Anda di halaman 1dari 36

1

MEDIKOLEGAL, MALPRAKTIK, ASPEK HUKUM/ETIKA


KEDOKTERAN, SAKSI AHLI
A. Aspek Medikolegal
1). Definisi
Medikolegal adalah tata-cara atau prosedur penatalaksanaan dan
berbagai aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan
hukum. Akhir-akhir ini, karena maraknya kasus dugaan malpraktek medik
atau kelalaian medik di Indonesia, ditambah keberanian pasien yang
menjadi korban untuk menuntut hak-haknya, para dokter seakan baru mulai
sibuk berbenah diri. Terutama dalam menghadapi kasus malpraktek.
Kesibukan ini terjadi sejalan dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan
keadaan sosial ekonomi masyarakat, dan meningkatnya
Selain sudah mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) dan Pengadilan Negeri, ada yang mengusulkan pembentukan
Majelis Kehormatan Profesi Dokter (MKPD) dan peradilan ad hoc. Dalam
hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa
melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggungjawaban (etik dan disiplin profesi) nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk
mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat
ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus
dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di
kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 /
2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin
profesi kedokteran.
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang
sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti

pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme,


dan lain-lain. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali
tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma
etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma
hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Aspek etik kedokteran yang
mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan
penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat
dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi
moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin
profesi yang bersifat administratif. Keadaan menjadi semakin sulit sejak para
ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan
medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi
menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis
dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat
dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968
menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional.
Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum,
kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban
terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat
dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional. Selain Kode
Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsipprinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam
membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau
benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral.
Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai
etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis
dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman
dalam melakukan penelitian di bidang medis.

Pada banyak kasus medikolegal kompleks yang sampai ke pengadilan,


banyak yang memerlukan pendapat saksi ahli karena metodologi dan tata
laksana standar kedokteran ada di luar pengetahuan juri. Jika terdapat
tuduhan tindakan malpraktik maka orang yang mengajukan tuduhan tersebut
disyaratkan untuk memberikan bukti adanya penyimpangan tersebut. Bukti
tersebut harus datang dari ahli yang memiliki kualifikasi yang sesuai dengan
subjek yang dipermasalahkan. Karena itu, umumnya banyak didapatkan
dokter enggan bersaksi melawan teman sejawatnya. Alasan keengganannya
tersebut bervariasi mulai dari stigma tuduhan malpraktik, nama buruk yang
didapat setelah bersaksi, ancaman pengeluaran dari komunitas tempat dia
bernaung, ancaman dari perusahaan asuransi dokter tersebut, ancaman
pengadilan profesi, dan adanya konspirasi untuk tutup mulut.
Pembelaan yang lebih relevan dan dapat diterapkan dalam praktik
kedokteran sehari-hari termasuk :
(1) Asumsi pasien mengenai resiko berdasarkan surat persetujuan yang
telah dibuat
(2) Faktor penyebab kelalaian terletak di tangan pasien
(3) Kelalaian terletak pada pihak ke tiga.
Terdapat pencegahan-pencegahan tertentu yang dapat dilakukan secara
rutin sehingga tuduhan malpraktik dapat dielakkan. Hal ini termasuk :
1. Mempekerjakan dan melatih asisten dengan arahan langsung sampai
asisten tersebut dapat memenuhi standar kualifikasi yang ada.
2. Mengambil langkah hati-hati untuk menghilangkan faktor resiko di
tempat praktik.
3. Memeriksa secara periodik peralatan yang tersedia di tempat praktik.
4. Menghindari dalam meletakkan literatur medis di tempat yang mudah
diakses oleh pasien. Kesalahpahaman dapat mudah terjadi jika pasien
membaca dan menyalahartikan literatur yang ada.
5. Menghindari menyebut diagnosis lewat telepon.
6. Jangan meresepkan obat tanpa memeriksa pasien terlebih dahulu.
7. Jangan memberikan resep obat lewat telepon.

8. Jangan menjamin keberhasilan pengobatan atau prosedur operasi yang


ada.
9. Rahasiakanlah sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia. Jangan
membocorkan informasi yang ada kepada siapapun. Rahasia ini hanya
diketahui oleh dokter dan pasien.
10. Simpanlah rekam medis secara lengkap, jangan menghapus atau
mengubah isi yang ada.
11. Jangan menggunakan singkatan-singakatan atau simbol-simbol tertentu
di rekam medis.
12. Gunakan formulir persetujuan yang sah dan sesuai Docu-books adalah
alat bantu yang penting dalam menyimpan surat persetujuan yang telah
dibuat.
13. Jangan mengabaikan pasienmu.
14. Cobalah untuk menghindari debat dengan pasien tentang tarif dokter
yang terlampau mahal. Buatlah diskusi dan pengertian dengan pasien
mengenai tarif dokter yang wajar.
15. Pada tiap kali pertemuan, gunakanlah bahasa yang dapat dimengerti
oleh pasien. Jangan pernah menduga jika pasien mengerti apa yang kita
ucapkan.
16. Jalinlah empati untuk setiap masalah yang dialami pasien, dengan ini
tata laksana akan menjadi komprehensif.
17. Jangan pernah berbohong, memaksa, mengancam, atau melakukan
penipuan

kepada

pasien.

Jangan

mengakali

pasienmu.

Jangan

mengarang-ngarang cerita mengenai penyakit pasien.


18. Jangan pernah melakukan pemasangan alat bantu, pengobatan atau tata
laksana jika pasien masih berada dalam pengaruh alkohol atau pengaruh
pengobatan yang mengandung narkotika.
19. Jangan pernah menawarkan untuk membiayai pengobatan pasien dengan
dana sendiri. Jika pengobatan yang diberikan melebihi polis asuransi
yang pasien miliki, maka jangan limpahkan kepada polis asuransi yang
kita miliki.
20. Jangan menjelek-jelekkan pasien atau teman sejawatmu.
21. Jangan pernah ikut serta dalam gerakan tutup mulut.

2). Sikap dokter terhadap hukum.


Dokter yang terlibat pada kasus hukum dan telah membaca laporan
kasus hukum sering kesal pada tatalaksana yang diterima oleh mereka
sendiri atau koleganya di tangan pengacara. Namun, terlihat jelas dari
laporan kasus singkat pada bab ini, bahwa pasien telah sering mengalami
banyak kehilangan dan satu-satunya kesempatan kompensasi untuk dirinya
sendiri dan tergugat bergantung pada tindakan hukum. Juga jelas dari
laporan kasus bahwa pengadilan menjunjung tinggi reputasi dokter saat hal
tersebut mungkin, dan tidak boleh bersimpati terhadap disabilitas pasien
yang berpengaruh pada keputusan hukum.
Apabila seorang dokter telah terbukti dan dinyatakan telah melakukan
tindakan malpraktek maka dia akan dikenai sanksi hukum sesuai dengan UU
No. 23 1992 tentang kesehatan. Dan UU Praktek kedokteran dalam BAB X
Ketentuan Pidana Pasal 75 ayat (1) yang berbunyi Setiap dokter atau dokter
gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki
surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sehubungan dengan hasil
keputusan Mahkama Konstitusi pasal tersebut telah mengalami revisi,
dimana salah satu keputusan dari Mahkama Konstitusi adalah ketentuan
ancaman pidana penjara kurungan badan yang tercantum dalam pasal 75, 76,
79, huruf a dan c dihapuskan. Namun mengenai sanksi pidana denda tetap
diberlakukan.
Ayat (2) berbunyi Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing
yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat
tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Surat tanda registrasi
sementara dapat diberikan kepada dokter dan dokter gigi warga negara asing
yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian,

