Anda di halaman 1dari 30

DASAR-DASAR HUKUM PAJAK

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi Tugas Perkuliahan, Mata Kuliah Hukum
Pajak , Semester Genap, Tahun Akademik 2020-2021

Disusun Oleh :
Nama : Gina Hanifah
NPM : 191000230
Kelas :E

Dibawah Bimbingan :
Dr. Berna S. Ermaya, S.H.,M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
2020/1442
ABSTRAK

Pajak adalah sumber pendapatan tersebar dari Negara Indonesia pemungutan pajak di
Indonesia berdasarkan undang-undang dasar, pemungutan pajak terdapat pada pasal 23 A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang bunyinya, “pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara dan di atur undang-
undang”.Fungsi pajak adalah sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, pajak
memiliki kegunaan dan manfaat pokok dalam meningkatkan kesejahteraan umum, suatu
Negara tidak akan mungkin menghendaki merosotnya kehidupan masyarakatnya dan pada
umumnya di kenal dengan dua macam fungsi, yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulerend.
Fungsi Budgetair ialah pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaranya. Fungsi Regulerend pajak sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Berdasarkan
penjelasan tersebut maka pajak sangatlah penting bagi peningkatan sumber dana bagi
pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang mana dapat digunakan
untuk kemakmuran rakyatnya sejak dilakukannya reformasi perpajakan yang pertama the first
tax reform pada tahun 1984.Diharapkan penerimaan pajak sebagai sumber utama pembiayaan
APBN dapat dipertahankan kesinambungannya.

Pajak sebagai bagian dari sumber penerimaan negara yang signifikan harus digunakan
dengan semestinya untuk kemakmuran rakyat. Direktorat Jenderal Pajak harus mampu
menjaga kepercayaan masyarakat dengan mempertahankan dan meningkatkan kinerjanya
dalam melayani seluruh masyarakat Indonesia. Seiring dengan perkembangan usaha dan
perekonomian Indonesia, peraturan perpajakan yang ada dipacu untuk ikut ambil bagian
dalam perkembangan usaha dan perekonomian Indonesia tersebut.

Kata Kunci : Pajak, Pemerintahan, Warga Negara


ABSTRACT

Taxes are the largest source of income from the Indonesian state tax collection in Indonesia
based on the constitution, taxation contained in Article 23 A of the Constitution of the
Republic of Indonesia in 1945 that read, "taxes and other coercive for the purposes of the
State and in set legislation ". Tax function is as a tool to determine economic policy, taxes
have key advantages in usability and improve the general welfare, a State will not likely
require the decline of community life and is generally known by two kinds of functions, ie
functions and function budgetair regulerend. Budgetair function is a tax as a source of funds
for the government to finance the expenditure-pengeluaranya. Tax regulerend function as a
tool to organize or carry out government policy in social and economic fields.Based on these
explanations, the tax is crucial for improving government source of funding for both central
and local governments which can be used for the prosperity of its people since the time of the
first tax reform the first tax reform in 1984. Expected tax revenues as the main source of
financing the state budget can be maintained continuity

Taxes as part of a significant source of state revenues must be used properly for the welfare
of the citizen. General Director of Taxation should be able to maintain public trust by
maintaining and improving its performance in order to serving Indonesian citizen. Along with
the development of Indonesia business and economic, the existing tax laws encouraged to
take part in the development of the Indonesia business and economy.

Keywords : Taxes, administration, Citizen


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan
Makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya, yang berjudul “Dasar-dasar Hukum
Pajak”

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan
oleh Bapak Dr. Berna S. Ermaya, S.H.,M.H. pada mata kuliah Hukum Pajak yang berisi
tentang Dasar-dasar Hukum pajak dan pelaksanaan pajak di Indonesia.

Saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Berna S. Ermaya, S.H.,M.H. selaku dosen
pembimbing mata kuliah Hukum Pajak yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi
penyusunan, Bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu,saya mengharapkan kritik serta
saran yang membangun dari semua pembaca untuk makalah ini,supaya makalah ini nantinya
dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan
informasi dan bermanfaat untuk kita semua. Hanya kepada Allah kita beribadah dan
memohon pertolongan.

Bekasi, 08 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

ABSTRAK......................................................................................................................i

ABSTRACT..................................................................................................................iii

KATA PENGANTAR..................................................................................................iv

DAFTAR ISI..................................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................1

B. Identifikasi Masalah......................................................................................2

C. Tujuan Penelitian..........................................................................................3

D. Manfaat Penelitian........................................................................................3

E. Metode Penelitian.........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................9

A. Dasar-dasar Hukum Perpajakan di Indonesia................................................9

B. Perbedaan Pajak Dengan Jenis Pungutan Lainnya......................................10

C. Sengketa Pajak dan Cara Penyelesaiannya..................................................12

D. Dasar Hukum Pajak.....................................................................................13

E. Pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia..................................................1

BAB IV PENUTUP.....................................................................................................19

A. Kesimpulan..................................................................................................19

B. Saran............................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................21
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap orang, oleh
karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban
kenegaraan dalam kegotongroyongan nasional sebagai peran serta masyarakat dalam
pembiayaan pembangunan.1

