Anda di halaman 1dari 34

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Anatomi dan Fisiologi Gaster


3.1.1 Anatomi
Lambung merupakan organ yang berbentuk seperti huruf J yang
membentuk curvatura major dan curvatura minor. Spleen terletak di
sebelah kiri dari lambung dan pankreas terletak di sebelah inferior dan
posterior dari lambung. Sedangkan hati terletak di sebelah kanannya.
Lambung terletak di regio hipokondrium sinistra dari permukaan
abdomen. Lambung terdiri atas 5 bagian:
a. Cardia yang berhubungan langsung dengan esofagus;
b. Fundus yang menjadi atap yang merupakan perluasan dari cardia;
c. Corpus atau badan lambung;
d. Antrum; dan
e. Pylorus, terdapat sfingter yang memisahkan lambung dari
duodenum.
Struktur dari dinding lambung secara umum mirip dengan organ
intestinal, dengan tambahan lapisan otot oblik yang membantu secara
mekanik dalam fungsi mengocok dan membantu lambung untuk
mengembang. Dinding lambung dari luar ke dalam tersusun atas:
a. Lapisan Serosa;
b. Lapisan otot longitudinal;
c. Lapisan otot sirkular;
d. Lapisan otot oblik;
e. Lapisan submukosa;
f. Muskularis mukosa;
g. Mukosa yang terdiri dari lamina propria dan epitel columna lambung
dengan kantung lambung (gastric pits) dan kelenjarnya.

Gambar 1. Anatomi Lambung

Arteri coeliacus menyuplai darah arteri ke lambung dan darah vena


mengalir ke vena portal hepatis. Lambung mendapat persarafan
parasimaptis oleh nervus vagus (Nervus X) dan simpatis dari nervus
splanicus. Sebagian besar mukosa lambung dibentuk oleh lipatan-lipatan
yang dikenal sebagai rugae. Mukosa antrum lebih halus dari mukosa
lambung. Lapisan mukus membantu melindungi lambung terhadap
trauma mekanik, HCl dan enzim proteolitik.
Kantung lambung merupakan bagian invaginasi dari epitel yang
masuk ke dalam lamina propria. Dua atau tiga kelenjar lambung
dihubungkan dengan tiap kantung melalui isthmus. Kelenjar lambung
merupakan struktur tubular dengan kekhususan tiap sel untuk
menghasilkan HCl (sel parietal atau oksintik) dan pepsin (sel
chief),penghasil mukus (sel goblet), dan sel entero-endokrin dan sel
stem.
Sel Parietal ditemukan pada daerah fundus, corpus dan antrum. Sel
parietal terletak di dinding luar dari kantung lambung dan tidak
berkontak dengan lumen kantung. Walaupun terpisah dari lumen
kantung lambung oleh sel-sel utama, sel parietal menyalurkan sekresi
HCl mereka ke dalam lumen melalui saluran-saluran halus, atau
kanalikulus yang berjalan di antara sel-sel utama. Selain menghasilkan
HCl, sel parietal juga menghasilkan faktor intrinsik dan gastroferrin
yang penting dalam absorbsi vitamin B12 dan zat besi.
Sel chief atau sel utama ditemukan paling banyak pada corpus. Sel
ini bertanggung jawab dalam sekresi pepsinogen, yang merupakan suatu
molekul enzim inaktif yang disintesis dan disimpan oleh kompleks Golgi
dan retikulum endoplasma sel chief. Apabila pepsinogen ini disekresikan
dalam lumen lambung, maka molekul pepsinogen akan diuraikan oleh
HCl menjadi bentuk aktif, pepsin. Pepsin ini berfungsi untuk mencerna
protein dan bekerja untuk menghasilkan lebih banyak pepsinogen.
Sel entero-endokrin utama pada lambung adalah sel G yang
menghasilkan gastrin, Sel D yang menghasilkan somatostatin, dan sel
entero-chromaffin-like (ECL) yang menghasilkan histamin.

