Anda di halaman 1dari 53

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

4.1 Hasil Penelitian

Sebelum membahas lebih lanjut ke dalam bagian analisis terhadap

pengaturan pengalihan objek jaminan fidusia dalam perjanjian jaminan fidusia

jika ditinjau dari UU Jaminan Fidusia dan pertimbangan hakim terhadap

pengalihan objek jaminan oleh debitur dalam perjanjian pembiayaan leasing

kendaraan roda empat, Penulis akan memaparkan terlebih dahulu terkait para

pihak, duduk perkara, pertimbangan dan putusan dari kasus yang diangkat

melalui poin-poin di bawah ini:

4.1.1 Para Pihak

Dalam perkara pidana khusus mengenai pengalihan benda yang

menjadi objek jaminan fidusia yang dikaji dalam penelitian ini melibatkan

pihak-pihak yang berperkara sebagai berikut:

1. Terdakwa yakni Endang Rustandi (Terdakwa Endang), yang bertempat

tinggal di BTN Pasir sembung Blok A RT 05 RW 11 Desa Sirnagalih

Kecamatan Cilaku Kabupaten Cianjur.

2. Korban yang merupakan PT Adira Dinamika Multi Finance (PT Adira),

yang berkedudukan di Jln. Ir. H. Juanda No. 6, Pamoyanan, Kec.

Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 43211.

70
4.1.2 Kasus Posisi Putusan Pengadilan Negeri Cianjur Nomor

352/PID.B/2017/PN CJR

Tabel 4. 1 Jadwal Acara Sidang

No. Tanggal Keterangan


1. 19 Desember 2017 Sidang pertama pada Pengadilan Negeri
Cianjur
2. 28 November 2017 Pengajuan Surat Dakwaan oleh Penuntut
Umum
3. 29 November 2017 Terdakwa ditahan oleh Penuntut Umum
s.d. 18 Desember
2017
4. 13 Desember 2017 Terdakwa ditahan oleh Hakim Pengadilan
s.d. 11 Januari 2018 Negeri Cianjur
5. 12 Januari 2018 s.d. Perpanjangan oleh Wakil Ketua
12 Maret 2018 Pengadilan Negeri Cianjur
6. 15 Februari 2018 Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri
Cianjur mengajukan surat tuntutan
7. 01 Maret 2018 Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Cianjur
8. 06 Maret 2018 Pengajuan Akta Permohonan Banding
dari pihak Terdakwa melalui penasehat
hukumnya
9. 08 Maret 2018 Pengajuan Akta Permohonan Banding
dari pihak PT Adira melalui Jaksa
Penuntut Umum
10. 15 Maret 2018 Pengajuan memori banding dari pihak
Jaksa Penuntut Umum
11. 21 Maret 2018 Pengajuan memori banding dari pihak
Terdakwa
12. 24 Mei 2018 Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
Jawa Barat
13. 07 Juni 2018 Pengajuan memori kasasi dari pihak
Terdakwa
14. 21 Juni 2018 Penerimaan memori kasasi
15. 20 Desember 2018 Putusan Majelis Hakim Mahkamah
Agung

71
Perkara ini bermula dari Perjanjian Pembiayaan Leasing yang

dilaksanakan antara Terdakwa Endang dengan PT Adira. Terdakwa Endang

bekerja sebagai pegawai negeri sipil yakni menjabat sebagai Kepala

Sekolah SD, ia mengajukan permohonan perjanjian pembiayaan leasing

kepada PT Adira Dinamika Multi Finance pada sekitar awal bulan Mei

2016. Perjanjian pembiayaan leasing ini kemudian dituangkan dalam Surat

Perjanjian Pembiayaan Leasing Nomor: 0224116200189 tertanggal 19 Mei

2016 yang mana juga mobil tersebut telah terdaftar sebagai objek jaminan

fidusia berdasarkan Akta Jaminan Fidusia Nomor 594 tanggal 20 Mei 2016

dari Notaris Kusnadi, S.H., M.Kn dan Sertifikat Jaminan Fidusia dari

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Jawa Barat di

Bandung Nomor Registrasi: W12-00189811.AH.05.01 tahun 2016.

