Anda di halaman 1dari 26

Sasaran Belajar

TU 1 TIK 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2.0 : Memahami dan menjelaskan perdarahan post partum : Definisi perdarahan post partum : Etiologi perdarahan post partum : Klasifikasi perdarahan post partum : Faktor Resiko perdarahan post partum : Patofisiologi perdarahan post partum : Manifestasi Klinis perdarahan post partum : Diagnosis perdarahan post partum : Penatalaksanaan perdarahan post partum : Komplikasi perdarahan post partum : Pencegahan perdarahan post partum

TU 2 TIK 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6

: Memahami dan menjelaskan Hipotermi pada neonatus : Definisi Hipotermi pada neonatus : Etiologi Hipotermi pada neonatus : Klasifikasi Hipotermi pada neonatus : Faktor Resiko Hipotermi pada neonatus : Tata laksana Hipotermi pada neonatus : Pencegahan Hipotermi pada neonatus

TU 3 TIK 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5

: Memahami dan menjelaskan hiperbilirubin pada neonatus : Definisi hiperbilirubin pada neonatus : Etiologi hiperbilirubin pada neonatus : Faktor Resiko hiperbilirubin pada neonatus : Klasifikasi hiperbilirubin pada neonatus : Tata laksana hiperbilirubin pada neonatus

1. Menjelaskan dan Memahami Perdarahan Post Partum Definisi


Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan atau hilangnya darah 500 cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah lahirnya plasenta. Definisi lain menyebutkan Perdarahan Pasca Persalinan adalah perdarahan 500 cc atau lebih yang terjadi setelah plasenta lahir.

Etiologi
1. Tone Dimished : Atonia uteri Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim. Perdarahan postpartum secara fisiologis di control oleh kontraksi serat-serat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta.Atonia uteri terjadi ketika myometrium tidak dapat berkontraksi.Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpusi.Atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya bukan terlepas dari uterus.Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum. Disamping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan yang banyak bisa menyebabkan Sindroma Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufiensi bagian tersebut dengan gejala : astenia, hipotensi, dengan anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi laktasi. Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi : Manipulasi uterus yang berlebihan, General anestesi (pada persalinan dengan operasi ), Uterus yang teregang berlebihan : o Kehamilan kembar o Fetal macrosomia ( berat janin antara 4500 5000 gram ) o polyhydramnion Kehamilan lewat waktu, Partus lama Grande multipara ( fibrosis otot-otot uterus ), Anestesi yang dalam Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia ), Plasenta previa, Solutio plasenta,

2. Tissue a. Retensio plasenta b. Sisa plasenta c. Plasenta acreta dan variasinya. Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itudinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena : plasentabelum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi belumdilahirkan. Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perarahan, tapi apabilaterlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasiuntuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena : Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasentaadhesiva ) Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis komalismenembus desidva sampai miometrium sampai dibawah peritoneum( plasenta akreta perkreta ) Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluardisebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salahpenanganan kala III. Sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagianbawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta ( inkarserasio plasenta). Sisa plasenta yang tertinggal merupakan penyebab 20-25 % dari kasusperdarahan postpartum. Penemuan Ultrasonografi adanya masa uterus yang echogenic mendukungdiagnosa retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan jika perdarahanbeberapa jam setelah persalinan ataupun pada late postpartum hemorraghe.Apabila didapatkan cavum uteri kosong tidak perlu dilakukan dilatasi dancurettage. 3. Trauma Sekitar 20% kasus hemorraghe postpartum disebabkan oleh trauma jalanlahir a. Ruptur uterus b. Inversi uterus c. Perlukaan jalan lahir d. Vaginal hematom Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa menyebabkanantara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterussebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin. Repture uterus seringterjadi akibat jaringan parut section secarea sebelumnya.Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan biasanyaterjadi karena persalinan secara operasi ataupun persalinan pervaginamdengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan vacuum atau forcep, walaubegitu laserasi bisa terjadi pada sembarang persalinan. Laserasi pembuluh darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan hematom,perdarahan akan tersamarkan dan dapat menjadi berbahaya karena tidakakan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa menyebabkan terjadinya syok. Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenaiartery atau vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada penundaan antaraepisitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan antara persalinan danperbaikan episitomi.

Perdarahan yang terus terjadi ( terutama merah menyala ) dan kontraksi uterus baik akan mengarah pada perdarahan dari laserasi ataupun episitomi. Ketika laserasi cervix atau vagina diketahui sebagai penyebab perdarahanmaka repair adalah solusi terbaik. Pada inversion uteri bagian atas uterus memasuki kovum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri.Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasentakeluar. Inversio uteri dapat dibagi : Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dariruang tersebut. Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina. Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak diluar vagina. Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri ialah perasat crede padakorpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat denganplasenta yang belum lepas dari dinding uterus. Pada penderita dengan syok perdarahan dan fundus uteri tidak ditemukanpada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai. Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas servix uteriatau dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan keadaan gawatdengan angka kematian tinggi ( 15 70 % ). Reposisi secepat mungkinmemberi harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita. 4. Thrombin : Kelainan pembekuan darah Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa : Hipofibrinogenemia, Trombocitopeni, Idiopathic thrombocytopenic purpura, HELLP syndrome ( hemolysis, elevated liver enzymes, and lowplatelet count ), Disseminated Intravaskuler Coagulation, Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8unit karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponenfibrin dan trombosit sudah rusak. Klasifikasi Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian : a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir. b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir.

Epidemiologi
1. Insiden Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam yaitu 5-8 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk menggantikan darah yang hilang setelah persalinan. 2. Peningkatan angka kematian di Negara berkembang Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian maternal hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya layanan transfusi, kurangnya layanan operasi.