pelayanan kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat


sementara di Indonesia.
Ayat (3) berbunyi Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing
yang dengan sengaja. Surat tanda registrasi yang dimaksud adalah
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara

paling

lama

(tiga)

tahun

atau

denda

paling

banyak

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


Selain pasal 75, masih ada beberapa pasal yang akan menjerat dokter
apabila melakukan kesalahan yaitu diantaranya Pasal 76, 77, 78, dan 79.
jika tertundanya pembedahan tersebut disebabkan kelalaian dokter,
maka sikap dokter tersebut bertentangan dengan lafal sumpah dokter,
KODEKI Bab II pasal 10 dan KUHP pasal 304 dan 306
Lafal sumpah dokter:
Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.
KODEKI Bab II pasal 10
Seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
tugas kemanusiaan
KUHP pasal 304
Barang siapa yang dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan
seseorang dalam kesengsaraan, sedangkan ia wajib memberi kehidupan,
perawatan dan pemeliharaan berdasarkan hukum yang berlaku baginya
atau karena suatu perjanjian, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya 2 tahun 8 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,KUHP pasal 306(2) jika salah satu perbuatan tersebut berakibat
kematian, maka bersalah dihukum dengan hukuman perjara selamalamanya 9 tahun.
3). Praktik hukum disiplin
Pengertian disiplin tidak dicantumkan secara tegas dalam UU Nomor
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Namun kata disiplin dikaitkan
dengan menegakkan disiplin seperti pada pasal 55 ayat (1) yang
merupakan alasan dibentuknya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

Indonesia (MKDKI), suatu organ atribusian baru di sisi hilir pengaturan


praktik kedokteran yang secara khusus kelak akan mengembangkan bentuk
hukum baru, yakni hukum disiplin (medik). Pada bagian penjelasannya
tertulis:
yang dimaksud dengan penegakan disiplin dalam ayat ini adalah
penegakan aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam
pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi
Dengan demikian penegakan disiplin yang merupakan sendi hukum disiplin
kedokteran adalah :
a.

Penegakan aturan-aturan dalam pelayanan kesehatan/kedokteran dan

b.

atau
Penegakan

c.

kedokteran/kesehatan
Wajib diikuti dokter/dokter gigi

ketentuan

penerapan

keilmuan

dalam

pelayanan

Bertolak dari pengertian tersebut dapat diartikan secara sederhana bahwa


disiplin adalah aturan dan penerapan keilmuan yang wajib diikuti oleh
dokter/dokter gigi (subyek hukum) dalam menjalankan profesinya (obyek
hukum) dalam konteks berada dalam wujud hubungan dokter pasien
(hubungan hukum). Dengan demikian hukum disiplin adalah hukum yang
mempelajari pelbagai hal yang berkaian dengan kewajiban (tentu saja
termasuk hak-hak) dalam suatu bangunan kesatuan hubungan profesional
dokter pasien, yang meliputi aturan dan penerapan keilmuan kedokterannya
yang dimiliki selaku kaum profesi untuk mencapai tujuan kedokteran tertentu
demi kepentingan pasien sebagai bahagian dari masyarakat. Secara anatomis,
hukum disiplin akan menyorot mutu dokter sebagai profesi (dalam keadaan
diam, sebelum berhubungan dengan pasiennya) dan secara fisiologis, hukum
disiplin menyorot hubungan dokter pasien sebagai sesuatu yang bergerak

atau dinamis). Dalam konteks UU Praktik Kedokteran, hukum disiplin medik


diam akan melingkupi kiprah Konsil Kedokteran Indonesia sebagai lembaga
atribusian baru di sisi hulu yang diamanatkan untuk memproduksi dokter
lege artis siap mengadbdi bagi perlindungan (kesehatan) masyarakat,
memberdayakan kelembagaan profesi serta membimbing sesama dokter untuk
tetap atau bahkan lebih lege artis. Sedangkan hukum disiplin bergerak akan
memberi pekerjaan rumah bagi MKDKI untuk mengawasi pelaksanaan
praktik dokter/dokter gigi, termasuk menjatuhkan sanksi bagi pelanggarnya.
B. Aspek Medikolegal Dalam Malpraktik
1. Definisi Malpraktik Kedokteran
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak
selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah mal memiliki arti salah,
praktek memiliki arti pelaksanaan atau tindakan sehingga malpraktek
berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu
profesi. Dari segi hukum, malpraktek dapat terjadi karena suatu tinndakan
yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan
kelalaian (negligence) ataupun suatu kekurangmahiran/ketidakkompetenan
yang tidak beralasan. Professional misconduct yang merupakan kesengajan
dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, jukum
administratif serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan
yang merugikan pasien, fraud, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran,
aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misreprentasi, keterangan
palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji, berpraktik tanpa SIP,
berpraktik di luar kompetensinya.
2. Jenis-Jenis Malpraktik
a. Ethical malpractice
Kelalaian dalam menjalani panduan dan standar etika yang ada secara
umum tidak memiliki dampak terhadap dokter dalam hubungannya
dengan pasien. Namun, hal ini akan mempengaruhi keputusan dokter

dalam memberikan tata laksana yang baik. Hal tersebut dapat


menghasilkan reaksi yang kontroversial dan menimbulkan kerugian baik
kepada dokter, maupun kepada pasien karena dokter telah melalaikan
standar etika yang ada. Tindakan tidak profesional yang dilakukan dengan
mengabaikan standar etika yang ada umumnya hanya berurusan dengan
komite disiplin dari profesi tersebut. Hukuman yang diberikan termasuk
pelarangan tindakan praktik untuk sementara dan pada kasus yang tertentu
dapat dilakukan tindakan pencabutan izin praktek.
b. Legal malpractice, teridiri dari :
1) Administrative malpractice
Administrative malpractice terjadi apabila dokter atau tenaga kerja
kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi
negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa
lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan
lisensi atau iinnya, menjalanka praktek dengan izin yang sudah
kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
2) Civil malpractice
Civil malpractice adalah tipe malpraktek dimana dokter karena
pengobatannya dapat mengakibatkan pasien meninggal atau luka tetapi
dalam waktu yang sama tidak melanggar hukum pidana. Sementara
Negara tidak dapat menuntut secara pidana, tetapi pasien atau
keluarganya

dapat

menggugat

dokter

secara

perdata

untuk

mendapatkan uang sebagai ganti rugi. Tanggung jawab dokter tersebut


tidak berkurang meskipun pasien tersebut kaya atau tidak mampu
membayar. Misalnya seorang dokter yang menyebabkan pasien luka
atau meningggal akibat pemakaian metode pengobatan yang sama
sekali tidak benar dan berbahaya tetapi sulit dibuktikan pelangggaran
pidananya, maka pasien atau keluarganya dapat menggugat perdata.
3) Criminal malpractice