Gambar 2. Susunan sel oksintik kelenjar lambung

3.1.2 Fisiologi
Lambung melakukan beberapa fungsi. Fungsi terpenting adalah
menyimpan makanan yang masuk sampai disalurkan ke usus halus
dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan penyerapan
optimal. Karena usus halus merupakan tempat utama pencernaan dan
penyerapan, lambung perlu menyimpan makanan dan menyalurkannya
sedikit demi sedikit ke duodenum dengan kecepatan yang tidak melebhi
kapasitas usus. Fungsi kedua lambung adalah untuk mensekresikan asam
hidroklorida (HCl) dan enzim-enzim yang memulai pencernaan protein.
Terdapat empat aspek motilitas lambung. Keempat aspek tersebut
yaitu:
a. Pengisian Lambung (gastic filling).
Pada keadaan kosong, lambung memiliki volume sekitar 50 ml,
tetapi organ ini dapat mengembang hingga kapasitasnya mencapai
sekitar 1 liter saat makan. Hal ini terjadi karena terdapat dua faktor,
yaitu:
1) Plastisitas otot polos yang mengacu pada kemampuan otot
polos mempertahankan ketegangan konstan. Dengan
demikian, pada saat serat-serat otot polos lambung teregang
pada pengisian lambung, serat-serat tersebut akan melemas
tanpa menyebabkan peningkatan ketegangan otot.
2) Relaksasi reseptif lambung saat ia terisi. Di dalam lambung
terdapat lipatan-lipatan yang dikenal sebagai rugae. Selama
makan, lipatan-lipatan tersebut mengecil dan mendatar saat
lambung sedikit demi sedikit melemas karena terisi.
Relaksasi refleks lambung sewaktu menerima makanan ini
disebut relaksasi reseptif. Relaksasi ini meningkatan
kemampuan lambung untuk menambah volume sehingga
makanan bisa disimpan. Apabila kapasitas lebih dari 1 liter
makanan yang masuk, lambung akan teregang dan individu
tersebut akan merasa tidak nyaman.
b. Penyimpanan Lambung.
Sebagian sel otot polos mampu mengalami depolarisasi parsial
yang otonom dan berirama. Salah satu kelompok sel-sel pemacu
tersebut terletak di lambung di daerah fundus bagian atas. Sel-sel
tersebut menghasilkan potensial gelombang lambat yang menyapu ke
bawah di sepanjang lambung menuju sfingter pilorus dengan
kecepatan tiga kali per menit. Pola depolarisasi spontan ritmik
tersebut yaitu irama listrik dasar atau BER (basic electrical rhythm)
lambung, berlangsung secara terus-menerus dan mungkin disertai
oleh kontraksi lapisan otot polos sirkuler lambung. Bergantung pada
tingkat eksitabilitas otot polos, BER dapat dibawa ke ambang oleh
aliran arus dan mengalami potensial aksi yang kemudian memulai
kontraksi otot yang dikenal sebagai gelombang peristaltik.
Gelombang peristaltik menyebar ke seluruh fundus dan korpus lalu
ke antrum dan sfingter pilorus. Karena lapisan otot di fundus dan
korpus tipis, kontraksi peristaltik di kedua daerah tersebut melemah
sedangkan di antrum memiliki gelombang yang lebih kuat karena
lapisan otot di antrum lebih tebal. Oleh karena itu, makanan yang
masuk ke lambung dari esofagus tersimpan relatif tenang tanpa
mengalami pencampuran. Makanan secara bertahap disalurkan dari
korpus ke antrum, tempat berlangsungnya pencampuran makanan.
c. Pencampuran Lambung.
Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab
makanan bercampur dengan sekresi lambung dan menghasilkan
kimus. Setiap gelombang peristaltik antrum mendorong kimus ke
depan ke arah sfingter pilorus. Kontraksi tonik sfingter pilorus dalam
keadaan normal menjaga sfingter hampir, tetapi tidak seluruhnya,
tertutup rapat. Lubang yang tersedia cukup besar untuk air dan cairan
lain lewat, tetapi terlalu kecil untuk kimus yang kental lewat, kecuali
apabila kimus terdorong oleh kontraksi peristaltik yang kuat.
Walaupun demikian, dari 30 ml kimus yang dapat ditampung oleh
antrum, hanya beberapa mililiter isi antrum yang terdorong ke
duodenum setiap gerakan peristaltik. Sebelum lebih banyak kimus
dapat diperas keluar, gelombang peristaltik sudah mencapai sfingter
pilorus dan menyebabkan sfingter tersebut berkontraksi lebih kuat
sehingga aliran kimus ke duodenum terhambat. Bagian terbesar
kimus antrum yang terdorong ke depan, tetapi tidak dapt didorong ke
dalam duodenum dengan tiba-tiba berhenti pada sfingter yang
tertutup dan tertolak kembali ke dalam
antrum, hanya untuk didorong ke depan dan tertolak kembali pada
saat gelombang peristaltik baru datang. Gerakan maju mundur
tersebut disebut retropulsi, menyebabkan kimus tercampur merata di
antrum.
d. Pengosongan Lambung.
Kontraksi peristaltik antrum, selain menyebabkan pencampuran
lambung, juga menghasilkan gaya pendorong untuk mengosongkan
lambung. Pengosongan lambung diatur oleh faktor lambung (jumlah
kimus dalam lambung dan derajat keenceran dari kimus dan faktor
dudenum (lemak, asam, hipertonisitas, dan peregangan). Semakin
tinggi eksitabilitas, semakin sering BER menghasilkan potensial
aksi, semakin besar aktivitas di antrum, dan semakin cepat
pengosongan lambung.
3.1.3 Faktor Pertahanan Mukosa Gastroduodenal
Epitel gaster mengalami iritasi terus menerus oleh 2 faktor
perusak:
a. Perusak Endogen (HCl, pepsinogen/pepsin, dan garam empedu);
b. Perusak Eksogen (obat-obatan, alkohol, dan bakteri).
Untuk penangkal iritasi tersedia sistem biologi canggih dalam
mempertahankan keutuhan dan perbaikan mukosa lambung bila terjadi
kerusakan. Sistem pertahanan mukosa gastroduodenal terdiri dari 3
rintangan, yakni preepitel, epitel, dan postepitel/subepitel.
Lapisan preepitel berisi mukus-bikarbonat bekerja sebagai
rintangan fisikokemikal terhadap molekul seperti ion hidrogen, mukus
yang disekresi sel epitel permukaan mengandung 95% air dan campuran
lipid dengan glikoprotein. Musin, unsur utama glikoprotein dalam ikatan
dengan fosfolipid, membentuk lapisan penahan air/hidrofobik dengan
asam lemak yang muncul keluar dari membrane sel. lapsan mukosa yang
tidak tembus air merintangi difusi ion dan molekul seperti pepsin.
Bikarbonat memiliki kemampuan mempertahankan perbedaan pH yakni
pH 1-2 di dalam lumen lambung dengan pH 6-7 di dalam sel epitel.
Sekresi bikarbonat dirangsang oleh Ca++, PG, kolinergik, dan keasaman
lumen.
Sel epitel permukaan adalah pertahanan kedua dengan kemampuan
menghasilkan mukus, transportasi ionik sel epitel serta produksi
bikarbonat yang dapat mempertahankan pH intraselular (pH 6-7), dan
intracellular tight junction.
Bila pertahanan preepitel dapat ditembus oleh fakor agresif maka
sel epitel yang berbatasan dengan daerah yang rusak berpindah/migrasi
memperbaiki kerusakan restitusi. Proses ini bukan pembelahan sel,
memerlukan sirkulasi darah yang baik dan mileu alkali. Beberapa faktor
pertumbuhan memegang peran penting seperti; EGF, FGF, TGFa dalam
membantu proses restitusi.
Kerusakan berat yang tidak dapat diperbaiki melalui proses
restitusi dilaksanakan melalui proliferasi sel. Regenerasi sel epitel diatur
oleh PG, FGF, dan TGFa. Berurutan dengan pembaruan sel epitel,
terjadi pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis) dalam areal
kerusakan. FGF dan VGEF (Vascular Endothellial Growth Factor)
memegang peran penting dalam proses angiogenesis ini.
Sistem mikrovaskular yang rapi dalam lapisan submukosa lambung
adalah komponen kunci dari pertahanan/perbaikan sistem subepitel.
Sirkulasi yang baik yang dapat menghasilkan bikarbonat/HCO3 untk
menetralkan HCl yang disekresi parietal, memberikan asupan
mikronutrien dan oksigen serta membuang hasil metabolic toksik.
PG yang banyak ditemukan pada mukosa lambung, dihasilkan dari
metabolism asam arakidonat memegang peran sentral pada pertahanan
dan perbaikan sel epitel lambung, menghasilkan mukus-bikarbonat,
menghambat sekresi sel parietal, mempertahankan sirkulasi mukosa dan
restitusi epitel.
3.2 Ulkus Peptikum
3.2.1 Definisi
Ulkus peptikum adalah ekskavasasi (area berlubang) yang
terbentuk dalam dinding mukosal lambung, pilorus, duodenum atau
esofagus. Ulkus peptikum disbut juga sebagai ulkus lambung, duodenal
atau esofageal, tergantung pada lokasinya. (Bruner and Suddart, 2001).
Ulkus peptikum merupakan putusnya kontinuitas mukosa lambung
yang meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak
meluas sampai ke bawah epitel disebut sebagai erosi, walaupun sering
dianggap sebagai ulkus (misalnya ulkus karena stres). Menurut
definisi, ulkus peptikum dapat terletak pada setiap bagian saluran cerna
yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum,
dan setelah gastroenterostomi, juga jejenum. (Sylvia A. Price, 2006).
3.2.2 Etiologi
1. Faktor Agresif
a. Helicobacter pylori
H.pylori adalah bakteri gram negatif yang dapat hidup
dalam suasana asam dalam lambung/duodenum (antrum, korpus,
dan bulbus), berbentuk kurva/S-shaped. Bakteri ini ditularkan
secara feko-oral atau oral-oral. Pada lambung terutama
terkonsentrasi dalam antrum, berada pada lapisan mukus pada
permukaan epitel yang sewaktu-waktu dapat menembus sel-sel
epitel.
Tubuh akan memberikan respon untuk mengeliminasi
H.pylori dengan mobilisasi sel-sel PMN/limfosit yang
menginfiltrasi mukosa secara intensif dengan mengeluarkan
bermacam-macam mediator inflamasi atau sitokinin, seperti
interleukin 8, gamma interferon alfa, tumor necrosis factor, yang
bersama reaksi imun yang muncul justru mnyebabkan kerusakan