Faktor Resiko
Riwayat hemorraghe postpartum pada persalinan sebelumnyamerupakan faktor resiko paling besar untuk terjadinya hemorraghe postpartumsehingga segala upaya harus dilakukan untuk

menentukan keparahan danpenyebabnya. Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui karena dapatmenyebabkan terjadinya hemorraghe postpartum : 1. Grande multipara 2. Perpanjangan persalinan 3. Chorioamnionitis 4. Kehamilan multiple 5. Injeksi Magnesium sulfat 6. Perpanjangan pemberian oxytocin

Diagnosis
Hemorraghe postpartum digunakan untuk persalinan dengan umurkehamilan lebih dari 20 minggu, karena apabila umur kehamilan kurang dari 20minggu disebut sebagai aborsi spontan. Beberapa gejala yang bisa menunjukkan hemorraghe postpartum : 1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol 2. Penurunan tekanan darah 3. Peningkatan detak jantung 4. Penurunan hitung sel darah merah ( hematocrit ) 5. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitarperineum Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui danditatalaksana sesuai penyebabnya. Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat danmenakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaansyok. Atau dapat berupa perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi terjaditerus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas ataupun jatuh kedalam syok. Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunantekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadisyok. Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensioplasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahanakan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelahplasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atautrauma jalan lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan lembekdan membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukaneksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan lahir. Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan postpartum 1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri 2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak 3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari : Sisa plasenta dan ketuban

Robekan rahim Plasenta succenturiata 4. Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises yangpecah. 5. Pemeriksaan laboratorium : bleeding time, Hb, Clot Observation test danlain-lain.

Penatalaksanaan
Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum3. Resusitasi cairan Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang peling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi3. Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan

sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat3. Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah3. Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap direkomendasikan3. Transfusi Darah Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat3. PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. Para klinisi harus memperhatikan darah transfusi, berkaitan dengan waktu, tipe dan jumlah produk darah yang tersedia dalam keadaan gawat. Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit. Jangan menggunakan cairan Ringer Laktat untuk tujuan ini karena kalsium yang dikandungnya dapat menyebabkan penjendalan3.

Tabel II.3. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya Jenis dan Cara Dosis dan cara pemberian awal Oksitosin IV: 20 U dalam 1 L larutan garam fisiologis dengan tetesan cepat IM: 10 U IV: 20 U dalam 1 L larutan garam fisiologis dengan 40 tetes/menit Tidak lebih dari 3 L larutan fisiologis Pemberian IV secara cepat atau bolus Bila masih diperlukan, beri IM/IV setiap 2-4 jam Total 1 mg (5 dosis) Preeklampsia, vitium kordis, hipertensi Total 1200 mg atau 3 dosis Nyeri kontraksi Asma Ergometrin IM atau IV (lambat): 0,2 mg Misoprostol Oral atau rektal 400 mg

Dosis lanjutan

Ulangi 0,2 mg IM setelah 15 menit

400 mg 2-4 jam setelah dosis awal

Dosis maksimal per hari Kontraindikasi atau hati-hati

I. Penyulit - Syok ireversibel - DIC - Amenorea sekunder

Pencegahan
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan kala III dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan post partum3. Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut: - Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan. - Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat

- Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus berkontraksi dengan baik Bagan II.1. Penanganan Perdarahan Post Partum Berdasarkan Penyabab1

2. Memahami dan menjelaskan hipotermi pada neonatus Definisi


Hipotermi adalah keadaan suhu badan yang rendah abnormal. Suhu bayi biasanya aterm, artinya suhu bayi lebih stabil tidak terganggu perubahan suhu di sekitarnya,namun bila perubahan suhu terlalu signifikan,mengakitbatkan tubuh tidak bisa menahan hal tersebut sehingga terjadilah hipotermi.

Klasifikasi
Hipotermi pada BBL adalah penurunan suhu dibawah 36.5 0C, yang terbagi atas : Hipotermi ringan : suhu antara 36 - 36.5 0C Hipotermi sedang : suhu antara 32 - 36.5 0C Hipotermi berat : suhu antara < 32 0 C

Etiologi
Jaringan lemak subkutan tipis. Perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan besar. Cadangan glikogen dan brown fat sedikit. BBL (Bayi Baru Lahir) tidak mempunyai respon shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan. Kurangnya pengetahuan perawat dalam pengelolaan bayi yang beresiko tinggi mengalami hipotermi Sepsis , hipotiroid , radang pancreas Penggunaan obat-obatan ( alcohol, barbiturate, phenothiazine, insulin, steroid, B blocker )

Faktor resiko
Bayi yang mempunyai resiko untuk terjadinya gangguan termogulasi antara lain :

Bayi preterm dan bayi-bayi kecil lainnya di hubungkan dengan tingginya rasio luas permukaan tubuh di bandingkan dengan berat badanya Bayi dengan kelainan bawaaan khususnya dengan penutupan kulit yang tidak sempurna seperti pada meningomielokel, gastroskisis, omfalokel.

BBL dengan gangguan saraf sentral , seperti pada perdarahan intracranial , obatobatan , asfiksia Bayi dengan sepsis Bayi dengan tindakan resusitasi yang lama Bayi IUGR ( intra uterine growth retardation )atau janin tumbuh lambat

Patofisologi
1. Penurunan produksi panas Hal ini dapat disebabkan kegagalan dalam system endokrin dan terjadi penurunan basal metabolism tubuh , sehingga timbul proses penurunan produksi panas, misalnya pada keadaan disfungsi kelenjar tiroid , adrenal ataupun pituitaria. 2. Peningkatan panas yang hilang Terjadi bila panas tubuh berpindah ke lingkungan sekitar , dan tubuh kehilangan panas. Adapun mekanisme tubuh kehilangan panas dapat terjadi secara :

Konduksi :

Yaitu perpindahan panas yang terjadi sebagai akibat perbedaan suhu antara kedua obyek. Kehilangan panas terjadi saaat terjadi kontak lansung antara kulit BBL dengan permukaan yang lebuh dingin. Sumber kehilangan panas terjadi pada BBL yang berada pada permukaan / alas yang dingin, seperti pada waktu proses penimbangan.