10

Criminal malpractice eterjadi ketika seorang dokter yang


menangani sebuah kasus telah melanggar undang-undang hukum
pidana. Malpraktik dianggap sebagai tindakan kriminal dan termasuk
perbuatan yang dapat diancam hukuman. Perbuatan ini termasuk
ketidakjujuran, kesalahan dalam rekam medis, penggunaan ilegal obatobat narkotika, pelanggaran dalam sumpah dokter, perawatan yang
lalai, dan tindakan pelecehan seksual pada pasien yang sakit secara
mental maupun pasien yang dirawat di bangsal psikiatri atau pasien
yang tidak sadar karena efek obat anestesi.
Peraturan hukum mengenai tindak kriminal memang tidak
memiliki batasan antara tenaga profesional dan anggota masyarakat
lain. Jika perawatan dan tata laksana yang dilakukan dokter dianggap
mengabaikan atau tidak bertanggung jawab, tidak baik, tidak dapat
dipercaya dan keadaan - keadaan yang tidak menghargai nyawa dan
keselamatan pasien maka hal itu pantas untuk menerima hukuman.
Dan jika kematian menjadi akibat dari tindak malpraktik yang
dilakukan, dokter tersebut dapat dikenakan tuduhan tindak kriminal
pembunuhan.
Criminal malpractice sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya
melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau
adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya
tanpa indikasi medik, (appendektomi, histerektomi dan sebagainya),
yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi sematamata untuk
mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang
menjadi materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana kalangan
dokter turut terimbas, malpraktek diatas dapat meluas.
C. Aspek Medikolegal Dalam Aspek Hukum/Etika Kedokteran
1) Definisi dan batasan pengertian etika kedokteran
Medikolegal secara harfiah berasal dari dua pengertian yaitu medik
yang berarti profesi dokter dan legal yang berarti hukum. Sehingga batasan

11

medikolegal adalah ilmu hukum yang mengatur bagaimana profesi dokter ini
dilakukan sehingga memenuhi aturan-aturan hukum yang ada. Hal ini untuk
mencegah

penyelewengan

pelaksanaan

profesional

medis

maupun

mengantisipasi dengan berkembang serta lajunya ilmu-ilmu kedokteran yang


tentunya terdapat hal-hal yang rawan terhadap hukum.
Etika merupakan bagian dari filsafat aksiologi yang mempelajari baikburuk, benar-salah, pantas-tidak pantas, dsb. Dalam penggunaan sehari-hari,
nilai/norma dalam masyarakat umum berlaku dan ditentukan oleh
masyarakat tertentu.
Dalam kode etik oleh Hammurabi, telah disusun bermacam-macam
sistem/peraturan mengenai para dokter. Terdapat pula beberapa bagian
mengenai norma-norma tinggi moral/akhlak dan tanggung jawab yang
diharapkan harus dimiliki oleh para dokter serta petunjuk-petunjuk
me]ngenai hubungan antar dokter-pasien dan beberapa masalah lain.
Dalam menjaga etika kedokteran, dibuthkan suatu pedoman agar .
Kode etik adalah adalah pedoman perilaku yang berisi garis garis besar,
adalah pemandu sikap dan perilaku. Dalam kedokteran, kode etik
menyangkut 2 ( dua ) hal yang harus diperhatikan ialah :
1. Etik Jabatan Kedokteran ( Medical Ethics )
Menyangkut masalah yang berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman
sejawat, para pembantunya serta terhadap masyarakat & pemerintah.
2. Etik Asuhan Kedokteran ( Ethics of Medical Care )
Mengenai sikap & tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi
tanggungjawabnya. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum,
dan pelanggaran hukum belum berarti pelanggaran etik.
2) Kode etik kedokteran Indonesia
Etika Kedokteran mempunyai 3 ( tiga ) azas pokok, yaitu :
1. Otonomi
a. Hal ini membutuhkan orang orang yang kompeten, dipengaruhi
oleh kehendak

dan

(kompetensi). Memiliki

keinginannya
pengertian

sendiri
pada

dan

tiap-tiap

kemampuan
kasus

yang

12

dipersoalkan memilik kemampuan untuk menanggung konsekuensi


dari keputusan yang secara otonomi atau mandiri telah diambil.
b. Melindungi mereka yang lemah, berarti kita dituntut untuk
memberikan perlindungan

dalam

pemeliharaan,

perwalian,

pengasuhan kepada anak-anak, para remaja dan orang dewasa yang


berada dalam kondisi lemah dan tidak mempunyai kemampuan
otonom ( mandiri )
2. Bersifat dan bersikap amal, berbudi baik
Dasar ini tercantum pada etik kedokteran yang sebenarnya bernada
negatif ; PRIMUM NON NOCERE (janganlah berbuat merugikan /
salah). Hendaknya kita bernada positif dengan berbuat baik dan apabila
perlu kita mulai dengan kegiatan yang merupakan awal kesejahteraan
para individu /masyarakat.
3. Keadilan
Azas ini bertujuan untuk menyelenggarakan keadilan dalam transaksi
dan perlakuan

antar

manusia,

umpamanya

mulai

mengusahakan

peningkatan keadilan terhadap si individu dan masyarakat dimana


mungkin terjadi risiko dan imbalan yang tidak wajar dan bahwa
segolongan manusia janganlah dikorbankan untuk kepentingan golongan
lain. ( kodeki, MKEK,2002 )
Sebagai pedoman dalam berperilaku, Kode Etik Kedokteran mengandung
beberapa ketentuan yang kesemuanya tertuang dalam Mukaddimah dan
kedua puluh pasalnya. Secara umum pasal-pasal tersebut dapat dibedakan
menjadi 5 bagian, yaitu :
1) Kewajiban umum seorang dokter
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya
sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.

13

Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak
boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan
psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan
pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum
diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan
masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan
pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya,

disertai

rasa

kasih

sayang

(compassion)

dan

penghormatan atas martabat manusia.


Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien
dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang
dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau
yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien

14

Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak
sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga
kepercayaan pasien.
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
hidup makhluk insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan
kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi
pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang
kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling
menghormati
2) Kewajiban dokter terhadap pasien
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala
ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia
tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka
atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya
dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal 12

15

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya


tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal
dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia
dan mampu memberikannya.
3) Kewajiban dokter terhadap teman sejawat
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia
sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat,
kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
4) Kewajiban dokter terhadap diri sendiri
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja
dengan baik.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.
5) Penutup
Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dalam 3 (tiga) kelompok,
yaitu : kewajiban dokter, yaitu kewajiban umum, kewajiban kepada
pasien, kewajiban kepada diri sendiri dan teman sejawatnya.
Keharusan mengamalkan kode etik disebutkan dalam lafal sumpah
dokter yang didasarkan pada PP No. 26 tahun 1960. Ini berarti terbuka
kemungkinan memberikan sanksi kepada mereka yang melanggan
kode etik.
3) Aspek hukum pelayanan kedokteran