sel-sel epitel gastroduodenal yang lebih parah tetapi tidak dapat
mengeliminasi bakteri dan infeksi menjadi kronik.
H.pylori mengeluarkan sitotoksin yang secara langsung
dapat merusak sel epitel mukosa gastroduodenal, seperti
vacuolating cytotoxin (Vac A gen) yang menyebabkan
vakuolisasi sel-sel epitel, cytotoxin associated gen A (Cag A gen)
merupakan petanda virulensi H.pylori dan hampir selalu
ditemukan pada tukak peptik. H.pylori juga melepascan
bermacam-macam enzim, seperti urease, protease, lipase, dan
fosfolipase. Urease memecah urea dalam lambung menjadi
amonia yang toksik terhadap sel-sel epitel, sedangkan protease
dan fosfolipase A2 menekan sekresi mukus yang menyebabkan
daya tahan mukosa menurun, merusak lapisan yang kaya lipid
pada apikal sel epitel. Asam lambung dapat berdifusi balik
melalui kerusakan sel-sel epitel ini sehingga menyebabkan
nekrosis yang lebih luas.
H.pylori yang terkonsentrasi dalam antrum menyebabkan
kerusakan sel D yang mengeluarkan somatostatin, yang berfungsi
membatasi produksi gastrin. Hal ini menyebabkan produksi
gastrin meningkat, yang nantinya merangsang sel-sel parietal
menghasilkan asam lambung yang berlebihan. Asam lambung
masuk ke duodenum sehingga keasaman meningkat. Asam
lambung yang tinggi pada duodenum menyebabkan gastrik
metaplasia yang dapat menjadi tempat hidup H.pylori dan
sekaligus dapat memproduksi asam sehingga lebih menambah
keasaman dalam duodenum. Keasaman yang tinggi akan
menekan mukus dan bikarbonat sehingga menyebabkan daya
tahan mukosa lebih menurun.
b. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Pemakaian obat antiinflamasi non steroid (OAINS) dan
asam asetil salisilat (ASA) secara kronik dan reguler dapat
menyebabkan terjadinya risiko perdarahan gastrointestinal 3 kali
lipat. Pemakaian OAINS/ASA tidak hanya menyebabkan
kerusakan pada gastroduodenal, tetapi juga pada usus halus dan
usus besar berupa inflamasi, ulserasi, dan perforasi.
Patogenesis terjadinya kerusakan mukosa karena
penggunaan OAINS/ASA adalah akibat efek toksik/iritasi
langsung pada mukosa. Selain itu, OAINS/ASA menghambat
kerja dari enzim siklooksigenase (COX) sehingga menekan
produksi prostaglandin/prostasiklin yang berperan memelihara
keutuhan mukosa dengan mengatur aliran darah mukosa,
proliferasi sel-sel epitel, sekresi mukus dan bikarbonat, mengatur
fungsi immunosit mukosa, serta sekresi basal asam lambung.
Beberapa faktor risiko yang memudahkan terjadinya tukak
peptik pada penggunaan OAINS adalah umur tua (60 tahun);
riwayat adanya tukak peptik sebelumnya; dispepsia kronik;
intoleransi terhadap penggunaan OAINS sebelumnya; jenis,
dosis, dan lamanya penggunaan OAINS sebelumnya;
penggunaan secara bersamaan dengan kortikosteroid,
antikoagulan, dan penggunaan 2 jenis OAINS secara bersamaan;
dan penyakit penyerta lainnya yang diderita oleh pengguna
OAINS.
c. Beberapa Faktor Lingkungan dan Penyakit Lain
Merokok (tembakau, sigaret) meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi H.pylori dengan menurunkan faktor pertahanan
dan menciptakan keadaan yang sesuai dengan H.pylori; faktor
stres, malnutrisi, makanan tinggi garam, defisiensi vitamin;
beberapa penyakit tertentu seperti Zollinger Elison (kelainan
pada non insulin sekreting sel pankreas), mastositosis sistemik,
penyakit Chron, dan hiperparatiroidisme; faktor genetik; faktor
kejiwaan pada orang yang psikisnya sangat labil, pada
ketegangan jiwa, emosi, dan mempunyai ambisi besar
mengakibatkan mereka hidup tidak teratur; hormon wanita,
berdasarkan statistik bahwa wanita usia produktif jarang
menderita ulkus peptikum jika dibandingkan dengan pria pada
usia yang sama, atau jika dibandingkan dengan wanita setelah
masa menopause.
2. Faktor Defensif
Gangguan pada satu atau beberapa faktor pertahanan mukosa,
menyebabkan daya tahan mukosa akan menurun sehingga mudah
dirusak oleh faktor agresif yang menyebabkan terjadinya tukak
peptik. Ada tiga faktor pertahanan yang berfungsi memelihara daya
tahan mukosa gastroduodenal, yaitu:
a. Faktor preepitel terdiri dari:
1) Mukus/bikarbonat yang berguna untuk menahan pengaruh
asam lambung/pepsin.
2) Mucoid cap, yaitu suatu struktur yang terdiri dari mukus dan
fibrin, yang terbentuk sebagai respon terhadap rangsangan
inflamasi.
3) Active surface phospholipid yang berperan untuk
meningkatkan hidrofobisitas membran sel dan meningkatkan
viskositas mukus.
b. Faktor epitel
1) Kecepatan perbaikan mukosa yang rusak, dimana terjadi
migrasi sel-sel yang sehat ke daerah yang rusak untuk
perbaikan.
2) Pertahanan seluler, yaitu kemampuan untuk memelihara
electrical gradient dan mencegah pengasaman sel.
3) Kemampuan transporter asam-basa untuk mengangkut
bikarbonat ke dalam lapisan mukus dan jaringan subepitel
dan untuk mendorong asam keluar jaringan.
4) Faktor pertumbuhan, prostaglandin dan nitrit oksida.
c. Faktor subepitel
1) Aliran darah (mikrosirkulasi) yang berperan mengangkut
nutrisi, oksigen, dan bikarbonat ke epitel sel.
2) Prostaglandin endogen menekan perlekatan dan ekstravasasi
leukosit yang merangsang reaksi inflamasi jaringan.
3.2.3 Patogenesis
a. Faktor Asam Lambung No Acid No Ulcer Schwarst 1910
Sel parietal/oksintik mengeluarkan asam lambung HCl, sel
peptik/ zimogen mengeluarkan pepsinogen yang oleh HCl diubah
jadi pepsin dimana HCl dan pepsin adalah faktor agresif terutama
pepsin dengan pH < 4. Bahan iritan akan menimbulkan defek barier
mukosa dan terjadi difusi balik ion H+. Histamin terangsang untuk
lebih banyak mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi dan
peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan mukosa
lambung, gastritis akut/kronik dan ulkus lambung.
Produksi asam lambung (HCl) distimulasi oleh gastrin yang
disekresi oleh sel G pada antrum, asetilkolin dilepascan oleh nervus
vagus dan histamin dilepascan oleh sel entero-chromaffin-like
(ECL), yang semuanya menstimulasi reseptor pada sel parietal yang
merupakan penghasil asam.
Ulkus duodenum sangat jarang terjadi pada orang yang tidak
menghasilkan asam lambung, ulkus rekuren terjadi ketika produksi
asam sangat meningkat, sebagai contoh, oleh tumor yang mensekresi
gastrin. Bagaimanapun, produksi asam lambung biasanya rendah
pada orang-orang dengan ulkus lambung dan ini dapat menghasilkan
gastritis kronik.
b. Sky and Sun: Balance Theory 1974
Ulkus terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara faktor
agresif/ asam dan pepsin dengan defensif (mukus, bikarbonat, aliran
darah, PG), bisa faktor agresif meningkat atau faktor defensif
menurun.
c. Helicobacter pylori (HP), No HP No Ulcer Warren and Marshall
1983
Bakteri spiral pada lambung telah diketahui selama lebih
ratusan tahun, dan menjadi lebih signifikan pada tahun 1982 ketika
Warren dan Marshall melakukan kultur dari 11 pasien dengan
gastritis dan dr Marshall mendemonstrasikan bahwa hal itu
menyebabkan gastritis. Infeksi H. Pylori sebagian besar ditemukan
pada pasien dengan ulkus peptikum, meskipun hanya sekitar 15%
dari infeksi tersebut berkembang menjadi ulkus. Eradikasi infeksi H.
Pylori secara permanent dapat mengobati sebagian besar pasien
dengan ulkus peptikum.
Kebanyakan kuman patogen memasuki barier dari mukosa
lambung, tetapi HP sendiri jarang sekali memasuki epitel mukosa
lambung ataupun bagian yang lebih dalam dari mukosa tersebut. Bila
HP bersifat patogen maka yang pertama kali terjadi adalah HP dapat
bertahan dalam suasana asam di lambung; kemudian terjadi penetrasi
terhadap mukosa lambung; dan pada akhirnya HP berkolonisasi di
lambung tersebut. Pada keadaan tersebut beberapa faktor dari HP
memainkan peranan penting diantaranya urease memecah urea
menjadi amoniak yang bersifat basa lemah yang melindungi kuman
tersebut terhadap asam lambung.
Infeksi H. Pylori pada antrum gaster, yang menstimulasi
produksi gastrin, menyebabkan hipersekresi asam dan ulkus
duodenum, sementara infeksi pada corpus lambung, dimana terdapat
sel parietal paling banyak, menyebabkan berkurangnya produksi
asam lambung dan dihubungkan dengan gastritis, ulkus lambung,
kanker lambung, dan lymphoma gaster.
d. Prostaglandin
Faktor risiko pada ulkus peptikum meningkat pada pasien yang
menggunakan non-steriod anti inflammatory drugs (NSAIDs),
termasuk aspirin, yang menghambat produksi prostaglandin oleh sel
epitel. Oleh karena itu, risiko dari ulkus peptikum berkurang oleh
artifisial prostaglandin E2 agonist, misoprostil.
e. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan asam asetil
salisilat (ASA) merupakan salah satu obat yang paling sering
digunakan dalam berbagai keperluan. Pemakaian OAINS/ASA
secara kronik dan reguler dapat menyebabkan terjadinya resiko
perdarahan gastrointestinal 3 kali lipat dibanding yang tidak
menggunakannya.
Patogenesis terjadinya kerusakan mukosa terutama
gastroduodenal penggunaan OAINS/ASA adalah akibat efek toksik/
iritasi langsung pada mukosa yang memerangkap OAINS/ASA yang
bersifat asam sehingga terjadi kerusakan epitel dalam berbagai
tingkat, namun yang paling utama adalah efek OAINS/ASA yang
menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam
arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin/prostasiklin.
Seperti diketahui, prostaglandin endogen sangat berperan dalam
memelihara keutuhan mukosa dengan mengatur aliran darah mukosa,
proliferasi sel-sel epitel, sekresi mukus dan bikarbonat, mengatur
fungsi immunosit mukosa serta sekresi basal asam lambung.
Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin
pada penggunaan OAINS/ ASA melalui 4 tahap, yaitu : menurunnya
sekresi mukus dan bikarbonat, terganggunya sekresi asam dan
proliferasi sel-sel mukosa, berkurangnya aliran darah mukosa dan
kerusakan mikrovaskular yang diperberat oleh kerja sama platelet
dan mekanisme koagulasi.
3.2.4 Patofisiologi
Ulkus peptikum terjadi pada mukosa gastroduodenal karena
jaringan ini tidak dapat menahan kerja asam lambung pencernaan (asam
hidrochlorida dan pepsin). Erosi yang terjadi berkaitan dengan
peningkatan konsentrasi dan kerja asam peptin, atau berkenaan dengan
penurunan pertahanan normal dari mukosa. Adapun beberapa zat yang
menurunkan pertahanan mukosa lambung salisilat, NSAID, alcohol, dan
rokok. Menurut Warren dan Marshall, ulkus peptikum terjadi oleh
karena infeksi dari Helicobacter pylori yang bersifat patogen. Bakteri ini
dapat bertahan dalam suasana asam lambung dan menembus mukosa
lambung, lalu berkolonisasi disana. H.pylori menghasilkan berbagai
macam sitotoksin yang secara langsung dapat merusak epitel mukosa,
seperti vacuolating cytotoxin (Vac A gen) yang menyebabkan
vakuolisasi sel-sel epitel. Selain itu, bakteri ini juga menghasilkan
bermacam-macam enzim yang dapat merusak epitel, seperti urease,
protease, lipase dan fosfolipase. Urease memecahkan urea dalam
lambung menjadi amonia yang toksik terhadap sel-sel epitel, sedangkan
protease dan fosfolipase menekan produksi mukus sehingga
menyebabkan daya tahan mukosa menurun, merusak lapisan yang kaya
lipid pada apikal sel epitel, dan melalui kerusakan sel dapat
menyebabkan asam lambung berdifusi balik sehingga menimbulkan
nekrosis yang lebih luas.
Obat-obatan golongan NSAID (aspirin), alkohol, garam empedu,
dan obat-obatan lain yang merusak mukosa lambung, mengubah
permeabilitas sawar epitel, memungkinkan difusi balik asam klorida
dengan akibat kerusakan jaringan (mukosa) dan khususnya pembuluh
darah. Hai ini mengakibatkan pengeluaran histamin. Histamin akan
merangsang sekresi asam dan meningkatkan pepsin dari pepsinogen.
Selan itu, histamin juga akan mengakibatkan peningkatan vasodilatasi
kapiler sehingga membran kapiler menjadi permeabel terhadap protein.,
akibatnya sejumlah protein hilang dan mukosa menjadi adema.
Peningkatan asam akan merangsang syaraf kolinergik dan syaraf
simpatik. Perangsangan terhadap kolinergik akan berakibat terjadinya
peningkatan motilitas sehingga menimbulkan rasa nyeri, sedangkan
rangsangan terhadap syaraf simpatik dapat mengakibatkan reflek spasme
esophageal sehingga timbul regurgitasi asam HCl yang menjadi pencetus
timbulnya rasa nyeri berupa rasa panas seperti terbakar. Selain itu,
rangsangan terhadap syaraf simpatik juga dapat mengakibatkan
terjadinya pilorospasme yang berlanjut menjadi pilorustenosis yang
berakibat lanjut makanan dari lambung tidak bisa masuk ke saluran
berikutnya. Oleh karena itu pada penderita ulkus peptikum setelah
makan mengalami mual, anoreksia, kembung dan kadang vomitus.
Resiko terjadinya kekurangan nutrisi bisa terjadi sebagai manifestasi dari
gejala-gejala tersebut.
Pada penderita ulkus peptikum mengalami peningkatan pepsin
yang berasal dari pepsinogen. Pepsin menyebabkan degradasi mukus
yang merupakan salah satu faktor lambung. Oleh karena itu terjadilah
penurunan fungsi sawar sehingga mengakibatkan penghancuran kapiler
dan vena kecil. Bila hal ini terus berlanjut, dapat menimbulkan
komplikasi berupa pendarahan.
Perdarahan pada ulkus peptikum bisa terjadi disetiap tempat,
namun yang tersering adalah dinding bulbus duodenum bagian posterior,
karena dekat dengan a. gastroduodenalis atau a. pankreatikoduodenalis.
Kehilangan darah ringan dan kronik dapat mengakibatkan anemia
defisiensi besi. Disamping itu perdarahan juga dapat memunculkan
gejala hematemesis dan melena. Pada pendarahan akut akibat ulkus
peptikum dapat mengakibatkan terjadinya kekurangan volume cairan.
Proses ulkus peptikum yang terus berlanjut, selain menyebabkan
perdarahan dapat pula menyebabkan perforasi. Perforasi yang berlanjut
dapat menembus organ sekitarnya, termasuk peritoneum. Bila ulkus
telah sampai diperitonium dapat terjadi peritonitis akibat infasi kuman.
Obstruksi merupakan salah satu komplikasi dari ulkus peptikum.
Obstruksi biasanya dijumpai di daerah pylorus, yang disebabkan oleh
peradangan, edema, adanya pilorusplasme dan jaringan parut yang
terjadi pada proses penyembuhan ulkus. Akibat adanya obstruksi, dapat
timbul gejala anoreksia, mual, kembung dan vomitus setelah makan.
3.2.5 Klasifikasi Ulkus Peptikum
Klasifikasi ulkus peptikum dibagi ke dalam beberapa macam
sebagai berikut:
a. Berdasarkan Waktu Timbulnya
1) Ulkus Peptikum Akut
Pada ulkus peptikum akut biasanya ada penyebab yang
mendahuluinya, seperti misalnya luka bakar yang berat, operasi
berat, dan gastritis erosiva akibat obat-obatan. Ulkus biasanya
multipel dan timbulnya secara mendadak. Ulkus sering
ditemukan pada duodenum dan lambung. Berbagai macam
rangsangan stres yang dapat menimbulkan ulkus peptik akut
diantaranya ialah syok, trauma, kebakaran, pembedahan,
perubahan udara yang mendadak, dan obat-obatan. Sifat dari
tukak peptik akut adalah cepat sembuh dan biasanya tanpa
meninggalkan bekas, dan kadang-kadang disertai perdarahan.
2) Ulkus Peptikum Kronik
Gejala ulkus peptikum kronis biasanya bersifat menahun.
Adanya riwayat nyeri ulu hati yang bersifat periodik, nyeri
timbul berhubungan dengan makanan atau minuman yang
dikonsumsi, dialami lebih dari 2 bulan dan mempunyai masa
penyembuhan yang lama. Secara patologis gambaran dari ulkus
yang kronik adalah berupa jaringan ikat pada tepi dan dasar dari
ulkus.
b. Berdasarkan Letak Ulkus
Pada bagian bawah esofagus, lambung, dan duodenum bagian
atas (first portion of duodenum). Ulkus jejunum bisa ditemukan pada
penderita yang mengalami gastrojejunostomi. Ulkus ileum bisa
ditemukan pada penderita yang mengalami gastroileostomi. Ulkus
biasanya terdapat di dekat anastomose yang dapat disebut pula ulkus
marginalis atau stomal ulcer.
1) Ulkus Esofagus
Ulkus ini jarang ditemukan dan bila ditemukan biasanya
terdapat di bagian distal esofagus. Kelainan yang menyertai atau
mendahului, seperti hernia, striktura, akalasia, dan tumor. Nyeri
terletak di bagian bawah sternum atau tepat di ulu hati yang
menjalar ke manubrium sterni dan ke punggung di daerah
interskapuler, terutama saat makan atau minum. Nyeri akan
bertambah berat jika membungkukkan badan. Selain itu terdapat
keluhan berupa panas di dada dan ulu hati, mual dan muntah-
muntah. Pada pemeriksaan jasmani tidak ditemukan kelainan
yang jelas.
2) Ulkus Lambung
Letak tukak terbanyak di angulus, antrum, prepilorus, dan
jarang terjadi pada korpus dan fundus. Keluhan berupa rasa nyeri
di perut kiri atas atau epigastrium yang ada hubungan dengan
makanan, dan mulut terasa asam. Nyeri bisa menjalar ke
punggung kiri. Nyeri dirasakan setelah makan, kemudian diikuti
dengan rasa enak yang berakhir 30-90 menit, kemudian diikuti
dengan periode nyeri yaitu sampai lambung kosong selama 90
menit. Jadi ritme nyeri pada tukak lambung adalah makan-nyeri-
enak. Pada pemeriksaan jasmani ditemukan nyeri tekan pada
epigastrium antara umbilikus dan prosesus sifoideus.
3) Ulkus Duodenum
Letak tukak duodeni terbanyak di dinding anterior dan
posterior dari bulbus dan postbulber atau pars desendens duodeni
di sebelah proksimal dari papila vatereii. Jarang sekali ditemukan
di distal papila vateri. Nyeri, pedih, dan panas di perut kanan
atas, terutama tengah malam saat tidur sehingga terbangun. Rasa
nyeri kadang-kadang menjalar ke perut kiri dan ke pinggang
kanan. Nyeri bisa dikurangi dengan makan, minum susu, dan
minum obat antasida (Hunger Pain Food Relief). Nyeri timbul
saat pasien merasa lapar dan terasa enak setelah makan 2-4 jam,
kemudian timbul rasa nyeri sampai waktu makan lagi. Jadi
timbul triple ritme, makan-enak-nyeri. Pada pemeriksaan jasmani
ditemukan, nyeri tekan di perut kanan atas dekat umbilikus.
4) Ulkus Jejunum
Tukak di jejunum jarang terjadi, baru timbul setelah penderita
mengalami gastrojejunostomi. Letak tukak terbanyak di distal,
tidak lebih dari 3 cm dari anastomose di dinding anterior.
Keluhan umumnya berupa rasa nyeri, pedih, dan panas di perut
di sebelah kiri umbilikus, mual dan muntah-muntah, serta mulut
terasa asam. Kadang-kadang nyeri menjalar ke pinggang kiri.
c. Berdasarkan Kedalaman Tukak
1) Kerusakan jaringan hanya terbatas pada mukosa, dan disebut
erosi.
2) Kerusakan jaringan atau ulserasi sampai submukosa.
3) Ulserasi meluas ke bagian yang lebih dalam yaitu pada sebagian
dari lapisan muskularis.
4) Ulkus menembus ke bagian yang lebih dalam, terutama sebagian
lapisan muskularis dan terjadi peradangan sampai lapisan serosa.

