Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan
makalah Asuransi Kesehatan (Pembayaran Kapitasi) ini meskipun masih banyak kekurangan
didalamnya.Tak lupa kami ucapkan banyak terimakasih kepada dosen pembimbing dan
teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Asuransi Kesehatan (Pembayaran Kapitasi).Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurnah.Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada yang
sempurnah tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya.Sekiranya makalah yang disusun ini dapat berguna bagi kita maupun orang
yang membacanya.Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
dipembuatan makalah selanjutnya.

Makassar, 19 Mei 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

SAMPUL
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii

BAB I ........................................................................................................................................ 3

PENDAHULUAN .................................................................................................................... 3

A. LATAR BELAKANG .................................................................................................. 3

B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................................. 4

C. TUJUAN....................................................................................................................... 5

BAB II ....................................................................................................................................... 6

PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 6

A. Karakteristik pelayanan kesehatan dan Rasionalnya .................................................... 6

B. Dosis Dan Harga Layanan Medis Dala, Kapitasi ......................................................... 8

C. Langkah perhitungan tarif kapasitas ........................................................................... 10

D. Beberapa Masalah Dalam Pembayaran Kapitasi ........................................................ 18

BAB III ................................................................................................................................... 21

PENUTUP............................................................................................................................... 21

A. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada dekade tahun 1990-an Sistem Kesehatana Indonesia mulai mengalami
berbagai perubahan menuju konsep pasar. Perubahan pertama adalah perubahan di
dalam penyelenggara pelayanan (delivery system) untuk mengurangi beban
pemerintah. Perubahan tersebut di dorong oleh nasihat konsultan asing yang
berpandangan bahwa layanan kesehatan harus didanai oleh masyarakat. Pendanaan
layanan kuratif makin diserahkan kepada masyarakat. Maka didoronglah rumah sakit
swadana yang antara lain bertujuan untuk menekan tarif dengan konsep cost
recovery- biaya layak yang dikeluarkan RS harus dibayar oleh rakyat. Maka terjadilah
kenaikan tarif RS yang tinggi dan banyak RS publik milik pemerintah menawarkan
berbagai kelas perawatan yang full cost recovery, important person. Penilaian
terhadap orang penting very important, Cuma dilihat dari pilihannya membayar biaya
perawatan yang mahal. Sesungguhnya konsep tersebut tidak sesuai dengan hakikat
negara melindungi rakyar sebagaimana diinginkan UUD 45 dan yang umum
dilakukan berbagai negara maju. Tapi, begitulah masa lalu. Lemahnya pemahaman
pejabat publik menyebabkan kebijakan publik bidang kesehatan terdistorsi.
Perubahan kedua adalah perubahan di dalam cara pendanaan kesehatan dari yang
tadinya bersifat individual ke kelompok dengan melalui asuransi kesehatan. Salah
satu perubahan adalah dibukannya pasar asuransi komersial dalam UU No.2/1992,
penyelenggaraan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek dalam
UU No. 3/1992, dan penyelenggaraan program JPK Masyaraka (JPKM) yang diatur
dalam pasal 66 UUNo.23/1992. Dalam pengaturan pendanaan kesehatan,ketiga
program tersebut dapat saling berbenturan dan berebut. Akibatnya,PP tentang JPK
Jamsostek (PP 14/1993)terpaksa mengorbankan kepentingan pekerjaan dan anggota
keluarganya. Dalam PP tersebut, UU No 3/1992 tentang Jamsostek dikorupsi dengan

3
memberikan pilihan kepada pemberi kerja (perusahaan) yang dapat menyediakan
layanan kesehatanyang lebih baik dari JKN Jamsostek boleh tidak mengikuti program
JPK Jamsostek. Klausul koruptif kebijakan publik tersebut di dunia dikemas sebagai
opsi opt out. Karena klausul itulah, sampai tahun 2013 kurang dari 5% pekerja
penerima upah yang ikut program JPK Jamsostek. Sementara UU kesehatan ( UU 23/
1992) mendorong bisnis asuransi komersial dengan nama JPKM yang tampaknya
berkolusi dengan PP 14/1993 untuk mendorong asuransi komersial yang ketika itu
tidak mau diakui ebagai produk asuransi. Hal inilah yang menjadi pertimbangan
reformasi sistem jaminan kesehatan menuju JKN sekarang. Program JPK Jamsostek
dan JPKM secara ekplisit menyebutkan pembayaran kapasitas di dalam rangka
pengendalian biaya kesehatan.
Menurut catatan KKI, jumlah dokter yang tercatat (registrasi) sampai bulan Aptil
2014 adalah sebagai berikut : jumlah dokter (umum/primer) 97.081 orang, jumlah
dokter gigi 25.195 orang ,jumlah dokter spesialis 25.309 orang jumlah dokter gigi
spesial 2,279 orang. Jumlah seluruh dokter dan dokter gigi menjadi 169.801. Dapat
dipahami jika tidak ada penjenjangan layanan, jika peserta JKN dibolehkan langsung
berobat ke dokter spesialis,maka jumlah dokter/dokter gigi spesialis tidak akan
memadai. Selain itu,gaji/jasa dokter / dokter gigi spesialis lebih mahal dan tidak
semua penyakit membutuhkan layanan spesialis. Maka sesuai dengan piramida
penyakit, maka pendekatan manajemen rasional sistem kesehatan atau sistem jaminan
kesehatan adalah mengharuskan peserta JKN berobat ke dokter/dokter gigi
(umum/primer) terlebih dahulu. Karena distribusi penyakit dan biaya pengobatan
sebagaian besar penyakit tidak bervariasi besar,maka pembayaran dokter /dokter gigi
primer layak dilakukan dengan cara kapasitas atau bayar borongan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Yang Termaksud Karakteristik Pelayanan Kesehatan Dan Rasionalnya
2. Apa Yang Di Maksud Dosis Dan Harga Layanan Medis Dala, Kapitasi
3. Apa Saja Yang Menjadi Langkah Perhitungan Tarif Kapasitas
4. Bagaimana Menyelesaikan Beberapa Masalah Dalam Pembayaran Kapitasi