16

Seorang dokter dalam menjalankan tugasnya mempunyai alasan yang


mulia, yaitu berusaha untuk menyehatkan tubuh pasien, atau setidak-tidaknya
berbuat untuk mengurangi penderitaan pasien. Oleh karenanya dengan alasan
yang demikian wajarlah apabila apa yang dilakukan oleh dokter itu layak
untuk mendapatkan perlindungan hukum sampai batas-batas tertentu. Sampai
batas mana perbuatan dokter itu dapat dilindungi oleh hukum, inilah yang
menjadi permasalahan. Mengetahui batas tindakan yang diperbolehkan
menurut hukum, merupakan hal yang sangat penting, baik bagi dokter itu
sendiri maupun bagi pasien dan para aparat penegak hukum.
Masalahnya sekarang, adalah sangat sulit untuk menentukan kapan
suatu tindakan medis memenuhi patokan atau standar pelayanan kesehatan.
Pengaturan hukum seperti yang tercantum dalam KUHPerdata masih bersifat
terlalu umum. Untuk itu diperlukan adanya suatu pengaturan yang isinya
mengatur hubungan antara pasien dengan dokter. Dalam kaitannya dengan
hal ini Van der Mijn (1989 : 57) mengemukakan adanya sembilan alasan
tentang perlunya pengaturan hukum yang mengatur hubungan antara pasien
dengan dokter.
a. Adanya kebutuhan pada keahlian keilmuan medis.
b. Kualitas pelayanan kesehatan yang baik.
c. Hasil guna.
d. Pengendalian biaya.
e. Ketertiban masyarakat.
f. Perlindungan hukum pasien.
g. Perlindungan hukum pengemban profesi kesehatan.
h. Perlindungan hukum pihak ketiga, dan
i. Perlindungan hukum kepentingan hukum.
Dari apa yang dikemukakan oleh Van der Mijn diatas, dapat dilihat
bahwa hubungan antara pasien dengan dokter mempunyai aspek etis dan
aspek yuridis. Artinya hubungan itu diatur oleh kaidah hukum, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan demikian baik pasien maupun
dokter mempunyai kewajiban dan tanggung jawab secara etis dan yuridis,

17

sebagai konsekuensinya mereka juga bertanggung jawab dan bertanggung


gugat secara hukum.
Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum
Kesehatan Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan / pelayanan kesehatan dan
penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan kewajiban baik dari perorangan
dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala
aspeknya, organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu
pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya.
Hukum kedokteran merupakan bagian dari hukum kesehatan, yaitu
yang menyangkut asuhan / pelayanan kedokteran (medical care / sevice)Pada
masa kini dapat disepakati luas ruang lingkup peraturan hukum untuk
kegiatan pelayanan kesehatan menurut ilmu kedokteran mencakup aspekaspek di bidang pidana, hukum perdata, hukum administrasi, bahkan sudah
memasuki aspek hukum tatanegara.
Persyaratan pendidikan keahlian, menjalankan pekerjaan profesi,
tatacara membuka praktek pengobatan, dan berbagai pembatasan serta
pengawasan profesi dokter masuk dalam bagian hukum administrasi. Hak
dan kewajiban yang timbul dari hubungan pelayanan kesehatan, persetujuan
antara dokter dan pasien serta keluarganya, akibat kelalaian perdata serta
tuntutannya dalam pelayanan kesehatan masuk bagian hukum perdata.
Kesaksian, kebenaran isi surat keterangan kesehatan, menyimpan rahasia,
pengguguran kandungan, resep obat keras atau narkotika, pertolongan orang
sakit yang berakibat bahaya maut atau luka-luka masuk bagian hukum
pidana.
1). Hubungan antara dokter dan pasien
Dalam praktik sehari-hari, dapat dilihat berbagai hal yang
menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter,

18

hubungan itu terjadi terutama karena beberapa sebab: antara lain karena
pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan
mengobati sakit yang dideritanya. Dalam keadaan seperti ini terjadi
persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, artinya para pihak
sudah sepenuhnya setuju untuk mengadakan hubungan hukum.
Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap
dokter, sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan
medik (informed consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk
menerima upaya medis yang akan dilakukan setelah ia mendapat
informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan
untuk menolong dirinya, termasuk memperoleh informasi mengenai
segala risiko yang mungkin terjadi.
Di indonesia informed consent dalam pelayanan kesehatan, telah
memperoleh pembenaran secara yuridis melalui Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 585/Menkes/1989. Walaupun dalam
kenyataannya

untuk

pelaksanaan

pemberian

informasi

guna

mendapatkan persetujuan itu tidak sederhana yang dibayangkan, namun


setidak-tidaknya persoalannya telah diatur secara hukum, sehingga ada
kekuatan bagi kedua belah pihak untuk melakukan tindakan secara
hukum.
Pokok persoalan yang menyebabkan sulitnya menerapkan informed
consent di indonesia, adalah karena terlalu banyak kendala yang timbul
dalam praktik sehari-hari, antara lain: bahasa yang digunakan dalam
penyampaian informasi sulit di pahami oleh masyarakat khususnya
pasien atau keluarganya, batas mengenai banyaknya informasi yang
dapat di berikan tidak jelas, masalah campur tangan keluarga atau pihak
ketiga dalam hal pemberian persetujuan tindakan medis sangat dominan,
dan sebagainya. Di samping itu juga tentang informasi dan consent
sering terdapat perbedaan kepentingan antara pasien dengan dokter.

19

Perbedaan kepentingan ini jika tidak memenuhi titik temu yang


memuaskan kedua belah pihak, akan menyebabkan timbulnya konflik
kepentingan. Misalnya pasien berkepentingan untuk penyembuhan
penyakit yang di deritanya, akan tetapi mengingat risiko yang akan
timbul berdasarkan informasi yang di perolehnya dari dokter, pasien
atau keluarganya menolak memberi persetujuan, sedangkan pada sisi
lain dokter yang akan melakukan perawatan membutuhkan persetujuan
tersebut.
Alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien
dengan dokter, adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak
untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter, misalnya karena
terjadi kecelakaan lalu lintas, terjadi bencana alam, maupun karena
adanya situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat,
sehingga sangat sulit bagi dokter yang menangani utnuk mengetahui
dengan pasti kehendak pasien. Dalam keadaan seperti ini dokter
langsung melakukan apa yang disebut dengan zaakwaarneming
sebagaimana diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata, yaitu suatu bentuk
hubungan hukum yang timbul bukan karena adanya Persetujuan
Tindakan Medik terlebih dahulu, melainkan karena keadaan yang
memaksa atau keadaan darurat. Hubungan antara dokter dengan pasien
yang terjadi seperti ini merupakan salah satu ciri transaksi terapeutik
yang membedakannya dengan perjanjian biasa sebagaimana diatur
dalam KUHPerdata.
Dari hubungan pasien dengan dokter yang demikian tadi, timbul
persetujuan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata. Bagi seorang dokter, hal ini
berarti bahwa ia telah bersedia untuk berusaha dengan segala
kemampuannya memenuhi isi perjanjian itu, yakni merawat atau
menyembuhkan penyakit pasien. Sedang pasien berkewajiban untuk

