Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tindak Pidana Siber

2.1.1 Pengertian umum Tindak Pidana Siber

Teknologi telekomunikasi telah menciptakan gaya hidup dengan

struktur sosial beserta tata nilainya yang baru . Artinya, masyarakat

berkembang menuju masyarakat baru yang berstruktur global. Hal ini

pada akhirnya akan membawa dampak pada pergeseran nilai, norma,

moral, dan kesusilaan. Dampak pergeseran tersebut ditemukanya

perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadilah

konvergensi antara keduanya.

Kemajuan teknologi yang berhasil diciptakan oleh manusia di

samping membawa dampak positif, dalam arti dapat diperdayagunakan

untuk kepentingan umat manusia juga membawa dampak negatif

terhadap perkembangan manusia dan peradabannya. Dampak negatif

yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan dunia kejahatan.

Dalam KBBI kejahatan mempunyai pengertian perilaku yang

bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah

disahkan oleh hukum tertulis.1 Secara kriminologi yang berbasis

sosiologis kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang

1
Pusat Bahasa Departmen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, hlm. 540

7
8

merugikan masyarakat (dengan kata lain terdapat korban) dan suatu

pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat.2

Sedangkan Bonger menyatakan bahwa kejahatan adalah

perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara

berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap

rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.3

J. E Sahetapy telah menyatakan dalam tulisannya, bahwa kejahatan

erat kaitanya dan bahkan menjadi sebagian dari hasil budaya itu sendiri.

Ini berarti semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu

bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan

cara pelaksanaanya.4

Cybercrime dapat dikatakan sebagai bentuk kejahatan yang relatif

baru apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kejahatan lain yang

sifatnya konvensional (street crime). Cybercrime muncul bersamaan

dengan lahirnya revolusi teknologi informasi. Sebagimana dikemukakan

oleh Ronni R. Nitibaskara bahwa: “Interaksi sosial yang meminimalisir

kehadiran secara fisik, merupakan ciri lain revolusi teknologi informasi.

Dengan interaksi semacam ini, penyimpangan hubungan sosial yang

berupa kejahatan (crime) akan menyesuaiakan bentuknya dengan

karakter baru tersebut.”5

2
Abdul Wahid dan Muhammad Labib, 2005, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), PT Refika
Aditama, Bandung, hlm.37
3
Soerjono Soekanto, 1981, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 44
4
J. E Sahetapy dalam Abdul Wahid, 2002, Kriminologi dan Kejahatan Kontemporer, Lembaga
Penerbitan Fakultas Hukum Unisma, Malang, hlm. 2
5
Ronni R Nitibaskara dalam Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law
Aspek Hukum Teknologi Informasi, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 25.
9

Cybercrime lebih sering disebut dengan tindak kejahatan yang

berhubungan dengan dunia maya (cyber space) atau tindak

kejahatan menggunakan komputer. Ada beberapa pendapat

yang menyamakan antara tindak pidana kejahatan komputer dengan

cybercrime, dan ada pendapat yang membedakan antara keduannya.

Meskipun belum ada kesepahaman mengenai definisi kejahatan

teknologi informasi, namun ada kesamaan pengertian mengenai

kejahatan komputer.

Menurut Andi Hamzah, cyber crime merupakan kejahatan di

bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan

komputer secara ilegal.6

Kepolisian Inggris mendefinisikan cybercrime adalah segala macam

penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan/atau kriminal

berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi

digital.7

Didik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom dalam bukunya Cyber

Law-Aspek Hukum Teknologi Informasi menyatakan bahwa “secara

umum yang dimaksud kejahatan komputer atau kejahatan di

dunia cyber (cybercrime) adalah upaya memasuki dan atau

menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa ijin

dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan

6
Andi Hamzah, 1996, Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Komputer, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 10
7
Abdul Wahid dan Mohammad Labib,Op.Cit., hlm. 40.
10

perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang

dimasuki atau digunakan tersebut”8.

Berbicara masalah cybercrime berkaitan erat dengan

permasalahan keamanan jaringan komputer atau keamanan informasi

berbasis internet dalam era global. Dalam background paper untuk

lokakarya Kongres PBB X/2000 di Wina Austria, istilah cybercrime

dibagi dalam dua kategori. Pertama, cybercrime dalam arti sempit (in a

narrow sense) disebut computer crime. Kedua, cybercrime dalam arti

luas (in a broader sense) disebut computer related crime.

Dari semua perumusan atau batasan yang diberikan mengenai

cybercrime dapat disimpulkan bahwa karakteristik cybercrime adalah:

1. Perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa hak atau tidak etis

tersebut terjadi dalam ruang/wilayah siber/cyber (cyberspace),

sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi negara mana yang berlaku

terhadapnya.

2. Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apa pun

yang terhubungan dengan internet.

3. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materill maupun

immaterill (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat,

kerahasaian informasi) yang cenderung lebih besar dibandingkan

dengan kejahatan konvensional.

4. Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan internet beserta

8
Didik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2009, Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi
Informasi, PT Refika Aditama, Bandung, hlm.8
11

aplikasinya.

5. Perbuatan tersebut sering dilakukan secara transnasional/melintasi

batas negara.9

2.1.2 Jenis-Jenis Tindak Pidana Siber

Jenis-jenis cybercrime dari klasifikasi kejahatan dunia maya di atas

dapat diketahui jenis-jenis cybercrime berdasarkan jenis aktivitasnya

dan tentunya kegiatan ini yang marak di lakukan baik di Indonesia

sendiri atau di negara lain,yaitu:10

a. Cyber Espionage ialah kejahatan yang memanfaatkan jaringan

internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak

lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer

network system) pihak sasaran

b. Data Forgery ialah kejahatan dengan memalsukan data pada

dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless

document melalui internet.

c. Data Theft ialah kejahatan memperoleh data komputer secara

tidak sah baik untuk digunakan sendiri ataupun untuk diberikan

kepada orang lain.

d. Cyber Sabotage and Extortion ialah kejahatan yang paling

mengenaskan. Kejahatan ini dilakukan dengan membuat

gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data,

9
Abdul Wahid dan Muhammad Labib, Op.Cit., hlm. 76
10
Maskun, 2013, Kejahatan Siber: Cybercrime Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta, hlm.51
12

program komputer atau sistem jaringan komputer yang

terhubung dengan internet.

e. Unauthorized Access to Computer System and Service ialah

Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke

dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa

izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan

komputer yang dimasukinya.

f. Offense against Intellectual Property ialah Kejahatan ini

ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki

pihak lain di internet.

g. llegal Contents ialah kejahatan dengan memasukkan data atau

informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar,

tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau

mengganggu ketertiban umum.

h. Carding ialah Kejahatan dengan menggunakan teknologi

computer untuk melakukan transaksi dengan menggunakan

card credit orang lain sehingga dapat merugikan orang tersebut

baik materil maupun non materil

i. Cracking ialah kejahatan yang paling mengenaskan. Kejahatan

ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau

penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau

sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.

2.1.3 Faktor Terjadinya Tindak Pidana Siber


13

Tindak pidana siber (cybercrime) dipengaruhi oleh beberapa

faktor. Faktor-faktor tersebut adalah :

a. Akses internet yang tidak terbatas. Dengan menggunakan

internet, setiap orang diberikan kenyamanan dalam

mengakses segala sesuatu tanpa ada batasannya. Dengan

kenyamanan itulah yang merupakan faktor utama bagi

sebagian orang untuk melakukan tindak pidana dunia maya

(cybercrime) dengan mudahnya.

b. Kelalaian pengguna komputer. Dimana orang-orang

menggunakan fasilitas internet selalu memasukan semua

data penting ke dalam internet, sehingga memberikan

kemudahan bagi sebagian orang untuk melakukan tindak

pidana tersebut.

c. Mudah dilakukan dengan resiko keamanan yang kecil dan

tidak diperlukan peralatan yang super modern. Walaupun

tindak pidana dunia maya mudah untuk dilakukan tetapi

akan sangat sulit untuk melacaknya, sehingga hal ini yang

mendorong para pelaku tindak pidana untuk terus melakukan

hal ini.

d. Para pelaku merupakan orang yang pada umumnya cerdas,

mempunyai rasa ingin tahu yang besar, dan fanatik akan

teknologi komputer. Pengetahuan pelaku tindak pidana


14

peretasan tentang cara kerja sebuah kompter jauh diatas rata-

rata orang pada umumnya.

e. Sistem keamanan jaringan yang lemah.

f. Kurangnya perhatian masyarakat.

2.1.4 Pengaturan Umum Tindak Pidana Siber di Indonesia

A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Undang-undang ini mengatur tentang penyelenggaraan dan

aturan-aturan yang harus dipenuhi oleh seluruh penyelenggara dan

pengguna telekomunikasi di Indonesia. Disahkan pada tanggal 8

September oleh Presiden Indonesia ketiga yaitu Presiden BJ Habibie.

Pasal-pasal yang tercantum dalam Undang-undang ini mengatur

tentang cybercrime secara umum dan luas. Bentuk-bentuk tindak

pidana cybercrime dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 1999

tentang Telekomunikasi adalah:

1. Akses Illegal yakni tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi

akses ke jaringan telekomunikasi. Sesuai dengan bunyi

pasal 22. Yaitu :

“Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak,


tidak sah, atau memanipulasi :
1) Akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
2) Akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
3) Akses ke jaringan telekomunikasi khusus.”

2. Menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik

terhadap penyelenggaraan telekomunikasi. Sesuai dengan

bunyi pasal 38. Yaitu:


15

”Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat


menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik
terhadap penyelenggaraan telekomunikasi”

3. Penyadapan informasi melalui jaringan telekomunikasi.

Sesuai dengan bunyi paal 40. Yaitu:

“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas


informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi
dalam bentuk apapun”

B. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan

Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik diundangkan pada tanggal 23 April 2008.

Undang-undang ini khusus memuat tentang pengaturan mengenai

pengelolaan informasi dan transaksi elektronik dengan tujuan

membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk

memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan

pemanfaatan teknologi Informasi seoptimal mungkin dan

memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi

pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.

Undang-Undang ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk

setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia

maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat

hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum

Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.


16

Tindak Pidana Cybercrime dalam Undang-undang Nomor 11

Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik diatur

dalam bab VII tentang perbuatan yang dilarang, dari pasal 27 sampai

dengan pasal 35. Dalam 9 pasal tersebut dirumuskan 20 bentuk atau

jenis tindak pidana ITE. Sementara ancaman pidananya ditentukan

didalam Pasal 45 sampai Pasal 52.

Tindak pidana Cybercrime menurut Undang-undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat

diklasifikasikan menjadi 2 bentuk yakni:

1) Tindak Pidana Distribusi, Penyebaran atau Transmisi

Konten illegal. Yaitu cybercrime yang menggunakan

komputer sebagai alat kejahatan. Antara lain:

a) Kesusilaan terdapat dalam Pasal 27 ayat (1).

b) Perjudian terdapat dalam Pasal 27 ayat (2).

c) Penghinaan atau pencemaran nama baik terdapat dalam

Pasal 27 ayat (3).

d) Pemerasan atau pengancaman dalam Pasal 27 ayat (4).

e) Berita bohong yang menyesatkan dan merugikan

konsumen/penipuan terdapat dalam Pasal 28 ayat (1).

f) Menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA

terdapat dalam Pasal 28 ayat (2).

g) Mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan

atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi


17

terdapat dalam Pasal 29.

h) Dengan cara apapun melakukan akses ilegal pada Pasal

30.

i) Intersepsi ilegal terhadap informasi atau dokumen

elektronik dan sistem elektronik terdapat dalam Pasal 31.

2) Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan

(interferensi). Yaitu jaringan sebagai sasaran untuk

melakukan kejahatan. Antara lain:

a) Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik

(data interference) terdapat dalam Pasal 32.

b) Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system

interference) terdapat dalam asal 33.

c) Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang

terdapat dalam Pasal 34.

d) Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen

elektronik terdapat dalam Pasal 34.

C. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-

undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi

Elektronik.
18

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 memuat perubahan

terhadap beberapa pasal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.

Beberapa poin perubahannya antara lain:

1. Untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan

mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau memungkinkan

informasi elektronik dapat diakses yang mengandung

penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan

Pasal 27 ayat (3), dilakukan tiga perubahan sebagai berikut:

a) Menambahkan penjelasan terkait istilah

mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau

memungkinkan informasi elektronik dapat diakses“

b) Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik

aduan, bukan delik umum.

c) Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut

mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan

fitnah yang diatur dalam KUHP.

2. Menurunkan ancaman pidana dengan dua ketentuan, yakni:

a) Pengurangan ancaman pidana penghinaan atau

pencemaran nama baik dari pidana penjara paling lama

enam tahun menjadi empat tahun. Sementara penurunan

denda dari paling banyak Rp1 miliar menjadi Rp750

juta.

b) Pengurangan ancaman pidana pengiriman informasi


19

elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-

nakuti dari pidana penjara paling lama 12 tahun menjadi

empat tahun. Pun begitu dengan denda yang dibayarkan,

dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta.

3. Pelaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap dua

ketentuan sebagai berikut:

a) Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula

mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau

penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam

Undang-Undang.

b) Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat

(1) dan ayat (2) mengenai keberadaan informasi

Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat

bukti hukum yang sah.

4. Sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5)

dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP,

sebagai berikut:

a) Penggeledahan atau penyitaan yang semula harus

mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat,

kini disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

b) Penangkapan penahanan yang dulunya harus meminta

penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam

waktu 1x24 jam, kini disesuaikan kembali dengan


20

ketentuan KUHAP.

5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):

a) Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait

dengan tindak pidana teknologi informasi.

b) Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara

Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi

informasi.

6. Menambahkan ketentuan mengenai "right to be forgotten"

alias hak untuk dilupakan pada ketentuan Pasal 26 yang

terbagi atas dua hal, yakni:

a) Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib

menghapus konten informasi elektronik yang tidak

relevan yang berada di bawah kendalinya atas

permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan

penetapan pengadilan.

b) Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib

menyediakan mekanisme penghapusan informasi

elektronik yang sudah tidak relevan.

7. Memperkuat peran pemerintah dalam memberikan

perlindungan akibat penyalahgunaan informasi dan

transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan

tambahan pada ketentuan Pasal 40:


21

a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan

penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki

muatan yang dilarang;

b) Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses

dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem

elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap

informasi elektronik yang memiliki muatan yang

melanggar hukum.

2.2 Tinjauan Umum Hacking

2.2.1 Pengertian Umum Hacking

Hacking adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan

usaha (baik berhasil maupun tidak) untuk memperoleh akses yang

ilegal ke dalam suatu sistem komputer. Hal ini berkaitan dengan

penggunaan komputer yang tidak sah atau akses yang ilegal ke data

atau program tertentu yang tersimpan di dalam komputer tersebut.

Perkembangan hacking komputer di luar negeri berkembang

sangat pesat demikian juga halnya di Indonesia. Kejahatan ini sangat

berbeda dibandingkan dengan kejahatan biasa seperti perampokan

ataupun pembunuhan. Contohnya perampokan bank di kota New York

yang tidak akan ada pengaruh dan hubungannya dengan perampokan

bank di Jakarta. Akan tetapi, Hacking yang terjadi dan dilakukan di

New York dapat memengaruhi dan berakibat di Indonesia ataupun di


22

negara lain, sebab para hacker di New York dapat secara langsung

menyerang website di Indonesia ataupun negara manapun.11

Hacking merupakan suatu seni dalam menembus sistem komputer

untuk mengetahui seperti apa sistem tersebut dan bagaimana

berfungsinya, sebagaimana dikatakan Revelation Loa-Ash:

“Hacking is the act of penetrating computer system to gain

knowledge about the system and how it works. Hacking is ilegal

because we demand free access to all data, and we get it. This

pisses people off and we are outcasted froms society, and in

order to stay out of prison, we must keep our status of being a

hacker/phreaker a secret.”12

Walaupun ilegal para hacker tidak seluruhnya jahat, hacker yang

baik motifnya hanya untuk mencari tantangan dan kesenangan saja,

membuktikan dirinya mampu menembus sistem, dirinya mampu

menembus sistem, Eric Steven Raymodn mengatakan: “Being hacker

is lots of fun, but it’s a kind of fun that takes lots of effort. The effort

takes motivation. Become a hacker you have to get a baseic thrill form

solving problems, sharpening your skills, and exercising your

intelligence.”13

Pada tahun 1960, para hacker dikenal sebagai ahli dalam

hardware dan software. Istilah hacker ditujukan kepada seseorang

11
Maskun, Op.Cit., hlm.64
12
Revelation Loa-Ash, “The Ultimate Beginner’s Guide to Hacking and Phreaking” ,
http://www.hackers.com/texts/neos/starhak.txt diakses pada 14 September 2019
13
Raymond Eric Steven,” How to Become a Hacker”, http:// www.tuxedo.org/-esr/faqs/hacker-
howto.html, diakses pada 14 September 2019
23

yang mampu mengimplementasikan solusi teknik yang lebih maju

tentang sistem teknologi yang canggih. Namun pada era milenium,

istilah hacker menjadi berbeda karena ditujukan kepada orang yang

dapat memiliki akses secara tidak sah atas suatu sistem dan data.

Secara Ekstrim perbuatannya merusak suatu sistem yang mereka

masuki seperti menghapus file, mengubah data, dan mencuri

informasi. Bila hacker telah berhasil masuk dalam suatu sistem

komputer dan berhasil menimbulkan kerusakan seperti yang

direncanakannya maka terjadilah kerusakan sistem. Komputer dan

sistem yang ada tidak dapat berfungsi sebagaimana seharusnya.

Kejadian seperti itu disebut cracking.

Proses penyusupan yang dilakukan hacker dapat dibagi menjadi

beberapa tahapan yaitu: 14

a) Mencari sasaran sistem komputer yang hendak dimasuki

Dengan perkembangan internet, hacker lebih mudah

menyusup. Hacker tidak perlu lagi menghubungi nomor

telepon yang memiliki akses jaringan modem sampai

ditemukan suatu signal carrier. Dahulu signal carrier tersebut

merupakan celah untuk memasuki sistem komputer dari

saluran telepon. Saat ini hacker hanya perlu mencari host

yang dijadikan sasaran dengan cara mencari port tempat data

keluar masuk dari satu komputer ke komputer lainnya.

Edmon Makarim, 2005, Pengantar Hukum Telematika Suatu Kajian Kompilasi. PT. Raja
14

Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 34


24

Hacker menggunakan program-program seperti port scanner

untuk mencari port komputer tersebut. Salah satu program

port scanner adalah finger yang mempunyai fasilitas mencari

informasi pemakai jaringan atau pemakai sistem, waktu login

terakhir dan login nama.

b) Menyusup dan menyadap password Hacker menebak user

name dan password dalam sistem yang dijadikan sasaran

serangan hacking. Cara ini semakin sulit dilakukan karena

telah tersedia perlindungan terhadap data atau informasi

dengan adanya enkripsi (penandai) terhadap suatu pesan.