4
C. TUJUAN
1. Untuk Mengetahui Karakteristik Pelayanan Kesehatan Dan Rasionalnya
2. Untuk Mengetahui Dosis Dan Harga Layanan Medis Dala, Kapitasi
3. Untuk Mengetahui Apa Saja Yang Menjadi Langkah Perhitungan Tarif Kapasitas
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Menyelesaikan Beberapa Masalah Dalam
Pembayaran Kapitasi

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Karakteristik pelayanan kesehatan dan Rasionalnya


Dibandingkan dengan kebutuhan hidup manusia yang lain kebutuhan akan layanan
kesehatan mempunyai tiga ciri unik utama layanan kesehatan (Evans, 1984). Ketiga ciri
utama tersebut adalah:
1. Uncertainty, ketidakpastian.
2. Asymetry of information, informasi asimetris
3. Externality.
1. Uncertainty
Uncertainty atau ketidakpastiaan menunjukkan bahwa kebutuhan akan layanan
kesehatan (health care) tidak bisa dipastikan, baik waktunya, tempatnya, maupun besarnya
biaya yang dibutuhkan. Sifat ini mengharuskan pendanaan mekanisme asuransi atau
pendanaan bersama (baik asuransi sosial maupun pendanaan publik oleh negara) dalam
sebuah sistem kesehatan. Mekanisme asuransi menghimpun (pool) risiko perorangan menjadi
risiko kelompok dengan membayar iuran atau premi. Mekanisme asuransi/penjamin juga
menyebar atau membagi risiko tersebut (sharing) secara merata (berkeadilan atau ekuitas)
kepada anggota kelompok. (dengan membayar premi, iuran, atau pajak) maka risiko tiap
orang menjadi pasti (tiap bulan), kecil/ringan karena dipikul bersama, dan terjadi gotong-
royong (sharing) antar anggota kelompok. Anggota kelompok disebut peserta dalam sistem
asuransi sosial, disebut pemegang polis dalam asuransi komersial, dan disebut rakyat
pembayar pajak dalam sistem pendanaan langsung oleh negara.
2. Informasi asimetris
Sifat kedua, informasi asimetris menunjukkan bahwa pasien/konsumen layanan
kesehatan berada pada posisi yang jauh lebih lemah dalam memahami/mengetahui segala
macam kebutuhan, perlu tidaknya, kualitas, dan biaya layanan yang dibutuhkannya.
Sedangkan tenaga kesehatan (dalam bahasa inggris provider yang termaksud dokter, tenaga
kesehatan lain, bahkan sering juga mencakup klinik dirumah sakit) mengetahui jauh lebih
banyak tentang jenis, biaya, pilihan, dan kualitas layanan yang “dijualnya”. Di indonesia,

6
istilah provider dengan istilah fasilitas pelayanan kesehatan atau fasilitas kesehatan
sebagaimana di atur dalam UUD 45, UU SJSN, dan UU kesehatan. Akibat dari ciri ini, jika
pasien/konsumen bayar (“membeli”) sendiri-sendiri. Maka sebuah pemerintahan harus
mengawasi dengan ketat setiap layanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan.
3. Externalitas
Externalitas menunjukkan bahwa konsumsi layanan kesehatan tidak saja memengaruhi
atau dinikmati oleh pasien atau “pembeli” tetapi juga dinikmati oleh bukan “pembeli”.
Contohnya, pengobatan TBC yang dibayar oleh seorang pasien akan dinikmati oleh orang
lain disekitarnya yang bukan pasien. Orang lain akan menikmati risiko oleh tertular sakit
TBC jika penderita TBC berobat dengan tuntas. Maka, tidak adil (fair) jika si penderita
TBC harus menanggung sendiri biaya berobatannya. Demikian juga risiko kebutuhan
layanan kesehatan tidak saja mengenai diri pembeli tetapi juga mengenai bukan pembeli.
Contohnya adalah konsumsi rokok yang menimbulkan risiko lebih besar pada bukan
perokok (perokok pasif atau perokok sekunder bahkan perokok tersier). Perokok sekunder
kanker paru, berbagai kanker lain, dan serangan jantung. Maka tidak adil jika si pasien
perokok pasif harus membayar sendiri layanan kesehatan yang dapat menghabiskan
ratusan juta rupiah. Akibat dari ciri ini, pelayanan kesehatan membutuhkan subsidi
pemerintah atau ditanggung bersama dalam sebuah sistem jaminan.
Oleh karena uniknya sifat layanan kesehatan diatas, tidak ada satu negarapun yang
membiarkan setiap rakyat membayar sendiri-sendiri seluruh biaya berobat. Itulah sebabnya
sebuah negara harus bertanggung jawab dengan mengembangkan sistem JKN baik dengan
cara menyediakan layanan gratis ketika sakit tetapi rakyat membayar pajak,
mengembangkan asuransi sosial, atau kombinasi keduanya. Indonesia memilih kombinasi
keduanya dalam JKN.
Selain itu, pelayanan kesehatan mempunyai aspek sosial yang rumit dipecahkaan sendiri
oleh bidang kedokteran atau ekonomi. Bidang kedokteran tidak bisa membiarkan keadaan
seseorang yang memerlukan layanan medis tetapi teknologinya atau biayanya belum
tersedia. Para dokter tidak bisa mempelakukan pasien sebagai komputer yang jika salah
satu komponennya (organ tubuhnya) rusak, maka pasien dimusnahkan saja jika teknologi
untuk memfungsikannya sulit didapat atau mahal. Dokter berusaha mencari teknologi baru
untuk memecahkan masalah klinis yang tidak pernah tuntas dan mungkin tidak akan tuntas