Tabel 1. Modifikasi Kriteria Forrest untuk Stratifikasi Risiko Ulkus


Peptikum
Tipe 1 Perdarahan aktif 1a. Spurting
1b. Oozing
Tipe 2 Perdarahan tidak aktif 2a. Non bleeding visible vessel
2b. Ulcus with surface clot
2c. Ulcus with red or dark blue
spot
Tipe 3 Ulkus dengan dasar yang bersih

3.2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Secara umum pasien tukak peptik biasanya mengeluh dispepsia.
Dispepsia adalah suatu sindroma klinik/kumpulan keluhan beberapa
penyakit saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu
hati, sendawa, rasa panas seperti terbakar yang biasanya timbul
setelah makan atau minum yang asam, seperti ditusuk-tusuk, seperti
diperas, atau pedih, rasa penuh ulu hati, cepat merasa kenyang, dan
serangan tukak hilang-timbul secara periodik.
Keluhan utama adalah nyeri di epigastrium, dimana sifatnya
kronik bisa bulanan/tahunan, periodik secara remisi dan eksaserbasi,
ritmik-iramanya hunger pain food relief pattern, kualitasnya steady
and continue. Apabila keadaan memberat, maka pola tersebut
berubah dan nyeri dirasakan lebih berat serta lebih lama.
Pada tukak duodeni rasa sakit timbul saat pasien merasa lapar
atau 90 menit - 3 jam setelah makan, rasa sakit bisa membangunkan
pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum
susu atau obat antasida (Hunger pain food relief), rasa sakit tukak
duodeni sebelah kanan garis tengah perut. Hal ini menunjukkan
adanya peranan asam lambung/pepsin dalam patogenesis tukak
duodenum. Rasa mual disertai mulut asam merupakan keluhan pada
penderita tukak di pilorus, atau duodenum. Rasa sakit tukak gaster
timbul setelah makan, dan rasa sakit tukak gaster dirasakan sebelah
kiri garis tengah perut. Muntah terutama timbul pada tukak yang
masih aktif, sering ditemukan pada penderita tukak lambung
daripada tukak duodeni, terutama yang letaknya di antrum atau
pilorus.
Riwayat minum alkohol, jamu-jamuan, atau obat-obatan yang
ulserogenik. Sepuluh persen dari tukak peptik, khususnya karena
OAINS menimbulkan komplikasi (perdarahan/perforasi) tanpa danya
keluhan nyeri sebelumnya sehingga anamnesis tentang penggunaan
OAINS perlu ditanyakan pada pasien. Tinja berwarna seperti ter
(melena) harus diwaspadai sebagai suatu perdarahan tukak.
Pada dispepsia kronik, untuk membedakan dispepsia fungsional
dan dispepsia organik, yaitu pada tukak peptik dapat ditemukan
gejala peringatan (alarm symptom) antara lain berupa : umur >45-50
tahun keluhan muncul pertama kali, berat badan menurun >10%,
anoreksia/rasa cepat kenyang, riwayat tukak peptik sebelumnya,
muntah yang persisten, dan anemia yang tidak diketahui
penyababnya.
Sugesti seseorang menderita penyakit tukak perlu dipikirkan
bila ditemukan adanya riwayat pasien tukak dalam keluarga, rasa
sakit klasik dengan keluhan yang spesifik, faktor predisposisi seperti
pemakaian OAINS, perokok berat, dan alkohol, adanya penyakit
kronis seperti PPOK atau sirosis hati, dan adanya hasil positif
H.pylori dari serologi/IgG anti H.pylori.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik hanya sedikit membantu diagnosa, kecuali
bila sudah terjadi komplikasi. Pada non komplikata jarang
menimbulkan kelainan fisik. Rasa sakit/nyeri ulu hati di kiri atau
sebelah kanan garis tengah perut, terjadinya penurunan berat badan
merupakan tanda fisik yang dapat dijumpai pada tukak peptik tanpa
komplikasi.
Pada non komplikata adanya epigastric tenderness yang
berlokasi di epigastrium antara umbilikus dan prosesus sifoideus.
Timbulnya diffuse superficial tenderness kemungkinan merupakan
refleks viserosomatik. Semua serabut-serabut nyeri dari traktus
gastrointestinalis melalui saraf simpatis menuju ke spinal cord.
Persarafan di lambung dan duodenum oleh nervus splanknikus
menuju ke segmen dari spinal cord. Pada beberapa penderita, palpasi
dalam disertai dengan penekanan menimbulkan rasa nyeri yang
bertambah hebat.3 Rasa nyeri bermula pada satu titik (pointing sign)
akhirnya difus bisa menjalar ke punggung. Ini kemungkinan
diakibatkan oleh penyakit yang bertambah berat atau mengalami
komplikasi.
Pada pasien dengan komplikasi obstruksi, pada pemeriksaan
fisik ditemukan penderita terlihat lemah, kurus, dan dehidrasi. Perut
atas cembung dan kadang-kadang terlihat peristaltik dari lambung.
Pertama-tama harus dinilai status hemodinamika pasien, adakah
syok atau tidak. Bila syok segera ditanggulangi tanpa melakukan
formalitas pemeriksaan fisik yang sempurna. Periksa apakah ada
stigmata penyakit hati kronik (tanda-tanda kegagalan faal hati dan
hipertensi portal). Pemeriksaan colok dubur (rectal toucher) juga
perlu dikerjakan.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk memperkuat diagnosis.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu:
1) Pemeriksaan radiologis (Barium meal)
Pemeriksaan radiologi dengan barium meal kontras ganda
dapat digunakan dalam menegakkan diagnosis tukak peptik,
tetapi akhir-akhir ini lebih dianjurkan pemeriksaan endoskopi.
Pemeriksaan rontgen yang disertai dengan metoda kontras ganda
dapat memperlihatkan kelainan pada mukosa lambung.
Pemeriksaan perlu dilakukan dalam berbagai posisi, misalnya
pada posisis telentang (supine) untuk melihat dinding posterior,
posisi tengkurap (prone) untuk melihat kelainan pada dinding
anterior, oblique ke kanan dan kiri.
Jika terjadi komplikasi berupa perforasi maka pada foto
polos abdomen ditemukan daerah bebas udara antara hati dan
diafragma. Pada obstruksi terlihat gambaran lambung yang
membesar, dengan sisa makanan. Daerah pilorus terlihat
menyempit, dan tidak ada/sedikit sekali bubur barium yang
masuk duodenum. Pada lambung bilokuler ditemukan
penyempitan di bagian korpus. Pada daerah penyempitan
kadang-kadang terlihat dibagi dua, yaitu bagian bawah dan atas
stenosis.
Lokasi tukak penting dalam menentukan sifatnya apakah
benigna atau maligna atau kemungkinan mengalami perubahaan
menjadi malignitas. Pada umumnya tukak yang jinak berlokasi di
dinding kurvatura minor, atau di dinding posterior dan anterior.
Tukak yang berlokasi di kurvatura mayor sebagian besar bersifat
ganas.
2) Pemeriksaan Endoskopi
Saat ini untuk diagnosis tukak peptik lebih dianjurkan
pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas. Di samping itu
untuk memastikan diagnosa keganasan tukak gaster harus
dilakukan pemeriksaan histopatologi, sitologi brushing dengan
biopsi melalui endoskopi. Pada obstruksi ditemukan sisa
makanan pada endoskopi.
Gambaran khas pada tukak jinak adalah pada umumnya
bulat atau oval, tepinya teratur dengan dasar licin, daerah di
sekitarnya membengkak dan hiperemi, dan sering dijumpai
lipatan yang radier (radiating fold) di sekitar tukak. Tukak yang
masih aktif, tampak jelas batasnya berbentuk bulat atau oval,
dengan dasar licin beris i nanah, tepi teratur dengan daerah di
sekitarnya membengkak hiperemi. Gambaran tukak gaster untuk
keganasan adalah: Boorman I /polipoid, B-II/ulceratif, B-
III/infiltratif, B-IV/linitis plastika (scirrhus). Biopsi dan
endoskopi perlu dilakukan ulang setelah 8-12 minggu terapi
eradikasi, karena tingginya kejadian keganasan pada tukak gaster
(70%).
3) Infeksi Helycobacter pylori dapat didiagnosis dengan test
antibodi (tes serologi), biopsi lambung pada pemeriksaan
endoskopi, tes antigen tinja, dan tes napas urea yang non invasif,
yang dapat mengidentifikasikan produksi enzim bakteri dalam
lambung.
4) Hematologi
Hemoglobin, hematokrit, lekosit, eritrosit, trombosit,
morfologi darah tepi, dan golongan darah. Jika diperlukan
periksa faal pembekuan.
5) Biokimia Darah
Uji faal hati yaitu transaminase, bilirubin, elektroforesa
protein, kolesterol, dan fosfatase alkali. Uji faal ginjal yaitu urea
