3 Pemilihan Teknik Anestesi Pada Penyakit Maternal Obsetrik

1. Pre-eclampsia

Pada pre-eclampsia, teknik anestesi umum dan regional dapat dilakukan,


namun biasanya pada pasien dengan severe coagulopathy, pulmonary edema,
atau eclampsia, lebih dianjurkan anestesi umum. Apabila, pasien tidak disertai
penyakit penyerta lain dan semua dalam keadaan normal stabil, anestesi
29
regional juga dapat dilakukan.

2. Placenta Accreta

Pada penyakit placenta accrete, teknik anestesi umum lebih dianjurkan


dikarenakan adanya massive bleeding, yang disertai intense hypotension, dan
30
coagulopathy.

2.3.4 Efek terhadap breastfeeding

Persalinan melalui seksio sesarea diyakini mempengaruhi tingkat inisiasi


keberhasilan menyusui secara buruk. Inisiasi menyusui yang tepat waktu dianggap
sebagai kunci keberhasilan menyusui dan keterlambatan menyusui untuk pertama kali
dianggap sebagai penyebab utama keberhasilan inisiasi menyusui menjadi lebih
rendah setelah persalinan seksio sesarea.

1. Anestesi Umum

Efek langsung dari terpaparnya obat anestesi lewat plasenta dapat menghambat
dan memperlambat inisiasi menyusui pertama. Lalu, dikarenakan adanya waktu
yang diperlukan sang ibu untuk bangun dan pemulihan kognitif, interaksi pertama
antara sang ibu dan bayi yang baru lahir juga menjadi tertunda. Oleh karena itu,
dengan interval tersebut antara kelahiran dan inisiasi menyusui pertama dapat
berdampak negatif terhadap keberhasilan inisiasi menyusui.

2. Anestesi Regional

Sangat sedikit penelitian yang telah dilakukan tentang pengaruh teknik


anestesi regional untuk persalinan secara seksio sesarea pada menyusui,
namun beberapa penelitian menemukan bahwa menyusui dimulai lebih awal
setelah teknik anestesi regional daripada teknik anestesi umum untuk
31
persalinan seksio sesarea.

2.3.5 Komplikasi

1. Anestesi Umum
• Aspirasi

Aspirasi pneumonitis (Mendelson’s Syndrome) adalah kerusakan


alveolar secara kimia yang disebabkan oleh inhalasi asam lambung,
dan konten gaster lainnya. Tanda gejala klinis pada aspirasi
pneumonitis berupa, dyspnoe, tachypnoe, brochospasm, dan
hypoxemia.

Tanda radiologis dapat berupa infiltrat. Dalam beberapa kasus yang


parah, aspirasi pneuomonitis dapat berlanjut menjadi ARDS. Maka
dari itu, perlu diberikan obat yang dapat menetralkan sekresi asam
lambung dan konten gaster lainnya sebelum tindakan anestesi
dilakukan. Obat yang dapat diberikan berupa:

1. Glycopyrrolate, suatu anticholinergic yang dapat menurunkan


sekresi gaster, namun dapat terjadi relaksasi gastro-esophageal
sphincter sehingga meningkatkan risiko regurgitasi dan aspirasi

2. Cimetidine / Ranitidine, suatu histamin (H2) reseptor antagonis


yang dapat menghambat sekresi asam lambung dan menurunkan
volume gaster.

3.Metoclopramide juga dapat meningkatkan motilitas gaster dan tonus


32
sphincter.
• Pengelolaan Jalan Napas

Komplikasi yang dimaksudkan ke dalam pengelolaan jalan napas


adalah facemask ventilation, kegagalan intubasi, serta gabungan dari
keduanya. Pada beberapa literatur yang dilakukan, ditemukan angka
kejadian kematian maternal dikarenakan kegagalan intubasi pada
pasien seksio sesarea sebesar 1 dari 443 tindakan seksio sesarea lewat
anestesi umum. Faktor risiko untuk kegagalan intubasi antara lain, usia
maternal, BMI, dan Mallampati score. Namun survey terbaru dari
MBBRACE-UK tahun 2015 melaporkan bahwa sudah tidak ada lagi
33
kematian maternal yang disebabkan oleh kegagalan intubasi.

• Awareness & Recall

Pada persalinan seksio sesarea, risiko sang ibu untuk mengalami


Accidental Awareness during General Anesthesia (AAGA) sangat
tinggi. Hal tersebut disebabkan karena demi mengurangi efek obat
anestesi pada janin, obat anestesi digunakan dalam dosis kecil dan
konsentrasi yang rendah sehingga kejadian AAGA ini sering terjadi.