7
dalam satu abad ke depan. Teknologi baru tersebut menuntut penelitian longitudinal dan
biaya besar. Akibatnya, teknologi baru menjadi mahal.
Hal ini berdampak pada aspek ekonomi, dimana teknologi kedokteran dapat mengatasi
keadaan pasien, akan tetapi biaya untuk itu sering tidak terjangkau oleh kebanyakan orang.
Karena manusia tidak bisa memperlakukan pasien seperti komputer, maka timbul dilema
besar yang menyangkut kelangsungan hidup seseorang yang dapat ditolong dengan biaya
sangat besar. Secara sosial kita tidak bisa melakukan pertimbangan biaya dan efisiensi
semata dalam menghadapi pasien sakit berat yang memerlukan biaya besar. Di sinilah
diperlukan JKN. Sebuah sistem jaminan menanggung biaya berobat seseorang
peserta/rakyat/pemegang polis. Akan tetapi, karena sifat informasi asimetris maka sebuah
fasilitas kesehatan atau seseorang dokter yang tidak/kurang bermoral dapat memanfaatkan
kesempatan itu untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Ia dapat memberikan
layanan medis berlebihan, bukan karena si pasien membutuhkan, tetapi karena ia menilai
hal itu bisa menaikkan pendapatannya. Perilaku demikian disebut moral hazard, jika ia
tidak berminat memperkaya diri dan disebut fraud/curang/korup, jika si dokter atau
pimpinan fasilitas dengan sadar atau berniat untuk mengakali sistem jaminan. Kuncinya
adalah penetapan layanan medis yang pas, sesuai kebutuhan, atau bisa disebut dosis
layanan.

B. Dosis Dan Harga Layanan Medis Dala, Kapitasi


Masalah yang paling penting diperhatikan adalah menyangkut pemberian layanan
kesehatan seseorang yang pas dengan kebutuhannya (gambar).konsumsi yang teoat itu yang
harus menjadi dasar penetapan besaran kapitasi. Secara teotitis, konsep besaran bayaran
kapitas dan status kesehatan dapat dilihat pada gambar di bawah yang menunjukkan pola
diminishing marginal benefit. Semakin banyak orang mengkonsumsi layanan kesehatan
,ketika dia sakit, semakin sehat. Akan kenaikan tingkat kesehatan (status kesehatan S) akan
semakin kecil dan pada akhirnya mencapai nol (tidak menembah status kesehatan) meskipun
konsumsi teus bertambah. Pada keadaan tersebut,maka konsumsi lebih banyak merupakan
pemborosan. Karena sifat informasi asimetri,peserta atau pasien tidak akan mengetahui
pada titik mana konsumsinya mencapai optimal. Permintaan konsumsi lebih lanjut hanya
merupakan tindakan moral hazard. Seseoramg dokter yang memiliki kompetensi mampu
menentukan jumlah konsumsi yang pas. Akan tetapi, jika dokter dibayar per pelayanan

8
(FFS), maka ia juga punya insentif finansial untuk memberikan layanan yang berlebihan.
Maka, atas dasar teori itulah, pembayaran dokter dilakukan dengan cara kapitasi.
Pada gambar di bawah disajikan kurva permintaan (demand) terhadap harga/tarif dan
status kesehatan . pada keadaan normal, misal pada harga H1 = RP 200.000 per kunjungan
dan pasien harus bayar sendiri , maka pasien akan berobat sekali setahun jika tidak tahan
lagi (D1). Pada kondisi ini , status kesehatan pasien mendekatiti nol (0), tidak mampu
bekerja atau bersekolah. Akan tetapi, jika diumumkan berobat gratis (termaksud obat) pada
tarif /harga RP0, maka pasien akan datang mungkin 10 kali dalam setahun (D3). Namun
pada tarif/harga atau penerimaan dokter primer setara dengan harga K (kapasitas) atau
misalnya RP100.000 per kunjungan, termasuk obat, maka pasien akan berobat 4 kali
setahun. Pada konsumsi 4 kali ini peserta akan mencapai tingkat keshatan S2, tingkat
optimal. Jika ia lebih sering lagi ke dokter, maka konsumsi layanan dokter dan obat yang
diberikan tidak menambah tingkat kesehatan atau produktifitasnya. Jika dokter dibayar pada
tingkat harga/tarif yang setara dengan RP100.000 (tetapi dikonversi menjadi bayaran
kapasitas sebesar Rp K),maka dokter akan mengatur agar konsumsi rata-rata hanya sampai 4
kali kunjungan per tahun.
Pada kenyataannya sering kali dokter sulit memaksa peserta berkunjung sesuai jumlah
yang optimal karena adanya informasi asimetri. Peserta merasa belum puas dan ingin konsul
atau mengkomsumsi obat lagi. Karena peserta tidak membayar lagi ketika ia berobat , sudah
dijamin JKN,maka ia berperilaku seolah-olah layanan dokter primer itu gratis. Maka ia
cenderung mengiginkan konsumsi 10 kali (seolah harga = Rp0) per tahun. Dokter kesulitan
menyanyikan pasien yang tidak memahami konsumsi yang pas. Tetapi, peserta/ pasien akan
lebih mudah dipaksa menurunkan konsumsi jika ada sanksi (disinsentif) finansial. Oleh
karenanya di banyak negara, penjamin menerapkan bayaran tertentu yang cukup efektif
untuk menahan (mengerem)konsumsi. Bayaran pasien /peserta yang sudah dijamin ketika
berobat disebut urut biaya (cost-sharing) yang gunanya untuk mencegah moral hazard. Hal
ini dimungkinkan dalam JKN sebagaimana diatur dalam UU SJSN. Akan tetapi, pada tahap
awal penerapan urun biaya pada layanan primer akan sulit diterima peserta.
Lalu bagaimana menerjemahkan harga efektif per kunjungan (termasuk obat) layanan
primer sebesar Rp100.000, yang merupakan konsumsi yang pas? Harga Rp100.000 ribu
adalah harga per pasien. Sedangkan bayaran kapitasi adalah harga per peserta, termasuk

