Anda di halaman 1dari 20

MEDIKOLEGAL

SKENARIO

Seorang laki-laki berusia 23 tahun dibawa ke IGD oleh beberapa orang penolong
dengan kondisi tidak sadarkan diri setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Dari
pemeriksaan dokter didapatkan epidural hematom dan harus dilakukan operasi
segera. Karena tidak ada keluarga yang bisa dihubungi dokter langsung mengambil
tindakan operasi namun nyawa pasien tetap tidak bisa diselamatkan. Beberapa jam
kemudian datang orang tua korban dan menuntut Rumah Sakit atas kematian
putranya.

KATA SULIT

1. Epidural hematom : perdarahan intrakranial yang terjadi karena fraktur tulang


tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan duramater.

KATA/KALIMAT KUNCI

1. Laki-laki 23 tahun

2. Tidak sadarkan diri post KLL

3. Didapatkan epidural hematom

4. Dokter mengambil tindakan operasi tanpa persetujuan keluarga karena harus


dilakukan operasi segera

5. Nyawa pasien tidak bisa diselamatkan

6. Orang tua korban menuntut RS atas kematian putranya

PERTANYAAN

1. Apakah penyebab utama kematian pasien tersebut?

2. Jelaskan definisi & jenis-jenis informed consent!

1
3. Pada kondisi apa saja informed consent diperlukan?

4. Apa yang dimaksud dengan malpraktik?

5. Jelaskan jenis-jenis malpraktik!

6. Jelaskan tindakan malpraktik menurut Hubert W. Smith!

7. Bagaimana alur pembuktian malpraktik medis?

8. Jelaskan pencegahan malpraktik medis!

9. Apakah tindakan tersebut termasuk malpraktik medis? Jelaskan!

10. Jelaskan dasar hukum atau tindakan dokter yang menangani pasien tanpa
persetujuan keluarga!

11. Jelaskan hubungan hukum dalam pelayanan kegawatdaruratan!

12. Kenapa dokter mengambil keputusan tanpa informed consent?

2
PEMBAHASAN

1. Penyebab utama kematian pasien bisa saja karena perburukan dari Epidural
Hematom yang dialaminya. Epidural Hematom dapat menimbulkan adanya
reflex babinski positif bilateral serta postur deserebrasi preoperasi
memperburuk prognosis. Kematian biasanya disebabkan henti nafas akibat
herniasi unkal yang menyebabkan penekanan pada batang otak.1

2. Macam-macam informed consent:2

a) Informed consent : Persetujuan tindakan medis yang diberikan oleh


pasien (consent) setelah pasien mendapatkan informasi tentang jenis
tindakan, tujuan, efek samping, dan komplikasi, alternatif serta resiko
jika tindak menjalani operasi.
b) Expressed Consent : Informed consent yang dinyatakan secara eksplisit,
baik itu dalam bentuk tertulis (written consent – tanda tangan surat
persetujuan) maupun dalam bentuk lisan (oral consent). “Ya dok, saya
setuju”.
c) Implied Consent : Informed consent yang diberikan secara implisit
(tersirat) oleh pasien dengan menarik kesimpulan dari sikap pasien yang
menyatakan persetujuan. Umumnya untuk tindakan rutin dan risiko tidak
besar, seperti pasien yang mengangguk ketika akan dilakukan punksi
vena.
d) Persumed consent: Informed consent yang diberikan secara implisit
(tersirat) oleh dengan menarik kesimpulan dari sikap pasien yang tidak
melakukan penolakan. Pasien yang tidak melakukan penolakan dianggap
setuju dengan prosedur. Karena prosedur tersebut merupakan suatu
general knowledge bahwa pasien yang datang ke IGD luka dikaki lalu
lukanya dibersihkan, dianggap bahwa pasien yang dating di IGD
dipastikan ingin membersihkan lukanya. Dalam hal ini, pasien tidak
memberikan persetujuan secara eksplisit, maupun tidak ada sikap setuju