Beberapa penelitian mengatakan bahwa angka kejadian AAGA secara


global sekitar 17 – 36%. Oleh karena itu, disarankan dalam
menggunakan anestetik volatil dengan konsentrasi kecil untuk
mencegah AAGA tanpa memberikan efek yang buruk terhadap janin
34
atau perdarahan uterus yang banyak.

2. Anestesi Regional
• Hipotensi

Hipotensi merupakan komplikasi paling umum dari anestesi regional pada


seksio sesarea. Insidensinya memiliki angka kejadian sebesar 80% setelah
dilakukannya anestesi spinal. Hipotensi pada komplikasi anestesi regional
didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik sampai dengan
dibawah 100 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik melebihi 20 –
30% dari baseline values. Dalam beberapa kasus hipotensi yang parah,
perfusi dari uteroplacental dapat terganggu sehingga dapat terjadi fetal
hypoxia. Sementara itu, pada sang ibu dapat terjadi mual muntah,
kesadaran yang terganggu, apnoea, dan bahkan cardiac arrest.
Hipotensi jarang terjadi pada anestesi epidural dikarenakan onset pada
sympathetic blocakdenya lebih lambat dibandingkan anestesi spinal.
Manajemen yang dilakukan untuk mengatasi hipotensi tersebut dapat
berupa terapi vasopressor dan IV loading. Pada manajemen dengan
terapi vasopressor, phenylephrine lebih direkomendasikan, sedangkan
untuk manajemen dengan terapi IV loading adalah Crystalloid co-
loading dengan hydroxyethyl starch. Namun metode yang dipilih
paling efektif dalam mencegah dan menurunkan risiko keparahan dari
spinal hipotensi selama seksio sesarea adalah menggabungkan
phenylephrine dengan hydroxyethyl starch IV loading.

• Failure of Neuraxial Blockade

Kegagalan dalam neuraxial blockade juga dapat terjadi yang membuat


pasien masih merasakan rasa nyeri. Jika hal ini terjadi, tindakan
pembedahan harus ditunda sampai blockade pada thoracic dan sacral
sudah tercapai. CSE direkomendasikan dalam masalah ini, namun jika
pada saat tindakan pembedahan sudah dimulai dan pasien mengalami
perasaan ketidaknyamanan, dapat diberikan dosis tambahan dari
anestesi lokal menggunakan opioid atau menggunakan ketamine yang
35
digabungkan dengan midazolam dosis kecil.

• Postsdural Puncture Headache

Nyeri kepala pascaspinal anestesi disebabkan karena adanya kebocoran


cairan serebrospinal. Semakin besar jarum spinal yang digunakan,
semakin besar kebocoran yang terjadi dan semakin tinggi risiko
terjadinya nyeri kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka,
hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya kebocoran cairan
serebrospinal sampai 1 minggu. Kehilangan CSF sebanyak 20ml dapat
36
mengakibatkan terjadinya nyeri kepala.
2.3.6 Manajemen Pasca Seksio Sesarea

Menurut Mochtar, perawatan pasca bedah seksio sesarea, meliputi :

1. Perawatan luka insisi

Luka insisi dibersihkan menggunakan alkohol dan larutan antiseptic, lalu


ditutup dengan kasa penutup luka dan dibalut. Secara periodik pembalut
luka diganti dan luka dibersihkan

2. Tempat perawatan pasca bedah

Setelah tindakan pembedahan di kamar operasi sudah selesai, pasien


dipindahkan ke dalam ruangan pemulihan yang dilengkapi dengan alat
pendingin kamar selama beberapa hari.

Bila pasca bedah didapati adanya kondisi gawat darurat segera dipindahkan
ke ICU untuk perawatan yang lebih optimal bersamaan dengan unit anestesi
untuk lebih mudah dalam pengendalian hemodinamik sang ibu. Setelah
keadaan pasien sudah stabil, baru dipindahkan ke tempat pasien semula
dirawat.

3. Pemberian cairan

Dikarenakan selama 24 jam pertama sebelum tindakan pembedahan pasien


seksio sesarea puasa, oleh karena itu pemberian cairan infus harus memenuhi
dan mengandung elektrolit yang diperlukan.

