Masalah yang paling Konsumsi yang tepat penting diperhatikan itu yang harus menjadi adalah menyangkut dasar penetapan pemberian layanan besaran kapitasi kesehatan seseorang yang pas dengan kebutuhannya. Seseoramg dokter yang memiliki kompetensi mampu menentukan jumlah konsumsi yang pas. Akan tetapi, jika dokter dibayar per pelayanan (FFS), maka ia juga punya insentif finansial untuk memberikan layanan yang berlebihan. Maka, atas dasar teori itulah, pembayaran dokter dilakukan dengan cara kapitasi. Pada kenyataannya sering kali dokter sulit memaksa peserta berkunjung sesuai jumlah yang optimal karena adanya informasi asimetri. Peserta merasa belum puas dan ingin konsul atau mengkomsumsi obat lagi. Karena peserta tidak membayar lagi ketika ia berobat , sudah dijamin JKN,maka ia berperilaku seolah-olah layanan dokter primer itu gratis
Bayaran pasien /peserta yang sudah dijamin ketika
berobat disebut urut biaya (cost-sharing) yang gunanya untuk mencegah moral hazard. Lalu bagaimana menerjemahkan harga efektif per kunjungan (termasuk obat) layanan primer sebesar Rp100.000, yang merupakan konsumsi yang pas?
Asumsi biaya (termasuk pendapatan
Harga Rp100.000 ribu adalah harga dokter dan obat )sebesar Rp100.000 per pasien. Sedangkan bayaran per kunjungan juga harus sesuai kapitasi adalah harga per peserta, dengan aturan yang berlaku. Karena termasuk yang sehat yang tidak dokter tidak punya kewenangan berobat /tidak mengkonsumsi. Maka menyerahkan obat,maka dokter/klinik harus didapatkan harus bekerja sama dengan apoteker frekuensi/probabilitas peserta yang berwenang menyerahkan obat berobat dengan dasar pengalaman menurut Peraturan Pemerintah masa lalu, yaitu jumlah kunjungan 51/2009. rata-rata per 1.000 peserta dalam setahun.