nitrogen dan kreatinin.
6) Urin Rutin
d. Diagnosis
Diagnosis tukak gaster ditegakkan berdasarkan: 1) Pengamatan
klinis, dyspepsia (sakit dan discomfort), kelainan fisik yang
dijumpai, sugesti pasien tukak; 2) Hasil pemeriksaan penunjang
(radiologi dan endoskopi); 3) Hasil biopsi untuk pemeriksaan tes
CLO, histopatologi kuman HP.
Diferensial diagnosis tukak peptik: 1) Dispepsia non tukak; 2)
Dispepsia fungsional; 3) Tumor lambung/saluran cerna atas
proksimal; 4) Gastroesophageal Reflux Disease (GERD); 5)
Penyakit vaskular; 6) Penyakit pankreatobilier; 7) Penyakit
Gastroduodenal Crohns.
3.2.7 Komplikasi
Komplikasi menurun setelah datangnya obat ARH2 dan PPI.
Komplikasi tukak peptik yang sering terjadi adalah:
a. Perdarahan
Perdarahan sering terjadi dan merupakan komplikasi yang
terbanyak pada penderita tukak peptik. Insiden meningkat pada usia
lanjut (> 60 tahun) akibat adanya penyakit degeneratif dan
meningkatnya pemakaian OAINS. Perdarahan dapat terjadi secara
kronis maupun akut. Perdarahan kronis umumnya bersifat
perdarahan tersembunyi (occult blood) di tinja, tidak banyak
memberi keluhan dan akan menimbulkan gejala anemi (anemia
hipokromik atau anemia defisiensi Fe). Sebaliknya jika perdarahan
akut, maka akan terjadi hematemesis dan melena, dan penderita akan
mengalami syok. Tukak lambung sering menimbulkan hematemesis,
sedangkan tukak duodeni lebih sering menimbulkan melena.
b. Perforasi
Insiden perforasi meningkat pada usia lanjut karena proses
aterosklerosis dan meningkatnya penggunaan OAINS. Perforasi
tukak gaster biasanya ke lobus kiri hati, dan dapat menimbulkan
fistula gastrokolik. Penetrasi adalah suatu bentuk perforasi yang
tidak terbuka/tanpa pengeluaran isi lambung karena tertutup oleh
omentum/organ perut di sekitar. Komplikasi ini sering terjadi, dan
dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
1) Tahap I
Nyeri dirasakan sangat hebat dan perut terasa tegang,
karena cairan lambung dan makanan masuk dalam kavum
peritonii, sehingga menimbulkan rangsangan pada peritoneum.
Selain itu penderita juga mengeluh nausea dan vomitus. Kulit
penderita menjadi dingin walaupun suhu normal, auskultasi di
abdomen tidak ditemukan bising usus, frekuensi inspirasi
biasanya bertambah dangkal, terdapat pernapasan kostal, nadi
normal atau bertambah cepat, tekanan darah biasanya normal
tetapi jika tekanan darah sistol di bawah 100 mmHg, mempunyai
prognosa jelek.
2) Tahap II
Tahap ini terjadi 2-6 jam setelah perforasi. Nyeri bertambah
berat, menjalar ke punggung dan bahu kanan. Dinding abdomen
keras seperti papan (board like abdominal rigidity), disertai
dengan pernapasan kostal, makin cepat dan dangkal. Suhu badan
naik dengan tanda syok positif dan bising usus negatif.
3) Tahap III
Pada tahap ini timbul peritonitis generalisata, yang terjadi
6-12 jam setelah perforasi. Hal ini disebabkan karena invasi
bakteri ke dalam kavum peritonii. Keluhan bertambah berat, suhu
bertambah naik, takikardi, dan pernapasan bertambah cepat serta
dangkal. Perasaan sangat nyeri dan nyeri tekan perut, perut diam
tanpa terdengar peristaltik usus merupakan tanda peritonitis.
c. Obstruksi
Retensi lambung adalah komplikasi yang sering pada tukak
peptik dan mungkin disebabkan karena pilorospasme atau akibat
terjadinya parut. Obstruksi pilorus menyebabkan vomitus bertambah
hebat, dan lama-kelamaan akan terjadi dehidrasi dengan serum Na,
K, dan Cl akan menurun, serta akan terjadi hemokonsentrasi dan
kadar urea dalam darah naik.
d. Stenosis pilorus
Stenosis pilorus biasanya merupakan komplikasi dari tukak
duodeni. Selain itu bisa juga disebabkan oleh tukak lambung yang
lokasinya dekat pilorus dan karsinoma lambung stadium lanjut.
Keluhan pasien akibat obstruksi mekanik berupa cepat kenyang,
muntah berisi makanan tak tercerna, mual, sakit perut setelah
makan,dan berat badan turun. Serangan nyeri hebat mungkin timbul
bersamaan dengan periode peristaltik lambung. Lama kelamaan
lambung semakin membesar, rasa nyeri berkurang, rasa penuh di
perut tetap ada yang disertai dengan rasa mual, dan keluhan muntah
berkurang. Badan lemah, dan kadang timbul konstipasi.
e. Penetrasi
Tukak yang terletak pada dinding posterior lambung dapat
mengakibatkan perlengketan dengan organ di sekitarnya, dan dari
proses ulserasi dapat terjadi penetrasi ke organ-organ tersebut, tanpa
disertai keluarnya isi lambung ke dalam kavum peritonii. Penetrasi
biasanya terjadi ke hepar, pankreas, dan omentum minus. Penetrasi
tukak yang mengenai pankreas menyebabkan nyeri yang timbul tiba-
tiba dan menjalar ke punggung.
f. Lambung bilokuler (lambung gelas jam/hour-glass stomach)
Keadaan ini disebabkan karena tukak lambung kronik yang
berbentuk seperti pelana pada kurvatura minor, dimana saat
penyembuhan terjadi parut yang menimbulkan korpus lambung
mengalami konstruksi yang hebat, sehingga lambung terbagi menjadi
2 bagian oleh segmen stenotik. Hal ini dapat juga terjadi peda tukak
penetrasi yang melengket pada pankreas atau hepar, atau pada
dinding anterior abdomen. Komplikasi ini jarang terjadi.
3.2.8 Tata Laksana
Tujuan terapi adalah: 1) Menghilangkan keluhan/simtom (sakit
atau dispepsia); 2) Menyembuhkan/memperbaiki kesembuhan tukak; 3)
Mencegah kekambuhan/rekurensi tukak; 4) Mencegah komplikasi.
Walaupun tukak gaster atau tukak duodenum sedikit berbeda
dalam patofisiologi tetapi respon terhadap terapi sama. Tukak gaster
biasanya kurannya lebih besar, akibatnya memerlukan waktu terapi yang
lebih lama. Untuk pengobatan tukak gaster sebaiknya dilakukan biopsy
untuk menyingkirkan adanya suatu keganasan/kanker lambung.
Terapi terdiri dari non medikamentosa, medikamentosa, dan
tindakan operasi.
a. Non Medikamentosa
1) Pengaturan Diet
Pemberian makanan adalah segera sesudah hemodinamika
stabil dan perasaan mual sudah tidak ada lagi. Mula-mula
diberikan diet cair kemudian menjadi diet saring, diet lunak, dan
akhirnya diet biasa. Dasar diet yang dilakukan adalah makan
sedikit berulang kali, dan makanan yang banyak mengandung
susu dalam porsi kecil. Makanan yang dikonsumsi harus lembek
dan mudah dicerna, tidak merangsang, dapat menetralisir asam
HCl, serta hindari makanan pedas, asam, dan beralkohol, kopi,
teh, coklat, makanan yang berserat tinggi, makanan yang
mengandung lemak dan bumbu-bumbu berlebihan. Perut tidak
boleh kosong atau terlalu penuh.
2) Lifestyle
Penderita tukak peptik terutama yang berat harus banyak
istirahat, dan sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk mencegah
timbulnya komplikasi. Penyembuhan dengan rawat inap akan
lebih cepat dengan bertambahnya jam istirahat, berkurangnya
refluks empedu, stress, dan penggunaan analgetik. Stress dan
kecemasan memegang peran dalam peningkatan asam lambung
dan penyakit tukak. Penderita yang memiliki kalainan psikis,
emosional, perlu ketenangan atau bila perlu dikonsulkan dengan
ahli jiwa klinik. Sementara dapat diberikan sedatif atau penenang
(tranquilizer). Obat ini bukan untuk mengobati tukak peptik, dan
hanya sebagai obat tambahan sehingga sebaiknya diberikan
dalam dosis rendah.
3) Berhenti Merokok
Merokok menghalangi penyembuhan tukak kronik,
menghambat sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman
bulbus duodeni, menambah refluks duodenogastrik akibat
relaksasi sfingter pilorus, dan meningkatkan kekambuhan tukak.
Merokok sebenarnya tidak mempengaruhi sekresi asam lambung.
Sampai saat ini, tidak ada bukti bahwa merokok merupakan
predisposisi untuk timbulnya tukak peptik. Merokok akan
mengurangi nafsu makan dan menghambat penyembuhan tukak
peptik, dan dengan menghentikan merokok akan menambah