4. Pengendalian Nyeri

Sejak pasien sadar dalam 24 jam pertama rasa nyeri masih dirasakan di daerah
pembedahan. Oleh karena itu, untuk mengurangi rasa nyeri tersebut dapat
diberikan obat – obat analgesia seperti pethidine dengan dosis 100 – 150 mg atau
morphine sebanyak 10 – 15 mg secara intramuskular atau perinfus.
5. Mobilisasi

Mobilisasi segera tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu jalannya
penyembuhan pasien. Mobilisasi berguna untuk mencegah terjadinya
thrombosis dan emboli. Miring ke kanan dan kiri sudah dapat dimulai sejak 6
– 10 jam setelah pasien sudah sadar. Latihan pernafasan juga dapat dilakukan
pasien sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah pasien sadar. Pada hari
kedua, pasien dapat diminta untuk duduk selama 5 menit dan bernafas
sedalam – dalamnya lalu dihembuskan disertai dengan batuk – batuk kecil
untuk melonggarkan jalan napas sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada
dirinya untuk segera pulih. Kemudian posisi tidur terlentang diganti menjadi
setengah duduk. Lalu, secara perlahan, hari demi hari pasien dianjurkan
belajar untuk duduk selama sehari, selanjutnya berjalan sendiri pada hari ke-
37
3 sampai ke-5 pasca pembedahan.
BAB III
PENUTUP

Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi teknik anestesi yang


akan digunakan. Pemilihan teknik anestesi pada pasien obstetri (khususnya pada
sectio cesarea) mempengaruhi prognosa dan komplikasi pasien pasca operasi.
Beberapa hal seperti keadaan kehamilan, keadaan umum pasien pra-pembedahan,
dan tingkat kemampuan ahli anestesi yang ada berpengaruh terhadap jenis
anestesi yang akan dilakukan.

Pemilihan teknik anestesi bukan hanya mempengaruhi keadaan ibu selama


dan pasca pembedahan, tetapi juga keadaan bayi. Oleh karena itu selama operasi
berlangsung, seorang ahli anestesi harus memikirkan bahwa saat itu dia memiliki
dua pasien yaitu sang ibu dan bayinya.

Anestesi regional (spinal atau epidural) dengan teknik yang sederhana,


lebih disukai karena ibu tetap sadar, bahaya aspirasi minimal, namun sering
menimbulkan mual muntah sewaktu pembedahan, bahaya hipotensi lebih besar,
serta timbul sakit kepala pasca bedah. Anestesi umum dengan teknik yang cepat,
baik bagi ibu yang takut, serba terkendali dan bahaya hipotensi tidak ada, namun
kerugian yang ditimbulkan adalah aspirasi lebih besar, pengaturan jalan napas
sering mengalami kesulitan, serta kemungkinan depresi pada janin lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA

1. Patted S. Caesarean Section on Maternal request (CDMR). Recent research in


science and technology. 2011;3(2) : 100-101.
2. Badan Pusat Statistik. 2011. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) 2007. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
3. Stoelting RK, Miller RD, eds. Fluid and Blood Therapy. In: Basics of
th
anesthesia. 4 Ed. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2000. p233-46.
4. Staiku C, Paraskeva A, Karmaniolou I, et al. Current practice in obstetric
anesthesia: a 2012 European survey. Minerva Anestesiol. 2014;80:347–35.
5. Evayanti, Yulistiana. 2015, Hubungan Pengetahuan Ibu dan Dukungan Suami
Pada Ibu Hamil Terhadap Keteraturan Kunjungan Antenatal Care (ANC) di
Puskesmas Wates Lampung Tengah Tahun 2014. Jurnal kebidanan. Vol.1, No
2, Juli 2015.
6. Hutahaean, Serri. 2013. Perawatan Antenatal. Jakarta: Salemba Medika.
7. Tully L, Gates S, Brocklehurst P, McKenzie-McHarg K, Ayers S. Surgical
techniques usedduring caesarean section operations: results of a national
survey of practice in the UK. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol.
2002;102:120–6.
8. Birnbach DJ, Browne IM. Anesthesia for obsetrics. In: Miller RD. Miller’s
th
anesthesia. 6 Ed. Pennysylvania: Elsevier Churcill Livingston; 2005.
P326-29.
9. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Pouse D, Spong C. William
nd
obsetrics 23 Ed.McGrawHill Professional ; 2009
10. Hanifa Wiknjosastro, Ilmu bedah kebidanan, ayasan bina pustaka sarwono
prawirohardjo : Jakarta, 1994 52
11. Souza JP et al. Caesarean section without medical indication increase risk of
short-term adverse outcome for mother: the 2004-2008 WHO global survey
on maternal and perinatal health. BMC Medicine,2014;8(1) : 71.
12. Gondo HK dan Sugiharta K. Profil Operasi Seksio Sesarea di SMF Obsetri
& Ginekologi RSUP Sangatlah Denpasar, Bali Thun 2001 dan 2006. CDK
2010;37(2):97-101.