Dalam menebak password, hacker dapat menyusun nama-

nama yang mungkin dipakai oleh orang atau menggunakan

metode lain yaitu brute forcing yang mampu

mengkombinasikan karakter baik huruf,angka atau karakter

lain

c) Menjelajahi sistem komputer Hacker kemudian melakukan

sniffing, yaitu kegiatan menyadap dan memeriksa data-data

yang melintas dalam jaringan. Hacker berupaya mencari

kelemahan dalam sistem tersebut. Banyak alternatif tindakan

yang dapat dilakukan oleh hacker untuk memperoleh akses

seperti cache poison yang digunakan sebagai kombinasi atau

untuk meracuni tabel daftar alamat dalam suatu router atau

perangkat sejenisnya. Key logger adalah program yang


25

digunakan oleh hacker untuk mendeteksi setiap tombol yang

ditekan oleh pemakai komputer dalam menulis login atau

password. Untuk menghilangkan jejak setelah hacker

melakukan aksinya. Kemudian decoy merupakan program

yang mirip dengan program login, tetapi sebenarnya berdiri

sendiri sehingga sangat mungkin pemakai tertipu dengan

tampilan di layar. Setelah pemakai memasukkan password

nya, program decoy akan menyimpan kombinasi tersebut

kedalam sebuah file.

2.2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Hacking

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana

hacking terbagi menjadi 2 (dua) faktor, yaitu faktor internal dan

eksternal.

Faktor-faktor internal penyebab terjadinya hacking :

a. Tindak pidana hacking dilakukan oleh pelaku karena didorong

motif dendam, iseng dan atau hanya untuk memenuhi

kepuasan pribadi;

b. Tindak pidana hacking dilakukan atas dasar kepentingan

pribadi baik yang bersifat materi maupun non materi;

c. Tindak pidana hacking tidak melakukan tindakan pengrusakan

tetapi hanya melakukan eksplorasi dan penetrasi terhadap

sebuah sistem operasi dan kode komputer pengaman lainnya.

Sedangkan faktor eksternal terjadinya hacking antara lain:


26

a. Kurangnya pengetahuan penegak hukum di negara

Republik Indonesia dalam mengatasi masalah hacking;

b. Sistem keamanan jaringan yang belum bisa mencegah

terjadinya tindak pidana hacking; dan

c. Belum adanya badan-badan khusus bentukan pemerintah

yang bisa memberikan bantuan terhadap terjadinya tindak

pidana hacking.

2.3 Tinjauan Umum Viktimologi

2.3.1 Pengertian Viktimologi

Perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan

(viktimologi), tidak dapat dipisahkan dari lahirnya pemikiran

pemikiran brilian dari Hans Von Hentig, seorang ahli kriminologi pada

tahun 1941 serta Mendelshohn pada tahun 1947 yang sangat

mempengaruhi setiap fase perkembangan viktimologi.15

Viktimologi merupakan istilah Bahasa Inggris Victimology yang

berasal dari bahasa latin yaitu “Victima” yang berarti korban dan

“Logos” yang berarti studi atau ilmu pengetahuan. Secara terminologi,

viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban,

penyebab timbulnya korban, dan akibat-akibat penimbulan korban

yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.

Dalam kamus ilmu pengetahuan sosial disebutkan bahwa viktimologi

Dikdik M.Arief Mansur & Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan:
15

Antara Norma dan Realita, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.35


27

adalah studi tentang tingkah laku korban (victim) sebagai salah satu

penentu kejahatan.16

J.E Sahetapy mengartikan viktimologi adalah ilmu atau disiplin

ilmu yang membahas permasalahan korban dalam segala aspek17.

Sedangkan Arif Gosita menerangkan viktimologi merupakan bagian

dari kriminologi yang mempunyai obyek studi yang sama yaitu

kejahatan atau pengorbanan kriminal (viktimisasi kriminal) dan segala

sesuatu yang berkaitan dengan pengorbanan kriminal tersebut, antara

lain sebab dan akibatnya yang dapat merupakan faktor viktimogen atau

krimminogen (menimbulkan korban dan kejahatan). Salah satu akibat

pengorbanan yang mendapatkan perhatian viktimologi adalah

penderitaan, kerugian mental, kerugian fisik, kerugian sosial, kerugian

ekonomi, dan kerugian moral. Kerugian-kerugian tersebut hampir

sama sekali dilupakan atau diabaikan oleh kontrol sosial yang

melembaga seperti penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, dan pembina