20

mematuhi aturan-aturan yang ditentukan oleh dokter termasuk


memberikan imbalan jasa. Masalahnya sekarang adalah: Bagaimana jika
pasien menolak usul perawatan atau usaha penyembuhan yang
ditawarkan oleh dokter.
Tegasnya dalam hubungan antara pasien dengan dokter diperlukan
adanya persetujuan, karena dengan adanya persetujuan ini berakibat
telah tercapainya ikatan perjanjian yang menimbulkan hak dan
kewajiban secara timbal balik. Perjanjian ini mempunyai kekuatan
mengikat dalam arti mempunyai kekuatan sebagai hukum yang dipatuhi
oleh kedua pihak.
Dalam praktiknya, baik hubungan antara pasien dengan dokter yang
diikat dengan transaksi terapeutik, maiupun yang didasarkan pada
zaakwaarneming, sering menimbulkan terjadinya kesalahan atau
kelalaian, dalam hal ini jalur penyelesaiannya dapat dilakukan melalui
Majelis Kode Etik Kedokteran. Jika melalui jalur ini tidak terdapat
penyelesaian, permasalahan tersebut diselesaikan melalui jalur hukum
dengan melanjutkan perkaranya ke pengadilan.
Pada sisi lain, walaupun secara yuridis diperlukan adanya persetujuan
tindakan

medis

untuk

melakukan

perawatan,

namun

dalam

kenyataannya sering terjadi bahwa suatu perawatan walaupun tanpa


persetujuan tindakan medik, apabila tidak menimbulkan kerugian bagi
pasien, hal tersebut akan didiamkan saja oleh pasien. Namun jika
kesalahan atau kelalaian dilakukan oleh dokter dan akibat dari kesalahan
tersebut menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi pasien, maka
persoalan tersebut akan diselesaikan oleh pasien atau keluarganya
melalui jalur hukum. Dalam praktik seperti ini terlihat betapa sulitnya
posisi dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan, baik pada tahap
diagnosa maupun pada tahap perawatan, sehingga dari mereka
diperlukan adanya sikap ketelitian dan kehati-hatian yang sunguhsungguh.

21

2). Hak dan kewajiban dokter-pasien


Pada bagian ini akan dibahas tentang hak dan kewajiban para pihak
secara umum, pembahasan tentang hal ini dirasakan sangat penting
karena kenyataan menunjukkan, bahwa akibat adanya ketidakpahaman
mengenai hak dan kewajiban, menyebabkan adanya kecenderungan
untuk mengabaikan hak-hak pasien sehingga perlindungan hukum
pasien semakin pudar. Selain itu dalam praktik sehari-hari banyak falta
menunjukkan, bahwa swcara umum ada anggapan dimana kedudukan
pasien lebih rendah dari kedudukan dokter, sehingga dokter dianggap
dapat mengambil keputusan sendiri terhadap pasien mengenai tindakan
apa yang dilakukannya,. Sebenarnya jika dilihat dari sudut perjanjian
terapeutik pendapat seperti ini, merupakan pendapat yang keliru karena
dengan adanya perjanjian terapeutik tersebut kedudukan antara dokter
dengan pasien adalah sama dan sederajat.
Dalam pandangan hukum, pasien adalah subjek hukum mandiri yang
dianggap dapat mengambil keputusan untuk kepentingan dirinya. Oleh
karena itu adalah suatu hal yang keliru apabila menganggap pasien selali
tidak dapat mengambil keputusan karena ia sedang sakit. Dalam
pergaulan hidup normal sehari-hari, biasanya pengungkapan keinginan
atau kehendak dianggap sebagai titik tolak untuk mengambil keputusan.
Dengan demikian walaupun seorang pasien sedang sakit, kedudukan
hukumnya tetap sama seperti orang sehat. Jadi, secara hukum pasien
juga berhak mengambil keputusan terhadap pelayanan kesehatan yang
akan dilakukan terhadapnya, karena hal ini berhubungan erat dengan
hak asasinya sebagai manusia. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa
keadaan mentalnya tidak mendukung untuk mrngambil keputusan yang
diperlukan.
Dalam hubungannya dengan hak asasi manusia, persoalan mengenai
kesehatan ini dinegara kita diatur dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, dimana dalam Bab III Pasal 1 Ayat (1) dan Pasal 4

22

menyebutkan: Pasal 1 (1): Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari


badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomi. Selanjutnya dalam Pasal 4
dinyatakan: Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
Sehubungan dengan hak atas kesehatan tersebut yang harus dimiliki
oleh setiap orang, negara memberi jaminan untuk mewujudkannya.
Jaminan ini antara lain diatur dalam Bab IV mulai dari Pasal 6 sampai
Pasal 9 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pada bagian tugas
dan tanggung jawab pemerintah.
Hak atas pelayanan kesehatan memerlukan penanganan yang
sungguh-sungguh, hal ini diakui secara internasional sebagaimana diatur
dalam The Universal Declaration of Human Rights tahun 1948.
beberapa pasal yang berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan dan
hak atas diri sendiri antara lain dimuat dalam Article 3 yang berbunyi:
Everyone has the right to life, liberty and the security of person.
Selanjutnya dalam Article 5 disebutkan: No one shall be subjected to
torture or to cruel, inhuman or degrading treatmen
Ketentuan lainnya dimuat dalam Article 7 dan 10. Ketentuan Article 7
menyebutkan:
No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman degrading
treatment In particular, no one shall be subjected without his free
consent to medical or scientific experimentation.
Dan ketentuan Article 10 mengatur tentang:
All persons deprived of their liberty shall be treated with humanity and
with respect for the inherent dignity of the human person
Berbicara mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, secara
umum hak pasien tersebut dapat dirinci sebagai berikut.
a) Hak pasien atas perawatan

23

b) Hak untuk menolak cara perawatan tertentu


c) Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
l)

merawat pasien.
Hak atas informasi.
Hak untuk menolak perawatan tanpa izin.
Hak atas rasa aman.
Hak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan.
Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan.
Hak atas twenty-for-a-day-visitor-rights
Hak pasien menggugat atau menuntut.
Hak pasien mengenai bantuan hokum.
Hak pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga
kesehatan atau ahlinya.
Berbarengan dengan hak tersebut pasien juga mempunyai kewajiban,

baik kewajiban secara moral maupun secara yuridis. Secara moral


pasien berkewajiban memelihara kesehatannya dan menjalankan aturanaturan perawatan sesuai dengan nasihat dokter yang merawatnya.
Beberapa kewajiban pasien yang harus dipenuhinya dalam pelayanan
kesehatan adalah sebagai berikut:
a) Kewajiban memberikan informasi.
b) Kewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan.
c) Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam
hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatan.
d) Kewajiban memberikan imbalan jasa.
e) Kewajiban memberikan ganti-rugi, apabila tindakannya merugikan
dokter atau tenaga kesehatan.

Berdasarkan pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan


kewajiban bagi para pihak, dokter juga mempunyai hak dan kewajiban
sebagai pengemban profesi. Hak-hak dokter sebagai pengemban profesi
dapat dirumuskan sebagai berikut.

24

1. Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujurjujurnya dari pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan
diagnosis maupun terapeutik.
2. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang
diberikannya kepada pasien.
3. Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya dalam
melaksanakan transaksi terapeutik.
4. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas
pelayanan kesehatan yang diberikannya.
5. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medik dari pasien atau
keluarganya.
Disamping hak-hak tersebut, dokter juga mempunyai kewajiban yang
harus dilaksanakan. Jika diperhatikan Kode Etik Kedokteran Indonesia
yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 34
Tahun 1983, didalamnya terkandung beberapa kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh dokter di Indonesia. Kewajiban-kewajiban tersebut
meliputi:
1. Kewajiban umum;
2. Kewajiban terhadap penderita;
3. Kewajiban terhadap teman sejawatnya;
4. Kewajiban terhadap diri sendiri.

25

Berpedoman pada isi rumusan kode etik kedokteran tersebut,


Hermien Hadiati Koeswadji mengatakan bahwa secara pokok kewajiban
dokter dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bahwa ia wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang ia
miliki secara adekuat. Dokter dalam perjanjian tersebut tidak
menjanjikan manghasilkan satu resultaat atau hasil tertentu, karena
apa yang dilakukannya itu merupakan upaya atau usaha sejauh
mungkin sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Karenanya bukan
merupakan inspanningssverbintenis. Ini berarti bahwa dokter wajib
berusaha dengan hati-hati dan kesungguhan (met zorg eh inspanning)
menjalankan tugasnya. Perbedaan antara resultaatverbintenis dengan
inspanningserbintenis ini yakni dalam hal terjadi suatu kesalahan.
2. Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri (dalam arti secara pribadi
dan bukan dilakukan oleh orang lain) sesuai dengan yang telah
diperjanjikan, kecuali apabila pasien menyetujui perlu adanya
seseorang yang mewakilinya (karena dokter dalam lafal sumpahnya
juga wajib menjaga kesehatannya sendiri).
3. Dokter wajib memberi informasi kepada pasiennya mengenai segala
sesuatu yang berhubungan dengan penyakit atau penderitaannya.
Kewajiban

dikter

ini

dalam

hal

perjanjian

perawatan

(behandelingscontract) menyangkut dua hal yang ada kaitannya


dengan kewajiban pasien.
Di samping itu ada beberapa perbuatan atau tindakan yang dilarang
dilakukan oleh dokter, karena perbuatan tersebut dianggap bertentangan
dengan etik kedokteran. Perbuatan atau tindakan yang dilarang tersebut
adalah sebagai berikut.

26

1. Melakukan suatu perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri.


2. Ikut serta dalam memberikan pertolongan kedokteran dalam segala
bentuk, tanpa kebebasan profesi.
3. Menerima uang selain dari imbalan yang layak sesuai dengan
jasanya, meskipun dengan sepengetahuan pasien atau keluarganya.
Dengan demikian jika diperhatikan isi kode etik kedokteran tersebut
dapat disimpulkan bahwa: kode etik kedokteran mengandung tuntutan
agar dokter menjalankan profesinya berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan
yang luhur. Apalagi sebagian besar dari masyarakat, terutama yang
tinggal dipedesaan belum memiliki pengertian yang cukup tentang cara
memelihara kesehatan. Oleh karena itu, upaya untuk memberikan
bimbingan dan penerangan kepada masyarakat tentang kesehatan,
merupakan salah satu tugas dokter yang tidak kalah pentingnya dari
pekerjaan penyembuhan. Malahan tugas dokter tidak terbatas pada
pekerjaan kuratif dan preventif saja, jabatan profesi dokter, lebih-lebih
di pedesaan, sebetulnya meliputi semua bidang kegiatan masyarakat,
artinya dokter harus ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan
kemanusiaan.
Atas dasar hal tersebut, jika motivasi seorang dokter dalam bekerja
karena uang dan kedudukan, dokter tersebut dapat di golongkan dalam
motivasi rendah. Jika dokter cenderung untuk bekerja sedikit dengan
hasil banyak, dokter yang bersangkutan akan tergelincir untuk
melanggar kode etik dan sumpahnya. Sebaliknya jika motivasinya
berdasarkan pada keinginan untuk memenuhi prestasi, tanggung jawab
dan tantangan dari tugas itu sendiri, akan mudah baginya untuk
menghayati dan mangamalkan kode etik dan sumpahnya. Di samping itu

27

dia senantiasa akan melakukan profesinya menurut ukuran yang


tertinggi, serta meningkatkan keterampilannya sehingga kemampuan
untuk melaksanakan tugasnya tidak perlu disangsikan lagi.

D. Aspek Medikolegal Dalam Saksi Ahli


1) Definisi
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 1
KUHAP Butir 26).
Saksi ahli adalah seseorang yang dapat menyimpulkan berdasarkan
pengalaman keahliannya tentang fakta atau data suatu kejadian, baik yang
ditemukan sendiri maupun oleh orang lain, serta mampu menyampaikan
pendapatnya tersebut (Franklin C.A, 1988).5 Saksi ahli merupakan orang
yang memenuhi syarat dalam hal pengetahuan dan pengalamannya untuk
memberikan pendapat tentang isu tertentu ke pengadilan.
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan
dari pengetahuannya (Pasal 1 KUHAP Butir 27).
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 KUHAP Butir
28). Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan (Pasal 186 KUHAP).
2) Dasar hukum
Kewajiban dokter untuk membuat keterangan ahli telah diatur dalam
pasal 133 KUHAP. Keterangan ahli ini akan dijadikan sebagai alat bukti
yang sah di depan sidang pengadilan (Pasal 184 KUHAP) dan dapat
diberikan secara lisan di depan sidang pengadilan (Pasal 186 KUHAP). Bila

28

dokter atau tenaga kesehatan dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban saat
dipanggil sebagai saksi, atau sebagai ahli dalam suatu kasus yang diduga
terkait dengan suatu kejahatan, maka dalam perkara pidana diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan dan dalam perkara lain, diancam
dengan pidana paling lama enam bulan (Pasal 224 KUHP). Pada kasus yang
terkait dengan pelanggaran, maka dokter atau tenaga kesehatan dapat
didenda sesuai kepantasan menurut persidangan (Pasal 522 KUHP).
Pada pasal 170 KUHAP dinyatakan bahwa dokter karena pekerjaan,
harkat martabat atau jabatannya dapat menggunakan hak undur diri untuk
diminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi,
mengenai rahasia kedokteran yang dipercayakan kepadanya dengan
memberikan alasan pada hakim. Hakim akan menentukan sah atau tidaknya
segala alasan untuk permintaan tersebut. Namun, pada pasal 179 KUHAP
dinyatakan bahwa permintaan bantuan pengadilan pada dokter sebagai ahli
sesuai prosedur hukum, wajib dipenuhi. Sehingga permintaan memberikan
keterangan ahli atau permintaan keterangan dalam pemeriksaan pada tahap
sebelum pemeriksaan sidang dipengadilan, tidak dapat diabaikan dengan
mengasumsikan seorang dokter atau tenaga kesehatan memiliki hak undur
diri.
Asosiasi Kedokteran Australia dalam Ethical Guidelines for Doctors
Acting as Medical Witnesses juga mengutarakan kewajiban etika yang
dimiliki dokter untuk membantu pengadilan dan proses penyelesaian
sengketa alternatif dengan memberikan bukti ahli apabila dipanggil
persidangan. Dokter harus memberikan bukti ahli untuk membantu
pengadilan yang sifatnya tidak memihak, jujur, objektif dan membatasi
pendapat mereka hanya dalam ruang lingkup keahliannya. Dokter juga
memiliki kewajiban untuk melindungi privasi dan kerahasiaan dari semua
pembuktian relevan yang dimilikinya.
3) Dokter sebagai saksi ahli

