Anda di halaman 1dari 11

DEFINISI MALPRAKTEK

Malpractice adalah praktik


kedokteran yang salah atau tidak
sesuai dengan
standar profesi atau standar prosedur
operasional.
Untuk malpraktek dokter dapat dikenai hukum kriminal dan hukum sipil. Malpraktek kedokteran kini terdiri
dari 4 hal : (1) Tanggung jawab kriminal, (2) Malpraktik secara etik, (3) Tanggung jawab sipil, dan (4)
Tanggung jawab publik(5,9)

Malpraktek secara Umum, seperti disebutkan di atas, teori tentang kelalaian melibatkan lima elemen : (1)
tugas yang mestinya dikerjakan, (2) tugas yang dilalaikan, (3) kerugian yang ditimbulkan, (4)
Penyebabnya, dan (5) Antisipasi yang dilakukan. (2,3)

Pada saat tuntutan malpraktek diajukan, akan menjadi sebuah tugas bagi sang pemohon perkara (pasien
maupun anggota keluarganya) untuk mencari sendiri bukti yang mendukung tuntutannya tersebut. Hal ini
akan terus dilakukan oleh pemohon sampai perkara tersebut menjadi sebuah kasus yang prima fasie
dengan bukti bukti yang cukup dihadirkan di depan pengadilan dan di hadapan juri yang memungkinkan
hakim memberikan putusan secara seksama berdasar bukti itu sendiri. Setelah bukti tersebut diajukan
oleh pemohon, maka bukti yang dibawa pemohon tersebut akan dihadapkan kepada orang yang
disangkakan. Tertuduh (dokter atau rumah sakit) lalu memberikan bukti bukti yang menyanggah
tuduhan yang dikenakan kepadanya. Sanggahan yang dikemukakan oleh tertuduh (dokter) terhadap
kasusnya itu tidaklah cukup. Namun, terdapat sanggahan sanggahan yang dapat diterima yang dapat
membuatnya lepas dari tanggung jawabnya tersebut. Hal ini termasuk (1) resiko perawatan yang
dilakukan telah diketahui oleh pemohon dan ia setuju untuk tetap melanjutkan perawatan (resiko
diketahui dengan informed consent / surat tanda persetujuan tindakan), (2) Pemohon memiliki andil pada
terjadinya luka atau sakitnya itu sendiri dengan tidak mematuhi instruksi dokter atau melanggar
pantangan pantangan yang ada, atau (3) Bahwa luka atau kerugian disebabkan oleh pihak ketiga dan
bukan merupakan dampak dari instruksi yang diberikan dokter. Penegakkan diagnosis tanpa bantuan
pemeriksaan penunjang yang tersedia dapat membawa kesalahan. Hal ini dianggap sebagai kelalaian
dokter dalam melakukan sesuatu yang mestinya ia lakukan contohnya saat dokter lalai dalam
menjalankan tugas yang akhirnya menyebabkan kerugian pada pasien. Hal ini merupakan dasar dan
alasan yang penting dalam kaitan terhadap standar praktik kedokteran yang berlaku. Pengadilan akan
memberikan pengertian terhadap hal tersebut. Kegagalan dalam menggunakan standar dan uji diagnostik
yang tersedia pada kenyataannya merupakan sebuah praktik kedokteran yang substandar. Di lain pihak,
penggunaan standar dan uji diagnostik yang berlebihan pada masa mendatang harus diwaspadai.
Sebelum hal ini terjadi lebih lanjut, maka badan hukum mulai menyelidiki tagihan tagihan yang
diberikan rumah sakit, dokter dan penyedia layanan kesehatan lain dengan lebih seksama. Penyelidikan
seksama diberikan terhadap prosedur prosedur yang tidak dapat dibenarkan secara medis, namun
dikerjakan secara hati hati baik sehingga dapat membedakan hal tersebut dari tindakan yang
melecehkan tanggung jawab medikolegal. Tagihan yang tidak lazim, pembayaran tagihan yang
berlebihan dan persetujuan dokter pasien yang tidak lazim dapat menjadi dasar bagi diusulkannya
peraturan peraturan yang lebih baik di masa depan. Nampaknya kelanjutan praktik kedokteran yang
bersifat defensif akan segera menjadi bahan perdebatan dan diskusi yang menarik serta dapat dilakukan
koreksi terhadap hal tersebut.(3)
Malpraktek Kriminal. Malpraktek kriminal terjadi ketika seorang dokter yang menangani sebuah kasus
telah melanggar undang-undang hukum pidana. Malpraktik dianggap sebagai tindakan kriminal dan
termasuk perbuatan yang dapat diancam hukuman. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah untuk melindungi
masyarakat secara umum. Perbuatan ini termasuk ketidakjujuran, kesalahan dalam rekam medis,
penggunaan ilegal obat obat narkotika, pelanggaran dalam sumpah dokter, perawatan yang lalai, dan
tindakan pelecehan seksual pada pasien yang sakit secara mental maupun pasien yang dirawat di
bangsal psikiatri atau pasien yang tidak sadar karena efek obat anestesi.Peraturan hukum mengenai
tindak kriminal memang tidak memiliki batasan antara tenaga profesional dan anggota masyarakat lain.
Jika perawatan dan tata laksana yang dilakukan dokter dianggap mengabaikan atau tidak bertanggung
jawab, tidak baik, tidak dapat dipercaya dan keadaan - keadaan yang tidak menghargai nyawa dan
keselamatan pasien maka hal itu pantas untuk menerima hukuman. Dan jika kematian menjadi akibat
dari tindak malpraktik yang dilakukan, dokter tersebut dapat dikenakan tuduhan tindak kriminal
pembunuhan. Tujuannya memiliki maksud yang baik namun secara tidak langsung hal ini menjadi
berlebihan. Seorang dokter dilatih untuk membuat keputusan medis yang sesuai dan tidak boleh
mengenyampingkan pendidikan dan latihan yang telah dilaluinya serta tidak boleh membuat keputusan
yang tidak bertanggung jawab tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ia juga tidak boleh melakukan
tindakan buruk atau ilegal yang tidak bertanggung jawab dan tidak boleh mengabaikan tugas
profesionalnya kepada pasien. Dia juga harus selalu peduli terhadap kesehatan pasien.(3,6)

Criminal malpractice sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya melakukan pembedahan dengan niat
membunuh pasiennya atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa
indikasi medik, (appendektomi, histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi
semata-mata untuk mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi
materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana kalangan dokter turut terimbas, malpraktek diatas dapat
meluas. (6,9)

Civil Malpractice adalah tipe malpraktek dimana dokter karena pengobatannya dapat mengakibatkan
pasien meninggal atau luka tetapi dalam waktu yang sama tidak melanggar hukum pidana. Sementara
Negara tidak dapat menuntut secara pidana, tetapi pasien atau keluarganya dapat menggugat dokter
secara perdata untuk mendapatkan uang sebagai ganti rugi. Tanggung jawab dokter tersebut tidak
berkurang meskipun pasien tersebut kaya atau tidak mampu membayar. Misalnya seorang dokter yang
menyebabkan pasien luka atau meningggal akibat pemakaian metode pengobatan yang sama sekali
tidak benar dan berbahaya tetapi sulit dibuktikan pelangggaran pidananya, maka pasien atau
keluarganya dapat menggugat perdata.(9)

Pada civil malpractice, tanggung gugat dapat bersifat individual atau korporasi. Dengan prinsip ini maka
rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh dokter-dokternya asalkan
dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.(9)

Malpraktik secara Etik, Kombinasi antara interaksi profesional dan aktivitas tenaga pendukungnya serta
hal yang sama akan mempengaruhi anggota komunitas profesional lain dan menjadi perhatian penting
dalam lingkup etika medis. Panduan dan standar etika yang ada terkait dengan profesi yang dijalaninya
itu sendiri. Panduan dan standar profesi tersebut mengarah pada terjadinya inklusi atau eksklusi orang
orang yang terlibat dalam profesi tersebut. Kelalaian dalam menjalani panduan dan standar etika yang
ada secara umum tidak memiliki dampak terhadap dokter dalam hubungannya dengan pasien. Namun,
hal ini akan mempengaruhi keputusan dokter dalam memberikan tata laksana yang baik. Hal tersebut
dapat menghasilkan reaksi yang kontroversial dan menimbulkan kerugian baik kepada dokter, maupun
kepada pasien karena dokter telah melalaikan standar etika yang ada. Tindakan tidak profesional yang
dilakukan dengan mengabaikan standar etika yang ada umumnya hanya berurusan dengan komite
disiplin dari profesi tersebut. Hukuman yang diberikan termasuk pelarangan tindakan praktik untuk
sementara dan pada kasus yang tertentu dapat dilakukan tindakan pencabutan izin praktek.(3)

Menurut Hubert W. Smith tindakan malpraktek meliputi 4D, yaitu (a) duty, (b) adanya penyimpangan
dalam pelaksanaan tugas (dereliction), (c) penyimpangan akan mengakibatkan kerusakan (direct
caution), (d) sang dokter akan menyebabkan kerusakan (damage). (2,9,10)

a. Duty (kewajiban)

Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada hubungan
hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum, maka implikasinya
adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit itu harus sesuai dengan standar pelayanan medik
agar pasien jangan sampai menderita cedera karenanya.(2)

Dalam hubungan perjanjian dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan: (1)
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.

Keempat tindakan di atas adalah sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran No. 29 tahun 2004
Bab IV tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran, yang menyebutkan pada bagian kesatu pasal
36,37 dan 38 bahwa sorang dokter harus memiliki surat izin praktek, dan bagian kedua tentang
pelaksanaan praktek yang diatur dalam pasal 39-43. Pada bagian ketiga menegaskan tentang pemberian
pelayanan, dimana paragraf 1 membahas tentang standar pelayanan yang diatur dengan Peraturan
Menteri. Standar Pelayanan adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam
menyelenggarakan praktik kedokteran. (6,10)

Standar Profesi Kedokteran adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude)
minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi untuk dapat melakukan kegiatan
profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Standar profesi yang
dimaksud adalah yang tercantum dalam KODEKI Pasal 2 dimana Setiap dokter harus senantiasa
berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi, dimana tolak ukuran
tertinggi adalah yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran, etika umum, etika kedokteran,
hukum dan agama, sesuai tingkat/ jenjang pelayanan kesehatan dan situasi setempat.(9)

Sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran Pasal 45 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap
pasien harus mendapat persetujuan. Sebelum memberikan persetujuan pasien harus diberi penjelasan
yang lengkap akan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter. Di mana penjelasan itu mencakup
sekurang-kurangnya :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Yang harus ditekankan lagi oleh seorang dokter adalah ketika dia menjalankan praktik kedokteran wajib
untuk membuat rekam medis, yang sudah diatur dalam undang-undang parktek kedokteran pasal 46.
Rekam medis harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan dan harus
dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.(6)
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Apabila sudah ada kewajiban (duty), maka sang dokter atau perawat rumah sakit harus bertindak sesuai
dengan standar profesi yang berlaku. Jika seorang dokter melakukan penyimpangan dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka
dokter tersebut dapat dipersalahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi
ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian perawat dan bukti-bukti lainnya. Apabila kesalahan
atau kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat
menerapkan doktrin Res ipsa Loquitur. Tolak ukur yang dipakai secara umum adalah sikap-tindak
seorang dokter yang wajar dan setingkat didalam situasi dan keadaan yang sama.(2,6,8)

c. Direct Causation (penyebab langsung)

Penyebab langsung yang dimaksudkan dimana suatu tindakan langsung yang terjadi, yang
mengakibatkan kecacatan pada pasien akibat kealpaan seorang dokter pada diagnosis dan perawatan
terhadap pasien. Secara hukum harus dapat dibuktikan secara medis yang menjadi bukti penyebab
langsung terjadinya malpraktik dalam kasus manapun.(10)

Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktek medik, maka harus ada hubungan
kausal yang wajar antara sikap-tindak tergugat (dokter) dengan kerugian (damage) yang menjadi diderita
oleh pasien sebagai akibatnya. Tindakan dokter itu harus merupakan penyebab langsung. Hanya atas
dasar penyimpangan saja, belumlah cuklup untuk mengajukan tutunyutan ganti-kerugian. Kecuali jika
sifat penyimpangan itu sedemikian tidak wajar sehingga sampai mencederai pasien. Namun apabila
pasien tersebut sudah diperiksa oleh dokter secara edekuat, maka hanya atas dasar suatu kekeliruan
dalam menegakkan diagnosis saja, tidaklah cukup kuat untuk meminta pertanggungjawaban
hukumannya. (2)

d. Damage (kerugian)

Damage yang dimaksud adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien. Walaupun
seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai menimbulkan
luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti-kerugian.
Istilah luka (injury) tidak saja dala bentuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti ini gangguan
mental yang hebat (mental anguish). Juga apabila tejadi pelanggaran terhadap hak privasi orang lain. (2)
Pasien/keluarga menaruh kepercayaan kepada dokter, karena: (6)
- Dokter mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk menyembuhkan penyakit atau setidak-
tidaknya meringankan penderitaan.
- Dokter akan bertindak dengan hati-hati dan teliti
- Dokter akan bertindak berdasarkan standar profesinya.
- Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:
- Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi kedokteran
- Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak lege artis)
- Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati
- Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia hanya telah
melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian kerena kelalaian, maka
penggugatan harus dapat membuktikan adanya 4 unsur berikut:
- Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien
- Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan
- Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya
- Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar

Kadang-kadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian yang tergugat. Dalam hukum
terdapat suatu kaedah yang berbunyi Res Ipsa Loquitur, yang berarti faktanya telah berbicara, misalnya
terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien, sehingga menimbulkan komplikasi pasca
bedah. Dalam hal ini maka dokter lah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.

Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana (kriminil), kelalaian
menunjukkan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang sangat
sembarangan atau sikap sangat tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko yang bisa
menyebabkan orang lain terluka atau mati, sehingga harus bertanggung jawab terhadap tuntutan kriminal
oleh Negara.

Menurut W.L. Prosser dalam buku The Law of Torts yang dikutip oleh Dagi, T.F dalam tulisannya yang
berjudul Cause and Culpability di Journal of Medicine and Philosophy Vol. 1, No. 4, 1976, unsur
malapraktik adalah (1) Adanya perjanjian dokter-pasien; (2) Adanya pengingkaran perjanjian; (3) Adanya
hubungan sebab akibat antara tindakan pengingkaran itu dengan musibah yang terjadi; (4) Tindakan
pengingkaran itu merupakan penyebab utama dari musibah dan; (5) Musibah itu dapat dibuktikan
keberadaannya.(mlpraktek: kapan dokter disebut malpraktek)

Adanya perjanjian. Unsur ini yang tersedia untuk digarap oleh pengacara kasus malapraktik. Perjanjian
dokter-pasien, oleh kalangan kedokteran di Indonesia disebut sebagai transaksi terapeutik (TT) atau
ikatan untuk pengobatan. Oleh karena perjanjian yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer) tidak menguntungkan pasien, Ikatan Dokter Indonesia dengan SKB No. 319/88 yang dikuatkan
oleh Menteri Kesehatan dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 595/89 tentang
Persetujuan Tindakan Medik.

Sahnya perjanjian menurut KUHPer pasal 1320:


- Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu pokok persoalan tertentu; dan Suatu sebab yang tidak terlarang.

Namun, kalangan kedokteran menyadari bahwa pasien bukanlah dokter, sehingga setingkatnya
kecakapan itu hampir tidak mungkin. Oleh karena itu adalah suatu keharusan bagi dokter, untuk
memberikan keterangan yang lengkap kepada pasien tentang upaya penyembuhannya. Jelaslah bahwa
dasar tindakan medik adalah adanya perjanjian atau kesepakatan. Selain keadaan darurat, tanpa
persetujuan tindakan medik, melakukan pengobatan atau pun pembedahan adalah kejahatan.
Malapraktik terjadi bila persetujuan itu tidak lengkap seperti tidak memberitahukan apa yang akan
dilakukan, risiko melakukannya dan risiko bila tidak melakukannya. Membuka perut (laparotomi) adalah
suatu pokok persoalan yang umum, melakukan pengangkatan usus buntu (apendektomi) adalah
persoalan tertentu. Risiko melakukan tindakan dibicarakan dengan jujur tanpa menakut-nakuti. Ia
terbatas pada risiko yang lazim terjadi serta berhubungan dengan tindakan ataupun fasilitas.
Memindahkan anus ke perut (kolostomi) adalah risiko yang berhubungan dengan tindakan medis
misalnya kanker usus. Mati, bukan risiko yang akan disampaikan karena dapat terjadi kapan saja, apa
pun tindakan medis yang dilakukan serta berada di luar wewenang dokter. Memberikan harapan yang
berkelebihan juga malapraktik seperti menjanjikan bisa bermain bola dalam waktu 3 bulan, bagi seorang
patah tulang (Nova 684/XIV 8 April 2001).

Walaupun demikian, hal itu membuktikan tidak mudah karena pemberitahuan dapat dilakukan secara
lisan. Bila perawat bersaksi membantu dokter, maka perjanjian selalu akan benar. Adanya pengingkaran
perjanjian. Unsur ini adalah wewenang Komite Medik Rumah Sakit yang salah satu tugasnya adalah
menyusun standar pelayanan dan memantaunya (SK Dirjenyanmed 811/1993).

Pengingkaran perjanjian dapat terjadi di kedua pihak baik dokter atau pun pasien. Dokter melakukannya
bila ia tidak bertindak sesuai dengan kepatutan yaitu standar profesi dan menghormati hak pasien (UU
Kesehatan No. 23/92 Pasal 53). Pasien melakukannya bila ia tidak konsisten berobat. Standar profesi
merupakan topik yang terhangat di media. Ia adalah ukuran tertentu yang dapat dipakai sebagai patokan
upaya kedokteran (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2001). Patokan itu adalah upaya
dokter dalam melakukan pengobatan dan menggunakan teknologi, sesuai dengan kemampuan yang
seharusnya dipunyainya. Ia berbeda untuk setiap komunitas dan domisili dokter, hingga memang tidak
akan mungkin akan ada standar Indonesia.

Standar di RSU tipe C yang hanya mempunyai spesialis umum tidak sama dengan RSU tipe B, dengan
berbagai superspesialis. Di RSU tipe C, patah tulang hanya akan ditarik (bone traction) sedangkan di
RSU tipe B dengan pen. Tumor yang dilihat dengan foto ronsen biasa, di RSU tipe B akan disidik dengan
alat canggih seperti MRI. Diagnosis usus buntu di Banda Aceh tahun 1986 dilakukan hanya dengan
perabaan, sedangkan di saat yang sama di Jakarta dapat dibantu dengan alat canggih seperti USG.
Operasi usus buntu di Kalimantan, dilakukan dengan sayatan pada perut, sedangkan di Jakarta dengan
tusukan alat laparoskopi. Kecanggihan ini juga bernuansa malapraktik bila dilakukan dengan membabi
buta. Maka, yang paling berhak menentukan pengingkaran atas standar profesi adalah Komite Medik di
rumah sakit yang bersangkutan. Mereka mengetahui seperti mengenal tapak jarinya, standar komunitas
dokternya dan teknologi yang tersedia. Adanya sanksi terhadap dokter tersangka, adalah bukti akan
pengingkaran perjanjian. Adanya hubungan sebab akibat antara tindakan pengingkaran itu dengan
musibah yang terjadi. Unsur ini juga wewenang Komite Medik. Ia tidak ada bila terjadi pengingkaran
perjanjian oleh pasien seperti tidak datang pada waktu yang ditetapkan, tidak membeli obat yang
diresepkan (pasien berhak meminta obat generik yang sama kandungannya), menolak dirawat atau
operasi, melanggar aturan yang ditetapkan seperti tidak boleh makan garam, makan tatkala harus puasa
dan sebagainya. Namun, ini bukan berarti tanpa kelalaian pasien, memutuskan adanya malapraktik
menjadi mudah. Komite medik harus memilah berbagai faktor lainnya seperti salah memberikan obat
yang merupakan tanggung jawab rumah sakit (Pikiran Rakyat , 10 November 2002) ataupun malapraktik
rekanan, yang kebanyakan tidak memenuhi syarat (Pikiran Rakyat 14 Juni 2002). Pengingkaran
perjanjian itu merupakan penyebab musibah. Unsur ini adalah wewenang dokter lain yang setingkat
dalam pendidikan dan pengalaman, berada di rumah sakit dan kota yang setingkat. Hal ini adil karena
ialah yang mengetahui komunitas dan teknologi yang tersedia untuk tersangka. Kesaksian ahli bedah
konsultan plastik bagi ahli bedah umum tentu tidak adil, sebagaimana ahli penyakit dalam yang bertugas
di Irian dengan Surabaya.

Menurut Prosser, W.L. yang dikutip oleh Dagi, penyebab itu itu dapat berupa,
- Apakah tindakan medis itu yang paling mungkin menyebabkan musibah (the nearest cause). Contohnya
adalah kasus Ny. A yang meninggal karena perdarahan akibat memasukkan alat pengukur tekanan
pembuluh balik pusat (Central Vena Pressure-CVP) pada urat nadi besar (http :/ /www.
Suarapembaruan .com/ News /2004 /04 /04 /Utama /ut02 .htm) ;
- Apakah tindakan medis itu merupakan penyebab musibah yang terakhir (the last human wrongdoer).
Contohnya adalah kasus Tn. A yang meninggal sesudah dua kali operasi. Operasi pertama yang
meninggalkan kain kasa menyebabkan infeksi hingga dibutuhkan operasi kedua. Operasi pertama adalah
penyebab musibah sedangkan yang kedua upaya penyelamatannya (Sinar, No. 4 tahun 1996).
- Apakah dokter tersangka menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya musibah (condition
necessary for the injury). Contohnya adalah kasus Nn. S. Operasi pertama adalah pengangkatan kista
ovarium (indung telur). Operasi kedua adalah perbaikan usus yang bocor. Operasi pertama menciptakan
kondisi yang memungkinkan terjadinya musibah (Gatra 3, Februari 2001);
- Apakah tindakan itu merupakan faktor penting dalam musibah (substantial factor). Contohnya adalah
kasus Ny. A karena penusukan urat nadi besar merupakan penyebab langsung kematian;
- Tindakan itu hanya penyebab yang terkait (justly attachable). Contohnya adalah nyeri dan sakit karena
alat operasi ginjal tertinggal dalam perut (Pikiran Rakyat 27, Maret 2003); Dan (6) tindakan itu
menimbulkan pengaruh yang akan memicu pengaruh lainnya atau menimbulkan pengaruh baru yang
akhirnya menyebabkan musibah (created a force which has remained active itself or created another
force which remained active until it directly caused the result or created a new active risk of being acted
upon by active force which causes the result). Contohnya adalah kasus Tn. A di mana kasa yang
tertinggal menyebabkan infeksi yang memerlukan operasi ulangan.
Musibah akan ditentukan oleh pengadilan. Ia ada bila berakhir dengan mati atau cacat. Maka, bila kelima
unsur ini ada, dokter yang bersangkutan patut dipersalahkan telah melakukan malapraktik. Ia layak
dituntut bila Anda mempunyai bukti tertulis adanya sanksi Komite Medik atas dokter tersangka, kesaksian
tertulis seorang dokter yang setingkat. Barulah sesudah itu Anda harus mencari seorang pengacara yang
amanah. Ia terlihat dari tidak mengumbar janji, tidak meminta uang muka kecuali ongkos yang harus
dikeluarkan dan cerewet sebelum memutuskan untuk menerima kasus Anda. (malpraktek: kapan dokter
disebut malpraktek
MEDIKOLEGAL

Akhir-akhir ini, karena maraknya kasus dugaan malpraktek medik atau kelalaian medik di Indonesia,
ditambah keberanian pasien yang menjadi korban untuk menuntut hak-haknya, para dokter seakan baru
mulai 'sibuk' berbenah diri. Terutama dalam menghadapi kasus malpraktek. 'Kesibukan' ini terjadi sejalan
dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, dan meningkatnya
(7)

Demikian saktinya media, hingga berbagai pengadilan dirancang untuk mengadili dokter yang melakukan
malapraktik. Selain sudah mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Pengadilan
Negeri, ada yang mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan Profesi Dokter (MKPD) dan peradilan
ad hoc. Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar
norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)
IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk
mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-
satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di
kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI),
lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang
menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran Di dalam praktek kedokteran terdapat
aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu,
seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam
praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena
banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang
mengandung nilai-nilai etika. Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi
standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat
dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur
dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif. Keadaan menjadi
semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis
dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar
profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi
dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum. World Medical Association
dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran
Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban
terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik
Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional. Selain Kode
Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-
prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai
baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral.
Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis
memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics)
dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.(4)