Konveksi :

Transfer panas terjadi secara sederhana dari selisih suhu antara permukaan kulit bayi dan aliran udara yang dingin di permukaan tubuh bayi. Sumber kehilangan panas disini dapat berupa : incubator dengan jendela yang terbuka , atau pada waktu proses transportasi BBL ke rumah sakit.

Radiasi :

Yaitu perpindahan suhu dari suatu objek panas ke objek yang dingin , misalnya dari bayi dengan suhu yang hangat di kelilingi suhu lingkungan yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas dapat berupa suhu lingkungan yang dingin atas suhu incubator yang dingin.

Evaporasi :

Panas terbuang akibat penguapan , melalaui permukaaan kulit dan traktrus respiratorius. Sumber kehilangan panas dapat berupa BBL yang basah setelah lahir atau pada di mandikan.

3. Kegagalan termogulasi Kegagalan termogulasi secara umum disebabkan kegagalan hipotalamus dalam menjalankan fungsinya dikarenakan berbagai penyebab. Keadaan hipoksia intrauterine / saat persalinan / post partum, defek neurologic dan paparan obat prenatal ( analgesic / anastesi ) dapat menekan respon neurologic bayi dalam mempertahankan suhu tubuh nya. Bayi sepsi akan mengalami masalah dalam pengaturan suhu dapat menjadi hipotermia atau hipertermi. Gangguan salah satu atau lebih unsure-unsur termogulasi akan mengakibatkan suhu tubuh berubah , menjadi tidak normal. Apabila terjadi paparan dingin , secra fisiologi tubuh akan memeberikan respon untuk menghasilkan panas berupa.

Apabila terjadi paparan dingin,secara fisiologis tubuh akan memberikan respon untuk menghasilkan panas berupa : 1. Shivering thermoregulation / ST Merupakan mekanisme tubuh berupa menggigil atau gemetar secara invokunter akibat dari kontraksi otot untuk menghasilkan panas 2. Non-shivering thermoregulation / NST Merupakan mekanisme yang di pengaruhi oleh stimulasi system saraf simpatis untuk menstimulasi proses metabolic dengan melakukan oksidasi terhadap jaringan lemak coklat. Peningkatan metabolisme jaringan lemak coklat akan meningkatkan Produksi panas dari dalam tubuh 3. Vasokonstriksi perifer Mekanisme ini juga distimulasi oleh system sarah simpatis, kemudian system saraf perifer akan memicu otot sekitar arteriol kulit untuk berkontraksi sehingga terjadi vasokontriksi. Keadaan ini efektif untuk mengurangi aliran darah ke jaringan kulit dan mencegah hilnganya panas yang tidak berguna. Untuk bayi,respon fisiologis terhadap paparan dingin adalah proses oksidasi dari lemak coklat atau jaaringan adiposa coklat. Pada bayi BBL, NST (proses oksidasi jaringan lemak coklat) adalah jalur utama dari suatu peningkatan produksi panas yang cepat, sebagai reaksi atas paparan dingin. Sepanjang tahun pertama kehidupan, jalur ST mengalami peningkatan sedangkan untuk jalur NST selanjutkan akan menurun.

Manifestasi Klinis
Akral dingin Bayi tidak mau minum Kurang aktif Kutis marmorata Pucat Takipne / takikardi

Hipotermi yang berkepanjangan : menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, distres respirasi, gangguan keseimbangan asam-basa, hipoglikemia, defek koagulasi, sirkulasi fetal persisten, gagal ginjal akut, enterokolitis nekrotikan, dan pada keadaan yang berat akan menyebabkan kematian.

Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan pengukuran suhu tubuh bayi, pengukuran dapat dilakukan melalui aksila, rektal, atau kulit. Melalui aksila : dianjurkan karena mudah, sederhana, dan aman. Melalui rektal : sangat dianjurkan untuk dilakukan pada semua BBL karena sekaligus sebagai tes skrining untuk kemungkinan adanya anus imperforatus.

Tatalaksana
Hipotermi berat : Segera hangatkan bayi di bawah pemancar panas yang telah dinyalakan sebelumnya. Gunakan inkubator atau ruangan hangat, bila perlu. Ganti baju yang dingin dan basah bila perlu. Mengunakan pakaian hangat, topi dan selimut. Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi sering diubah. Bila bayi dengan gangguan nafas (frekuensi >60 / <30/ normal tarikan dinding dada, merintih saat ekspirasi)lakukan managemen gangguan nafas Pasang jalur IV dan beri cairan IV sesuai dengan dosis rumatan, dan infus tetap terpasang di bawah pemancar panas, untuk menghangatkan cairan. Periksa kadar glukosa darah, bila <45mg/Dl (2,6 mm) tangani hipoglikemia. Nilai tanda kegawatan pada bayi (misalnya gangguan nafas, kejang, tidak sadar) nilai juga kemampuan minum setiap 4 jam sampai suhu tubuh kembali dalam batas normal. Ambil sample darah dan beri antibiotik sesuai dengan yang disebutkan dan penanganan sebagaian besar sepsis. Anjuran ibu menyusui segera setelah bayi siap : Bila bayi tidak dapat menyusu, beri ASI peras dengan mengunakan salah satu cara alternatif minum. Bila bayi tidak dapat menyusu sama sekali, pasaang pipa lambung dan beri ASI begitu suhu bayi mencapai 350C . Periksa suhu tubuh bayi setiap jam. Bila suhu naik 0.50C / jam berarti penghangatan berhasil, kemudian lanjutkan dengan memeriksa suhu bayi setiap 2 jam. Periksa juga suhu alat yang dipakai untuk menghangatkan dan suhu ruangan setiap jam. Setelah suhu bayi normal : Lakukan perawatan lanjutan unttuk bayi Pantai bayi selama 12 jam kemudian, dan ukur suhunya setiap 3 jam. Pantau bayi selama 24 jam setelah penghentian antibiotik.