3
seperti mengangguk. Pasien juga tidak memberikan penolakan, dengan
demikian, dianggap pembesihan luka tadi disetujui oleh pasien

3. Pada prinsipnya semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap


pasien memerlukan persetujuan dari pasien. Pasien yang akan menjalani
tindakan kedokteran beresiko tinggi harus memberikan persetujuan di
formulir khusus. Di luar tindakan kedokteran beresiko tinggi, Informed
Consent cukup diberikan pasien secera lisan (ucapan setuju) atau bahasa
tubuh (gerakan menggunakan kepala). Dalam keadaan kegawat daruratan
untuk menyelamatkan jiwa pasien dan untuk mencegah kecatatan, tidak
diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Segera setelah dokter melakukan
tindakan dalam rangka penyelamatan jiwa pasien, dokter tersebut harus
segera memberikan penjelasan kepada pasien atau keluargab pasien.
Tindakan dalam kegawatdaruratan medis diperbolehkan tanpa melakukan
Informed Consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Repunlik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
persetujuan tindakan kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal
1354.3

4. Pengertian Malpraktik

Malpraktik atau mal- practice berasal dari kata “mal” yang berarti buruk.
Sedang kata “practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Dengan demikian
secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik “buruk” yang
dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien.4

Dalam sistem hukum Indonesia yang salah satu komponennya


merupakan satu hukum substantif, diantara hukum positif yang berlaku tidak
dikenal adanya istilah malpraktik, baik dalam Undang-Undang No. 23 Tahun
1992 ten- tang kesehatan maupun dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran. Memperhatikan Undang-Undang No 23 Tahun
1992 khususnya pada Pasal 54 dan 55 disebut sebagai kesalahan atau

4
kelalaian dokter. Se- dangkan pada Undang-Undang No. 29 Tahun 2004,
khususnya pada Pasal 84 dikatakan se- bagai pelanggaran disiplin dokter.4

5. Jenis-jenis malpraktik :2

a) Malpraktik etika bersifat intern (self imposed regulation) bertujuan


memelihara harkat martabat profesi dan menjaga mutu dan sanksinya
yaitu berupa teguran ,skorsing dan pemecatan sebagai anggota.

b) Malpraktik disiplin bersifat hukum publik (ada unsur pemerintahan dan


awam) bertujuan melindungi masyarakat (termasuk anggota profesi) dan
sanksinya yaitu teguran skorsing dan pencabutan izin.

c) Malpraktik hukum berlaku umum bersifat memaksa, bertujuan menjaga


tata tertib masyarakat luas, sanksinya yaitu hukum perdata = ganti rugi
dan hukum pidana = sanksi badan dan pencabutan izin.

6. Malpraktik menurut Hubert W. Smith, tindakan malpraktik meliputi 4D,


yaitu :2

a) Duty To Use Due Care (Kewajiban). Tidak ada kelalaian jika tidak ada
kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti harus ada hubungan hukum
antara pasien dan dokter/ rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum,
maka implikasinya adalah bahwa sikap-tindak dokter (atau tenaga medis
lainnya) di rumah sakit tersebut harus sesuai dengan standar pelayanan
medis agar pasien jangan sampai menderita cedera karenanya.

b) Dereliction (breach of duty/ adanya penyimpangan dalam pelaksanaan


tugas). Apabila sudah ada kewajiban, maka dokter (atau tenaga medis
lainnya) di rumah sakit tersebut harus bertindak sesuai standar profesi
yang berlaku. Jika terdapat penyimpangan dari standar tersebut, maka ia
dapat dipersalahkan.

c) Damage (injury/kerugian). Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktik


medic adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien.

5
Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai,
tetapi jika tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian
(Damage/Injury/Harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut
ganti-kerugian. Istilah Injury tidak saja dalam bentuk fisik, namun
kadangkala juga termasuk dalam arti gangguan mental yang hebat.

d) Direct Caution (Proximate Cause/ penyebab langsung). Untuk


berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarakan malpraktik medic,
maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap tindak tergugat
(dokter) dengan kerugian (damage) yang diderita oleh pasien sebagai
akibatnya, tindakan dokter itu harus merupakan penyebab langsung.