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara untuk kepentingan rakyat
dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan yang bertujuan untuk
meningkatkan pembangunan nasional dan pemerintahan, dalam arti sebagai
pelaksanaan dan peningkatan kesejahteraan dan pembangunan serta menumbuhkan
peranserta masyarakat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting
dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Pada umumnya negara mempunyai
sumber-sumber penerimaan yang terdiri atas 1) Bumi, air dan kekayaan alam, 2)
pajak-pajak, Bea dan Cukai, 3) Penerimaan Negara Bukan pajak (non-tax), 4) hasil
perusahaan negara, dan 5) sumber-sumber lain seperti percetakan uang dan pinjaman.2

Sumber penghasilan tersebut diharapkan dapat berperan sebagai sumber penerimaan


untuk mengisi kas negara dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan
pengamalan Pancasila, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya ditulis UUD NRI Tahun 1945.

Ketentuan pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, disebutkan bahwa “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.3 Bumi, air dan kekayaan
alam merupakan kekayaan nasional dan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa,
1
Prof.Dr.Rochmat Soemitro, S.H, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, PT. Eresco, cetakan VIII, Jakarta, 1944,
hlm. 1
2
Bohari, H, 2010, Pengantar Hukum Pajak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 11
3
UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
termasuk dalam pengertian dikuasai adalah mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur
yang dapat dipunyai atas bagian dari bumi, air dan kekayaan alam, menentukan dan
mengatur hubungan hukum antara orang- orang (subjek hukum) dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan kekayaan alam di Indonesia.
Dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat merupakan tujuan negara
untuk mensejahterakan masyarakatnya. Pada hakekatnya tugas negara bersama rakyat
mempunyai tanggung jawab bersama untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur, memberikan perlindungan terhadap rakyatnya dan menciptakan suatu
kepastian hukum dan kedudukan hukum yang jelas. Untuk menciptakan suatu
kepastian hukum didalam pengaturan dan pemungutan pajak kepada masyarakat
sebagai wajib pajak, harus berdasarkan Undang-undang dan berbagai regulasi yang
berhubungan dengan tata cara pelaksanaannya, agar nantinya tidak menimbulkan
sengketa hukum dikemudian hari.

Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta
Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban
perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah
undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban,
tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk
peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab
atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di
bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi
kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut
dalam Sistem Perpajakan Indonesia.

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya Negara melakukan pemungutan pajak
karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan
suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan
memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP).
Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan
tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut.
Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat
memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu
mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan. Keberadaan lembaga
ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan
lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain pihak, muncul pula
pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial
dalam menghadapi wajib pajak yang nakal.

Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa dibidang perpajakan telah memiliki


sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media
yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis
Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak menimbulkan kerancuan
mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang masih
merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU


Nomor 14 Tahun 2002) memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolaholah
Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan
terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (UU Nomor 4 Tahun 2004).

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan di atas,
makalah ini membahas hal-hal yang dapat menunjang pelaksanaan Hukum Pajak
dengan mempelajari Dsar-dasar Hukum Pajak di Indonesia, dimana pajak sebagai
sumber penerimaan negara untuk kepentingan rakyat dalam bidang kesejahteraan,
keamanan, dan pertahanan. Sehingga dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apa saja dasar-dasar hukum perpajakan di indonesia?


2. Bagaimana perbedaan pajak dengan jenis pungutan lainnya
3. Bagaimanakah Sengketa pajak dan cara penyelesaiannya?
4. Apa saja yang menjadi dasar Hukum Pajak?
5. Bagaimana pelaksanaan pengadilan Pajak di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis mengenai dasar-dasar Hukum
Perpajakan di Indonesia
2. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis mengenai perbedaan pajak dengan
jenis pungutan lainnya
3. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis mengenai cara penyelesaian
sengketa perpajakan.
4. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis mengenai apa saja yang menjadi
dasar Hukum Pajak
5. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis mengenai pelaksanaan pengadilan
Pajak di Indonesia

D. Manfaat Penulisan
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun
secara praktis, yaitu sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi
ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum Pajak, khususnya pemahaman
teoritis mengenai Dsar-dasar Hukum Pajak di Indonesia, termasuk di dalamnya
mengenai kebijakan dan pelaksanaan hukum Pajak dalam penyelesaian sengketa
pajak.

b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai tambahan
bahan ilmiah mengenai Hukum Pajak, menjadi bahan pertimbangan dan masukan
bagi pembuat Undang-undang dibidang perpajakan untuk melakukan pembaharuan
peraturan perundang-undangan serta sistem hukumnya sehingga mengurangi
terjadinya sengketa perpajakan . Selain itu, sebagai bahan informasi bagi para
pelaksana kebijakan dalam mengambil langkah-langkah perumusan kebijakan
perpajakan di Indonesia.