Hipotermi sedang : Ganti pakaian yang hangat Bila ada ibu, anjurkan untuk menghangatkan bayi dengan melakukan kontak kulit dengan kulit / perawatan bayi lekat (PMK : Perawatan Metode Kanguru) Bila tidak ada ibu : Hangatkan dengan alat penghangat / inkubator Periksa suhu alat penghangatdan suhu ruangan, beri ASI. Hindari paparan panas yang berlebihan. Anjurkan ibu untuk menyusu lebih sering Minta ibu untuk mengamati tanda kegawatan Periksa kadar glukosa darah Nilai tanda kegawatan , misalnya : gangguan nafas Periksa suhu bayi tiap jam Bila suhu tidak naik/ turun cari tanda sepsis Setelah suhu tubuh normal : Lakukan perawatan lanjutan Pantau bayi selama 12 jam , periksa tubuh tiap 3 jam Bila suhu sundah mencapai batas normal, bisa dipulangkan.

Pencegahan
Penanganan untuk meminimalisisr hipotermi pada bayi yang biasa disebut dengan konsep rantai hangat : 1. ruang persalinan yang hangat 2. resusitasi yang hangat 3. pengeringan segera cairan amnion 4. kontak antara kulit bayi dengan kulit ibunya 5. ASI 6. menunda memandikan dan penimbangan 7. pakaian dan lokasi tidur yang layak 8. rawat gabung 9. transportasi gabung 10. pelatihan / penanganan tenaga kesehatan.

3. Memahami dan Menjelaskan Hiperbilirubin pada neonatus Definisi


Meningkatnya kadar bilirubin total pada minggu pertama kelahiran. Kadar normal maksimal adalah 12-13 mg% (205-220 mol/L). Penyakit kuning adalah kondisi paling umum yang memerlukan perhatian medis pada bayi baru lahir. Pewarnaan kuning pada kulit dan sklera pada bayi baru lahir dengan penyakit kuning adalah hasil dari akumulasi bilirubin tak terkonjugasi. Pada sebagian besar bayi, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi mencerminkan fenomena transisi normal. Namun, dalam beberapa bayi, tingkat serum bilirubin akan naik, yang dapat menjadi perhatian karena bilirubin tak terkonjugasi adalah neurotoksik dan dapat menyebabkan kematian pada bayi baru lahir dan gejala sisa neurologis seumur hidup pada bayi yang bertahan hidup yang disebabkan karena kernikterus. Pertimbangan berbahaya tersebut membuat penyakit kuning neonatal sering harus memerlukan kecermatan evaluasi diagnostik. Ikterus neonatal mungkin pertama telah dijelaskan dalam buku teks Cina 1000 tahun yang lalu. Tesis medis, esai, dan buku pelajaran dari abad 18 dan 19 berisi diskusi tentang penyebab dan pengobatan penyakit kuning neonatal. Beberapa teks-teks ini juga menjelaskan akibat mematikan pada bayi yang memiliki isoimunisasi Rh. Pada tahun 1875, Orth pertama kali menjelaskan pewarnaan kuning otak yang mebuat kematian pada bayi kemudian disebut sebagai kernikterus.

Patofisiologi

Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan umur sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah (Inkompatibilitas golongan darah dan Rh, defek sel darah merah pada defisiensi G6PD atau sferositosis, polisitemia, sekuester darah, infeksi). Penurunan konjugasi Bilirubin: prematuritas, ASI , defek kongenital yang jarang. Peningkatan Reabsorpsi Bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia, pemberian ASI yang terlambat, obstruksi saluran cerna. Kegagalan ekskresi cairan empedu : infeksi intrauterin, sepsis, hepatitis, sindrom kolestatik, atresia biliaris, fibrosis kistik. Neonatal jaundice fisiologis dapat terjadi dari hasil simultan dari 2 fenomena berikut: 1. Bilirubin produksi meningkat karena kerusakan peningkatan eritrosit janin. Ini adalah hasil dari jangka hidup singkat dari eritrosit janin dan massa eritrosit lebih tinggi pada neonatus. 2. Hati kapasitas ekskretoris rendah baik karena konsentrasi rendah dari ligandin protein mengikat dalam hepatosit dan karena rendahnya aktivitas transferase glucuronyl, enzim bertanggung jawab untuk bilirubin mengikat asam glukuronat, sehingga membuat air bilirubin larut (konjugasi). Bilirubin diproduksi di sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir katabolisme hem dan terbentuk melalui reaksi oksidasi-reduksi. Sekitar 75% bilirubin berasal dari hemoglobin, tapi degradasi mioglobin, sitokrom, katalase dan juga berkontribusi. Pada langkah oksidasi pertama, biliverdin terbentuk dari heme melalui aksi heme oxygenase, tingkat membatasi langkah dalam proses, melepaskan besi dan karbon monoksida.