7. Alur pembuktian malpraktik

Terjadinya malpraktik atau tidak, dalam kenyataan tidak selalu mudah


dipastikan. Hukum mempunyai kriteria untuk mentukan hal itu.
Adapun dokter dapat dikatakan melakukan malpraktik apabila dokter kurang
menguasai ilmu kedokteran yang berlaku umum, memberikan pelayanan
dibawah standar, melakukan kelalaian berat, atau melakukan tindakan medik
yang bertentangan dengan hukum. Kelalaian medis adalah salah satu bentuk
dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik
medis yang paling sering terjadi.5,6,7,8,9,10

Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan


dengan etik kedokteran, maka ia hanya telah melakukan malpraktik
etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian, maka
penggugat harus dapat membuktikan adanya empat unsur
berikut :5,6,7,8,9,10

a) Adanya kewajiban dokter terhadap pasien

b) Dokter melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai

c) Penggugat menderita kerugian dan

6
d) Kerugian tersebut disebabkan tindakan di bawah standar

Dugaan adanya malpraktik kedokteran harus ditelusuri dan


dianalisis terlebih dahulu untuk dapat dipastikan ada atau tidaknya
malpraktik, kecuali apabila faktanya sudah membuktikan bahwa
telah terdapat kelalaian. Pembuktiannya dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu:5,6,7,8,9,10

1) Cara langsung

Pembuktian suatu tindakan tenaga medis dianggap lalai


apabila telah memenuhi tolak ukur 4D , yaitu:

a) Duty of Care (kewajiban) : kewajiban profesi, dan kewajiban


akibat kontrak dengan pasien. Dalam hubungan perjanjian tenaga
kesehatan dengan pasien, tenaga kesehatan haruslah
bertindak berdasarkan

i. Adanya indikasi medis


ii. Bertindak secara hati-hati dan teliti
iii. Bekerja sesuai standar profesi
iv. Sudah ada informed concent

b) Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban). Berarti


pelanggaran kewajiban tersebut, sehinga mengakibatkan timbulnya
kerugian kepada pasien artinya tidak memenuhinya standard
profesi medik. Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari
standard profesi medik adalah sesuatu yang harus didasarkan atas
fakta-fakta secara kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para
ahli dan saksi ahli.

c) Damage (kerugian). Berarti kerugian yang diderita pasien itu


harus berwujud dalam bentuk fisik, financial, emosional atau
berbagai kategori kerugian lainnya. Di dalam kepustakaan
dibedakan antara :

7
i. Kerugian umum (general damages), termasuk kehilangan
pendapatan yang akan diterima, kesakitan dan penderitaan (loss
of future earnings and pain and suffering)
ii. Kerugian khusus (special damages), kerugian financial nyata
yang harus dikeluarkan seperti biaya pengobatan.

d) Direct Causation (penyebab langsung). Berarti bahwa harus ada


kaitan kausal antara tindakan yang dilakukan dan kerugian
yang diderita. Penggugat harus membuktikan bahwa terdapat
suatu “breach of duty” dan bahwa penyimpangan itu merupakan
sebab (proximite cause) dari kerugian/ luka yang diderita pasein. Hal
ini adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan oleh pasien.

Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan


adanya ke-empat unsur diatas, dan apabila salah satu unsur saja diantaranya
tidak dapat dibuktikanmaka gugatan tersebut dinilai tidak cukup bukti.
Adapun dasar hukum penuntutanganti rugi berdasarkan kepada:5,6,7,8,9,10

• Pasal 1365 KUH Perdata

• Pasal 1366 KUH Perdata

• Pasal 1367 KUH Perdata

• Pasal 1370 KUH Perdata

• Pasal 1371 KUH Perdata

• Pasal 1372 KUH perdata

• Pasal 359 KUHP

• Pasal 360 KUHP

• Pasal 361 KUHP

8
2) Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi


pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai
hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Contohnya: tertinggalnya
kasa didalam luka operasi. Fakta-fakta tersebut harus memenuhi beberapa
kriteria yaitu: Fakta itu terjadi memang berada dalam tangung jawab tenaga
kesehatan dan Fakta tersebut terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan
perkataan lain tidak ada contributory negligence.5,6,7,8,9,10

Dasar adanya kewajiban dokter adalah adanya hubungan kontraktual


antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban profesi,
kewajiban hukum dan kontrak terapeutik yang diuraikan didalam sumpah
profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, berbagai prosedur
operasional, administrative, pidana dan perdata. Dalam kaitannya dengan
kelalaian medik cara pembuktian dapat juga dilakukan dengan membandingkan
antara “apa yang dikerjakan” (das sein) dengan “apa yang seharusnya
dikerjakan” (das sollen).5,6,7,8,9,10

Perkara pidana

Kelalaian medik juga dapat dapat dimasukkan kedalam masalah pidana,


dapat dilihat pada pasal 359-361 KUHP yang mengancam seseorang dengan
pidana apabila melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan seseorang lain
luka, luka berat atau mati. Pembuktiannya sama, baik di lingkungan
peradilan perdata (ganti rugi) maupun di lingkungan peradilan pidana.
Perbedaannya hanyalah siapa yang dibebani pembuktian tersebut dan seberapa
tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan untuk membuat putusan. Tingkat
kepastian yang harus dicapai pada peradilan pidana harus mencapai kepastian
yang mendekati sempurna yaitu beyond reasonable doubt (kurang-lebih
mendekati 95% atau lebih).5,6,7,8,9,10

9
Perkara perdata

Ruang lingkup pembuktian secara medis dalam malpraktik perdata


meliputi:5,6,7,8,9,10

a) Penilaian tindakan medik yang telah dilakukan berdasarkan


standar of care atau standar profesi medis dalam hubunganya dengan
kausa (penyebab) risiko.

b) Adanya kelalaian dalam hubungannya dengan kausa


(penyebab) risiko.

c) Tidak adanya risiko medis berupa kecelakaan yang layak serta


risiko diagnosis.

Dasar tuntutan perdata:5,6,7,8,9,10

 Pasal 1365 KUH Perdata


 Pasal 1366 KUH perdata
 Pasal 1367 KUH perdata
 Pasal 1338 KUH Perdata
 Pasal 55 UU Kesehatan
 Pasal 1370 KUH perdata
 Pasal 1371 KUH perdata

Perkara Administrasi

Tenaga kesehatan dikatakan telah melakukan pelanggaran administrasi


manakala tenaga kesehatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu
diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai
kewenangan menertibkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya
tentang persyaratan bagi tenaga kesehatan untuk menjalankan profesisnya
(Surat Izin Kerja, Surat Izin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban
tenaga kesehatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan

10
yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum
administrasi.5,6,7,8,9,10

Perkara Disiplin

Seorang dokter dapat dikatakan melanggar disiplin jika ditemukan salah


satu dari 28 hal yang termasuk pelanggaran disiplin kedokteran, sesuai konsil
kedokteraIndonesia nomor 17/KKI/KEP/VII/2006 tentang pedoman
penegakan disiplin profesi kedokteran bentuk pelanggaran disiplin
kedokteran:5,6,7,8,9,10

a) Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.

b) Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lainyang memiliki
kompetensi sesuai.

c) Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak


memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.

d) Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak


memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan
pemberitahuan perihal penggantian tersebut.

e) Menjalankan praktik kedokteran dalam konsisi tingkat kesehatan fisik


maupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat
membahayakan pasien.

f) Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak


dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai
dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau
pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.

g) Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai


dengan kebutuhan pasien.