9
yang sehat yang tidak berobat /tidak mengkonsumsi. Maka harus didapatkan
frekuensi/probabilitas peserta berobat dengan dasar pengalaman masa lalu, yaitu jumlah
kunjungan rata-rata per 1.000 peserta dalam setahun. Asumsi biaya (termasuk pendapatan
dokter dan obat )sebesar Rp100.000 per kunjungan juga harus sesuai dengan aturan yang
berlaku. Karena dokter tidak punya kewenangan menyerahkan obat,maka dokter/klinik
harus bekerja sama dengan apoteker yang berwenang menyerahkan obat menurut Peraturan
Pemerintah 51/2009. Cara perhitungan dan langkah-langkah penetapan bayaran kapitasi
disajikan kemudian dalam bab ini.
Dasar Pemikiran Adalah Konsumsi Yang Pas

C. Langkah perhitungan tarif kapasitas


Pembayaran kapasitas bervariasi dari pembayaran terbatas untuk rawat jalan tingkat
pertama tanpa obat,bisa dengan obat,bisa termasuk rawat jalan lanjutan,dan bahkan termasuk
perawatan. Pembayaran kapitasi untuk jenis pelayanan rawat jalan tertentu dikenal dengan
nama primary care capitation , yang di Indonesia kita gunakan untuk layanan dokter primer
saja. SEdangkan bila dokter menanggung risiko untuk seluruh pelayanan rawat
jalan,rujukan,dan perawatan di rumah sakit maka disebut full capitation . Istilah dan cakupan
layanan yang dibayar secara kapitasi tidaklah standar. Sebuah rumah sakit dan jarinhannya
bisa juga dibayar secara kapitasi. Di sini disajikan cara perhitungan yang mencakup layanan
primer atau termasuk layanan rujukan sebagai opsi untuk masa depan.

10
Cara menghitung biaya kapitasi tidaklah sulit. Hanya saja, untuk Indonesia saat ini data
yang tersedia masih terbatas. Tambahan , banyak fasilitas kesehatan (provider). Kemenkes ,
dan BPJS tidak memiliki dan atau tidak menggunakan data yang realistis untuk
menghitung/menetapkan besaran kapitasi yang layak untuk terjadinya efek kapitasi.
Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) dan Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia
(PDKI) juga tidak memiliki daya tawar yang efektif. Tanpa revisi tariff kapitasi yang layak
(tahun 2014 ini Cuma Rp.8.000 per kapita per bulan,tanpa memerhatikan distribusi risiko
peserta), yang mampu memberi insentif kepada dokter/dokter gigi primer untuk menyediakan
layanan promotif-preventif,harapan dokter/dokter gigi primer mengubah perilaku hidup sehat
peserta. Salah satu yang bisa diatur, ketika informasi belum memadai, adalah memberikan
insentif kepada seluruh dokter primer jika pada akhir tahun BPJS memiliki surplus yang
besar.
Langkah-langkah menghitung besaran kapitasi adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan jenis-jenis layanan yang termasuk dalam bayaran kapitasi.
2. Menghitung angka utilisasi per tahun.
3. Melakukan perhitungan penyesuaian risiko (risk adjusment).
4. Menghitung dan menetapkan rata-rata biaya/harga per layanan per tahun.
5. Menghitung biaya per kapita per layanan
6. Menjumlahkan biaya per kapita untuk seluruh layanan
7. Menghitung besaran kapitasi per bulan.

1. Menetapkan jenis-jenis layanan yang dijamin


Langkah pertama adalah menentukan jenis-jenis layanan termasuk dalam bayaran
kapitasi. Penetapan ini di Indonesia tealh ditetap konsil kedokteran Indonesia dengan
peraturan konsil kedokteran nomor 11/2012. Jumlahnya adalah 144 diagnosis/penyakit
yang menjadi kompentesi dasar dokter. Dalam UU praktik kedokteran dan UU
pendidikan kedokteran, seorang yang telah menyelesaikan pendidikan profesi kedokteran
disebut dokter. Dokter tersebut harus memiliki kemampuan tingkat 4 (mampu membuat
diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit secara mandiri dan tuntas,tidak
perlu merujuk). Kompetensi tingkat 4 yang disyaratkan dikuasai seorang dokter mencapai
144 penyakit. Dalam system manajemen layanan, untuk menjamin efesiensi, dokter yang

11
memiliki kompetensi minimal itu disebut dokter primer (dulu dikenal dan sebagian besar
masyarakat masih mengenal sebagai dokter praktek umum, general practitioner). Dalam
UU pendidikan kedokteran (nomor 20/2013), yang tekita buku ini ditulis sedang
disiapkan uji materi, ada kelompok Dokter Layanan Primer (DLP) yang sesungguhnya
merupakan pengaturan yang di banyak Negara disebut dokter keluarga (family
physician). Di Negara maju, layanan primer dapat diberikan oleh dokter umum,dokter
keluarga,dan dokter spesialis tertentu seperti dokter spesialis anak,kebidanan,dan
penyakit dalam. Hanya saja dalam UU 20/2013,DLP harus mengikuti pendidikan
tambahan di suatu fakultas kedokteran berakreditasi tertinggi dan dinyatakan setara
spesialis. Hal ini akan menimbulkan masalah. Dalam penjelasan pasal 8 UU pendidikan
kedokteran dijelaskan bahwa DLP sebagai layanan awal (gate keeper) dalam system
JKN. Menurut penulis, pengaturan DLP sebagai dokter layanan awal dalam UU ini
merupakan kekeliruan besar yang dapat menimbulkan masalah legal/tuntutan hukum.
Jika UU ini dijalankan secara konsisten, lebih dari 97.000 dokter harus mengikuti
pendidikan tambahan di fakultas kedokteran (FK) berakreditasi tertinggi sebelum boleh
melayani peserta JKN, yang oleh UU praktik kedokteran (UU 29/2004) dan dirumuskan
memiliki kompetensi sebagai dokter primer oleh KKI. Selain itu, hampir semua peserta
akan kehilangan haknya dilayani dokter primer. Sementara semua FK yang memenuhi
syarat tidak akan mampu mendidik DLP dalam 20 tahun ke depan.
Jenis layanan yang masuk pembayaran kapitasi harus secara eksplisit dijelaskan
kepada dokter primer,peserta,dan dokter spesialis. Berbagai masalah di lapangan akan
selalu terjadi, baik oleh dokter,dokter spesialis dan peserta. Apakah kapitasi hanya
mencakup biaya konsultasi, suntikan, tindakan bedah sederhana, obat, atau pemeriksaan
laboratorium? Ataukah kapitasi tersebut mencakup obat dan layanan laboraturium?
Semua harus disepakati/ditetapkan. Tidak ada standar baku di dunia. Tanpa ada
kejelasan, maka peserta JKN akan menjadi korban dan terombang-ambingkan. Meskipun
jenis layanan dan obat telah ditetapkan, potensi konflik di lapang tidak akan hilang. Perlu
dipahami bahwa jika obat termasuk dalam kapitasi layanan primer, maka harus diatur
pengaturan kerja sama dengan apoteker atau klinik memiliki apoteker dan harus dijamin
pengaturan tersebut dijalankan. Pada saat ini, hamper semua puskesmas tidak memiliki
apoteker. Artinya, pemerintah dan pemda masih belum taat aturan pembagian