19
13. Pernoll ML. 2001. Early Pregnancy Complications. In: Benson and Pernoll’s
Handbook of Obstetrics & Gynecology Tenth Edition. New York: McGraw-
Hill; p.295-324.
14. DeCherney. 2007. Operative delivery. In : Current Diagnosis and Treatment
th
Obsetrics & Gynecologist. 10 Edition. New York : McGraw Hill Companies.
15. Kinsella SM, Walton B, Sashidharan R, et al. Category-1 caesarean section: a
survey of anaesthetic and peri-operative management in the UK. Anaesthesia.
2010;65:362–8.
16. Riley ET, Cohen SE, Macario A, et al. Spinal versus epidural anesthesia for
cesarean section: a comparison of time efficiency, costs, charges, and
complications. Anesth Analg. 1995;80:709–12.
17. Ng K, Parson J, Cyna AM, Middelton P. Spinal versus epidural anaesthesia for
caesarean section. Cochrane Database Syst Rev. 2004;2.
18. Ranasinghe JS, Steadman J, Toyama T, et al. Combined spinal epidural
anaesthesia is better than spinal or epidural alone for caesarean delivery. Br J
Anaesth. 2003;91:299–300.
19. Afolabi BB, Lesi FE, Merah NA. Regional versus general anaesthesia for
caesarean section. Cochrane Database Syst Rev. 2006;10.
20. Blaise G, Langleben D, Hubert B. Pulmonary arterial hypertension:
pathophysiology and anesthetic approach. Anesthesiology. 2003;99:1415–32.
21. Vohra A, Kumar S, Charlton AJ, Olukoga AO, Boulton AJ, McLeod D. Effect
of diabetes mellituson the cardiovascular responses to induction of anesthesia
and tracheal intubation. BrJ Anaesth. 1993;71:258–61.
22. Lev-Ran A. Sharp temporary drop in insulin requirement after caesarean
section in diabeticpatients. Am J Obstet Gynecol. 1974;120:905–8..
23. Kawabata KM. Two cases of asthmatic attack caused by spinal anesthesia.
Masui. 1996;45:102–6.
24. Gambling DR, Douglas MJ, McKey RSF. Obstetric anesthesia and uncommon
rd
disorders. 3 ed. Cambridge: Cambridge University Press; 2008.
25. Evron S, Glezerman M, Harow E, et al. Human immunodeficiency virus:
anesthetic and obstetric considerations. Anesth Analg. 2004;98:503–511
26. Avidan M.S, Groves P, Blott M, et al. Low complication rate associated with
cesarean sectionunder spinal anesthesia for HIV-1-infected women on
antiretroviral therapy. Anesthesiology. 2002;97:320–324.
20
27. Whitty RJ, Maxwell CV, Carvalho JC. Complications of neuraxial anesthesia
in an extreme morbidly obese patient for cesarean section. Int J Obstet Anesth.
2007;16:139–44.
28. Dyer RA, Piercy JL, Reed AR. The role of the anaesthetist in the management
of the pre-eclamptic patient. Curr Opin Anesthesiol. 2007;20:168–74
29. Chestnut DH, Dewan DM, Redick LF, et al. Anesthetic management for
obstetric hysterectomy: a multiinstitutional study. Anesthesiology.
1989;70:607–10.
30. Sener EB, Guldogus F, Karakaya D, et al. Comparison of neonatal effects of
epidural and general anesthesia for cesarean section. Gynecol Obstet
Investig. 2003;55:41–5.
31. O’Sullivan G. Aspiration: risk, prophylaxis and treatment. In: Chestnut DH,
Wong CA, Tsen LC, Ngan Kee W, Beilin Y, Mhyre JM, editors. Obstetric
th
anesthesia principles and practice. 5 ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2014. p. 665–83.
32. Quinn AC, Milne D, Columb M, et al. Failed trachéal intubation in obstetric
anaesthesia: 2 year national case-control study in the UK. Br J Anaesth.
2013;110:74–80.
33. Palahniuk RJ, Schnider SM, Eger 2nd EI. Pregnancy decreases the
requirement for inhaled anesthetic agents. Anesthesiology 1974;41:82–3.
34. Tsen LC. Anesthesia for cesarean delivery. In: Chestnut DH, Wong CA, Tsen LC,
Ngan Kee W, Beilin Y, Mhyre JM, editors. Obstetric anesthesia principles and
practice. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014. p. 545–603
35. D’Angelo R, Smiley R, Riley ET, Segal S. Serious complications related to
obstetric anesthesia. The serious complications repository project of the
Society for Obstetric Anesthesia and Perinatology. Anesthesiology.
2014;120:1505–12.
36. Mochtar, Rustam. (1998). Sinopsis Obsetri, Jilid 2, Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai