Anda di halaman 1dari 22

Blok Medikolegal

MATA DIOBATI MENJADI BUTA

Skenario 1

Kelompok : B-14

Ketua Sekertaris

: Safira Anis Silvia : Miza Vito Primatyo

(1102010261) (1102011304) (1102010177) (1102010203) (1102010223) (1102010253)


1

1. Muhammad Ario Akbar 2. Nanda Permata Fajarani 3. Pujianwara 4. Rizki Faujiah Munandar

5. Ronny Saputra 6. Wuri Prewita Dewi 7. Yohana Dwi Sophianty

(1102010257) (1102010294) (1102010298)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI JAKARTA 2013/2014

SKENARIO 1: Mata Diobati Menjadi Buta Tidak terima matanya menjadi buta, Haslinda bersama tim kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan mendatangi ke Polda Metro Jaya untuk melaporkan dugaan malpraktek dokter, Waldensius Girsang di Rumah Sakit Jakarta Eyes Center. Haslinda menuturkan, pada 6 maret lalu, Kemerahan pada mata, kabur penglihatan, kepekaan terhadap cahaya (ketakutan dipotret), gelap, mata sakit sudah disampaikan ke dokter Fikri Umar Purba yang kemudian didiagnosis sebagai penyakit uveitis tuberkulosa. Namun beberapa hari kemudian setelah ditangani oleh Dokter Purba, mata Haslinda tidak kembali berfungsi normal atau menjadi buta. Sementara itu, Dokter Purba yang ditemui di Rumah Sakit Jakarta Eyes Center membantah telah melakukan malpraktek terhadap Haslinda. Dalam pengaduannya ke ruang pengaduan Polda Metro Jaya, Haslinda warga Kayu Mas, Pulo Gadung, Jakarta Timur ini tidak menyebutkan tuntutan materil dan inmateril kepada dokter Purba dan Rumah Sakit Jakarta Eyes Center sebagai pihak yang diduga melakukan malpraktek.
2

Pengacara pasien juga menuliskan dasar gugatannya berdasarkan: 1. Pasal 27 ayat (1) UUD 194 2. !itab Undang"Undang #ukum Pidana $. !itab Undang"Undang #ukum Perdata 4. UU %&. $' ta(un 2))9 tentang !ese(atan . UU %&. 29 ta(un 2))4 tentang Praktik !ed&kteran '. UU %&. 44 ta(un 2))9 tentang *uma( +akit 7. !&de ,tik !ed&kteran -. UU %&. - ta(un 1999 tentang Perlindungan !&nsumen

Sasaran Belajar 1. Memahami dan Menjelsakan Malpraktek 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6. Definisi Kriteria Bentuk-bentuk malpraktek Alur Hukum Sanksi Pencegahan malpraktek

2. Memahami dan Menjelaskan Informed Consent 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. Definisi Tujuan Manfaat Bentuk

3. Pandangan malpraktek menurut Islam

1. Memahami dan Menjelaskan Malpraktek

1.1 Definisi

Malpraktek adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Jika akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenagakesehatan dengan pasien adalah

perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis).

Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.

1.2 Kriteria

Sebetulnya wanprestasi atau ingkar janji dalam hubungan kontraktual antara dokter dan pasien dapat dilakukan oleh masing-masing pihak. Pasien dapat menggugat dokter jika ternyata dokter tidak dapat melaksanakan kewajibannya dan sebaliknya dokter dapat menggugat pasien jika ternyata pasien tidak melaksanakan kewajibannya. Gugatan harus berdasarkan atas kerugian yang terjadi, baik materiil maupun immateriil sebagai akibat tidak dilaksanakannya sesuatu kewajiban oleh pihak lain.