29

Dari segi yuridis, setiap dokter adalah ahli, baik dokter itu ahli ilmu
kedokteran kehakiman ataupun bukan, Oleh sebab itu setiap dokter dapat
dimintai bantuannya untuk membantu membuat terang perkara pidana oleh
pihak yang berwenang. Akan tetapi supaya dapat diperoleh suatu bantuan
yang maksimal, permintaan bantuan itu perlu diajukan pada dokter yang
memiliki keahlian yang sesuai dengan objek yang akan diperiksa, misalnya :
a. Untuk objek korban mati, sebaiknya diminta kepada ahli ilmu kedokteran
kehakiman.
b. Untuk objek korban hidup yang menderita luka-luka sebaiknya
dimintakan kepada dokter ahli bedah.
c. Untuk objek korban hidup akibat tindakan pidana seksual sebaiknya
dimintakan kepada dokter ahli kandungan.
d. Untuk objek yang berkatan dengan gigi (untuk kepentingan identifikasi)
sebaiknya dimintakan bantuan kepada dokter gigi.
e. Untuk objek terdakwa yang menderita/diduga menderita penyakit jiwa
sebaiknya dimintakan kepada dokter ahli jiwa.
Dokter pemeriksa sebagai saksi ahli dapat terkait visum et repertum
yang dibuat ataupun di luar VeR berupa pertanyaan hipotetik hakim. Dokter
diminta hadir di pengadilan, oleh karena dua versi. Versi pertama sebagai
saksi A charge. Saksi ini dihadirkan ke persidangan oleh Jaksa Penuntut
Umum dimana keterangannya dapat menguntungkan maupun memberatkan
terdakwa. Versi kedua dokter bertindak sebagai saksi A de Charge. Saksi ini
dihadirkan ke persidangan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya, dimana
keterangan yang diberikannya meringankan terdakwa atau dapat dijadikan
dasar bagi nota pembelaan (pledoi) dari terdakwa atau penasehat hukumnya.
Sehingga pada tahap pemeriksaan di pengadilan, baik jaksa penuntut
maupun penasehat hukum tersangka dapat menghadirkan saksi atau ahli
dengan ijin hakim. Seorang dokter dapat pula dipanggil untuk didengar dan
diperiksa sebagai saksi, bila dinilai penyidik terkait langsung dengan kasus.

30

Berdasarkan Ethical Guidelines for Doctors Acting as Medical


Witnesses, terdapat dua jenis saksi medis, sehingga ketika dokter dipanggil
untuk menjadi saksi medis, penting untuk membedakan konteks bukti yang
akan disertakan, apakah sebagai saksi fakta (dokter yang merawat) atau saksi
pendapat (ahli independen).
Saksi fakta diberikan oleh dokter yang memeriksa, merawat atau
memberikan penatalaksanaan sebuah kasus medik. Dokter tersebut akan
diminta untuk mempresentasikan bukti medis terhadap penatalaksanaan yang
telah dilakukannya dan memberikan informasi yang faktual tentang hasilnya.
Saksi pendapat adalah saksi ahli yang independen yang diminta untuk
memberikan pendapat yang independen berdasarkan fakta-fakta dari kasus
tertentu yang sudah ada. Dalam hal ini dokter akan memberikan pendapat
sesuai dengan pengalaman dan keahliannya yang relevan.
Sebagai saksi ahli independen, dokter dapat membantu pengadilan
dalam dua cara, yaitu dengan memberikan pendapat ahli berdasarkan
pengetahuan dan pengalamannya terhadap fakta dan menginformasikan
pengadilan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keahlian khusus
mereka.
Dokter terlibat dalam kasus persidangan karena keahlian, pengetahuan
dan area khusus yang dimilikinya untuk memberikan bukti medis. Dokter
memainkan peranan penting dan tidak terpisahkan dalam gugatan hukum
tersebut. Untuk itu dokter berhak untuk mendapatkan informasi lengkap
tentang kasus, peran dokter didalamnya, dan hal lain yang mungkin diminta
dalam memberikan bukti medis berupa dokumen yang relevan dan informasi
klinis mengenai kasus kepada penyidik atau pengacara yang meminta untuk
hadir di persidangan. Apabila pengacara atau penyidik memiliki pertanyaan
untuk informasi lebih lanjut dan dokter mengalami kesulitan dalam
menjawabnya, di luar negeri terdapat MDO (Medical Defence Organization)
untuk dimintai bantuan.3 Di Indonesia dokter dapat berkonsultasi pada

31

Komite Medikolegal Dokter Indonesia atau bisa langsung kepada ahli


Kedokteran Forensik.
Jika diperlukan untuk berdiskusi dengan saksi ahli independen lain
atau menyiapkan laporan dengan saksi ahli lain, dokter harus memberikan
yang disetujui, tidak disetujui dan mengutarakan alasannya. Dokter harus
menghindari instruksi atau permintaan untuk terjadinya kesepakatan.
Gunakan cara yang moderat dan objektif ketika memberikan bukti. Menolak
usaha-usaha yang dirancang untuk memprovokasi dokter dan hindari
perdebatan.
Seorang saksi ahli harus memiliki kualitas sebagai berikut :
a. Pengetahuan dan pengalaman praktis dari materi yang dibahas dalam
kasus.
b. Kemampuan untuk berkomunikasi mengenai temuan atau opini yang akan
disampaikan dengan jelas, singkat, dan dapat dipahami oleh pihak-pihak
awam yang terkait dalam persidangan.
c. Fleksibel dalam hal pikiran dan kepercayaan diri untuk memodifikasi
pendapat sebagai bukti baru atau argumen yang berlawanan.
d. Kemampuan untuk berpikir dari sisi yang berbeda agar dapat menguasai
situasi apapun yang bisa saja terjadi di persidangan.
e. Sikap dan penampilan yang meyakinkan di peradilan.
Tugas dan tanggung jawab saksi ahli dalam kasus perdata meliputi :
a. Bukti ahli yang disampaikan harus dipandang sebagai produk independen
yang tidak dipengaruhi bentuk dan isinya oleh keadaan apapun.
b. Saksi ahli harus memberikan bantuan independen pada pengadilan
dengan memberikan pendapat yang objektif terkait dengan keahliannya.
c. Saksi ahli harus menyatakan fakta-fakta atau asumsi yang memiliki dasar
yang jelas.
d. Saksi ahli harus memberikan penjelasan apabila terdapat pertanyaan atau
permasalahan yang diluar keahliannya.
e. Jika pendapat ahli tidak berdasarkan penelitian, hanya bderdasarkan data
yang tersedia, maka harus disertakan penjelasan bahwa ini hanya bersifat
sementara.

32

4) Tata cara dan sikap dokter di persidangan Indonesia


Pemanggilan atau pemberitahuan oleh pihak berwenang kepada saksi
ahli, dalam hal ini dokter, disampaikan selambat-lambatnya tiga hari
sebelum tanggal hadir yang ditentukan oleh hakim di tempat tinggal saksi
ahli dan disampaikan secara langsung. Kemudian petugas membuat catatan
bahwa

panggilan

telah

diterima

oleh

yang

bersangkutan

dengan

membubuhkan tanggal serta tandatangan petugas dan saksi ahli beserta


alasan apabila saksi ahli tersebut tidak mau menandatangani catatan tersebut.
Surat pemanggilan ini juga dapat disampaikan melalui kepala desa apabila
yang bersangkutan tidak ada di tempat tinggalnya dan melalui perwakilan
Republik Indonesia tempatnya berada apabila sedang di luar negeri (pasal
227 KUHAP).
Dokter yang dipanggil untuk menjadi saksi ahli kemudian memeriksa
surat panggilan tersebut dan dapat menghubungi jaksa yang berwenang
dalam kasus ini untuk meminta penjelasan mengenai kasus dan korban yang
akan dibahas di persidangan. Dokter kemudian dianjurkan memperkirakan
pertanyaan yang akan diajukan agar lebih siap dalam menjawabnya.
Dalam suatu perkara pidana yang menimbulkan korban, dokter
diharapkan dapat menemukan kelainan yang terjadi pada tubuh korban,
bagaimana kelainan tersebut timbul, apa penyebabnya serta akibat yang
timbul terhadap kesehatan korban. Dalam hal korban meninggal, dokter
diharapkan dapat menjelaskan penyebab kematian yang bersangkutan,
bagaimana mekanisme terjadinya kematian tersebut, serta membantu dalam
perkiraan saat kematian dan perkiraan cara kematian.1 Dokter sebagai saksi
ahli memberikan penilaian atau penghargaan tentang hasil akhir, bukan
prosesnya sehingga perlu diingat bahwa dokter itu bertindak sebagai saksi
ahli bukan saksi mata.
Sebagai saksi yang akan diajukan dalam persidangan, terlebih dahulu
harus menyampaikan curriculum vitae kepada kepaniteraan mahkamah
sebelum pelaksanaan sidang. Pemeriksaan ahli dalam bidang keahlian yang