Pada awalnya, Terdakwa Endang mendatangi Showroom Cikaret

Motor milik H. Eli Suherli untuk membeli kendaraan bekas dengan cara

kredit. Kendaraan tersebut ialah berupa 1 (satu) unit kendaraan roda empat

merk Daihatsu Terios warna hitam metalik dengan Nomor Rangka:

MHKG2CJ1J7K001072, Nomor Mesin: DAC 9077 dan Nomor Polisi B

2483 TC tahun 2007, STNK dan BPKB atas nama Edi Suprani Sebawih

dengan harga sesuai dengan surat perjanjian pembiayaan nomor

0224116200189. Pelunasan pembelian kendaraan tersebut dilakukan oleh

Terdakwa Endang, dibantu oleh perusahaan pembiayaan pembelian

kendaraan yakni PT Adira yang mana dari pihak PT Adira melakukan

pelunasan untuk pembayaran kendaraan tersebut kepada pemilik showroom,

72
H. Eli Suherli pada tanggal 13 Mei 2016. Sebelumnya telah dilakukan survei

oleh Saksi Turmansyah Dalimunthe dengan cara cek fisik kendaraan di

Showroom Cikaret Motor terlebih dahulu oleh pihak PT Adira terhadap

konsumen atas nama Terdakwa Endang pada tanggal 10 Mei 2016 yang

kemudian laporan hasil survei tersebut telah diterima oleh pimpinan PT

Adira sehingga Terdakwa dinyatakan layak untuk mendapatkan fasilitas

pembiayaan kendaraan tersebut. Lalu, kendaraan tersebut diserah terimakan

kepada Terdakwa Endang oleh pihak showroom pada tanggal 13 Mei 206

dan pembiayaan dilakukan pada tanggal 19 Mei 2016 berdasarkan Surat

Perjanjian Pembiayaan Nomor: 0224116200189 antara Terdakwa Endang

dengan PT Adira yang rinciannya adalah sebagai berikut:

a. Harga kendaraan sebesar Rp. 112.500.000 (seratus dua belas juta lima

ratus ribu rupiah).

b. Terdakwa memberi uang muka sebesar Rp. 40.500.000 (empat puluh

juta lima ratus ribu rupiah).

c. Fasilitas pembiayaan sebesar Rp. 126.239.974 (seratus dua puluh enam

juta dua ratus tiga puluh sembilan ribu sembilan ratus tujuh puluh empat

rupiah).

d. Jangka waktu pembayaran selama 48 (empat puluh delapan) angsuran

yang dibayarkan selambat-lambatnya pada tanggal 19 setiap bulannya

dengan angsuran sebesar Rp. 2.630.000 (dua juta enam ratus tiga puluh

ribu rupiah).

73
Bahwa selang 2 (dua) bulan kemudian, yakni bulan Maret Terdakwa

Endang mendapatkan teguran dari PT Adira karena tidak membayar

angsuran yang hal tersebut dibuktikan bahwa terdakwa Endang telah

menunggak sejak periode Januari 2017 – Februari 2017 dan Februari 2017

– Maret 2017 dengan jumlah penunggakannya sebesar Rp. 5.260.000 (lima

juta dua ratus enam puluh ribu rupiah). Kemudian pada saat itu dari pihak

PT Adira mengutus saksi Muhamad Ridwan Yuliandi untuk melakukan

penagihan kepada Terdakwa Endang, namun pada saat yang sama ternyata

kendaraan roda empat merk Daihatsu Terios warna hitam metalik dengan

Nomor Rangka: MHKG2CJ1J7K001072, Nomor Mesin: DAC 9077 dan

Nomor Polisi B 2483 TC tahun 2007, sudah dipindahtangankan oleh

Terdakwa Endang dengan menjual objek jaminan fidusia tersebut kepada

pihak ketiga yaitu Asep Hadi yang beralamat di Kampung Haregem RT. 004

RW. 006 Desa Nyalindung, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur pada

tanggal 28 Januari 2017 sekitar pukul 19.00 WIB dengan harga sebesar Rp.

25.500.000 (dua puluh lima juta lima ratus ribu rupiah). Hal ini dibenarkan

oleh saksi Mira Anggraeni yang merupakan keponakan Terdakwa Endang

yang pada saat itu juga sedang bersama Terdakwa. Berkenaan dengan hal

tersebut, Terdakwa Endang pada saat melakukan over credit atau

pengalihan terhadap kendaraan tersebut tidak ada pemberitahuan atau izin

tertulis lebih dahulu kepada pihak PT Adira. Berdasarkan hal tersebut PT

Adira melayangkan tuntutan ini, karena dari pihak PT Adira merasa bahwa

Terdakwa Endang tidak memenuhi janjinya, dan akibat adanya perbuatan

74
tersebut PT Adira mengalami kerugian sebesar Rp. 120.000.000 (seratus

dua puluh juta rupiah).