Khusus gugatan kepada dokter yang melakukan wanprestasi atau lebih dikenal dengan malpraktik, maka gugatan itu dibenarkan jika memenuhi syarat 4 D: Penyatuan istilah Malpraktik dengan Kelalaian Medik. Kelalaian Medik terdapat 4 kriteria 4D yang secara kumulatif semuanya harus terbukti untuk menjatuhkan sanksi dokter harus membayar ganti rugi kepada pasien/keluarganya dalam forum pengadilan. Ke 4 D tersebut adalah sebagai berikut :

Duty of care by the doctor to the injured patient (kewajiban) = D1, dokter yang digugat memang mempunyai kewajiban (duty) sebagai akibat adanya hubungan kontraktual. Dereliction of duty (pelanggaran kewajiban) = D2, adanya wanprestasi atau melalaikan kewajiban (dereliction of duty). Damage (kompensasi kerugian) yang foreseeable (laik bayang sebelumnya) = D3, terjadi kerugian (damage atau compensable injury). Direct cause (sebab langsung) yakni pelanggaran kewajiban mengakibatkan kerugian (D2 ------- D3) = D4, adanya hubungan langsung antara kerugian itu dengan kelalaian melaksanakan kewajiban (direct causation).

1.3 Bentuk-bentuk malpraktek


.erpijak pada (akekat malpraktek adalan praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan standar pr&/esi yang tela( ditetepkan0 maka ada bermacam"macam malpraktek yang dapat dipia( dengan mendasarkan pada ketentuan (ukum yang dilanggar0 1alaupun kadang kala sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebi( jenis malpraktek. +ecara garis besar malprakltek dibagi dalam dua g&l&ngan besar yaitu mal praktik medik ( medical malpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal malpractice) dan malpraktek yuridik (yuridical malpractice). +edangkan malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik perdata (civil malpractice)0 malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administrasi %egara (administrative malpractice). 1. Malpraktik Medik (medical malpractice)
6

2&(n.D..lum merumuskan: Medical malpractice is a form of professional negligence in whice miserable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or omission by defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian pr&/essi&nal yang menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien 3 penggugat sebagai akibat langsung dari perbuatan ataupun pembiaran &le( d&kter3terguguat). +edangkan rumusan yang berlaku di dunia ked&kteran adala( Professional misconduct or lack of ordinary skill in the performance of professional act, a practitioner is liable for demage or injuries caused by malpractice . (4alpraktek adala( perbuatan yang tidak benar dari suatu pr&/esi atau kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan pekerjaan. +e&rang d&kter bertanggung ja1ab atas terjadinya kerugian atau luka yang disebabkan karena malpraktik)0 sedangkan junus (ana/ia( merumuskan malpraktik medik adala( kelalaian se&rang d&kter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengeta(uan yang la5im dipergunakan dalam meng&bati pasien atau &rang yang terluka menurut lingkungan yang sama. 2. Malpraktik Etik (ethical malpractice) 4alpraktik etik adala( tindakan d&kter yang bertentangan dengan etika ked&kteran0 sebagaimana yang diatur dalam k&de etik ked&kteran 6nd&nesia yang merupakan seperangkat standar etika0 prinsip0 aturan0 n&rma yang berlaku untuk d&kter. 3. Malpraktik Yuridis (juridical malpractice) 4alpraktik yuridik adala( pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan pr&/esi ked&kteran yang melanggar ketentuan (ukum p&siti/ yang berlaku. Malpraktik Yuridik meliputi: a. malpraktik perdata (civil malpractice0 4alpraktik perdata terjadi jika d&kter tidak melakukan ke1ajiban (ingkar janji) yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang tela( disepakati. 7indakan d&kter yang dapat dikatag&rikan sebagai melpraktik perdata antara lain : a. 7idak melakukan apa yang menurut kesepakatan 1ajib dilakukan b. 4elakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna
7