Pada banyak kasus medikolegal kompleks yang sampai ke pengadilan, banyak yang memerlukan
pendapat saksi ahli karena metodologi dan tata laksana standar kedokteran ada di luar pengetahuan juri.
Jika terdapat tuduhan tindakan malpraktik maka orang yang mengajukan tuduhan tersebut disyaratkan
untuk memberikan bukti adanya penyimpangan tersebut. Bukti tersebut harus datang dari ahli yang
memiliki kualifikasi yang sesuai dengan subjek yang dipermasalahkan. Karena itu, umumnya banyak
didapatkan dokter enggan bersaksi melawan teman sejawatnya. Alasan keengganannya tersebut
bervariasi mulai dari stigma tuduhan malpraktik, nama buruk yang didapat setelah bersaksi, ancaman
pengeluaran dari komunitas tempat dia bernaung, ancaman dari perusahaan asuransi dokter tersebut,
ancaman pengadilan profesi, dan adanya konspirasi untuk tutup mulut. Pembelaan yang lebih relevan
dan dapat diterapkan dalam praktik kedokteran sehari-hari termasuk : (1) Asumsi pasien mengenai resiko
berdasarkan surat persetujuan yang telah dibuat, (2) Faktor penyebab kelalaian terletak di tangan pasien,
(3) Kelalaian terletak pada pihak ke tiga. Terdapat pencegahan-pencegahan tertentu yang dapat
dilakukan secara rutin sehingga tuduhan malpraktik dapat dielakkan. Hal ini termasuk :
1. Mempekerjakan dan melatih asisten dengan arahan langsung sampai asisten tersebut dapat
memenuhi standar kualifikasi yang ada.
2. Mengambil langkah hati-hati untuk menghilangkan faktor resiko di tempat praktik.
3. Memeriksa secara periodik peralatan yang tersedia di tempat praktik.
4. Menghindari dalam meletakkan literatur medis di tempat yang mudah diakses oleh pasien.
Kesalahpahaman dapat mudah terjadi jika pasien membaca dan menyalahartikan literatur yang ada.
5. Menghindari menyebut diagnosis lewat telepon.
6. Jangan meresepkan obat tanpa memeriksa pasien terlebih dahulu.
7. Jangan memberikan resep obat lewat telepon.
8. Jangan menjamin keberhasilan pengobatan atau prosedur operasi yang ada.
9. Rahasiakanlah sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia. Jangan membocorkan informasi yang ada
kepada siapapun. Rahasia ini hanya diketahui oleh dokter dan pasien.
10. Simpanlah rekam medis secara lengkap, jangan menghapus atau mengubah isi yang ada.
11. Jangan menggunakan singkatan-singakatan atau simbol-simbol tertentu di rekam medis.
12. Gunakan formulir persetujuan yang sah dan sesuai Docu-books adalah alat bantu yang penting
dalam menyimpan surat persetujuan yang telah dibuat.
13. Jangan mengabaikan pasienmu.
14. Cobalah untuk menghindari debat dengan pasien tentang tarif dokter yang terlampau mahal. Buatlah
diskusi dan pengertian dengan pasien mengenai tarif dokter yang wajar.
15. Pada tiap kali pertemuan, gunakanlah bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien. Jangan pernah
menduga jika pasien mengerti apa yang kita ucapkan.
16. Jalinlah empati untuk setiap masalah yang dialami pasien, dengan ini tata laksana akan menjadi
komprehensif.
17. Jangan pernah berbohong, memaksa, mengancam, atau melakukan penipuan kepada pasien.
Jangan mengakali pasienmu. Jangan mengarang-ngarang cerita mengenai penyakit pasien.
18. Jangan pernah melakukan pemasangan alat bantu, pengobatan atau tata laksana jika pasien masih
berada dalam pengaruh alkohol atau pengaruh pengobatan yang mengandung narkotika.
19. Jangan pernah menawarkan untuk membiayai pengobatan pasien dengan dana sendiri. Jika
pengobatan yang diberikan melebihi polis asuransi yang pasien miliki, maka jangan limpahkan kepada
polis asuransi yang kita miliki.
20. Jangan menjelek-jelekkan pasien atau teman sejawatmu.
21. Jangan pernah ikut serta dalam gerakan tutup mulut.

Pembelaan Dapat Dilakukan Seorang Dokter Jika Diisukan Melakukan Penelantaran. Meskipun seorang
pasien mengajukan kasus prima facie bahwa dokter telah melakukan penelantaran, bahkan mengajukan
bukti bahwa dokter tersebut tidak memberikan kenyamanan pelayanan kesehatan sesuai standar media
yang diharapkan oleh pasien pada waktu tertentu atau berdasarkan kepercayaan pada doktrin res ipsa
loquitur (Bukti bukti berbicara untuk dirinya sendiri), hukum membolehkan seorang dokter untuk
membela dirinya, selain penyangkalan tindakan penelantaran. Pembelaan yang dapat dilakukan, antara
lain :
1. Perkiraan resiko tindakan pada pasien
2. Keikutsertaan terjadinya penelantaran oleh pasien sendiri
3. Bahwa penelantaran tersebut bukan untuk melindungi dokter tersebut melainkan orang lain, misal
perawat