E. Metode Penulisan
Metodelogi penulisan yang di gunakan penulis dalam pembuatan makalah ini
adalah penulisan kualitatif yang bersifat subjektif dengan cara mengumpulkan
informasi berdasarkan buku referensi dan pendapat para ahli. serta Bahan hukum
sekunder yang digunakan ialah terdiri atas buku, hasil penelitian, internet, fakta
hukum, dan statistik dari data instansi resmi. Pendapat hukum juga diperoleh melalui
buku-buku yang ditulis oleh para pakar Hukum Pajak.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar-dasar Hukum Perpajakan di Indonesia


Pajak merupakan sarana reformasi negara dalam meningkatkan kemandirian keuangan
negara, meningkatkan tingkat keadilan, serta progresivitas dari pungutan pajak itu sendiri.
Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya merupakan
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Secara singkat dan tegas, pernyataan tentang pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga
UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”

Dahulu, sebelum amandemen atas UUD 1945 dilakukan, aturan tentang pajak
dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan
negara berdasarkan undang-undang.” Dengan demikian, dibandingkan dengan UUD 1945
terdahulu, redaksi kalimat konstitusi pascaamandemen menunjukkan ketegasannya dalam
mengatur hal perpajakan.

Peraturan perundang-undangan mengenai pajak yang berlaku saat ini adalah Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU
Nomor 6 Tahun 1983) yang telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 9 Tahun 1994). Karena merupakan saat
dibentuknya sebuah aturan pajak nasional yang baru, maka tahun 1983 disebut sebagai
tahun reformasi pajak.

Sebelum dibentuk dan diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 1983, dunia perpajakan di


negara ini mengenal asas-asas pemungutan pajak yang disebut “Tri Dharma Perpajakan”.
Ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut.
a. Bahwa pemungutan pajak harus adil dan merata yang meliputi subyek maupun obyek
perpajakan. Sifatnya universal atau nondiskriminatif.
b. Harus ada kepastian hukum mengenai pemungutan pajak. Dengan kepastian hukum
yaitu bahwa sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada undang-undang terlebih
dahulu.
c. Ketepatan waktu pemungutan pajak. Membayar dan menagih harus tepat pada
waktunya, aritinya pada saat orang memiliki uang (asas conveniency dan efisiensi).

Selanjutnya, sejak UU Nomor 6 Tahun 1983 berlaku sebagai undang-undang pajak


nasional, asasasas perpajakan yang melandasi ketentuan tersebut adalah seperti di bawah
ini.
a. Kesederhanaan (simplification of law) Bahwa undang-undang tentang perpajakan
agar disusun sesederhana mungkin sehingga mudah dimengerti isi maupun susunan
kata-katanya.
b. Kegotong-royongan nasional Bahwa warga masyarakat harus berperan aktif dalam
pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kewarganegaraan.
c. Pelimpahan kepercayaan sepenuhnya kewajiban perpajakan kepada wajib pajak
sendiri, maksud pemberian kepercayaan diharapkan agar warga sadar akan kewajiban
kenegaraan karena Negara sudah memberikan kepercayaan untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar pajaknya sendiri. Kepercayaan yang diberikan kepada
masyarakat disebut self assessment.
d. Adanya kesamaan hak dan kewajiban antara wajib pajak dan fiskus.
e. Kepastian dan jaminan hokum Bahwa dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus
dihormati adanya asas-asas kebenaran dan asas praduga tak bersalah. Artinya, wajib
pajak belum dinyatakan bersalah apabila belum ada bukti-bukti nyata.

1. Pengertian dan Sistematika Hukum Pajak


Hukum pajak atau hukum fiskal ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi
wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya
kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara, sehingga ia merupakan bagian
dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-
orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak.
Hukum Pajak mengatur siapa subjek dan wajib pajak, obyek pajak, kewajiban wajib pajak
kepada pemerintah, timbul/hapusnya hutang pajak, cara penagihan pajak dan cara
megajukan keberatan/banding serta pengadilan pajak. Hukum Pajak secara sistematis
dibedakan antara Hukum Pajak Materiil (Material tax law) dan hukum Pajak Formal
(Formal tax law):

Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan tentang
siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari pengenaan pajak, apa
saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar. Hukum pajak material
membuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan
peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan
pajak ini, berapa besar pajaknya, dengan kata lain segala sesuatu tentang timbulnya,
besarnya, dan hapusnya hutang pajak dan pola hubungan hukum antara pemerintah dan
wajib pajak.

Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana
mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan
bahwa hukum pajak materiil berisi ketentuanketentuan tentang siapa, apa, berapa dan
bagaimana. Dengan demikian, hukum pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang
mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan.Yang
termasuk hukum pajak formal adalah peraturan-peraturan mengenai cara-cara untuk
menjelmakan hukum material tersebut diatas menjadi suatu kenyataan. Bagian hukum ini
memuat cara-cara penyelenggaraan mengenai penetapan suatu utang pajak, kontrol oleh
pemerintah terhadap penyelenggaranya, kewajiban para wajib pajak (Sebelum dan
sesudah menerima surat ketetapan pajak), kewajiban pihak ketiga, dan prosedur dalam
pemungutanya. Maksud hukum formal adalah untuk melindungi, baik Fiskus maupun
wajib pajak. Jadi untuk memberi jaminan bahwa hukum materialnya akan dapat
diselenggarakan setepat-tepatnya. Misalnya hukum pajak materiil menetapkan, bahwa
seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
dua belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP, maka orang
yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya
telah menjadi Wajib Pajak.