12
kewenangan dokter dan apoteker yang diatur oleh pemerintah sendiri, yaitu peraturan
pemerintah nomor 51/2009.
2. Menghitung Angka/Rate Utilisasi
Langkah kedua adalah menghitung rate(angka) utilisasi untuk tiap jenis pelayanan
yang akan dibayar secara kapitasi. Banyak pejabat atau bahkan akademisi salah
memahami utilisasi dengan utilitas. Biasanya angka (rate) utilisasi dihurung per 1.000
peserta/anggota untuk satu tahun pelayanan. Kita juga menggunakan Angka Kematia
Bayi per 1.000 kalahiran hidup. Hitungan dalam satu tahun lebih menjamin stabilitas
angka utilisasi. Angka utilisasi sesungguhnya tidak berbeda dengan probabilitas yang
akan stabil dengan jumlah lebih besar. Para ahli berpendapat bahwa rateakan stabil pada
100.000 orang-tahun. Artinya, jika ada 100.000 orang peserta, maka observasi utilisasi
dalam setahun memadai untuk menghitung kapasitas. Jika jumlah peserta 50.000 orang,
maka dibutuhkan observasi selama dua tahun. Angka utilisasi yang stabil sesungguhnya
tergantung dari sifat alamiah layanan. Layanan medis mahal, seperti cuci darah dan
kanker hanya terjadi pada sekelompok kecil orang. Maka dibutuhkan jumlah observasi
yang lebih besar untuk mencapai stabilitas angkah utilisasi. Tuhan telah mengatur
demikian agar kita bisa mengembangkan kegotong royongan. Masalah terbesar di dalam
penghitungan angka perorangan dokter dan klinik (termasuk klinik puskesmas) adalah
populasi peserta yang relative kecil. “Hukum Angka Besar” atau hokum statistic dalam
observasi kelompok kecil maupun varians/simpang baku yang besar. Oleh karenanya, di
Negara maju pada umumnya kontrak pembayaran kapitasi dilakukan pada kelompok
praktik atau asosiasi dokter praktik tidak pada perorangan dokter praktik. Dalam JKN
secara bertahap akan juga terjadi perkembangan kea rah kumpulan/kelompok besar,
kelompoklah yang akan menangung risiko fluktuasi alamiah utilisasi dari bulan ke bulan.
Karena kontak dilakukan dengan kelompok, maka angka yang diperoleh akan lebih
prediktabel/stabil. Dokter sebagai perorangan kemudian dapat dibayar dengan system
gaji, tarif tertentu yang disepakati (schedule fee), atau dengan tarif per kunjungan (fee-
for-sevice). Kesetabilan angka utilisasi akan sangat penting di dalam mengelola keluhan
atau ketidakpuasan dokter yang dapat berakibat pada ketidakpuasan peserta. Pada
akhirnya, hal ini juga akan memengaruhi persistensi peserta.

13
Masalah kedua di dalam penghitungan angka utilisasi adalah komposisi risiko peserta.
Pada program kapitasi besarnya risiko dihimpun (di-pool) menjadi satu risiko per
kelompok peserta. Jika terdapat variasi risiko anggota kelompok yang cukup besar, maka
sebagian fasilitas kesehatan (dokter termasuk salah satu fasilitas kesehatan dalam UU
SJSN) akan menanggung beban yang lebih berat dari yang lain. Contohnya karena
jumlah lensia yang mempunyai risiko sakit lebih besar lebih banyak pada suatu klinik,
maka klinik tersebut harus menanggung risiko lebih besar dan harus dibayar denga
kapitasi yang lebih besar pula. Para penyelenggara managed caredi AS melakukan
pembayaran risk adjusted capitationuntuk mengkompensasi hal variasi risiko tersebut.
Penyesuaian risiko dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor pengalaman rata-
rata di suatu wilayah pada tahun-tahun sebelumnya.
3. Menetapkan Rata-Rata Biaya Per Layanan
Langkah selanjutnya adalah mencari informasi tentang biaya rata-rata per jenis
layanan. Untuk suatu wilayah tertentu, rata-rata biaya pelayanan ini dikumpulkan dan
dihitung berdasarkan harga pasar. Unit “wilayah” yang dimaksud dalam UU SJSN adalah
kesamaan biaya produksi atau harga rata-rata berbagai konsumsi. Badan Pusat Statistik
secara periodik melakukan survey harga berbagai keperluan yang kemudian dirumuskan
dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Dalam layanan kesehatan, karena harga tanah,
biaya membangun, dan biaya hidup berbeda di berbagai wilayah, maka rata-rata biaya
atau harga kapitasi juga harus berbeda. Atas dasar perbedaan IHK, biaya per jenis
layanan diperhitungkan.
Persoalan yang paling besar di Indonesia adalah terbatasnya informasi tariff/biaya
berbagai jenis layanan yang terpublikasi. Para dokter dan pimpinan klinik umumnya
memiliki biaya produksi yang mereka alami. Namun demikian, mereka tidak mengetahui
apakah biaya produksi mereka di atas atau di bawah rata-rata biaya produksi di
wilayahnya. Sedangkan besar kapitasi harus dihitung atas dasar besar rata-rata biaya
disuatu wilayah agar terjadi persaingan kualitas yang fair/adil. Oleh sebab itulah, dalam
UU SJSN dirumuskan bahwa besaran pembayaran disepakati antara kantor wilayah BPJS
dengan asosiasi fasilitas kesehatan (termasuk IDI) di suatu wilayah pasar. Sayangnya,
permenkes 69/2013 tidak jelas dasar perhitungannya. Sebab, berbagai studi yang
dilakukan tim konsultan menghasilkan besar kapitasi antara Rp.12.00-Rp.20.000 untuk