pemasyarakatan18

Viktimologi memiliki arti luas karena tidak hanya terbatas pada

individu yang mengalami kerugian tetapi juga kelompok, perusahaan,

pemerintah dan swasta. Oleh karena itu, kajian terhadap korban perlu

mendapat perhatian utama dalam pembahasan kejahatan. Pemahaman

mengenai korban diharapkan mampu memberikan kemudahan dalam

mencari upaya penanggulangan kejahatan. Viktimologi adalah


16
Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.9
17
Muhadar, 2006, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hlm 19.
18
Ibid., hlm 20.
28

pengetahuan ilmiah yang berkaitan dengan viktimisasi yaitu kriminal

yang merupakan masalah yang sering ditemui dalam kehidupan

bermasyarakat.19

Viktimologi dalam perkembangannya memiliki beberapa tahap,

yang pertama adalah mengkaji korban kejahatan yang disebut sebagai

penal or special victimology. Tahap selanjutnya adalah kajian

mengenai korban kejahatan serta kecelakaan yang dinamakan general

victimology. Fase yang ketiga adalah pembahasan tentang korban

secara lebih luas karena menyangkut penyalahgunaan kekuasaan serta

HAM, fase ini dinamakan new victimology20

Kajian viktimologi memiliki tujuan antara lain menganalisa

berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, berusaha untuk

memberikan penjelasan sebab terjadinya viktimisasi, mengembangkan

sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia. Sedangkan

manfaat dari viktimologi ini secara garis besar ada 3 hal utama yang

dapat didapat dari mempelajari viktimologi. Yaitu:21

a. Manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak

korban dan perlindungan hukum.

b. Manfaat yang berkenaan dengan penjelasan peran korban

dalam suatu tindak pidana.

19
Dikdik Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2006, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
Antara Norma dan Realita, Grasindo, Jakarta, hlm. 34
20
Ibid, hlm. 35
21
Rena yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu,
Yogyakarta, hlm 39
29

c. Manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya

korban

2.3.2 Ruang Lingkup Viktimologi

Viktimologi merupakan cabang ilmu yang relatif baru jika

dibandingkan dengan cabang ilmu lain, seperti sosiologi dan

kriminologi. Sekalipun usianya relatif muda, namun peran viktimologi

tidak lebih rendah dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu yang lain

dalam kaitan pembahasan mengenai fenomena sosial.

Perspektif viktimologi dalam mengkaji korban memberikan

orientasi bagi kesejahteraan masyarakat, pembangunan kemanusiaan

masyarakat, dalam upaya untuk menjadikan para anggota masyarakat

tidak menjadi korban dalam arti luas. Adapun topik penelitian

viktimologi adalah korban. Korban dalam hal ini merupakan bagian

dari tindak pidana, hubungan korban dan pelaku, serta peranan dan

posisi korban dalam proses peradilan pidana.

JE Sahepaty menjelaskan bahwa ruang lingkup dari viktimologi

adalah bagaimana proses seseorang menjadi korban yang tidak

selamanya berkaitan dengan kejahatan, dapat berupa korban

kecelakaan, bencana alam, serta penggunaan kekuasaan.22 Berbeda

dengan pendapat separovic yang menjelaskan bahwa kajian khusus

viktimologi yaitu korban kejahatan serta penyalahgunaan kekuasaan

bukan korban dalam artian musibah atau bencana alam karena hal

tersebut di luar keinginan manusia


22
JE Sahepaty, 1995, Bunga Rampai VIktimisasi, Bandung Eresco, Bandung, hlm. 25
30

Objek Studi atau ruang lingkup viktimologi menurut Arif Gosita

adalah sebagai berikut: 23

a. Berbagai macam viktimisasi atau kriminalistik.

b. Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal.

c. Para peserta terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu

viktimisasi kriminal atau kriminalisitik, seperti para korban,

pelaku, pengamat, pembuat undang-undang, polisi, jaksa,

hakim, pengacara dan sebagainya.

d. Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal.