2. Fungsi Pajak
Fungsi pajak dibagi menjadi dua, yaitu: fungsi budgetair atau fungsi finansial dan fungsi
redistribusi pendapatan bagi masyarakat. Fungsi yang pertama, sebagaimana halnya
perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga
mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber
utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat
dilaksanakan.

Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan
berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan,
sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang
berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka
memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat
dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari
pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan
demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat
dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.

Disamping fungsi budgetair (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi
regulerend atau fungsi mengatur yaitu fungsi pajak untuk mengatur sesuatu keadaan di
masyarakat di bidang sosial/ekonomi/politik sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.
Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi
ini. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat
dapat dikurangi secara maksimal. Beberapa penerapan pelaksanaan fungsi mengatur
antara lain :
1. Pemberlakukan tarip progresif dengan maksud kalau hal ini diterapkan pada PPh
maka semakin tinggi penghasilan semakin tinggi tarip pajaknya. Sehingga
kebijaksanaan ini berpengaruh besar terhadap usaha pemerataan 43 pendapatan
nasional. Dalam hubuangan ini pajak dikenal juga berperan sebagai alat dalam
redistribusi pendapatan nasional.
2. Pemberlakuan bea masuk tinggi bagi barang-barang impor dengan tujuan untuk
melindungi (proktesi) terhadap produsen dalam negeri, sehingga mendorong
perkembangan industri dalam negeri.
3. Pemberian fasilitas tax holiday atau pembebasan pajak untuk beberapa jenis industri
tertentu dengan maksud mendorong atau memotivasi para investor atau calon investor
untuk meningkatkan investasinya.
4. Pengenaan pajak untuk jenis barang-barang tertentu dengan maksud menghambat
konsumsi barang-barang tersebut atau kalau pajak tersebut diterapkan pada barang
mewah sebagaimana PPn BM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) mempunyai
maksud antara lain menghambat perkembangan gaya hidup mewah.4

3. Sanksi Pajak
Pemberian sanksi atau hukuman mempunyai empat buah latar belakang falsafah yakni:
a. Retribution sebagai falsafah tertua dengan semboyan an eye for an eye yang berbasis
balas dendam; narapidana harus membayar utang mereka kepada masyarakat melalui
hukuman yang sesuai dengan kejahatannya.
b. Deterrence yang bertujuan, bahwa pemberian hukuman berfungsi sebagai contoh
yang akan menghalangi mereka yang berniat melakukan kejahatan (general
deterrence) dan meyakinkan narapidana untuk tidak berbuat perbuatan pidana lainnya
(specific deterrence).
c. Incapacitation; pemberian hukuman melalui penahanan atau membuat narapidana
tidak berdaya, bermaksud supaya narapidana diasingkan dari masyarakat sehingga
mereka tidak akan lagi merupakan ancaman atau bahaya bagi yang lainnya.
d. Rehabilitation yang berupaya mengintegrasikan kembali narapidana ke dalam
masyarakat melalui program koreksi dan layanan.

4. Wajib Pajak
Wajib Pajak, sering disingkat dengan sebutan WP adalah orang pribadi atau badan yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk
melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak
tertentu. Wajib pajak bisa berupa wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan.
Wajib pajak pribadi adalah setiap orang pribadi yang memiliki penghasilan diatas
pendapatan tidak kena pajak. Di Indonesia, seiap orang wajib mendaftarkan diri dan
mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP), kecuali ditentukan dalam undang-
undang.

4
Billy Ivan Transura.Pokok-Pokok Ketentuan Perpajakan Umum. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010. hlm:340.
Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak
memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Menurut
pengamatan penulis ada dua macam kepatuhan yakni kepatuhan formal dan kepatuhan
materiil. Yang dimaksud dengan kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib
Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan formal
dalam undang-undang perpajakan. Sedangkan kepatuhan materiil adalah suatu keadaan
dimana Wajib Pajak secara substantif/hakikat memenuhi semua ketentuan materiil
perpajakan yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan materiil
meliputi juga kepatuhan formal.

Upaya-upaya pemerintah di seluruh dunia untuk mengurangi tax evasion telah lama
diadakan. Untuk Indonesia, pada tahun 1972 melalui SGATAR (Study Group on Asian
Tax Administration and Research) telah disidangkan di Jakarta dengan salah satu tema
utama adalah Some Aspects of Income Tax Avoidance or Evasion. Upaya untuk
mengurangi tax evasion lebih dini pada tingkat yang lebih mengglobal telah diadakan
oleh IFA pada tahun 1980 di Paris dengan tema yang lunak yakni The Dialogue between
the tax administration and the taxpayer up to the filing of the tax return. Ketidakpatuhan
secara bersamaan dapat menimbulkan upaya menghindarkan pajak secara melawan
hukum atau tax evasion.