14
dokter praktik/klinik milik swasta, tergantung dari wilayah. Permenkes tersebut juga
tidak memberi ruang kesepakatan antara BPJS dengan asosiasi fasilitas kesehatan
sabagaiman konsep UU SJSN. Hal itu menjadi agenda perbaikan JKN ke depan.
4. Menghitung Biaya Per Kapita Per Tahun Untuk Tiap Layanan
Jika angka utilisasi dan rata-rata biaya per layanan sudah diperoleh, maka langkah
berikutnya adalah menghitung biaya per kapita per tahun untuk tiap jenis layanan.
Formula yang digunakan sederhatan yaitu (lihat tabel)

Biaya kapita per tahun= (angka utilisasi tahunan x rata-rata biaya pada
tahun berjalan) dibagi 1.000
Biaya per kapita per bulan= (biaya kapita per tahun) : 12 bulan

5. Menjumlahkan Biaya Kapita Per Tahun Untuk Seluruh Layanan


Layanan terakhir adalah menjumlahkan biaya per kapita per tahun yang telah
diperoleh menjadi biaya per kapita per bulan. Untuk kepentingan pendataan
nasional/regional yang menjadi data perhitungan bersama, sesuai prinsip transpalasi UU
SJSN dan UU BPJS, maka perlu ditambahkan biaya konstan untuk administrasi dan
pelaporan. Biaya konstan ini dapat ditahan (withold), tidak tidak dibayar tiap bulan tapi
bibayar tiap enam bulan atau tiap tahun apabila data utilisasi dikirim lewat internet.
Teknologi komunikasi dan informasi sekarang sangat memudahkan dokter/kelinik
datatersebut sekaligus merekam data dalam computer atau tab miliknya. Tanpa catatan
dal laporan yang baik, maka penghitungan kapitasi untuk periode berikutnya tidak akan
akurat dan prinsip transparansi tidak akan terwujud. Kewajiban BPJS adalah
menyediakan perangkat lunak dan perangkat kasar serta memberikan data kasar (raw
data) kepada pihak-pihak yang memiliki kompetensi atau kewenangan untuk
menganalisis data dalam rangka tercapainya pembayaran kapitasi yang adil dan
transparan.
Jika peserta akan ditarik biaya administrasi (compyment) yang dapat urun biaya (cost-
sharing) dan biasanya relatife kecil, maka pendapatan compymentharus diperhitungkan.
Pada tahap awal, JKN belum menerapkan urun biaya ini. Urun biaya diperlukan untuk
mengendalikan moral hazard dan secara prinsip telah diatur dalam UU SJSN. Hanya
saja, banyak pihak belum memahami bahwa dalam pembayaran kapitasi terdapat moral

15
hazardoleh peserta, yaitu sering berkunjung ke klinik. Urun biaya berfungsi sebagai rem
yang dapat mengendalikan moral hazard. Setelah rem tidak boleh terlalu kencang dan
tidak boleh terlalu kendur. Begitu juga urun biaya (biaya administrasi) untuk tiap
kunjungan layanan primer dapt diatur tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar. Hal ini
memerlukan banyak penelitian/kajian berbasis fakta (evidence) yang dapat bervariasi
menurut kelompok pendapatan dan wilayah. Pada perkembangan lebih lanjut, JKN dapat
menerapkan urun biaya pada layanan primer ini. Urun biaya dapat juga dilakukan secara
selektif, misalnya pada pilihan fasilitas kesehatan swasta,

Table: Contoh Perhitungan Kapitasi Model Kapitasi Total/ Penuh


Jenis layanan Rate/ Total baya/
NO Rata Rp Kapitasi/ th
yang ditanggung 1000/ th th
Kunjungan
180.000.00
rawat jalan primer 2400 75.000 180.000
0
+ obat
Rujukan rj
210 200.000 42.000.000 42.000
rumah sakit
Kunjungan
60 250.000 15.000.000 15.000
emergensi
Check up
110 300.000 33.000.000 33.000
sederhana
Bedah minor 60 350.000 21.000.000 21.000
6.200.00 279.000.00
Rawat inap 45 279.000
0 0
Rawat inap 22.4000. 268.800.00
12 268.000
intensif 000 0
Rawat pulang
40 750.000 30.000.000 30.000
hari yang sama
2.184.00
Cuci darah 3.15 6.814.080 6.814
0
Bedah besar 15 3.600.00 54.000.000 54.000

16
0
Periksa hamil
2064 40.000 82.560.000 82.560
dan nifas
Persalinan 25 750.000 18.750.000 18.750
Rawat jalan
150 150.000 22.500.000 22.500
penyakit jiwa
Anastesi 120 720.000 86.400.000 86.400
Imunisasi dan
600 25.000 15.000.000 15.000
suntikan
Layanan
keluarga
990 40.000 39.600.000 39.600
berancana tanpa
kontrasepsi
Kunjungan
480 50.000 24.000.000 24.000
rumah
Pelayanan
4 240.000 960.000 960
medis lain
Total kapitasi/
- - 1.219.384
tahun
Kapitasi
- 101.615
(iuran) per bulan