2.4 Tinjauam Umum Korban

2.4.1 Pengertian Korban

Menurut Crime Dictionary yang dikutip oleh Bambang Waluyo

dalam bukunya bahwa Victim adalah orang yang telah mendapat

penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau

mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan

dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya. Disini jelas yang

dimaksud orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya itu

adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana.24

Pengertian korban juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban (selanjutnya

disingkat UUPSK pasal 1 angka 2 yang berbunyi:

23
Arif Gosita, 2009, Masalah korban kejahatan kumpulan karangan, Universitas Trisakti, Jakarta,
hlm. 329
24
Ibid, hlm.11
31

“seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau


kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

Dari bunyi pasal tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur korban

antara lain:

1. Setiap orang,

2. Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

3. Kerugian ekonomi

4. Akibat tindak pidana.

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004

tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pasal 1 angka 5 yang

berbunyi:

“korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang


mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional,
kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan,
atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban
adalah ahli warisnya”.

Pengertian korban juga tercantum dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban

dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat pasal 1

angka 2 yang berbunyi:

“Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang


mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan
mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak
manapun.”
32

Sedangkan pengertian korban yang termuat dalam The

Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and

Abuse of Power 1985:

“Victims means person who, individually or collectively, have

suffered harm, including physical or mental injury, emotional

suffering, economic loss or substantial impairmentof their

fundamental rights, through acts or omission of criminal laws

operative within Member State, including those laws

proscribing criminal abuse of power….through acts or

omissions that do no yet constitute violations of national

criminal laws but of internationally recognized norms relating

to human rights.”

2.4.2 Jenis-Jenis Korban

Jenis-jenis korban berdasarkan perkembangan ilmu viktimologi

yang dikemukakan oleh Azzat Abdeh Fattah, yaitu sebagai berikut:25

a. Nonparticipating victims, yaitu meraka yang tidak peduli

terhadap upaya penanggulangan kejahatan.

b. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter

tertentu sehingga cenderung menjadi korban.

c. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan

rangsangan terjadinya kejahatan.

d. Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya

memudahkan dirinya menjadi korban.


25
Muhadar, Op.Cit., hlm 37
33

e. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena

perbuatan yang dibuatnya sendiri

Ada tujuh bentuk tipologi korban yang ditinjau dari perspektif

tanggung jawab, yaitu :26

a. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan

dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang

potensial. Untuk itu, dari aspek tanggungjawab sepenuhnya

berada dipihak korban.

b. Proactive victims merupakan korban yang disebabkan

peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena

itu, dari aspek tanggungjawab terletak pada diri korban dan

pelaku secara bersama-sama.

c. Participacing victims hakikatnya perbuatan korban tidak

disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan.

Misalnya, mengambil uang dibank dalam jumlah besar yang

tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tasplastik

sehingga mendorong orang lain untuk merampasnya. Aspek

ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.

d. Biologically weak victims adalah kejahatan disebabkan

adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak dan

manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban

kejahatan. Ditinjau dari pertanggungjawabannya terletak

26
Lilik Mulyadi, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, Djambatan,
Jakarta, hlm. 123
34

pada masyarakat atau pemerintahsetempat karena tidak

dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak

berdaya.

e. Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan

oleh masyarakat yang bersangkutan seperti gelandangan

dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu

pertanggungjawabanya secara penuh terletak pada pelaku

atau masyarakat.

f. Self victimizing victims adalah korban kejahatan yang

dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa

korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya

terletak pada korban sekaligus sebgai pelaku kejahatan.

g. Political victims adalah korban karena lawan politiknya.

Secara sosiologis, korban ini tidak dapat

dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan

konstelasi politik.

Sellin dan wolfgang mengelompokkan korban menjadi 4 jenis

kelompok, yaitu sebagai berikut:

a. Primary victimization, yaitu korban berupa individu

perorangan (bukan kelompok)

b. Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya

badan hukum.
35

c. Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.

d. No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui,

misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan

produk

Anda mungkin juga menyukai