Perilaku Wajib Pajak yang tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban perpajakannya oleh
Bernard P. Herber, dibedakan menjadi tiga yakni tax evasion, tax avoidance dan tax
delinquency:

Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa tax evasion adalah perbuatan melanggar
undang-undang. Misalnya menyampaikan di dalam SPT jumlah penghasilan yang lebih
rendah daripada yang sebenarnya (understatement of income) di satu pihak dan atau
melaporkan biaya yang lebih besar daripada yang sebenarnya (overstatement of the
deductions) di lain pihak. Bentuk tax evasion yang lebih parah adalah apabila Wajib
Pajak sama sekali tidak melaporkan penghasilannya (non-reporting of income). Perbuatan
ini melanggar baik jiwa atau semangat maupun kalimat-kalimat dalam undang-undang
perpajakan. Di Indonesia perbuatan yang termasuk dalam tax evasion diancam dengan
hukuman pidana fiscal yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP 2000.
Dalam tax avoidance Wajib Pajak memanfaatkan peluang-peluang (loopholes) yang ada
dalam undang-undang perpajakan, sehingga dapat membayar pajak yang lebih rendah.
Perbuatannya ini secara harfiah tidak melanggar undangundang perpajakan, tapi dari segi
jiwa undang-undang perpajakan termasuk perbuatan yang melanggar. Misalnya pada
bulan Desember 2000 Wajib Pajak A akan menerima penghasilan sebesar Rp
25.000.000,- yang akan terkena tarif Pajak Penghasilan sebesar 10%.

Adapun cara-cara mencegah Wajib Pajak melakukan tax evasion antara lain dapat berupa
pemeriksaan pajak (tax audit); sistem informasi yaitu dialog dan saling tukar pandangan
antara Wajib Pajak dan fiskus harus tetap diadakan; administrasi pajak dalam arti sebagai
prosedur meliputi antara lain tahap-tahap pendaftaran Wajib Pajak, penetapan, dan
penagihan.; kemungkinan ketahuan dan penegakan hukum (probability of detection and
level of penalties). Hal ini pada hakikatnya terkait dengan penegakan hukum pajak atau
tax law enforcement serta tingginya tarif pajak, rasa keadilan yang tak terpenuhi dan
pemanfaatan dana pajak.

5. Subyek Pajak
Subyek Pajak adalah orang yang dituju oleh UU untuk dikenakan pajak. Subyek pajak
berkenaan dengan penghasilan yang diperolehnya dalam tahun pajak. Subyek pajak
meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan dan
bentuk usaha tetap. Yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap (BUT atau dalam bahasa
Inggris: permanent establishment) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of
business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin
dan peralatan.Tempat usaha tersebut bersifat Permanen dan digunakan untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan dari Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal atau
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan
yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia
apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia menggunakan agen, broker atau Perantara yang mempunyai kedudukan bebas,
asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam
rangka menjalankan perusahaannya sendiri.

Perusahaan Asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut
menerima pembayaran Premi Asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia
melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia
tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau
bertempat kedudukan di Indonesia. Menurut Undang-Undang Perpajakan Indonesia,
bentuk usaha yang dipergunakan oleh Subjek Pajak Luar Negeri untuk menjalankan
usaha ataumelakukan kegiatan di Indonesia, dapat dikatakan sebagai BUT yang dapat
berupa: tempat kedudukan manajemen; cabang perusahaan; kantor perwakilan; gedung
kantor; pabrik; bengkel; pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja
pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan; perikanan, peternakan,
pertanian, perkebunan, atau kehutanan; proyek konstruksi, instalasi, atau proyek
perakitan; pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan; orang atau badan
yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; dan agen atau pegawai dari
perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

B. Perbedaan Pajak Dengan Jenis Pungutan Lainnya


Selain pajak, terdapat pungutan lain yang resmi dilakukan oleh pemerintah. Sejumlah
ahli telah mengemukakan pengertian pajak dari sudut pandang keilmuannya. Berikut
definisi dari keempat orang ahli baik yang berasal dari Indonesia maupun luar negeri.
1. Leroy Beaulieu (1899)
“pajak adalah bantuan baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh
kekuasaan public dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja
pemerintah.”
2. P.J.A . Adriani ( 1949)
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
3. Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH (1988)
Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi
tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi Pajak adalah peralihon kekayaan dari
pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaron rutin dan surplusnya
digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai
public investment.
4. Ray M. Sommerfeld, Herschel M. Anderson, dan Horace R. Brock (1972)
Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan
akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendopat imbalan yang langsung dan proporsional,
agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan
pemerintahan.

Keempat definisi tersebut mengandung 2 (dua) perspektif tentang pajak, yakri pajak
dilihat dari perspektif ekonomi dan dari perspektif hukum.

Dari perspektif ekonomi, pajak dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor
privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak
menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan dalam
menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua
bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik
yang merupakan kebutuhan masyarakat.
sementara, pemahaman pajak dari perspektif hukum merupakan suatu perik timbul karena
adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk
menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan
untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan
pemerintahan. Dari pendekatan hukum, hal tersebut memperlihatkan bahwa pajak yang
dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin pastian hukum, baik bagi
fiskus sebagai pengumpul pajak maupun Wajib Pajak sebagai pembayar pajak (Soemitro,
1988).