4.1.2.1 Dakwaan

Adapun yang menjadi dasar konstruksi dakwaan penuntut

umum berbentuk dakwaan alternatif yakni dakwaan alternatif

pertama bahwa Terdakwa Endang telah dengan sengaja

mengalihkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia kepada

pihak ketiga tanpa persetujuan tertulis dari penerima fidusia dan

karenanya telah melanggar Pasal 36 UU Jaminan Fidusia atau

dakwaan alternatif kedua bahwa Terdakwa Endang dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan sengaja dan

melawan hukum, memiliki suatu barang yang seluruhnya atau

sebagian kepunyaan orang lain dikuasai bukan karena kejahatan dan

karenanya telah melanggar Pasal 372 KUHP.

4.1.2.2 Pertimbangan Hukum

Berdasarkan kasus posisi yang telah diuraikan sebelumnya,

dalam menjatuhkan putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan

unsur pada Pasal 36 UU Jaminan Fidusia sebagaimana berikut:

1. Unsur Pemberi Fidusia

Pada unsur ini, Majelis Hakim menjelaskan bahwa yang

dimaksud dengan unsur “pemberi fidusia” adalah orang

perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek

Jaminan Fidusia dan mampu bertanggung jawab yaitu

75
kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang

baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan

hukum, dalam kaitan ini adalah pelaku dari suatu tindak pidana.