The Assumption of Risk, Violenti non fit Injuria. Biasanya, kenyataan bahwa pasien mengetahui resiko
dari tindakan medis dan mau mendapat terapi tersebut tidak melepas kewajiban dokter tersebut dalam
menangani pasien dengan baik. Bagaimanapun juga jika pasien bersikeras mendapat penanganan yang
dapat membahayakannya, melawan saran dari dokter, maka dokter tersebut lepas dari tanggung
jawabnya. Posisi ini dapat menjadi sangat rumit jika pasien yang ditangani berada dalam kondisi mental
yang kurang siaga dalam menerima tanggung jawab menjalankan instruksi, dalam hal ini yang dimaksud
adalah mengerti dan memahami penjelasan sang dokter.(2)

Sikap dokter terhadap hukum. Dokter yang terlibat pada kasus hukum dan telah membaca laporan kasus
hukum sering kesal pada tatalaksana yang diterima oleh mereka sendiri atau koleganya di tangan
pengacara. Namun, terlihat jelas dari laporan kasus singkat pada bab ini, bahwa pasien telah sering
mengalami banyak kehilangan dan satu-satunya kesempatan kompensasi untuk dirinya sendiri dan
tergugat bergantung pada tindakan hukum. Juga jelas dari laporan kasus bahwa pengadilan menjunjung
tinggi reputasi dokter saat hal tersebut mungkin, dan tidak boleh bersimpati terhadap disabilitas pasien
yang berpengaruh pada keputusan hukum. Sikap tidak memihak ini lebih dijelaskan pada kasus Roe and
Woolley v. Minister of Health dimana terdapat cedera berat pada penggugat, namun pengadilan
mengatakan bahwa kami seharusnya tidak menghukum kelalaian yang hanya merupakan kecelakaan.
Kami seharusnya selalu berada pada kehati-hatian terhadapnya, terutama pada kasus melawan rumah
sakit dan dokter.Untuk perlindungan diri, seorang dokter harus selalu memperhatikan kasus-kasusnya
dengan seksama, bersiap memberikan alasan untuk segala keputusan yang dibuatnya dan menjaga
pasien agar tetap diinformasikan dengan baik dan berada dalam kepercayaannya. Jika pada saat tidak
beruntung ia menjadi tergugat secara hukum, maka ia telah memiliki dasar yang baik untuk pembelaan.
Selama mendengarkan kasus, ia harus berpengetahuan penuh mengenai semua kenyataan yang terjadi
pada kasus, walaupun terkadang terlewat saat sesi pertanyaan, dan harus bersiap untuk menjawab
pertanyaan berdasarkan pemahamannya atas tatalaksana dan pendapatnya. Ia harus mengingat bahwa
kapanpun tindakannya dipertanyakan, ia harus selalu terlihat mempunyai alasan yang tepat. Ia tidak
pernah harus menunjukkan bahwa tindakannya sempurna.(2)
Apabila seorang dokter telah terbukti dan dinyatakan telah melakukan tindakan malpraktek maka dia
akan dikenai sanksi hukum sesuai dengan UU No. 23 1992 tentang kesehatan. Dan UU Praktek
kedokteran dalam BAB X Ketentuan Pidana Pasal 75 ayat (1) yang berbunyi Setiap dokter atau dokter
gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sehubungan dengan hasil
keputusan Mahkama Konstitusi pasal tersebut telah mengalami revisi, dimana salah satu keputusan dari
Mahkama Konstitusi adalah ketentuan ancaman pidana penjara kurungan badan yang tercantum dalam
pasal 75, 76, 79, huruf a dan c dihapuskan. Namun mengenai sanksi pidana denda tetap diberlakukan.

Ayat (2) berbunyi Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Surat tanda registrasi sementara dapat diberikan kepada dokter
dan dokter gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan,
penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di
Indonesia

Ayat (3) berbunyi Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja. Surat tanda
registrasi yang dimaksud adalah melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Selain pasal 75, masih ada beberapa pasal yang akan menjerat dokter apabila melakukan kesalahan
yaitu diantaranya Pasal 76, 77, 78, dan 79.

Anda mungkin juga menyukai