Atas dasar pemikiran tersebut, dapat dirumuskan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada
kas negara yang dipungut berdasarkan undang-undang, sehingga dapat dipaksakan,
dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung, serta digunakan untuk menutup biaya
produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Setelah membaca mengenai ihwal pajak sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka
selanjutnya yaitu mengenai jenis-jenis pungutan resmi lainnya yang akan dijabarkan
sebagai berikut :

1. Retribusi
Retribusi adalah iuran rakyat yang disetorkan melalui kas negara atas dasar
pembangunan tertentu dari jasa atau barang milik negara yang digunakan oleh orang-
orang tertentu. Jadi, dalam pemungutan retribusi tidak terdapat unsur paksaan dan
ikatan pembayaran tergantung pada kemauan si pembayar, serta tidak selalu
menggunakan sarana undang- undang. Dengan demikian, retribusi pada umumnya
berhubungan dengan imbalan jasa secara langsung. Misalnya, pembayaran listrik,
pembayaran abonemen air minum, dan sebagainya.
2. Cukai
Cukai adalah iuran rakyat atas pemakaian barang-barang tertentu, seperti minyak
tanah, bensin, minuman keras, rokok, atau tembakau.
3. Bea Masuk
Bea masuk adalah bea yang dikenakan terhadap barang-barang yang dimasukkan ke
dalam daerah pabean Indonesia dengan maksud untuk dikonsumsi di dalam negeri.
Sementara itu, bea keluar adalah bea yang dikenakan atas barang-barang yang akan
dikeluarkan dari wilayah pabean Indonesia dengan maksud barang tersebut akan
diekspor ke luar negeri.
4. Sumbangan
Sumbangan adalah iuran orang-orang atau golongan orang tertentu yang harus
diberikan kepada negara untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran negara yang
sifatnya tidak memberikan prestasi kepada umum, dan pengeluarannya tidak dapat
diambil dari kas negara. Sumbangan bersifat insidentil dan sukarela, serta jumlah
sumbangan juga tidak mengikat dan tidak harus berupa uang, tetapi dapat berupa
barang.5

Sebagaimana yang telah diuraikan diatas mengenai pajak dan pungutan resmi lainnya
maka perbedaan pajak dan pungutan resmi lainnya dapat diuraikan dalam tabel dibawah
ini

Perbedaan pajak dengan jenis pungutan resmi lainnya

NO PAJAK PUNGUTAN RESMI LAINNYA


1. Iuran dengan imbalan yang tidak Iuran dengan imbalan yang langsung dari
langsung dari negara negara
2. Dapat dipaksakan Tidak ada unsur paksaan
3. Berlaku untuk seluruh rakyat tanpa Pengenaan terbatas pada mereka orang-
terkecuali orang tertentu
4. Prestasi (imbalan) diterima seluruh Prestasi (imbalan) diterima oleh
rakyat golongantertentu atau orang-orang
tertentu

C. Sengketa Pajak dan Penyelesaiannya


Adanya kewajiban bagi masyarakat untuk membayar pajak terkadang tidak berbanding
lurus dengan tingkat kesadaran wajib pajak dalam mematuhi ketentuan tersebut.
Keterbatasan pemerintah melalui aparat penagih pajaknya juga mengakibatkan
munculnya masalah persengketaan di bidang perpajakan.

Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh pemerintah yang berkuasa
dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda, di negara ini telah ada badan penyelesaian sengketa pajak yang dibentuk dengan
5
https://edukasi.pajak.go.id/images/buku_pt/Materi_Terbuka/Bab_1.pdf
Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor 707) dengan nama Raad van het Beroep voor
Belastingzaken (Badan Banding Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan
Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad 1927 Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan
Urusan Pajak (Regeling van het Beroep in Belastingzaken). Selanjutnya, lembaga tersebut
oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 diubah menjadi Majelis Pertimbangan Pajak
yang tugasnya memberi keputusan atas surat pemeriksaan banding tentang pajak-pajak
negara dan pajak-pajak daerah. Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983, MPP
diberlakukan sebagai badan peradilan pajak yang sah dan tidak bertentangan dengan
kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun 1970. UU
Nomor 6 Tahun 1983 mengatur hal ini dalam Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi sebagai
berikut :

“Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan
pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak.” Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut.
“Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk,
permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang putusannya
bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.”

Seiring berkembangnya aturan mengenai pajak dan semakin meningkatnya potensi


sengketa pajak, MPP dianggap sudah tidak memadai dalam melakukan penyelesaian
sengketa pajak. Oleh sebab itu, pemerintah merasa perlu membentuk lembaga peradilan
di bidang perpajakan yang lebih komprehensif dan dibentuk melalui undang-undang.
Tujuannya adalah menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak sesuai dengan undang-
undang bidang perpajakan serta memberikan putusan hukum atas sengketa pajak. Putusan
lembaga peradilan pajak dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan undang-undang
perpajakan sehingga ketentuan-ketentuan di dalamnya dapat memberikan kepastian
hukum dan keadilan bagi semua pihak.