Sedangkan karbon monoksida diekskresikan melalui paru-paru dan dapat diukur dalam napas pasien untuk mengukur produksi bilirubin. Selanjutnya, larut dalam air biliverdin direduksi menjadi bilirubin, yang, karena ikatan hidrogen intramolekul, hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomer yang paling umum nya (bilirubin IX Z, Z). Karena sifat hidrofobik nya, bilirubin tak terkonjugasi diangkut dalam plasma terikat erat pada albumin. Mengikat protein lain dan eritrosit juga terjadi, tetapi peran fisiologis mungkin terbatas. Mengikat bilirubin peningkatan albumin postnatal dengan usia dan berkurang pada bayi yang sakit. Kehadiran pesaing mengikat endogen dan eksogen, seperti obat-obatan tertentu, juga mengurangi afinitas pengikatan albumin untuk bilirubin. Sebuah fraksi bilirubin tak terkonjugasi menit dalam serum tidak terikat pada albumin. Bilirubin bebas mampu melintasi lipid yang mengandung membran, termasuk penghalang darah-otak, yang menyebabkan neurotoksisitas. Dalam kehidupan janin, bilirubin bebas dapat melewati plasenta, tampaknya dengan difusi pasif, dan ekskresi bilirubin dari janin terjadi terutama melalui organisme ibu. Saat mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam sel hati, di mana ia mengikat ligandin. Serapan bilirubin ke dalam hepatosit meningkat dengan konsentrasi ligandin meningkat. Konsentrasi Ligandin rendah saat lahir tetapi meningkat pesat selama beberapa minggu pertama kehidupan. Konsentrasi Ligandin dapat ditingkatkan dengan pemberian agen farmakologis seperti fenobarbital. Bilirubin terikat dengan asam glukuronat (terkonjugasi) dalam retikulum endoplasma hepatosit dalam reaksi dikatalisis oleh uridin diphosphoglucuronyltransferase (UDPGT). Monoconjugates terbentuk pertama dan mendominasi pada bayi baru lahir. Diconjugates tampaknya terbentuk pada membran sel dan mungkin memerlukan kehadiran tetramer UDPGT. Konjugasi bilirubin secara biologis penting karena mengubah molekul air yang tidak larut bilirubin menjadi molekul yang larut dalam air. Air kelarutan bilirubin terkonjugasi memungkinkan untuk dibuang ke dalam empedu. Aktivitas UDPGT rendah saat lahir tetapi meningkat dengan nilai-nilai orang dewasa dengan usia 4-8 minggu. Selain itu, obat-obatan tertentu (fenobarbital, deksametason, clofibrate) dapat diberikan untuk meningkatkan aktivitas UDPGT. Bayi yang memiliki sindrom Gilbert atau senyawa yang heterozigot untuk promotor Gilbert dan mutasi struktural daerah pengkode UDPGT1A1 berada pada peningkatan risiko hiperbilirubinemia signifikan. Interaksi antara genotipe Gilbert dan anemia hemolitik seperti glukosa-6-fosfatase dehidrogenase (G-6-PD) kekurangan, sferositosis herediter, atau penyakit hemolitik ABO juga tampaknya meningkatkan risiko penyakit kuning neonatal parah. Selanjutnya, pengamatan penyakit kuning pada beberapa bayi dengan stenosis pilorus hipertropi juga mungkin terkait dengan varian Gilbert-jenis. Genetik polimorfisme untuk protein transporter anion organik OATP-2 berkorelasi dengan risiko 3 kali lipat untuk mengembangkan ikterus neonatal ditandai. Kombinasi polimorfisme OATP-2 gen dengan gen UDPGT1A1 varian selanjutnya akan meningkatkan risiko ini menjadi 22 kali lipat. Studi juga menunjukkan bahwa polimorfisme pada gen untuk glutathione-S-transferase (ligandin) dapat menyebabkan tingkat yang lebih tinggi dari bilirubin total serum. Genetik. faktor genetik yang terlibat dalam patogenesis hiperbilirubinemia neonatal. Dalam studi kasus kontrol nested, kami menentukan 1) frekuensi timin-adenin (TA) n polimorfisme promotor dan mutasi Gly71Arg di uridin diphosphoglucuronateglucuronosyltransferase 1A1 (UGT1A1) gen pada neonatus> atau = 35-minggu usia kehamilan yang mengalami tingkat bilirubin> 18 mg / dL dan kontrol, 2) interaksi antara (TA) n polimorfisme promotor, glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) mutasi gen, dan