nafsu makan.
4) Obat-obatan
OAINS sebaiknya dihindari. Pemberian secar parenteral
(supositoria dan injeksi) tidak terbukti lebih aman. Bila
diperlukan, dosis OAINS diturunkan atau dikombinasi dengan
ARH2/PPI/misoprostrol. Saat ini sudah tersedia COX 2 inhibitor
yang selektif untuk penyakit OA dan RA yang kurang
menimbulkan keluhan perut. Pemakaian aspirin dosis kecil untuk
penyakit kardiovaskular belum menjamin tidak terjadi kerusakan
mukosa lambung.
5) Lain-lain
Alkohol belum terbukti mempunyai bukti yang merugikan.
Air jeruk yang asam, coca-cola, bir, kopi tidak mempunyai
pengaruh ulserogenik pada mukosa lambung tetapi dapat
menambah sekresi asam lambung dan sebaiknya jangan
dikonsumsi saat perut kosong.
b. Medikamentosa
1) Antasida
Saat ini antasida sudah jarang digunakan, antasida sering
digunakan untuk menghilangkan rasa sakit atau dispepsia. Obat
ini bekerja menetralisir asam. Pemberian antasida yang
mengandung aluminium-magnesium hidroksida 30-120cc/jam
untuk mempertahankan pH intragastrik minimal.
2) Obat Penangkal Kerusakan Mukus (Sitoprotektif)
a) Koloid Bismuth
Mekanisme kerja belum jelas, kemungkinan membentuk
lapisan penangkal bersama protein pada dasar tukak dan
melindunginya terhadap pengaruh asam dan pepsin, berikatan
dengan pepsin, merangsang sekresi prostagladin, bikarbonat,
mukus. Efek samping jangka panjang dosis tinggi adalah
neurotoksik. Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir
sama dengan ARH2 serta adanya efek bakterisidal terhadap
H.Pylori sehingga kekambuhan berkurang.
Dosis 2x2 tablet sehari. Efek samping tinja berwarna
kehitaman sehingga menimbulkan keraguan dengan
perdarahan.
b) Sukralfat
Mekanisme kerja kemungkinan melalui pelepasan kutub
alumunium hidroksida yang berikatan dengan kutub positif
molekul protein membentuk lapisan fisikokemikal pada dasar
tukak yang melindungi tukak dari pengaruh agresif asam dan
pepsin. Efek lain membantu sintesa prostaglandin, menambah
sekresi bikarbonat dan mukus, meningkatkan daya
pertahanan dan perbaikan mukosal. Efek samping konstipasi,
tidak dianjurkan pada gagal ginjal kronik. Dosis 4x1 gram
sehari.
c) Prostaglandin
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung ,
menambah sekresi mukus, bikarbonat, dan meningkatkan
aliran darah mukosa dan perbaikan mukosa. Efek penekanan
asam lambung kurang kuat dibandingkan ARH2. Biasanya
digunakan sebagai penangkal timbulnya tukak gaster pada
pasien yang mengguankan OAINS. PGE1/misoprostol. Dosis
4x200 mg atau 2x400 mg pagi dan malam hari. Efek samping
diare, mual, muntah dan menimbulkan kontraksi otot
uterus/perdarahan sehingga tidak dianjurkan pada wanita
yang akan hamil.
d) Antagonis Reseptor H2/ ARH2
Obat golongan ini mempunyai satu persamaan, yaitu
memiliki gugus imidazol histamin yang dianggap penting
sekali menghambat reseptor Histamin-2 yang merupakan
mediator untuk sekresi asam. Inhibisi ini bersifat reversibel.
Pengurangan sekresi asam postpandrial dan nokturnal, yaitu
sekresi nokturnal lebih dominan dalam rangka penyembuhan
dan kekambuhan tukak/sirkadian.
(Cimetidin, Ranitidine, Famotidine, Nizatidine), struktur
homolog dengan histamin. Mekanisme kerjanya memblokir
efek histamin pada sel parietal sehingga sel parietal tidak
dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung.
Inhibisi ini bersifat reversibel. Pengurangan sekresi asam post
prandial dan nokturnal, yaitu sekresi nokturnal lebih dominan
dalam rangka penyembuhan dan kekambuhan ulkus. Dosis
terapetik:
Cimetidin : dosis 2x400 mg atau 800 gr malam hari
Cimetidin mempunyai fungsi menghambat sekresi
asam basal dan nokturnal. Obat ini juga akan
menghambat sekresi asam lambung, oleh karena
rangsangan makanan. Obat ini dapat juga digunakan
untuk pengobatan gastritis kronis dengan hipersekresi
asam lambung dan tukak peptik yang mengalami
perdarahan. Obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan
pada wanita hamil. Cimetidin 200-400 mg yang diberikan
pada malam hari, cukup efektif untuk mencegah
kambuhnya kembali tukak peptik.
Ranitidin : 300 mg malam hari
Ranitidin menghambat sekresi asam lambung baik
dalam keadaan basal maupun sebagai respon terhadap
berbagai rangsangan. Sifat inhibitor terhadap sekresi
asam lambung tergolong kuat dengan masa kerja lama,
sehingga cukup diberikan dua kali sehari. Ranitidin tidak
mempengaruhi fungsi hati. Sebagian besar ranitidin baik
yang diberikan peroral maupun parenteral secara
intravena.1
Pemberian ranitidin dalam dosis terapi
menunjukkan tidak terjadi interaksi dengan obat lain.
Ranitidin selain digunakan untuk mengobati tukak peptik,
juga digunakan untuk mengobati gastritis dengan
hipersekresi asam lambung. Ranitidin juga bermanfaat
untuk pengobatan kelainan lambung akibat pemberian
obat antirematik (NSAID = Non Steroid Anti
Inflammatory Disease) baik dengan atau tanpa
perdarahan.
Nizatidine : 1x300 mg malam hari
Famotidin : 1x40 mg malam hari
Famotidin dapat diberikan pada penderita tukak
peptik yang disertai sirosis hati, dan juga pada gangguan
faal ginjal yang ringan. Pada tukak peptik diberikan
pengobatan selama 4-6 minggu, selanjutnya diberikan 20
mg tiap malam selama 4 minggu guna mencegah
kekambuhan. Penderita tukak peptik yang mengalami
perdarahan atau pada stress ulcer dengan perdarahan
sebaiknya diberikan famotidin 20 mg secara intravena
dua kali sehari. Pemberian ini selama 3-5 hari dan
biasanya perdarahan akan berhenti, kemudian dilanjutkan
peroral. Penderita dengan gastritis dapat diberikan dosis
lebih rendah yaitu 20 mg tiap malam sebelum tidur.
Roksatidin : 2x75 mg atau 150 mg malam hari
Pemberian roksatidin asetat terbukti sangat kuat
menghambat sekresi asam lambung pada malam hari.
Pengeluaran asam lambung basal juga berkurang sekitar
90% setelah 3 jam pemberian peroral 50 mg roksatidin
asetat. Efektivitas roksatidin asetat setara dengan
cimetidin dan ranitidin dalam mempertahankan bebas
tukak, tetapi dengan roksatidin hal ini dapat dicapai
dengan dosis rendah.
Berdasarkan hasil penelitian obat ini lebih aman
daripada cimetidin. Dosis yang dianjurkan yaitu dua kali
75 mg sehari atau 150 mg yang diberikan malam hari
sebelum tidur. Pada tukak peptik sebaiknya diberikan
selama 4-6 minggu dengan dosis 150 mg/hari, selanjutnya
diberikan 75 mg tiap malam hari untuk mencegah
kekambuhan. Pada gangguan fungsi ginjal sebaiknya
dosis roksatidin dikurangi menjadi 75 mg/hari.
Dosis terapetik dari keempat ARH2 dapat menghambat
sekresi asam dalam potensi yang hampir sama, tapi efek
samping simetidin lebih besar dari famotidin karena dosis
terapeutik lebih besar.
e) Proton Pump Inhibitor (PPI)
(Omeprazol, Lanzoprazol, pantoprazol, Rabeprazol,
Esomesoprazol). Mekanisme kerja PPI adalah memblokir
kerja enzim K+ H+ ATPase yang akan memecah K+ H+ ATP
menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan
asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen
lambung. PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel
kanalikuli, menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien
ulkus, mengurangi aktivitas faktor agresif pepsin dengan
pH>4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh triple drugs
regimen. Dosis Terapetik:
Rabeprazole 2x 20 mg/ hari
Omeprazole 2x 20 mg/ hari
Esomesoprazole 2x 20 mg/ hari
Lanzoprazole 2x 30 mg/ hari
Pantoprazole 2x 40 mg/ hari
3) Tukak Peptik Dengan Kausa HP
Terapi Triple. Secara historis regimen terapi eradikasi
yang pertama digunakan adalah: bismuth, metronidazole,
tetrasiklin. Regimen triple terapi (PPI 2x1, Amoxicillin 2x1000,
klaritromisin 2x500, metronidazole 3x500, tetrasiklin 4x500) dan
yang banyak digunakan saat ini:

Proton pump inhibitor (PPI) 2x1 + Amoksisilin 2 x 1000 +


Klaritromisin 2x500

PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Claritromisin 2x500 (bila


alergi penisilin)

PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Amoksisilin 2x 1000

PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Tetrasiklin 4x500 bila alergi


terhadap klaritromisin dan penisilin

Lama pengobatan eradikasi HP 1 minggu (esomesoprazol),


5 hari rabeprazole. Ada anjuran lama pengobatan eradikasi 2
minggu, untuk kesembuhan ulkus, bisa dilanjutkan pemberian
PPI selama 3-4 minggu lagi. Keberhasilan eradikasi sebaiknya di
atas 90%. Efek samping triple terapi 20-30%.
Kegagalan pengobatan eradikasi biasanya karena timbulnya
efek samping dan compliance dan resisten kuman. Infeksi dalam
waktu 6 bulan pasca eradikasi biasanya suatu rekurensi denfan
infeksi kuman lain.
Tujuan eradikasi HP adalah mengurangi keluhan/gejala,
penyembuhan ulkus, mencegah kekambuhan. Eradikasi selain
dapat mencegah kekambuhan ulkus, juga dapat mencegah
perdarahan dan keganasan.
Terapi Quadripel. Jika gagal dengan terapi triple, maka
dianjurkan memberikan regimen terapi Quadripel yaitu: PPI 2x
sehari, Bismuth subsalisilat 4x2 tab, MNZ 4x250, Tetrasiklin
4x500, bila bismuth tidak tersedia diganti dengan triple terapi.
Bila belum berhasil, dianjurkan kultur dan tes sensitivitas.
c. Terapi Operatif
1) Elektip (tukak refrakter/gagal pengobatan)
2) Darurat (komplikasi: perdarahan, perforasi, stenosis pilorik)
3) Tukak gaster dengan sangkaan keganasan (corpus, fundus, 70%
keganasan)
Tindakan operasi saat ini frekuensinya menurun akibat
keberhasilan terapi medikamentosa dan endoskopi terapi. Tukak
refrakter saat ini jarang dijumpai.
Prosedur operasi yang dilakukan pada penyakit tukak gaster
ditentukan adanya penyertaan penyertaan tukak duodenum. 1) Tukak
antrum dilakukan anterektomi (termasuk tukakanya) dan Bilroth 1
anastomosis gastroduodenostmi, bila disertai TD dilakukan
vagotomi. Tingginya kejadian rekurensi ukak pasca operasi maka
prosedur ini kurang diminati. 2) Tukak gaster dekat EG junction
tindakan operasi dilakukan lebih radikal/sub total gastrektomi
dengan Roux-en-Y/esofagogastro jejunostomi (Prosedur Csendo).
Bila keadaan pasien kurang baik, lokasi tukak proksimal dilakukan
prosedur Kelling Madlener termasuk anterektomi, biopsy tukak intra
operatif, dan vagotomi, rekurensi tukak 30%.
Komplikasi operasi dapat berupa komplikasi primer akibat
perubahan anatomi gaster pasca operasi. Semakin radikal tindakan
oerasi, semakin kurang kekambuhan tukak tetapi semakin meningkat
komplikasi pasca operasi.

3.3 Obat Gout Artritis


3.4 Pembahasan

Anda mungkin juga menyukai