Maka, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 dibentuklah Badan


Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang arah dan tujuan pembentukannya adalah
sebagai berikut.
a. BPSP bertugas memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa:
 banding terhadap pelaksanaan keputusan pejabat yang berwenang;
 gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan di
bidang penagihan.
b. Putusan BPSP bersifat final dan mempunyai kekuasaan eksekutorial dan
berkedudukan hokum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
c. Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi
pembayar pajak dan putusannya tidak dapat digugat ke peradilan umum atau
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam undang-undang tersebut juga ditentukan bahwa untuk mendapatkan keadilan
pengenaan pajak, wajib pajak dapat menempuh jalur-jalur sebagai berikut.
a. Jalur keberatanpajak dan banding ke BPSP.
b. Jalur melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
c. Jalur melalui peradilan umum.

Ditentukan pula keberadaan BPSP sebagai badan peradilan pajak hanya untuk
menyelesaikan sengketa administratif, yaitu dari segi perhitungan dan akuntansi, bukan
mengenai pidana pajak.

Walaupun tidak bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, BPSP pada


kenyataannya belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan
kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan
kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.

Atas berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun
2002). Definisi pengadilan pajak dijelaskan dalam Pasal 2, yaitu “Pengadilan Pajak
adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau
penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.”6

D. Dasar Hukum Pengadilan Pajak


Sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu, Pengadilan Pajak dibentuk melalui UU
Nomor 14 Tahun 2002. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk memutus perkara
6
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak, No. 14 Tahun 2002.
mengenai sengketa pajak. Pasal 1 butir 5 undang-undang ini menyebutkan pengertian
sengketa pajak seperti di bawah ini :

“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib
Pajak atau penanggung pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan
Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang- Undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa.”

Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir dalam


memeriksa dan memutus sengketa pajak. Kewenangan pengadilan pajak tertera dalam
Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan Pajak.

Kekuasaan Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak meliputi
semua jenis sengketa pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk
dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan
perundangundangan yang berlaku.

E. Pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia


Lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2002 menimbulkan kesan adanya dualisme bahwa seolah-
olah Pengadilan Pajak berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU Nomor
14 Tahun 1970. Namun, hal tersebut dapat ditepis karena UU Nomor 14 Tahun 2002
secara jelas menyatakan bahwa Pengadilan Pajak merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman di bidang pemeriksaan dan pemutusan sengketa di bidang
perpajakan. Kasus sengketa pajak yang sampai pada tingkat kasasi menjadi kompetensi
dari Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa, “Dengan
undangundang ini dibentuk Pengadilan Pajak yang berkedudukan di ibukota Negara,”
maka Pengadilan Pajak hanya ada di ibukota Jakarta. Sama halnya dengan Tax Court di
Amerika Serikat, yang hanya berkedudukan di Washington D.C. sebagai ibukota negara
tersebut. Hal ini berlaku pula di lembaga peradilan pajak di negara-negara lainnya. Oleh
karena karakteristiknya yang unik, maka sifat Pengadilan Pajak adalah tidak harus in
persona (para pihak harus dihadirkan). Dalam Pengadilan Pajak yang diperiksa hanyalah
dokumen, yaitu berupa laporan keuangan, rekening bank, data transaksi, mengenai omzet,
dan sebagainya.

Pajak yang diperiksa hanyalah dokumen, yaitu berupa laporan keuangan, rekening bank,
data transaksi, mengenai omzet, dan sebagainya. Kedudukan Pengadilan Pajak yang
hanya bertempat di Jakarta tidak menjadi penghalang bagi para wajib pajak dan fiskus
yang berdomisili di luar Jakarta dan luar Pulau Jawa untuk dapat menyelesaikan sengketa
pajak masing-masing. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 4 (1) UU Nomor 14
Tahun 2002 yang berbunyi, “Sidang Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya
dan apabila perlu dapat dilakukan di tempat lain.” 19 Sementara tempat sidang yang
dimaksud dalam pasal tersebut ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Pajak. Dengan
demikian, sebagai contoh, bagi wajib pajak dan fiskus yang bersengketa di Makassar,
Majelis Sidang Pengadilan
Pajak dapat bersidang di kota tersebut.

Pelaksanaan Pengadilan Pajak belum sepenuhnya berjalan lancar. Pada September 2004,
seorang pengusaha mengajukan permohonan uji materiil atau judicial review atas UU
Nomor 14 Tahun 2002 kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon merasa dirugikan oleh
beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut dan beberapa pasal ia
anggap bertentangan dengan UUD 1945.

Dr. Lodewijk Gultom dari Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana berpendapat


bahwa Pasal 36 ayat (4) UU Nomor 14 Tahun 2002 melanggar asas praduga tak
bersalah. Pasal tersebut menentukan wajib pajak yang ingin mengajukan banding
diharuskan terlebih dahulu membayar 50 persen dari jumlah pajak terutang. Kewajiban
ini seolah-olah mengesankan bahwa wajib pajak sudah bersalah atau mengakui
kesalahannya.