11
h) Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate
information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik
kedokteran.

i) Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien


atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya.

j) Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik,


sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undang atau etika
profesi.

k) Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan


yang tidak sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan dan etika profesi.

l) Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas


permintaan sendiri dan atau keluarganya.

m) Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau


keterampilan atau teknologi yang belum diterima atau diluar tata cara
praktik kedokteran yang layak.

n) Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan


manusia sebagai subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik
(ethical clearance) dari lembaga yang diakui pemerintah.

o) Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal


tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain
yang bertugas dan mampu melakukannya.

p) Menolak atau menghentikan tindakan pengobatannya terhadap


pasien tanpa alasan yang layak dan sah sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang- undangan atau etika profesi.

12
q) Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan atau etika profesi.

r) Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan skepada hasil


pemeriksaan yang diketahuinya secara benar atau patut.

s) Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture)


atau eksekusi hukuman mati.

t) Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika


dan zat adiktif lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang- undangan dan etika profesi.

u) Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan


kekerasan terhadap pasien, ditempat praktik

v) Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya

w) Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta


pemeriksaan atau memberikan resep obat/alat kesehatan

x) Mengiklankan kemampuan/ pelayanan atau kelebihan kemampuan/


pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan yang tidak benar
atau menyesatkan

y) Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif


lainnya.

z) Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau


Surat Ijin Praktek (SIP) dan/atau sertifikat kompetensi tidak sah.

Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang


diperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran
disiplin.5,6,7,8,9,10

13
Perkara Etik

Seorang dokter dapat dibuktikan melanggar etik apabila tidak sesuai


dengan pasal-pasal yang tercantum dalam KODEKI. Dewan kehormatan kode
etik dibentuk oleh organisasi profesi untuk menegakkan etika, pelaksanaan
kegiatan profesi serta menilai pelanggaran profesi yang dapat merugikan
masyarakat atau kehidupan profesionalisme di lingkungannya. 5,6,7,8,9,10

Gambar 1. Proses investigasi malpraktik

14
Berdasarkan pembuktian malpraktek yang bisa dilakukan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Maka upaya penyelesaiannya diusahakan
diselesaikan oleh pihak Rumah Sakit dalam hal ini baik MKEK dan MKDKI
yang ditingkat cabang masing-masing sebelum aduan dilaporkan ke jalur
hukum karena akan sulit dalam penyelesaian walaupun memang berdasarkan
keputusan MKEK dan MKDKI yang bersangkutan tidak bersalah. Karena
keputusan dari MKEK dan MKDKI belum memliki pengaruh hukum yang
kuat bagi yang terduga malpraktik.5,6,7,8,9,10

Pada skenario diatas, dokter yang berjaga sudah melakukan tindakan


berdasarkan SOP yang menurutnya benar, kemudian pihak keluarga
mengadukan dokter tersebut karena pasien meninggal dunia. Aduan tersebut
harusnya dilakukan ke rumah sakit yang bersangkutan sebelum ke jalur
hukum. Dari pihak rumah sakit akan melakukan sidang etik dan disiplin pada
dokter yang berjaga untuk melihat adanya pelanggaran etik dan disiplin atau

15
tidak oleh MKEK dan MKDKI dibawah IDI. Dari hasil sidang yang
dilakukan tersebut diupayakan di selesaikan dalam lingkup internal Rumah
sakit. Jika terdapat pelanggaran berat bisa ditindak lanjuti ke jalur hukum,
melalui proses peradilan yang ada. Adapun sanki dari hukum bisa berupa
administratif ataupun perdata dan pidana.5,6,7,8,9,10

8. Pencegahan Malpraktik Medis yaitu :2

a) Praktik kedokteran harus dilakukan oleh kelompok profesi kedokteran


yang berkompetensi.

b) Bekerja sesuai dengan standard an profesionalisme yang ditetapkan oleh


organisasi profesinya.

c) Dokter yang berpraktik memiliki kompetensi dan kewenangan medis


sesuai dengan standar medis dan etika profesi.

d) Dokter yang bijak dengan kriteria :

