Anda di halaman 1dari 2

Ciri-Ciri Jaminan Fidusia

Seperti halnya Hak Tanggungan, lembaga jaminan fidusia yang kuat juga mempunyai ciri-ciri :

a. Memberikan kedudukan yang mendahulu kepada kreditor penerima fidusia terhadap kreditor lainnya
(Pasal 27 UUF). Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. Hak yang
didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia pada Kantor
Pendaftaran Fidusia.

b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan di tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite) (Pasal 20
UUF). Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dalam tangan
siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek
Jaminan Fidusia.

c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan memberikan jaminan
kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 6 dan Pasal 11 UUF).

d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya (Pasal 29 UUF). Dalam hal debitor cidera janji, pemberi
fidusia wajib menyerahkan obyek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi. Eksekusi dapat
dilaksanakan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia.

Di dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU
Fidusia”), pemberi fidusia dapat menggadaikan benda yang dijadikan jaminan fidusia, asalkan ada
persetujuan tertulis dari penerima fidusia. Akan tetapi, apabila Anda tidak mendapat persetujuan tertulis
dari penerima fidusia (dalam hal ini perusahaan pembiayaan), maka berdasarkan Pasal 36 UU Fidusia,
Anda diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000
(lima puluh juta) rupiah.

Pasal 23 ayat (2) UU Fidusia


“Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali
dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.”

Pasal 36 UU Fidusia
“Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah.”

Sedangkan untuk pihak ketiga sebagai penerima barang gadai, terlepas dari apakah pihak ketiga
tersebut mengetahui atau tidak mengetahui bahwa barang tersebut telah dijadikan jaminan fidusia, pihak
ketiga tersebut tidak dilindungi oleh hukum. Ini karena pada prinsipnya ketentuan mengenai larangan
menggadaikan benda jaminan fidusia telah diatur dalam undang-undang. Dengan demikian, semua orang
dianggap mengetahuinya dan (kami berasumsi jaminan fidusia telah didaftarkan) karena jaminan fidusia
tersebut telah didaftarkan maka dianggap semua orang dapat memeriksa pada Kantor Pendaftaran
Fidusia.

Pada sisi lain, J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan: Hak Jaminan Kebendaan
Fidusia membahas masalah Kantor Pendaftaran Fidusia yang hanya ada di kota-kota besar. J. Satrio
(hal. 245) - sebagaimana kami sarikan – mengatakan bahwa pendaftaran dimaksudkan agar mempunyai
akibat terhadap pihak ketiga. Dengan pendaftaran, maka pihak ketiga dianggap tahu ciri-ciri yang melekat
pada benda yang bersangkutan dan adanya ikatan jaminan dengan ciri-ciri yang disebutkan di sana, dan
dalam hal pihak ketiga lalai untuk memperhatikan/mengontrol register/daftar, maka ia harus memikul
risiko kerugian sendiri. Namun, sehubungan dengan adanya Kantor Pendaftaran Fidusia hanya terbatas
di kota-kota besar, apakah bisa dan patut diharapkan, bahwa orang yang hendak mengoper suatu benda
tidak-atas-nama akan mengecek terlebih dahulu ke Kantor Pendaftaran Fidusia sebelum menutup
transaksi mengenai benda tersebut? Ini membawa konsekuensi yang cukup besar terhadap pihak ketiga,
termasuk pemegang gadai, yang beritikad baik.

Selain itu, apabila pemberian gadai tersebut disetujui secara tertulis oleh penerima fidusia, karena
jaminan fidusia juga merupakan hak kebendaan, maka ada kemungkinan prinsip hak kebendaan akan
diberlakukan yaitu hak kebendaan yang lahir lebih dahulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Akan
tetapi, J. Satrio juga masih mempertanyakan hal tersebut karena selama ini prinsip tersebut hanya
diberlakukan pada hak kebendaan dari jenis yang sama, seperti umpamanya gadai pertama, kedua, dan
selanjutnya, hipotik pertama, kedua, dan selanjutnya, hak tanggungan pertama, kedua, dan selanjutnya.

Sehingga, pada dasarnya akibat hukum bagi pihak ketiga dari pemberian gadai atas benda yang telah
dijadikan jaminan fidusia adalah tidak adanya perlindungan hukum yang pasti bagi penerima gadai untuk
mengambil pemenuhan pembayaran dari eksekusi benda jaminan jika debitur wanprestasi.

Anda mungkin juga menyukai