puncak bilirubin. Terdapat kaitan genetis antara difosfat uridinglucuronosyltransferase1A1 (UGT1A1) Gly71Arg, UGT1A1 promotor TATA-box dan mutasi gen glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dalam pengembangan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi neonatal. Dengan demikian, beberapa variasi antarindividu dalam kegiatan dan tingkat keparahan penyakit kuning neonatal dapat dijelaskan secara genetik. Sebagai dampak dari varian genetik lebih sepenuhnya dipahami, pengembangan panel tes genetik untuk risiko penyakit kuning neonatal berat atau berkepanjangan dapat menjadi wajar. Setelah diekskresikan ke dalam empedu dan ditransfer ke usus, bilirubin ini akhirnya dikurangi menjadi tidak berwarna tetrapyrroles oleh mikroba dalam usus besar. Namun, beberapa deconjugation terjadi di usus kecil proksimal melalui aksi B-glucuronidases terletak di perbatasan kuas. Ini bilirubin tak terkonjugasi dapat diserap kembali ke dalam sirkulasi, meningkatkan kolam plasma bilirubin total. Siklus penyerapan, konjugasi, ekskresi, deconjugation, dan reabsorpsi disebut enterohepatik sirkulasi. Proses ini mungkin meluas pada masa neonatus, sebagian karena asupan gizi terbatas pada hari-hari pertama kehidupan, memperpanjang waktu transit usus. Pada ibu yang sedang mengalami kesulitan dengan pembentukan ASI, cairan dan asupan gizi yang tidak memadai sering menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan setelah melahirkan pada bayi. Bayi tersebut memiliki peningkatan risiko penyakit kuning berkembang melalui sirkulasi enterohepatik meningkat, seperti dijelaskan di atas. Fenomena ini sering disebut sebagai penyakit kuning dan menyusui ini berbeda dengan penyakit kuning ASI dijelaskan di bawah. Faktor-faktor tertentu hadir dalam ASI dari beberapa ibu juga dapat menyebabkan sirkulasi enterohepatik bilirubin meningkat (ASI jaundice). -glukuronidase mungkin memainkan peran dengan uncoupling bilirubin dari ikatannya dengan asam glukuronat, sehingga membuatnya tersedia untuk reabsorpsi. Data menunjukkan bahwa risiko penyakit kuning ASI secara signifikan meningkat pada bayi yang memiliki polimorfisme genetik pada urutan coding dari UDPGT1A1 atau OATP2 gen. Meskipun mekanisme yang menyebabkan fenomena ini belum disepakati, bukti menunjukkan bahwa suplementasi dengan pengganti ASI tertentu dapat mengurangi tingkat penyakit kuning ASI (lihat terapi lain). Ikterus neonatal, meskipun fenomena transisi normal di sebagian besar bayi, kadangkadang dapat menjadi lebih jelas. Golongan darah yang tidak kompatibel (misalnya, Rh, ABO) dapat meningkatkan produksi bilirubin melalui hemolisis meningkat. Secara historis, isoimunisasi Rh adalah penyebab penting penyakit kuning yang parah, sering mengakibatkan perkembangan kernikterus. Meskipun kondisi ini telah menjadi relatif jarang terjadi di negara-negara industri setelah penggunaan profilaksis Rh di Rh-negatif, isoimunisasi Rh tetap umum di negara berkembang. Gangguan hemolitik nonimmune (sferositosis, G-6-PD kekurangan) juga dapat menyebabkan penyakit kuning meningkat, dan peningkatan hemolisis tampaknya telah hadir di beberapa bayi dilaporkan telah dikembangkan kernikterus di Amerika Serikat pada 10-15 tahun terakhir. Interaksi yang mungkin antara kondisi tersebut dan varian genetik dari Gilbert dan UDPGT1A1 gen, serta varian genetik dari beberapa protein lain dan enzim yang terlibat dalam metabolisme bilirubin, dibahas di atas. Penemuan ini juga menyoroti tantangan yang terlibat dalam penggunaan umum dari penyakit kuning segi fisiologis dan ikterus patologis. Meskipun penyakit kuning fisiologis merupakan konsep membantu dari perspektif didaktis, menerapkannya pada sebuah neonatus dengan penyakit kuning yang sebenarnya lebih sulit. Perhatikan metafora berikut: Pikirkan bilirubin serum total ikterus neonatal sebagai gunung tertutup oleh gletser. Jika pengukuran ketinggian gunung tersebut diambil ketika

berdiri di puncak, jumlah batu dan jumlah es yang terdiri dari pengukuran ini tidak jelas. Hal yang sama berlaku bagi banyak bilirubin total nilai serum yang diperoleh dalam ikterus neonatal. Sebuah fondasi proses fisiologis dan proses patologis (misalnya, ketidakcocokan rhesus) dengan jelas dapat berkontribusi untuk pengukuran. Namun, berapa banyak dari total nilai terukur berasal dari masing-masing komponen tidak jelas. Juga, karena varian genetik dalam metabolisme bilirubin hanya sangat dikejar dalam diagnostik kerja-up bayi dengan penyakit kuning, mungkin kontribusi mereka terhadap bilirubin serum total yang diukur biasanya tidak diketahui. Beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa infeksi saluran kencing (ISK) ditemukan pada 7,5% asimtomatik, afebris, pada bayi kuning usia kurang 8 minggu. Selain itu, bayi dengan timbulnya ikterus setelah 8 hari usia atau pasien dengan fraksi bilirubin terkonjugasi tinggi lebih mungkin untuk memiliki sebuah ISK. Oleh karena itu, disarankan pengujian untuk ISK dimasukkan sebagai bagian dari evaluasi dalam asimtomatik, bayi kuning yang datang ke gawat darurat. Epidemiologi Hiperbilirubinemia neonatal sangat umum karena hampir setiap bayi baru lahir mengalami tingkat serum bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30 umol / L (1,8 mg / dL) selama minggu pertama kehidupan. Angka kejadian sulit untuk membandingkan karena banyak peneliti berbeda yang tidak menggunakan definisi yang sama untuk hiperbilirubinemia neonatal signifikan atau penyakit kuning. Selain itu, identifikasi bayi yang akan diuji tergantung pada pengakuan visual dari penyakit kuning oleh penyedia layanan kesehatan, yang sangat bervariasi dan tergantung baik pada perhatian pengamat dan pada karakteristik bayi seperti ras dan usia kehamilan. Dengan peringatan di atas, penelitian epidemiologi memberikan suatu kerangka acuan untuk kejadian diperkirakan. Pada tahun 1986, Maisels dan Gifford dilaporkan 6,1% bayi dengan kadar bilirubin serum lebih dari 220 umol / L (12,9 mg / dL) Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika Serikat, 4,3% dari 47.801 bayi memiliki total serum bilirubin. dalam rentang di mana fototerapi direkomendasikan oleh tahun 1994 American Academy of Pediatrics (AAP) pedoman, dan 2,9% memiliki nilai dalam rentang di mana tahun 1994 AAP pedoman menyarankan fototerapi mempertimbangkan. Di dunia insiden bervariasi dengan etnisitas dan geografi. Insidensi lebih tinggi pada orang Asia Timur dan Indian Amerika dan lebih rendah pada orang kulit hitam. Yunani yang hidup di Yunani memiliki insiden yang lebih tinggi daripada yang keturunan Yunani yang tinggal di luar Yunani. Insidensi lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di ketinggian. Pada tahun 1984, Moore dkk melaporkan 32,7% bayi dengan kadar bilirubin serum lebih dari 205 umol / L (12 mg / dL) pada 3100 m dari ketinggian. Sebuah studi dari Turki melaporkan penyakit kuning yang signifikan dalam 10,5% bayi yang panjang dan dalam 25,3% dari jangka dekat bayi. Penyakit kuning yang signifikan didefinisikan menurut umur kehamilan dan pasca kelahiran dan mendatar pada 14 mg / dL (240 umol / L) pada 4 hari pada bayi prematur dan 17 mg / dL (290 umol / L) pada bayi panjang. Studi tampaknya menunjukkan bahwa beberapa variabilitas etnis dalam kejadian dan tingkat keparahan penyakit kuning neonatal mungkin berhubungan dengan perbedaan dalam distribusi varian genetik dalam metabolisme bilirubin dibahas di atas. Kernikterus terjadi pada 1,5 dari 100.000 kelahiran di Amerika Serikat. Kematian dari neonatal jaundice fisiologis sebenarnya tidak harus terjadi. Kematian dari kernikterus dapat terjadi, terutama di negara-negara kurang berkembang sistem perawatan medis. Dalam sebuah penelitian kecil dari pedesaan Nigeria, 31% bayi dengan ikterus klinis diuji memiliki G-6-PD kekurangan, dan 36% bayi dengan G-6-PD kekurangan meninggal dengan kernikterus diduga dibandingkan dengan hanya 3% dari bayi dengan G-6-PD yang normal skrining hasil tes.

Insiden penyakit kuning neonatal meningkat pada bayi dari Asia Timur, Indian Amerika, dan keturunan Yunani, meskipun yang terakhir tampaknya hanya berlaku untuk bayi yang lahir di Yunani dan dengan demikian mungkin lingkungan bukan etnis di asal. Bayi kulit hitam yang terpengaruh lebih sering daripada bayi putih. Untuk alasan ini, penyakit kuning yang signifikan dalam manfaat bayi hitam evaluasi lebih dekat dari kemungkinan penyebab, termasuk G-6-PD kekurangan. Pada tahun 1985, Linn dkk melaporkan pada seri di mana 49% dari Asia Timur, 20% dari putih, dan 12% bayi kulit hitam memiliki kadar bilirubin serum lebih dari 170 umol / L (10 mg / dL). Kemungkinan dampak polimorfisme genetik pada variasi etnis dalam insiden dan keparahan harus diakui. Dengan demikian, dalam studi bayi Taiwan, Huang dkk melaporkan bahwa neonatus yang membawa 211 dan 388 varian dalam UGT1A1 dan OATP2 gen dan yang disusui beresiko sangat tinggi untuk hiperbilirubinemia parah. Risiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada bayi lakilaki. Ini tidak muncul terkait dengan tingkat produksi bilirubin, yang mirip dengan yang ada di bayi perempuan. Risiko penyakit kuning neonatal signifikan berbanding terbalik dengan usia kehamilan. Penyebab Ikterus fisiologis disebabkan oleh kombinasi produksi bilirubin meningkat sekunder terhadap kerusakan percepatan eritrosit, penurunan kapasitas ekskretoris sekunder rendahnya tingkat ligandin dalam hepatosit, dan aktivitas rendah dari uridin enzim bilirubin konjugasi diphosphoglucuronyltransferase (UDPGT). Ikterus neonatus patologis terjadi bila faktor tambahan menemani mekanisme dasar yang dijelaskan di atas. Contohnya termasuk anemia hemolitik imun atau nonimmune, polisitemia, dan adanya ekstravasasi memar atau darah. Penurunan bilirubin mungkin memainkan peran dalam penyakit kuning menyusui, penyakit kuning ASI, dan dalam beberapa metabolik dan gangguan endokrin. Faktor risiko meliputi: 1. Ras: Insiden lebih tinggi di Asia Timur dan Indian Amerika dan lebih rendah di Afrika Amerika. 2. Geografi: Insiden lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di ketinggian. Yunani yang hidup di Yunani memiliki insiden yang lebih tinggi daripada mereka yang tinggal di luar Yunani. 3. Genetika dan keluarga: Insiden lebih tinggi pada bayi dengan saudara kandung yang menderita sakit kuning neonatal signifikan dan terutama pada bayi yang lebih tua saudara dirawat karena penyakit kuning neonatal. Insiden juga lebih tinggi pada bayi dengan mutasi / polimorfisme pada gen yang kode untuk enzim dan protein yang terlibat dalam metabolisme bilirubin, dan pada bayi dengan homozigot atau heterozigot glukosa-6fosfatase dehidrogenase (G-6-PD) kekurangan dan anemia hemolitik herediter . Kombinasi varian genetik seperti tampaknya memperburuk penyakit kuning neonatal 4. Gizi: Insiden lebih tinggi pada bayi yang mendapat ASI atau yang menerima nutrisi yang tidak memadai. Mekanisme untuk fenomena ini mungkin tidak sepenuhnya dipahami. Namun, ketika volume makan yang tidak memadai yang terlibat, peningkatan sirkulasi enterohepatik bilirubin mungkin memberikan kontribusi untuk penyakit kuning yang berkepanjangan. Data terbaru menunjukkan bahwa payudara sakit kuning susu berkorelasi dengan kadar faktor pertumbuhan epidermal, baik dalam ASI dan dalam serum bayi. Menunjukkan bahwa perbedaan antara ASI dan susu formula bayi mungkin kurang jelas dengan beberapa rumus yang modern . Namun, formula yang mengandung hidrolisat protein telah terbukti meningkatkan ekskresi bilirubin.