Table: Model Kapitasi Rawat Jalan Primer Saja


Jenis layanan Rate/ Rata 2 Total baya/
NO Kapitasi/ th
yang ditanggung 1000/ th Rp th
Kunjungan
180.000.00
rawat jalan primer 2.400 75.000 180.000
0
+ obat
Kunjungan 250.00
15 3.750.000 3.750
emergensi 0

17
Check up 200.00
75 15.000.000 15.000
sederhana 0
350.00
Bedah minor 60 21.000.000 21.000
0
Periksa hamil
2.064 40.000 82.560.000 82.560
dan nifas
750.00
persalinan 25 18.750.000 18.750
0
Imunisasi dan
600 25.000 15.000.000 39.000
suntikan
Layanan
keluarga
990 40.000 39.600.000 39.600
berancana – tanpa
kontrasepsi
Kunjungan
480 50.000 24.000.000 24.000
rumah
Pelayanan 240.00
4 960.000 960
medis lain 0
Total kapitasi/
- - 400.620
tahun
Kapitasi
- 33.385
(iuran) per tahun

D. Beberapa Masalah Dalam Pembayaran Kapitasi


Pembayaran kapitasi merupakan suatu cara pengendalian biaya kesehatan dengan
menempatkan fasilitas kesehatan pada posisi menanggung risiko,seluruhnya atau sebagian,
dengan menerima pembayaran borongan.Pembayaran borongan /paket dengan berbagai
bentuknya sudah biasa disektor luar kesehatan seperti dalam paket perjalanan wisata, paket
rapat/pertemuan, paket bangunan rumah, dll.Secara makro, pembayaran kapitasi merupakan
salah satu cara meningkatkan efisiensi dengan memanfaatkan mekanisme pasar layanan

18
kesehatan.Akan tetapi pembayaran kapitasi dilepas ke mekanisme pasar.Pada situasi pasar
kompetitif, faske akan memasang tarif sama dengan rata-rata harga pasar.Tetapi pada pasar
monopsony atau oligopsoni harga kapitasi dapat disepakati sama untuk suatu kelompok
layanan di suatu wilayah.Fasilitas kesehatan yang dibayar secara kapitasi akan menekan
biaya operasional, biaya obat, dll agar mereka menerima surplus.Jika seorang dokter taat
akan sumpah dokter, maka ia tidak akan mengorbankan layanan medis kepada
peserta.Insentif mendapat surplus yang diinginkan akan dilakukan dengan upaya promotif-
preventif perorangan agar peserta yang terdaftar padanya akan tetap sehat.Namun, seorang
dokter yang tidak taat pada sumpahnya akan menekan biaya dengan kurang peduli pada
kesehatan pesertanya.Ia bias saja sering-sering merujuk peserta agar biaya obat yang
menjadi tanggungannya akan lebih kecil dan ia mendapat surplus yang lebih besar.Khusus
untuk JKN, pembayaran kapitasi ke puskesmas/dinkes banyak mendulang masalah.Perpres
32/2014 yang mengatur penggunaan dana kapitasi di puskesmas yang seharusnya tidak perlu
akan tetap mendulang masalah di lapangan.
Untuk mengatasi masalah dokter yang kurang komitmen yang kurang komitmen pada
pengutamaan kesehatan peserta/pasien, maka BPJS harus melakukan telaah utilisasi
(utilization review).Telaah utilisasi memetakan angka utilisasi berbagai jenis layanan dengan
membandingkan dengan sebaran risiko (adjusted rates) di suatu wilayah.Telaah utilisasi
mengambil manfaat dari hokum angka besar dimana sebaran atau klinik yang lebih sering
merujuk misalnya, dengan angka rujukan dokter ini akan secara bermakna lebih tinggi dari
rata-rata angka rujukan di wilayah tersebut.Untuk itu, BPJS harus memberi sanksi tertentu
agar perilaku moral hazard dokter tersebut dapat dikoreksi.Pada tahap awal, telaah utilisasi
mungkin belum bias dilaksanakan dengan sanksi secara konsisten.Perlu pemahaman tenaga
kesehatan terlebih dahulu sebelum sanksi-sanksi yang efektif.
Tergantung dari besaran kapitasinya (setara pemberian dosis tepat dalam
terapi),pembayaran kapitasi dapat mendorong reaksi positif maupun reaksi negatif.Reaksi
positif akan terjadi jika besaran kapitasi layak dan adil dengan telaah utilisasi dilakukan
secara terbuka.Reaksi negatif mudah terjadi jika besaran kapitasi terlalu rendah.Secara
umum, reaksi dokter/fasilitas kesehatan yang dibayar secara kapitasi adalah:

19
Yang Positif
1. Memberikan layanan yang berkualitas tinggi, dengan menegakkan diagnosis yang tepat
dan terapi yang tepat.Peserta yang sakit akan cepat sembuh dan senang memilih dokter
tersebut sebagai dokter primernya.
2. Memberikan nasehat dan layanan promotif-preventif mencegah insiden sakit akut
maupun kronik.Jika peserta menderita penyakit kronis, yang obatnya ditanggung atau
dibayar terpisah di luar kapitasi, maka sang dokter akan berupaya agar komplikasi
penyakit kronik tidak terjadi.
3. Jika kapitasi dibayar dengan penuh atau total, termasuk rawat inap, maka terjadi efek
terbaik dimana layanan yang pas, sesuai dosis akan terjadi.Hanya saja yang efek ini bisa
terjadi jika besaran kapitasi memadai dan kontrak kapitasi dilakukan dalam volume besar,
di atas 100.000 orang tahun.Di Indonesia hal ini belum berjalan.

Yang Negatif
1. Pada bayaran kapitasi terpisah-pisah antara rawat jalan primer dan rujukan tanpa
diimbangi dengan insentif yang memadai akan terjadi angka rujukan yang tinggi.Selain
itu, dokter bisa mengorbankan kualitas layanan dengan memendekkan waktu konsultasi
dan atau memberikan obat termurah yang kurang efektif.
2. Mendorong pasien untuk tidak sering konsultasi dengan berbagai cara.Meskipun pada
jangka panjang hal ini akan merugikan dokter itu sendiri, pada tahap awal hal ini dapat
terjadi pada pembayaran kapitasi yang kurang layak besarnya, seperti yang terjadi pada
besaran kapitasi JKN tahun 2014.

20
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN DAN SARAN


Pembayaran kapasitas bervariasi dari pembayaran terbatas untuk rawat jalan tingkat
pertama tanpa obat,bisa dengan obat,bisa termasuk rawat jalan lanjutan,dan bahkan
termasuk perawatan. Pembayaran kapitasi untuk jenis pelayanan rawat jalan tertentu
dikenal dengan nama primary care capitation , yang di Indonesia kita gunakan untuk
layanan dokter primer saja. SEdangkan bila dokter menanggung risiko untuk seluruh
pelayanan rawat jalan,rujukan,dan perawatan di rumah sakit maka disebut full
capitation .Tambahan , banyak fasilitas kesehatan (provider). Kemenkes , dan BPJS
tidak memiliki dan atau tidak menggunakan data yang realistis untuk
menghitung/menetapkan besaran kapitasi yang layak untuk terjadinya efek kapitasi.
Langkah-langkah menghitung besaran kapitasi adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan jenis-jenis layanan yang termasuk dalam bayaran kapitasi.
2. Menghitung angka utilisasi per tahun.
3. Melakukan perhitungan penyesuaian risiko (risk adjusment).
4. Menghitung dan menetapkan rata-rata biaya/harga per layanan per tahun.
5. Menghitung biaya per kapita per layanan
6. Menjumlahkan biaya per kapita untuk seluruh layanan
7. Menghitung besaran kapitasi per bulan.
8. Menetapkan jenis-jenis layanan yang dijamin

1. Menetapkan jenis-jenis layanan yang dijamin


Langkah pertama adalah menentukan jenis-jenis layanan termasuk dalam bayaran
kapitasi. Penetapan ini di Indonesia telah ditetap konsil kedokteran Indonesia dengan
peraturan konsil kedokteran nomor 11/2012. Jumlahnya adalah 144
diagnosis/penyakit yang menjadi kompentesi dasar dokter. Dalam UU praktik
kedokteran dan UU pendidikan kedokteran, seorang yang telah menyelesaikan
pendidikan profesi kedokteran disebut dokter. Dokter tersebut harus memiliki

21
kemampuan tingkat 4 (mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit secara mandiri dan tuntas,tidak perlu merujuk).
2. Menghitung Angka/Rate Utilisasi
Langkah kedua adalah menghitung rate (angka) utilisasi untuk tiap jenis
pelayanan yang akan dibayar secara kapitasi. Banyak pejabat atau bahkan
akademisi salah memahami utilisasi dengan utilitas. Biasanya angka (rate) utilisasi
dihurung per 1.000 peserta/anggota untuk satu tahun pelayanan.
Masalah kedua di dalam penghitungan angka utilisasi adalah komposisi risiko
peserta. Pada program kapitasi besarnya risiko dihimpun (di-pool) menjadi satu
risiko per kelompok peserta. Jika terdapat variasi risiko anggota kelompok yang
cukup besar, maka sebagian fasilitas kesehatan (dokter termasuk salah satu fasilitas
kesehatan dalam UU SJSN) akan menanggung beban yang lebih berat dari yang
lain. Contohnya karena jumlah lensia yang mempunyai risiko sakit lebih besar lebih
banyak pada suatu klinik, maka klinik tersebut harus menanggung risiko lebih besar
dan harus dibayar denga kapitasi yang lebih besar pula.
3. Menetapkan Rata-Rata Biaya Per Layanan
Langkah selanjutnya adalah mencari informasi tentang biaya rata-rata per jenis
layanan. Untuk suatu wilayah tertentu, rata-rata biaya pelayanan ini dikumpulkan
dan dihitung berdasarkan harga pasar. Unit “wilayah” yang dimaksud dalam UU
SJSN adalah kesamaan biaya produksi atau harga rata-rata berbagai konsumsi.
Badan Pusat Statistik secara periodik melakukan survey harga berbagai keperluan
yang kemudian dirumuskan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Dalam
layanan kesehatan.
4. Menghitung Biaya Per Kapita Per Tahun Untuk Tiap Layanan
Jika angka utilisasi dan rata-rata biaya per layanan sudah diperoleh, maka langkah
berikutnya adalah menghitung biaya per kapita per tahun untuk tiap jenis layanan.
5. Menjumlahkan Biaya Kapita Per Tahun Untuk Seluruh Layanan
Layanan terakhir adalah menjumlahkan biaya per kapita per tahun yang telah
diperoleh menjadi biaya per kapita per bulan. Untuk kepentingan pendataan
nasional/regional yang menjadi data perhitungan bersama, sesuai prinsip
transpalasi UU SJSN dan UU BPJS, maka perlu ditambahkan biaya konstan untuk

22
administrasi dan pelaporan. Biaya konstan ini dapat ditahan (withold), tidak tidak
dibayar tiap bulan tapi bibayar tiap enam bulan atau tiap tahun apabila data
utilisasi dikirim lewat internet.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Kongsvedt, Peter R. The Managed Health Cara Handbook. 3 Ed. Gaitersburg, MD, USA:
Aspen Publication,1996.

2. Bolan, Peter. Making Managed Healthcare Work: A Practical Guide to Strategies and
Solutions. Gaitersburg, MD.USA: Aspek Publication,1993.

3. Bolan,P. Making Managed Health care Work. Gaithersburg, MD, USA: Aspen
Publication,1993.

4. Mann,Jdan Neu, C.R. Setting Medicare Capitation Rates for Fail and Elderly. USA:
RAND Corporation,Santa Monica, 1987.

24

Anda mungkin juga menyukai