c. 4elakukan apa yang disepakati tetapi terlambat d. 4elakukan apa yang menurut kesepakatan tidak se(arusnya dilakukan b. 4alpraktik Pidana (criminal malpractice) 4alpraktik pidana terjadi0 jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan memenu(i rumusan undang"undang (ukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa perbuatan p&siti/ (melakukan sesuatu) maupun negati8e (tidak melakukan sesuatu) yang merupakan perbuatan tercela (actus reus)0 dilakukan dengan sikap batin yang sla( (mens rea) berupa kesengajaan atau kelalauian. 9&nt&( malpraktik pidana dengan sengaja adala( : a. 4elakukan ab&rsi tanpa tindakan medik b. 4engungkapkan ra(asia kedi:&kteran dengan sengaja c. 7idak memberikan pert&l&ngan kepada sese&rang yang dalam keadaan darurat d. 4embuat surat keterangan d&kter yang isinya tidak benar e. 4embuat 8isum et repertum tidak benar /. 4emberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalan kapasitasnya sebagai a(li 9&nt&( malpraktik pidana karena kelalaian: a. !urang (ati"(ati se(ingga menyebabkan gunting tertinggal diperut b. !urang (ati"(ati se(ingga menyebabkan pasien luka berat atau meninggal c. 4alpraktik ;dministrasi %egara (administrative malpractice) 4alpraktik administrasi terjadi jika d&kter menjalankan pr&/esinya tidak

menginda(kan ketentuan"ketentuan (ukum administrasi %egara. 4isalnya: a. 4enjalankan praktik ked&kteran tanpa ijin b. 4enjalankan praktik ked&kteran tidak sesuai dengan ke1enangannya c. 4elakukan praktik ked&kteran dengan ijin yang suda( kadal1arsa. d. 7idak membuat rekam medik.

1.4 Alur Hukum

Cara penelusuran dan pembuktian malpraktek


8

Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni : Cara langsung Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni : Duty (kewajiban) : Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak berdasarkan : o Adanya indikasi medis o Bertindak secara hati-hati dan teliti o Bekerja sesuai standar profesi o Sudah ada informed consent. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) : Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan. Direct Causation (penyebab langsung) : Penyebab langsung yang dimaksudkan dimana suatu tindakan langsung yang terjadi, yang mengakibatkan kecacatan pada pasien akibat kealpaan seorang dokter pada diagnosis dan perawatan terhadap pasien. Secara hukum harus dapat dibuktikan secara medis yang menjadi bukti penyebab langsung terjadinya malpraktik dalam kasus manapun. Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktek medik, maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap-tindak tergugat (dokter) dengan kerugian (damage) yang menjadi diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Tindakan dokter itu harus merupakan penyebab langsung. Hanya atas dasar penyimpangan saja, belumlah cuklup untuk mengajukan tutunyutan ganti-kerugian. Kecuali jika sifat penyimpangan itu sedemikian tidak wajar sehingga sampai mencederai pasien. Namun apabila pasien tersebut sudah diperiksa oleh dokter secara edekuat, maka hanya atas dasar suatu kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja, tidaklah cukup kuat untuk meminta pertanggungjawaban hukumannya.
Damage (kerugian) : adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien.

Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti-kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dala bentuk
9

fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti ini gangguan mental yang hebat (mental anguish). Juga apabila tejadi pelanggaran terhadap hak privasi orang lain.

Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien). Cara tidak langsung Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria: a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence. d. Gugatan pasien

10

Penanganan Malpraktek Pada dasarnya penanganan kasus malpraktik dilakukan dengan mendasarkan kepada konsep malpraktik medis dan adverse events yang diuraikan di atas. Dalam makalah ini tidak akan diuraikan pelaksanaan pada kasus per-kasus, namun lebih ke arah hasil pembelajaran (lesson learned) dari pengalaman penanganan berbagai kasus dugaan malpraktik, baik dari sisi profesi maupun dari sisi hukum. Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan). Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang "layak" dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam menentukan putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan
11

membandingkan perbuatan yang dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar, ataupun suatu kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim akan

mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal 1370-1371 KUH Perdata). Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa (mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus dipatuhi kedua pihak. Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan, bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu. Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti permulaan atau alasanalasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan para saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu sisi dan bylaws, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli. Visum et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya. Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang cukup maka akan dipikirkan untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan. Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal, juga harus diselesaikan dari sisi profesi dengan tujuan untuk dijadikan pelajaran guna mencegah terjadinya pengulangan di masa mendatang, baik oleh pelaku yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam proses tersebut dapat dilakukan pemberian sanksi (profesi atau administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi - tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya "kasus" tersebut. Penyelesaian secara profesi umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi kematian, presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan dalam incident report system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi (misalnya dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi, MDTK, dll). Bila
12

putusan MKEK menyatakan pihak medis telah melaksanakan profesi sesuai dengan standar dan tidak melakukan pelanggaran etik, maka putusan tersebut dapat digunakan oleh pihak medis sebagai bahan pembelaan.

1.5 Sanksi

1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan 2. Pasal 359 360 KUHP Pidana Pasal 359 KUHP Barang siapa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun Pasal 360 KUHP (1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka bert, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun (2) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjadikan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertemtu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah. 3. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

1.6 Pencegahan

a. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:

13

Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis). Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

b. Upaya menghadapi tuntutan hukum

Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.

Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan dapat melakukan : a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan. b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.

Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
14

Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.

Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.

2. Memahami dan Menjelaskan Informed Consent

1.1 Definisi

Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Tindakan medis yangdilakukan tanpa

persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.

Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan 1. 2. 3. Sifat Manfaat Diagnosa dan dan luasnya yang tindakan telah yang akan tindakan adalah: ditegakkan. dilakukan. tersebut.
15

urgensinya

dilakukan

4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut. 5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan 6. Kadangkala biaya yang yang menyangkut tindakan kedokteran lain. tersebut.

BENTUK INFORMED CONSENT 1. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa) Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum, sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka. 2. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat) Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan segera untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak bisa membuat persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti jantung. 3. Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus) Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal, pencabutan kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan invasive.

1.2 Tujuan

Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.
16

Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang kuat. Menurut American College of Physicians Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.

1.3 Manfaat

Informed Consent bermanfaat untuk : 1) Melindungi pasien terhadap segala tindakan medik yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien. Misalnya tindakan medik yang tidak perlu atau tanpa indikasi, penggunaan alat canggih dengan biaya tinggi dsbnya. 2) Memberikan perlindungan hukum bagi dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif. Misalnya terhadap resiko pengobatan yang tidak dapat dihindari walaupun dokter telah bertindak seteliti mungkin.

Dengan adanya informed consent maka hak autonomy perorangan di kembangkan, pasien dan subjek dilindungi, mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, merangsang profesi medis untuk mengadakan introspeksi, mengajukan keputusan-keputusan yang rasional dan melibatkan masyarakat dalam memajukan prinsip autonomy sebagai suatu nilai sosial serta mengadakan pengawasan dalam penelitian biomedik.

1.4 Bentuk
a. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa) Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum, sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka. b. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)
17

Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan segera untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak bisa membuat persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti jantung. c. Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus) Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal, pencabutan kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan invasive.

1. PERSETUJUAN Bentuk persetujuan atau penolakan Rumah sakit memiliki tugas untuk menjamin bahwa informed consent sudah didapat. Istilah untuk kelalaian rumah sakit tersebut yaitu fraudulent concealment. Pasien yang akan menjalani operasi mendapat penjelasan dari seorang dokter bedah namun dioperasi oleh dokter lain dapat saja menuntut malpraktik dokter yang tidak mengoperasi karena kurangnya informed consent dan dapat menuntut dokter yang mengoperasi untuk kelanjutannya. Bentuk persetujuan tidaklah penting namun dapat membantu dalam persidangan bahwa persetujuan diperoleh. Persetujuan tersebut harus berdasarkan semua elemen dari informed consent yang benar yaitu pengetahuan, sukarela dan kompetensi. Beberapa rumah sakit dan dokter telah mengembangkan bentuk persetujuan yang merangkum semua informasi dan juga rekaman permanen, biasanya dalam rekam medis pasien. Format tersebut bervariasi sesuai dengan terapi dan tindakan yang akan diberikan. Saksi tidak dibutuhkan, namun saksi merupakan bukti bahwa telah dilakukan informed consent. Informed consent sebaiknya dibuat dengan dokumentasi naratif yang akurat oleh dokter yang bersangkutan. Otoritas untuk memberikan persetujuan Seorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui terapi yang direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik atau kejiwaan dan tidak mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed consent yang sah.
18

Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika pengadilan telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas terhadap pasien. Persetujuan pengganti ini menimbulkan beberapa masalah. Otoritas seseorang terhadap persetujuan pengobatan bagi pasien inkompeten termasuk hak untuk menolak perawatan tersebut. Pengadilan telah membatasi hak penolakan ini untuk kasus dengan alasan yang tidak rasional. Pada kasus tersebut, pihak dokter atau rumah sakit dapat memperlakukan kasus sebagai keadaan gawat darurat dan memohon pada pengadilan untuk melakukan perawatan yang diperlukan. Jika tidak cukup waktu untuk memohon pada pengadilan, dokter dapat berkonsultasi dengan satu atau beberapa sejawatnya. Jika keluarga dekat pasien tidak setuju dengan perawatan yang direncanakan atau jika pasien, meskipun inkompeten, mengambil posisi berlawanan dengan keinginan keluarga, maka dokter perlu berhati-hati. Terdapat beberapa indikasi dimana pengadilan akan mempertimbangkan keinginan pasien, meskipun pasien tidak mampu untuk memberikan persetujuan yang sah. Pada kebanyakan kasus, terapi sebaiknya segera dilakukan (1) jika keluarga dekat setuju, (2) jika memang secara medis perlu penatalaksanaan segera, (3) jika tidak ada dilarang undang-undang. Cara terbaik untuk menghindari risiko hukum dari persetujuan pengganti bagi pasien dewasa inkompeten adalah dengan membawa masalah ini ke pengadilan. Kemampuan memberi perijinan Perijinan harus diberikan oleh pasien yang secara fisik dan psikis mampu memahami informasi yang diberikan oleh dokter selama komunikasi dan mampu membuat keputusan terkait dengan terapi yang akan diberikan. Pasien yang menolak diagnosis atau tatalaksana tidak menggambarkan kemampuan psikis yang kurang. Paksaan tidak boleh digunakan dalam usaha persuasif. Pasien seperti itu membutuhkan wali biasanya dari keluarga terdekat atau yang ditunjuk pengadilan untuk memberikan persetujuan pengganti. Jika tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi kuasa untuk bertindak atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari pengacara. Jika tidak ada wali bagi pasien inkompeten yang sebelumnya telah ditunjuk oleh pengadilan, keputusan dokter untuk
19