33

sama yang diajukan oleh pihak-pihak dilakukan dalam waktu yang


bersamaan.
Dokter sebagai saksi ahli di pengadilan wajib mengenakan pakaian
rapi dan sopan.9 Dokter juga harus berpenampilan yang tidak melecehkan
dirinya sendiri ataupun lawan bicaranya. Ia harus hadir tepat waktu,
berpakaian rapi, sikap yang santun, menyiapkan data kasusnya, bersikap
tegas dan yakin, mengutarakan sesuatu yang benar dan obyektif serta
menyeluruh.
Dokter sebagai saksi ahli yang hadir untuk mengikuti persidangan
wajib mengisi daftar hadir, menempati tempat duduk yang telah disediakan,
duduk tertib dan sopan selama persidangan serta menunjukkan sikap hormat
kepada Majelis Hakim.9 Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi
keterangan tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan, selanjutnya
apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang
menjadi dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda
dan sampai derajat keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau
isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja
dengannya (pasal 160 KUHAP butir 2). Menyangkut hal ini saksi atau ahli
wajib membawa KTP, Kartu Keluarga, Surat Nikah, Ijazah dan dokumen
lainnya yang menyangkut data dirinya karena hakim dapat saja meminta
saksi atau ahli untuk menunjukkannya di awal persidangan. Sebelum
memberikan keterangan, saksi atau ahli wajib mengucapkan sumpah atau
janji menurut agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya (pasal
160 KUHAP butir 3).
Di dalam berbagai dasar hukum dikatakan bahwa segala sesuatu yang
diketahui dokter dalam melakukan pekerjaannya adalah rahasia kedokteran
dan setiap dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran secara khusus
dibebankan kewajiban hukum untuk menyimpan rahasia kedokteran (pasal 1

34

PP no. 10 tahun 1966, pasal 170 KUHAP, pasal 53 undang-undang no. 23


tahun 1992, pasal 48 undang-undang no. 29 tahun 2004). Namun, rahasia
kedokteran tidak bersifat absolut dan dapat dibuka tanpa dianggap
melanggar etika maupun hukum, salah satunya pada keadaan memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum.
Dalam hal ini dokter terpaksa membuka rahasia tanpa izin pasien karena
adanya dasar penghapusan pidana (straifuitsluitingsgroden) yang diatur
dalam pasal 48 KUHP, pasal 50 KUHP, dan pasal 51 KUHP. Penyampaian
rahasia ini dapat dilakukan di persidangan, di depan hakim.
Penyampaian pendapat oleh saksi dan ahli terlebih dahulu harus
meminta dan/atau mendapat izin Ketua Sidang dan setelah diberikan
kesempatan oleh Ketua Sidang.11 Seorang dokter hanya memberi surat
keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya (pasal 7
KODEKI). Saksi ahli haruslah bersikap jujur, obyektif, menyeluruh, ilmiah
dan tidak memihak (imparsial). Ia juga diharapkan untuk menghindari
berbicara terlalu banyak, berbicara terlalu dini, dan berbicara dengan orang
yang tidak berhak mendengar.12 Penyerahan alat bukti atau berkas perkara
lainnya melalui panitera pengganti/petugas persidangan yang ditugaskan
untuk itu.
Dalam pelaksanaan persidangan, dokter berhak tidak menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya apabila pertanyaan tersebut dianggap
tidak sesuai ataupun tidak berada dalam ruang lingkup (wewenang) ilmu
kedokteran. Jawaban dari pertanyaan yang tidak sesuai tersebut disampaikan
dalam bahasa yang sopan dan tegas. Sebagai contoh: Maaf Pak hakim, saya
bukan tidak bisa menjawab, namun pertanyaan tersebut untuk saksi mata,
bukan untuk dokter.
Setelah saksi memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali
hakim ketua sidang member izin untuk meninggalkannya (pasal 167
KUHAP butir 1). Sebagai saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi
panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat

35

pemeriksaan,

dokter

berhak

mendapat

penggantian

biaya

menurut

perundang-undangan yang berlaku. Hak ini disampaikan oleh pejabat yang


melakukan pemanggilan kepada dokter (pasal 229 KUHAP).
5) Pedoman menjadi saksi ahli
a. Hanya menghadiri peradilan yang mengeluarkan panggilan tertulis
untuk perintah menghadap sidang.
b. Membawa file atau dokumen lengkap yang dibutuhkan di pengadilan
sesuai dengan instruksi yang diberikan.
c. Memperjelas apa bidang keahlian yang diharapkan saat persidangan.
d. Menanyakan dan memperjelas laporan tertulis apa yang dibutuhkan
peradilan.
e. Tinjau kembali file dan informasi yang relevan terkait kasus untuk
menyegarkan ingatan, memusatkan perhatian pada fakta-fakta penting
dan isu-isu untuk meningkatkan kredibilitas kesaksian.
f. Pastikan waktu untuk menghadiri persidangan.
g. Menanyakan, apabila dibutuhkan, kapan pertemuan sebelum sidang bisa
dilakukan untuk mencari tahu dibawah kasus apa kesaksian ini
dibutuhkan dan siapa yang mengambil keputusan.
h. Menanyakan apakah terdapat saksi ahli lain yang juga dipanggil di
persidangan yang sama dan kapan waktu mereka ditunjuk untuk hadir.
Hal ini untuk mempersiapkan pertentangan pendapat apabila terdapat
perbedaan pemahaman di antara saksi. Sebagai saksi ahli.
DAFTAR PUSTAKA
1. Samil, Ratna, 2001, Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, jakarta
2. Budiyanto, Hukum dan Etik Kedokteran, Standar Profesi Medis Dan
Audit Medis (artikel), available at : http://budi399.wordpress.com/about/ .
accessed : 12 agustus 2014-08-13
3. Buku Memahami Berbagai Etika Profesi & Pekerjaan Penulis Ismantoro Dwi
Yuwono,S.H, Penerbit Pustaka Yustisia. http://www.ilunifk83.com/c2-kesehatandan-ilmu-kedokteran

36

4. Lembaga Pengawal Konstitusi. Pengajuan Saksi/Ahli. Mahkamah Konstitusi


Indonesia (diunduh 9 Februari 2013). Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.TataCara&id=12
5. Kode Etik Kedokteran Indonesia.
6. Daley TT. Guidelines For The Expert Witness. The Lectric Law Library.
2012(diunduh

Februari

2013).

http://www.lectlaw.com/files/exp27.htm

Tersedia

dari:

URL:

HYPERLINK

Anda mungkin juga menyukai