Bahwa dalam pertimbangannya Majelis Hakim sependapat

dengan Jaksa Penuntut Umum bahwa identitas terdakwa sama

dengan apa yang tertera dalam surat dakwaan dan sesuai dengan

fakta yang terungkap dalam persidangan, baik melalui

keterangan saksi-saksi, petunjuk, maupun keterangan terdakwa

sendiri, telah menunjukkan bahwa pelaku dalam perkara ini

adalah Terdakwa Endang Rustandi Bin Jumhari. Dengan

demikian maka unsur ini telah terpenuhi

2. Unsur mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda

yang menjadi objek jaminan fidusia

Untuk unsur kedua ini, memiliki sub unsur yang bersifat

alternatif sehingga dalam hal membuktikan unsur ini, Majelis

Hakim hanya mempertimbangkan sub unsur yang paling sesuai

dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, yakni sub

unsur “mengalihkan benda yang menjadi objek jaminan

fidusia”. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap

di persidangan yang bersesuaian dengan keterangan saksi-saksi,

keterangan terdakwa dikaitkan dengan barang bukti yang

dihadirkan di persidangan benar bahwa terdakwa pada awal

bulan Mei 2016 telah membeli satu buah kendaraan roda empat

76
jenis Daihatsu Terios warna hitam metalic Nomor Polisi B 2483

TC atas nama Edi Supriani Sabawih, produksi tahun 2007

dengan harga unit Rp 112.500.000 (seratus dua belas juta lima

ratus ribu rupiah) di showroom Cikaret Motor dengan metode

pembayaran, terdakwa membayar uang muka Rp 40.500.000

(empat puluh juta lima ratus ribu rupiah) ke pihak Cikaret Motor

dan sisanya dibayarkan oleh pihak pembiayaan PT Adira

Dinamika Multi Finance, Tbk Cabang Cianjur (Adira) melalui

kredit pembiayaan kendaraan bermotor. Bahwa perjanjian

kredit pembiayaan tersebut telah disetujui oleh terdakwa dan

pihak Adira dengan ditandatanganinya perjanjian pembiayaan

tersebut dengan segala persyaratannya. Bahwa setelah proses

kredit selesai dan kendaraan telah diterima oleh terdakwa, maka

pihak Adira mendaftarkan objek perjanjian (mobil Daihatsu

Terios) ke Kemenkumham agar terdaftar menjadi jaminan

fidusia. Bahwa seiring dengan berjalannya waktu, pada Hari

Sabtu tanggal 28 Januari 2017 sekitar jam 19.00 WIB di rumah

keponakan terdakwa yang bernama Mira di BTN Pasir sembung

Blok A Rt.05 Rw.11 Desa Sirnagalih Kec. Cilaku Kab. Cianjur,

terdakwa mengalihkan mobil Daihatsu Terios kepada Asep

Hadi yang beralamat di Kampung. Haregem Desa Nyalindung

Rt.004 Rw.006 Cugenang, tanpa ada pemberitahuan dan

persetujuan dari pihak PT Adira, sebagai penerima fidusia

77
tersebut. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di

persidangan pihak PT Adira juga tidak pernah memberikan

persetujuan secara tertulis terhadap pengalihan unit mobil

Daihatsu Terios tersebut, sehingga dengan demikian teranglah

bahwa terdakwa dalam hal ini pemberi fidusia tidak pernah

memberitahu dan pengalihan unit mobil Daihatsu Terios tidak

pernah disetujui oleh pihak penerima fidusia yaitu PT Adira.

Oleh karena pertimbangan tersebut, maka pada unsur kedua ini

telah terpenuhi.

3. Unsur dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari

penerima fidusia.

Dalam unsur ini, Majelis Hakim menilai bahwa berdasarkan

fakta-fakta yang terungkap di persidangan, benar adanya kalau

terdakwa dalam hal mengalihkan unit mobil Daihatsu Terios

tidak pernah mengajukan permohonan secara tertulis kepada

pihak PT Adira dan PT Adira sebagai penerima fidusia juga

tidak pernah memberikan persetujuannya secara tertulis

tentang pengalihan unit mobil Daihatsu Terios. Maka

berdasarkan pertimbangan tersebut unsur ketiga telah

terpenuhi.

Kemudian Majelis Hakim menimbang bahwa oleh karena

seluruh unsur-unsur dakwaan alternatif pertama telah terpenuhi,

maka terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan

78
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang

didakwakan pada dakwaan alternatif pertama Penuntut Umum dan

mengesampingkan dakwaan selebihnya. Menimbang dan

memperhatikan Pasal 183 jo. Pasal 193 KUHAP karena terdakwa

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana selama persidangan dalam perkara ini, Majelis hakim tidak

menemukan hal-hal yang dapat menghapus kesalahan Terdakwa

dari pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan

atau alasan pemaaf sebagai dimaksud dalam Pasal 44 s/d 51 KUHP,

oleh karena itu Majelis Hakim berkesimpulan bahwa terdakwa dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan dan

karenanya terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana

setimpal dengan perbuatannya;

Bahwa putusan yang dijatuhkan haruslah tidak sekedar

menjunjung tinggi kepastian hukum (rule of law) namun juga

memberikan rasa keadilan pada masyarakat (social justice). Disisi

lain, putusan yang dijatuhkan haruslah benar-benar bertujuan

menyelesaikan permasalahan sehingga memberi kecenderungan

agar pasca putusan, keseimbangan masyarakat bisa kembali

mendekati seperti sedia kala (restitutio in integrum);

Menimbang, bahwa tujuan pemidanaan atas diri Terdakwa

bukanlah semata-mata balas dendam atas perbuatan Terdakwa akan

tetapi lebih dari itu tujuan yang ingin dicapai adalah menjadikan

79
Terdakwa benar-benar sadar dan insyaf sehingga Terdakwa tidak

lagi melakukan perbuatan tersebut dimasa yang akan datang dan

pada akhirnya ketentraman dan rasa keadilan dalam masyarakat akan

tercipta. Selain itu tujuan dari pemidanaan selain bersifat represif

adalah bersifat preventif dan edukatif, maka penjatuhan pidana

haruslah sebanding dengan manfaat, kebergunaan dan keadilan.

Bahwa dalam putusan haruslah memuat penegakan hukum yang

berkeadilan, keadilan hukum tidak boleh mengandung kesenjangan

dengan kenyataan dan kecenderungan yang hidup dalam

masyarakat. Suatu putusan yang baik haruslah pula mengandung

keadilan sosial (Social Justice), keadilan hukum (legal Justice) dan

keadilan moral (moral justice), sehingga apa yang telah diputuskan

dalam putusan ini menurut pertimbangan Majelis Hakim telah adil;

4.1.2.3 Amar Putusan

Adapun amar putusannya adalah sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa Endang Rustadi Bin Jumhari, terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“mengalihkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia”;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Endang oleh karena itu

dengan pidana selama 1 (satu) tahun dan pidana denda

sebanyak Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) dengan ketentuan

apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana

kurungan selama 1 (satu) bulan;

80
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan terdakwa tetap ditahan;

5. Menetapkan barang bukti berupa:

a. Map perjanjian kontrak/kredit atas nama Endang Rustandi

yang berisikan Surat Pemesanan Kendaraan (asli), Akta

Jaminan Fidusia (asli), Kwitansi Dealer/Showroom (asli),

Surat penjelasan penting, Surat Perjanjian Pembiayaan

(asli), Surat Form Survey, Analisa dan Persetujuan

(FSAP) (asli), Surat Form Konfirmasi Penerimaan Unit

Debitur (asli), Surat Pengecekan BPKB (asli), fotocopy

KTP pemohon & istri, fotocopy Kartu keluarga, fotocopy

NPWP Nasabah, fotocopy Sertifikat Tanah/Buku Tanah

Nasabah, fotocopy STNK (B2483 TC), fotocopy BPKB,

fotocopy Faktur, fotocopy Pemeriksaan Kelayakan

Kendaraan Bekas dikembalikan kepada PT Adira

Dinamika Multi Finance;

b. Fotocopy Kwitansi tanggal 28 Januari 2017 dengan nilai

nominal Rp. 25.500.000 (dua puluh lima juta lima ratus

ribu rupiah) yaitu sebagai petunjuk bahwa tersangka

Endang Rustandi telah menerima uang penjualan/over

alih kendaraan 1 (satu) unit kendaraan Jenis Mobil

Penumpang Merk Daihatsu Terios Warna Hitam Metalik

81
dengan Nomor Rangka: MHKG2CJ1J7K001072, Nomor

Mesin: DAC 9077 dan Nomor Polisi B 2483 TC tahun

2007;

c. Fotocopy Surat Pernyataan tanggal 28 Januari 2017

perihal pernyataan pengalihan penguasaan kendaraan 1

(satu) unit kendaraan Jenis Mobil Penumpang Merk

Daihatsu Terios Warna Hitam Metalik dengan Nomor

Rangka: MHKG2CJ1J7K001072, Nomor Mesin: DAC

9077 dan Nomor Polisi B 2483 TC tahun 2007 dari

tersangka Endang Rustandi kepada pihak ketiga yaitu

Asep Hadi;

6. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa Endang

sebesar Rp. 3.000 (tiga ribu rupiah).

4.1.3 Kasus Posisi Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor

91/PID.SUS/2018/PT BDG

Pada tingkat banding Putusan Nomor 91/Pid.Sus/2018/PT Bdg,

bahwa terhadap memori banding tersebut, Jaksa Penuntut Umum

mengajukannya pada tanggal 15 Maret 2018, sedangkan dari pihak

Terdakwa Endang telah mengajukannya pada tanggal 21 Maret 2018

dikuasakan oleh Penasihat Hukum Terdakwa berdasarkan Surat Kuasa

Khusus tanggal 5 Maret 2018 bertindak untuk dan atas nama Terdakwa

Endang mengajukan permohonan banding terhadap putusan Pengadilan

Negeri Cianjur yang menyampaikan keberatan yang pada pokoknya

82
memohon kepada Pengadilan Tinggi untuk membatalkan Putusan

Pengadilan Negeri Cianjur Nomor 352/Pid.B/2017/PN Cjr yang

diberitahukan kepada Terdakwa pada tanggal 01 Maret 2018.

Adapun terhadap memori bandingnya, Jaksa Penuntut Umum telah

menyampaikan keberatan yang pada pokoknya memohon Pengadilan

Tinggi untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Cianjur Nomor

352/Pid.B/2017/PN Cjr karena Jaksa Penuntut Umum menilai bahwa

keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cianjur

tidak sepadan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa Endang

serta mengaburkan fakta-fakta persidangan yang terungkap dengan

demikian putusan yang dijatuhkan terlalu ringan dan tidak mencerminkan

rasa keadilan bagi masyarakat sehingga ditakutkan tidak akan membuat

terdakwa menjadi jera.

Sedangkan, terhadap memori banding dari Jaksa Penuntut Umum

tersebut, Penasehat Hukum Terdakwa tidak menyampaikan kontra memori

banding akan tetapi telah menyampaikan memori banding yang pada

pokoknya mohon agar putusan Pengadilan Negeri Cianjur tanggal 1 Maret

2018 Nomor 352/Pid.B/2017/PN.Cjr dibatalkan dengan alasan pada

pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cianjur terdapat

kejanggalan dalam putusan a quo. Kejanggalan terlihat dari konstruksi

hukum pertimbangan Majelis Hakim yang dalam menguraikan unsur-unsur

tindak pidana yang menyatakan Terdakwa Endang terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan tindak pidana yang menjadi objek Fidusia sama

83
dengan konstruksi hukum surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Sehingga

Penasehat Hukum Terdakwa menilai telah ada kesepakatan antara Jaksa

Penuntut Umum dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cianjur dalam

perkara a quo sebelum putusan dibacakan.

4.1.3.1 Pertimbangan Hukum

Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim Pengadilan

Tinggi memeriksa dan meneliti dengan seksama berkas perkara

beserta turunan resmi putusan Pengadilan Negeri Cianjur tanggal 1

Maret 2018 Nomor 352/Pid.B/2017/PN.Cjr. dan telah membaca,

memperhatikan memori banding yang diajukan oleh Jaksa Penuntut

Umum dan Penasehat Hukum Terdakwa, Majelis Hakim Pengadilan

Tinggi berpendapat bahwa pertimbangan dan putusan Majelis

Hakim Tingkat Pertama yang diuraikan dalam putusannya tersebut

adalah sudah tepat dan benar menurut hukum begitu pula dengan

lamanya pidana penjara dan pidana denda yang dijatuhkan dapat

disetujui oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dan pertimbangan

tersebut diambil alih sebagai pertimbangan sendiri dalam

memeriksa dan memutus perkara ini dalam tingkat banding, akan

tetapi dalam proses pemeriksaan perkara di tingkat banding

terdakwa tidak dilakukan penahanan, maka amar angka 4 (empat)

dalam putusan tingkat pertama, menurut Majelis Hakim Tingkat

Banding tidak perlu dicantumkan oleh karena itu putusan Hakim

84
tingkat pertama diperbaiki yang amar selengkapnya tersebut

dibawah ini;

Dalam pertimbangan hukumnya bahwa permintaan banding

oleh Jaksa Penuntut Umum maupun oleh Penasehat Hukum

Terdakwa telah diajukan dalam tenggang waktu dan menurut cara-

cara serta syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang, oleh

karena itu permintaan banding tersebut secara formal dapat diterima;

Menimbang, bahwa terhadap keberatan Para

Pembanding/Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum

Terdakwa di dalam memori bandingnya, ternyata tidak ada hal-hal

yang dapat melemahkan atau membatalkan putusan Majelis Hakim

Pengadilan Tingkat Pertama tersebut, karena semuanya telah

dipertimbangkan dengan tepat dan benar oleh Majelis Hakim

Tingkat Pertama, oleh karenanya memori banding tersebut tidak

dipertimbangkan lagi oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut

diatas, maka putusan Pengadilan Negeri Cianjur tanggal 1 Maret

2018 Nomor 352/Pid.B/2017/PN.Cjr. yang dimintakan banding

tersebut harus diperbaiki sekedar mengenai amar putusan pada

angka 4 (empat);

Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa tetap dinyatakan

bersalah dan dijatuhi pidana maka kepadanya harus dibebani untuk

membayar biaya perkara dalam tingkat banding;

85
Mengingat, Pasal 36 UU Jaminan Fidusia dan Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP serta peraturan

perundang-undangan lain yang bersangkutan.