memperoleh informed consent diagnosis dan tatalaksana kasus bukan kegawatdaruratan dari keluarga atau dari pihak yang ditunjuk pengadilan tergantung kebijakan rumah sakit. Pada keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat diantara anggota keluarga terhadap perawatan pasien atau keluarga yang tidak dekat secara emosional atau bertempat tinggal jauh, maka dianjurkan menggunakan laporan legal dan formal untuk menentukan siapa yang dapat memberikan perijinan bagi pasien inkompeten. Pihak Yang Berhak Menyatakan Persetujuan: 1. Pasien sendiri (bila telah berumur 21 tahun atau telah menikah) 2. Bagi pasien di bawah umur 21 tahun diberikan oleh mereka menurut hak sebagai berikut: (1) Ayah/ibu kandung, (2) Saudara-saudara kandung. 3. Bagi yang di bawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya berhalangan hadir diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut: (l) Ayah/ibu adopsi, (2) Saudara-saudara kandung, (3) Induk semang. 4. Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut: (1) Ayah/ibu kandung, (2) Wali yang sah, (3) Saudara-saudara kandung. 5. Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatelle), diberikan menurut urutan hak sebagai berikut: (1) Wali, (2) Curator. 6. Bagi pasien dewasa yang telah menikah/orang tua, diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut: a. Suami/istri, b. Ayah/ibu kandung, c. Anak-anak kandung, d. Saudara-saudara kandung. Wali: yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum dewasa untuk mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum atau yang menurut hukum menggantikan kedudukan orang tua. Induk semang : orang yang berkewajiban untuk mengawasi serta ikut bertanggung jawab terhadap pribadi orang lain seperti pimpinan asrama dari anak perantauan atau kepala rumah tangga dari seorang pembantu rumah tangga yang belum dewasa.

20

3. Pandangan Malpraktek menurut Islam


2ika tudu(an malpraktek tela( dibuktikan0 ada beberapa bentuk tanggung ja1ab yang dipikul pelakunya. 1. Qishash <is(as( ditegakkan jika terbukti ba(1a d&kter melakukan tindak malpraktek sengaja untuk menimbulkan ba(aya (i=tida=)0 dengan membunu( pasien atau merusak angg&ta tubu(nya0 dan meman/aatkan pr&/esinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya. !etika memberi c&nt&( tindak kriminal yang mengakibatkan >is(as(0 !(alil bin 6s(a> al"4aliki mengatakan: ?4isalnya d&kter yang menamba( (luas area beda() dengan sengaja. @9A? .entuk"bentuk tanggung"ja1ab tersebut adala( sebagai berikut:

2. Dhamn (Tanggung Jawab Materiil Berupa Ganti ugi !tau Di"at# .entuk tanggung"ja1ab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut: a. Pelaku malpraktek tidak memiliki kea(lian0 tapi pasien tidak mengeta(uinya0 dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan ba(aya. b. Pelaku memiliki kea(lian0 tapi menyala(i prinsip"prinsip ilmia(. c. Pelaku memiliki kea(lian0 mengikuti prinsip"prinsip ilmia(0 tapi terjadi kesala(an tidak disengaja. d. Pelaku memiliki kea(lian0 mengikuti prinsip"prinsip ilmia(0 tapi tidak mendapat ijin dari pasien0 1ali pasien atau pemerinta(0 kecuali dalam keadaan darurat.

$. Ta%&'r berupa hu(uman penjara) cambu() atau "ang lain.

7a=5Br berlaku untuk dua bentuk malpraktek: a. Pelaku malpraktek tidak memiliki kea(lian0 tapi pasien tidak mengeta(uinya0 dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan ba(aya. b. Pelaku memiliki kea(lian0 tapi menyala(i prinsip"prinsip ilmia( @1)A.
21

DAFTAR PUSTAKA

Agus M. Algozi. Rekam Medis Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal . FK UNAIR-RS. DR. Soetomo. Surabaya.

AbouZahr1, Carla & Boerma1,Ties . Health information systems: the foundations of public health in Bulletin of the World Health Organization August 2005, 83 (8)

Chadha,P.Vijay.1995.Ilmu Forensik dan Toksikologi.Jakarta:Widya Medika Indonesia.

Departemen

Kesehatan

RI.,

Pedoman

Sistem

Pencatatan

Rumah

Sakit

(Rekam

medis/Medical Record , 1994

Hanafiah MJ, Amir Amri. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3. Jakarta: EGC . 1998

National Cancer Institute. A Guide to Understanding Informed Consent. Available at:wwww.cancer.gov/ClinicalTrials

World Health Organization, Medical Records Manual , A Guide for Developing Countries, 2006

Diakses dari http://www.ilunifk83.com/t143-informed-consent

22

Anda mungkin juga menyukai