 Pendidikan kedokteran berkelanjutan


 Praktik kedokteran yang bermutu dan beretika
 Sistem dan cara pelayanan kesehatan berstandar serta beretika

9. Tindakan dalam kegawat daruratan medis di perbolehkan tanpa melakukan


informed consend terlebih dahulu. Memang informed consent harus
dilaksanakan, namun tidak selamanya informed consent diperlukan atau harus
dilaksanakan dimana terdapat pengecualian. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 4
Permenkes No. 290 tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
yang menyatakan bahwa: “Dalam keadaan gawat darurat, untuk
menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan
persetujuan tindakan kedokteran.” Oleh karena peraturan tersebut, apabila
pasien dalam keadaan darurat, tidak bisa memberikan persetujuan dan
keluarga belum tiba di rumah sakit maka dokter dibenarkan melakukan
tindakan medis tanpa adanya persetujuan karena dalam keadaan darurat

16
dokter tidak mungkin menunda tindakan atau mempermasalahkan
informed consent, sebab jika terlambat akan membahayakan kondisi pasien
atau dikenal dengan zaakwarneming (perbuatan sukarela tanpa kuasa) diatur
dalam Pasal 1354 KUH Perdata.11

10. Tindakan dokter pada skenario yang mengambil keputusan untuk


mengoperasi pasien tanpa menunggu kedatangan keluarga pasien memiliki
dasar hukum yang jelas, tercantum pada Pasal 11 Permenkes No. 585 tahun
1989 tentang persetujuan tindakan medis yang menyatakan bahwa :
“Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi
oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan
gawat dan atau darurat yang memerlukan tindakan medik segera untuk
kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun”. Dan juga dalam
skenario diterangkan bahwa pasien berada dalam keadaan gawat darurat dan
harus segera di operasi sehingga dokter tersebut memiliki alasan yang kuat
atas tindakan yang dilakukannya.12

11. Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed
consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU N0.23/1992
tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan
No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat
darurat dimana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak
sadar atau tidak didampingi sehingga tidak perlu persetujuan dari siapapun
(Pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal
persetujuan tersebut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar
persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.2

12. Dokter tidak melakukan informed consent karena dalam skenario termaksud
kasus gawat darurat yaitu epidural hematom yang merupakan suatu
perdarahan tang terjadi diruang epidural yang nantinya akan menekan batang
otak dan akan merusak pusat pernapasan, dll. Dimana jika tidak segera

17
ditangani lebih lanjut akan menimbulkan komplikasi yang lebih parah
nantinya.4

Tindakan dokter yang memberikan tindakan tanpa menunggu informed


consent jika dalam keadaan gawat darurat dapat di benar kan menurut
Permenkes No. 290 tahun 2008 pasal 4 ayat 1.4

18
Daftar Pustaka

1. Head Injury, Pathofisiology and Management of Severe Closed Injury, Peter


Reilly and Russ Bullock, 2nd Ed. Press, 2005

2. Aflanie, Iwan, 2017, Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada

3. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Permenkes Republik Indonesia


No.585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.
Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 1989.

4. Heryatno, B, 2010, Malpraktik Dokter dalam Perspektif Hukum, Fakultas


Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah.

5. Fatriah,S.H., Sampurna, B. Pembuktian Malpraktek. Prosiding pertemuan


ilmiah tahunan 2017. Pekan baru, 15-16 juli 2017/; ISBN:
978-602-50127-0-9

6. Sampurna B. Syamsu Z. Siswaja TD. 2005. Kelalaian Medik dalam Bioetik


dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan
Hukum.

7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

8. Sampurna B, 2012, Sistem Peradilan, Pembuktian Perkara dan Malpraktek


Medis.

9. Peraturan konsil Kedokteran Indonesia

10. Kode etik kedokteran indonesia: 2012

11. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Permenkes Republik Indonesia


No.290/Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2008

19
12. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Permenkes Republik Indonesia
No.585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.
Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 1989.

20

Anda mungkin juga menyukai