Anda di halaman 1dari 2

Dalam Arrest Hooggerechtshof tanggal 18 Agustus 1932 tersebut dikatakan:

“bahwa title XX Buku II Kitab Undang – Undang Hukum Perdata memang


mengatur tentang gadai, akan tetapi tidak menghalang – halangi para pihak
untuk mengadakan perjanjian yang lain daripada perjanjian gadai, bilamana
perjanjian gadai tidak cocok untuk mengatur hubungan hukum antara
mereka. Perjanjian fidusia dianggap bersifat memberikan jaminan dan tidak
dimaksudkan sebagai jaminan gadai”.
Pernyataan dalam Arrest Hooggerechtshof tanggal 18 Agustus 1932 tersebut
menunjukkan bahwa fidusia dapat diletakkan atas benda bergerak.
Menurut ketentuan Pasal 1 angaka 1 UU Jaminan Fidusia, yang dimaksud
dengan fidusia adalah, “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”. Sedangkan yang dimaksud
dengan jaminan fidusia menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Jaminan Fidusia,
yaitu:
“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia,
sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor
lainnya”.
Menurut ketentuan dalam UU Jaminan Fidusia, para pihak dalam jaminan
fidusia terdiri dari Penerima Fidusia dan Pemberi Fidusia. Menurut ketentuan Pasal
1 angka 5 UU Jaminan Fidusia, yang dimaksud dengan Pemberi Fidusia adalah,
“orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia”. Adapun yang dimaksud Penerima Fidusia menurut ketentuan Pasal 1
angka 6 yaitu, “orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang
pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia”. Memperhatikan definisi Pemberi
Fidusia, pihak yang berkedudukan sebagai Pemberi Fidusia tidak selalu harus
debitor, tetapi dapat juga pihak ketiga pemilik benda yang dibebani Jaminan Fidusia
untuk menjamin pelunasan utang debitor.
Pasal 5 ayat (1) UU Jaminan Fidusia mengatur bahwa, pembebanan terhadap
benda yang dijadikan sebagai objek jaminan fidusia harus dibuat dengan akta
notaris yang merupakan akta jaminan fidusia. UU Jaminan Fidusia tidak mengatur
apakah perjanjian pokok yang dijamin dengan jaminan fidusia wajib dibuat dengan
akta otentik atau cukup di bawah tangan. Oleh karena itu, perjanjian pokok dari
jaminan fidusia dapat dibuat dengan akta otentik maupun akta di bawah tangan.
Selain itu, Pasal 11 ayat (1) UU juncto Pasal 13 ayat (1) UU Jaminan Fidusia juga
menentukan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan
pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Namun, sejak diberlakukannya Peraturan Menteri
Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan
Fidusia Secara Elektronik, pendaftaran Jaminan Fidusia dilaksanakan secara
elektronik melalui aplikasi berbasis web. Dalam proses pendaftaran tersebut, Pasal
13 UU Jaminan Fidusia mengatur bahwa, Jaminan Fidusia dicatat dalam Buku
Daftar Fidusia dengan diberi tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan
permohonan pendaftaran. Setelah dilakukannya pencatatan ke dalam Buku Daftar
Fidusia, kemudian diterbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia yang merupakan salinan
dari Buku Daftar Fidusia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU Jaminan Fidusia, “Jaminan
Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia
dalam Buku Daftar Fidusia”. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 13 ayat (3)
menyebutkan bahwa, “Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam
Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan
permohonan pendaftaran”. Dengan demikian, Jaminan Fidusia lahir sejak tanggal
diterimanya permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia.

Anda mungkin juga menyukai