5. Faktor ibu: Bayi dari ibu dengan diabetes memiliki insiden yang lebih tinggi. Penggunaan beberapa obat dapat meningkatkan kejadian, sedangkan yang lain menurunkan kejadian. 6. Usia kehamilan dan berat lahir: Insiden lebih tinggi pada bayi prematur dan pada bayi dengan berat lahir rendah. 7. Infeksi Kongenital

Manifestasi Klinis

Kulit, mukosa dan konjungtiva kuning. Biasanya, presentasi adalah pada hari kedua atau ketiga kehidupan. Penyakit kuning yang terlihat selama 24 jam pertama kehidupan mungkin akan nonphysiologic; evaluasi lebih lanjut disarankan. Bayi dengan penyakit kuning setelah 3-4 hari hidup juga mungkin memerlukan pengawasan yang lebih ketat dan pemantauan. Pada bayi dengan penyakit kuning yang parah atau penyakit kuning yang terus di luar 1-2 minggu pertama kehidupan, hasil dari layar metabolik baru lahir harus diperiksa untuk hipotiroidisme galaktosemia dan kongenital, riwayat keluarga harus dieksplorasi lebih lanjut (lihat di bawah), kurva berat badan bayi harus dievaluasi, tayangan ibu sejauh kecukupan ASI harus diperoleh, dan warna tinja harus dinilai.

1. Strategi pencegahan hiperbirubinemia Pencegahan primer


Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari untuk beberapa hari pertama Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi

Pencegahan sekunder

Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak biasa. Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 812 jam.

Evaluasi laboraturium

Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir. Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus yang berlebihan Semua kadar bilirubin harus diintrepretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam

2. Penggunaan Farmakologi

Imunoglobulin intravena digunakan pada bayi dengan Rh yang berat dan inkompabilitas ABO untuk menekan isoimun dan menurunkan tindakan transfusi ganti Fenobarbital untuk merangsang aktifitas dan konsentrasi UPGDT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin Metalloprotoporphyrin yang merupakan analog sintesis heme. Zat ini efektif sebagai inhibitor kompetitif dari heme oksigenase, yang diperlukan untuk katabolisme heme manjadi biliverdin. Tin-protoporphyrin (Sn-PP) dan tin-mesoporphyrin (Sn-MP) dapat menurunkan kadar bilirubin serum. Inhibitor -glukoronidase pada bayi sehat cukup bulan yang mendapat ASI dapat meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang.

3. Foto Terapi dan Transfusi tukar TERAPI SINAR Mekanisme kerja Bilirubin tidak larut dalam air. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonyugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin. Terapi sinar konvensional Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm. Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 watt/cm2 per nm. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes. Cahaya biru khusus memiliki kerugian karena dapat membuat bayi terlihat biru, walaupun pada bayi yang sehat, hal ini secara umum tidak mengkhawatirkan. Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4 tabung cahaya biru khusus pada bagian tengah unit terapi sinar standar dan dua tabung daylight fluorescent pada setiap bagian samping unit. Pemberian Terapi sinar

Tempatkan bayi di bawah sinar terapi sinar. (Gambar 3) b. Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang pada basinet. Tempatkan bayi yang lebih kecil dalam inkubator.

Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik.

Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi tidak ikut tertutup. Jangan tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip. Gambar 3. Bayi dalam Unit Terapi sinar HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 8/22

Balikkan bayi setiap 3 jam Pastikan bayi diberi makan: c. Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum, paling kurang setiap 3 jam:

Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI perah), tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari (tabel 3) selama bayi masih diterapi sinar . Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan pindahkan bayi dari sinar terapi sinar . Perhatikan: selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi bisa menjadi lebih lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan terapi khusus. Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan: Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3 jam. Bila suhu bayi lebih dari 37,5 0C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk sementara pindahkan bayi dari unit terapi sinar sampai suhu bayi antara 36,5 0C - 37,5 0C. Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus: h. Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL

Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi tukar (tabel 4), persiapkan kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter untuk transfusi tukar. Sertakan contoh darah ibu dan bayi. Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik dan tidak ada masalah lain selama perawatan, pulangkan bayi. Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa kembali bayi bila bayi bertambah kuning.

Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, sangat jarang terjadi dan reversibel. Tabel 4. Komplikasi terapi sinar Mekanisme yang mungkin terjadi Kelainan Bronze syndrome Diare Hemolisis

baby Berkurangnya ekskresi hepatik hasil penyinaran bilirubin Bilirubin indirek menghambat laktase Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit

Dehidrasi Ruam kulit

Bertambahnya Insensible Water Loss (30-100%) karena menyerap energi foton Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan pelepasan histamin

TRANFUSI TUKAR (Friel, 1982). Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia. Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar

Darah yang digunakan golongan O. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul. penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap plasma dan eritrosit pasien/bayi. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) --- 160 mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.

Teknik Transfusi Tukar

SIMPLE DOUBLE VOLUME. Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis/ vena saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian. ISOVOLUMETRIC. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama. PARTIAL EXCHANGE TRANFUSION. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan polisitemia. Indikasi

Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi tukar pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO tercantum dalam tabel 5 Tabel 5. Indikasi Transfusi Bayi Cukup Bulan Sehat Dengan Faktor Tukar Berdasarkan Kadar Risiko Bilirubin Serum7 Usia mg/dL mg/dL Hari ke-1 15 13 Hari ke-2 25 15 Hari ke-3 30 20 Hari ke-4 dan seterusnya 30 20

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:


Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin Perforasi pembuluh darah

Komplikasi tranfusi tukar


Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia

Daftar Pustaka

Ilmu Kebidanan, editor Prof dr.Hanifa Wiknjosastro SpOg, edisi ketiga cetakan kelima, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, jakarta 1999 Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid pertama, Editor Arif mansjoer, Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri, wIka Wardani, Wiwik Setiowulan. Kosim MS. Yunanto A.Dewi R. Sarosa GI dkk.2008.Buku Ajar Neonatologi edisi 1, UKK Perinotologi IDAI. IDAI, Jakarta http://www.medicine.com/EMERG/topic481htm http://www.pregnancy.about.com/cs/postpartumrecover/a/pph.htm

Anda mungkin juga menyukai