Selain itu, menurutnya, Pengadilan Pajak merupakan bentuk penggabungan kekuasaan


yudikatif di bawah legislatif. Ia berpendapat bahwa undang-undang ini memuat materi
yang melegitimasi kekuasaan pemerintahan terhadap warga negara. Oleh karena itu, perlu
ada kontrol atau pengawasan dari legislative dan yudikatif terhadap pengadilan pajak.
Hakim-hakim Pengadilan Pajak ia nilai belum diawasi secara baik sehingga warga negara
selaku wajib pajak sering dikorbankan. Sebaiknya, ketergantungan hakim-hakim tersebut
pada Menteri Keuangan harus diputus agar dapat independen dalam memutus sengketa
pajak.

Namun demikian, Mahkamah Konstitusi tetap memutuskan bahwa UU Nomor 14 Tahun


2002 tidak bertentangan dengan UUD 1945 baik secara materiil maupun formil
pembentukannya, sehingga undang-undang ini tetap berkuatan hukum mengikat. Putusan
tentang ditolaknya permohonan uji materiil atas undangundang tersebut disertai
rekomendasi yang tertuang dalam dissenting opinion (pendapat berbeda) dari
tiga orang hakim konstitusi yang menyatakan bahwa UU Nomor 14 Tahun 2002
bertentangan dengan UUD 1945.

Tiga dari sembilan hakim konstitusi tersebut, yaitu Abdul Mukhtie Fadjar, M. Laica
Marzuki, dan Maruarar Siahaan merekomendasikan pembuat undang-undang untuk
merevisi UU Nomor 14 Tahun 2002 agar sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di
bawah satu atap, sebagaimana diamanatkan oleh Amandemen UUD 1945. Demikianlah
fakta-fakta yang terjadi seputar pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia dengan UU
Nomor 14 Nomor 2002 sebagai dasar dan landasannya.

Segala yang positif diharapkan dapat bertahan demi kemajuan dunia perpajakan tanah air.
Sedangkan kekurangan-kekurangan yang masih ada diharapkan dapat terkoreksi seiring
dengan sedang dibahasnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan yang baru
oleh lembaga legislatif.7

7
https://draganhard1971.wordpress.com/2013/10/28/pengadilan-pajak-di-indonesia-aturan-dan-pelaksanaannyasebagai-
solusi-sengketa-pajak/
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Pajak merupakan sarana reformasi negara dalam meningkatkan kemandirian keuangan
negara, meningkatkan tingkat keadilan, serta progresivitas dari pungutan pajak itu sendiri.
Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya merupakan
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Secara singkat dan tegas, pernyataan tentang pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga
UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya Negara melakukan pemungutan pajak karena
banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu
tantangan tersendiri. Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang
dapat memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu
mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan.

Sejak 1959, pemerintah telah memiliki badan peradilan pajak, yaitu Majelis Pertimbangan
Pajak (MPP) yang selanjutnya diganti dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
(BPSP) pada 1997. Akan tetapi, lembaga-lembaga tersebut belum merupakan badan
peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badan
peradilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di
Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hokum dalam
penyelesaian sengketa pajak, maka dibentuklah Pengadilan Pajak pada 2002. Pelaksanaan
Pengadilan Pajak sebagai sebuah badan peradilan sengketa pajak yang independen belum
sepenuhnya terwujud. Banyak pihak berpendapat, dasar hukum yang menjadi landasan
Pengadilan Pajak belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, dalam hal ini para wajib
pajak. Selain itu, beberapa pasal juga dikhawatirkan belum sesuai dengan amanat UUD
1945.

B. Saran
Kesadaran untuk menjadi wahib pajak dan memenuhi segala kewajibannya perlu dibina,
sehingga timbul di setiap kalbu rakyat dan penduduk Indonesia. Dengan demikian roda
pemerintah akan berjalan lancer demi kepentingan penduduk itu sendiri.

Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus tidak bertentangan dengan


UUD 1945 sehingga pada pelaksanaannya tidak memunculkan suatu masalah.Lembaga
pembuat undang-undang harus memberikan tafsiran yang jelas atas undang-undang yang
dibuatnya untuk menghindari terjadinya multi tafsir oleh masyarakat dalam memahami
beberapa pasal dalam undang-undang.

Rekomendasi yang diberikan oleh para hakim konstitusi dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam mengoreksi aturan-aturan yang telah ada mengenai perpajakan,
khususnya Pengadilan Pajak. Dengan demikian, pembahasan RUU perpajakan yang baru
dapat menghasilkan sebuah produk undang-undang yang berkualitas, mempunyai
kepastian hukum, dan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Prof.Dr.Rochmat Soemitro, S.H, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, PT.
Eresco, cetakan VIII, Jakarta, 1944, hlm. 1
Bohari, H, 2010, Pengantar Hukum Pajak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 11
Billy Ivan Transura.Pokok-Pokok Ketentuan Perpajakan Umum. Yogyakarta: Graha
Ilmu. 2010. hlm:340.

B. Undang-undang
UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak, No. 14 Tahun
2002.

C. Sumber Lainnya
https://edukasi.pajak.go.id/images/buku_pt/Materi_Terbuka/Bab_1.pdf
https://draganhard1971.wordpress.com/2013/10/28/pengadilan-pajak-di-indonesia-aturan-
dan-pelaksanaannyasebagai-solusi-sengketa-pajak/

Anda mungkin juga menyukai