4.1.3.2 Amar Putusan

Adapun amar putusannya adalah sebagai berikut:

1. Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan

penasehat hukum terdakwa;

2. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Cianjur 1 Maret

2018 Nomor 352/Pid.B/2017/PN Cjr yang dimintakan banding

tersebut sekedar mengenai amar angka 4 (empat), yang amar

selengkapnya sebagai berikut:

a. Menyatakan Terdakwa Endang Rustadi Bin Jumhari,

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana “mengalihkan benda yang menjadi objek

jaminan fidusia”;

b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Endang oleh

karena itu dengan pidana selama 1 (satu) tahun dan pidana

denda sebanyak Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) dengan

ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti

dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;

c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

d. Menetapkan barang bukti berupa:

86
1) Map perjanjian kontrak/kredit atas nama Endang

Rustandi yang berisikan Surat Pemesanan Kendaraan

(asli), Akta Jaminan Fidusia (asli), Kwitansi

Dealer/Showroom (asli), Surat penjelasan penting,

Surat Perjanjian Pembiayaan (asli), Surat Form

Survey, Analisa dan Persetujuan (FSAP) (asli), Surat

Form Konfirmasi Penerimaan Unit Debitur (asli),

Surat Pengecekan BPKB (asli), fotocopy KTP

pemohon & istri, fotocopy Kartu keluarga, fotocopy

NPWP Nasabah, fotocopy Sertifikat Tanah/Buku

Tanah Nasabah, fotocopy STNK (B2483 TC),

fotocopy BPKB, fotocopy Faktur, fotocopy

Pemeriksaan Kelayakan Kendaraan Bekas

dikembalikan kepada PT Adira Dinamika Multi

Finance;

2) Fotocopy Kwitansi tanggal 28 Januari 2017 dengan

nilai nominal Rp. 25.500.000 (dua puluh lima juta

lima ratus ribu rupiah) yaitu sebagai petunjuk bahwa

tersangka Endang Rustandi telah menerima uang

penjualan/over alih kendaraan 1 (satu) unit kendaraan

Jenis Mobil Penumpang Merk Daihatsu Terios Warna

Hitam Metalik dengan Nomor Rangka:

87
MHKG2CJ1J7K001072, Nomor Mesin: DAC 9077

dan Nomor Polisi B 2483 TC tahun 2007;

3) Fotocopy Surat Pernyataan tanggal 28 Januari 2017

perihal pernyataan pengalihan penguasaan kendaraan

1 (satu) unit kendaraan Jenis Mobil Penumpang Merk

Daihatsu Terios Warna Hitam Metalik dengan Nomor

Rangka: MHKG2CJ1J7K001072, Nomor Mesin:

DAC 9077 dan Nomor Polisi B 2483 TC tahun 2007

dari tersangka Endang Rustandi kepada pihak ketiga

yaitu Asep Hadi.

e. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa Endang

dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat

banding sejumlah Rp. 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah).

4.1.4 Kasus Posisi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2641 K/PID.SUS/2018

Pada tingkat kasasi Putusan Nomor 2641 K/Pid.Sus/2018, bahwa

terhadap memori kasasi tersebut, Terdakwa Endang telah mengajukannya

pada tanggal 07 Juni 2018 dikuasakan oleh Penasihat Hukum Terdakwa

berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 5 Maret 2018 bertindak untuk dan

atas nama Terdakwa Endang mengajukan permohonan kasasi terhadap

putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung yang pada pokoknya

keberatan terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 91/Pid.Sus/2018/PT

Bdg yang diberitahukan kepada Terdakwa pada tanggal 04 Juni 2018.

88
4.1.4.1 Pertimbangan Hukum

Setelah meneliti memori kasasi tersebut Mahkamah Agung

berpendapat bahwa alasan kasasi yang diajukan oleh Terdakwa

Endang tidak dapat dibenarkan karena putusan Judex Facti

Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Judex Facti

Pengadilan Negeri mengenai kualifikasi tindak pidana yang

menyatakan Terdakwa Endang terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana “Mengalihkan benda yang

menjadi objek fidusia” tidak salah dalam menerapkan peraturan

hukum sebagaimana mestinya serta dengan cara mengadili telah

dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang sehingga perbuatan

materiil Terdakwa Endang telah memenuhi semua unsur tindak

pidana Pasal 36 UU Jaminan Fidusia pada dakwaan alternatif kesatu;

Bahwa demikian juga pada putusan Judex Facti Pengadilan

Tinggi yang menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Endang dengan

pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp

3.000.000 (tiga juta rupiah), apabila denda tidak dibayar diganti

dengan kurungan selama 1 (satu) bulan, dan memperbaiki status

barang bukti tidak melampaui kewenangannya dan telah

mempertimbangkan dengan cukup semua keadaan yang melingkupi

perbuatan Terdakwa, baik keadaan yang memberatkan maupun

keadaan yang meringankan dan sifat perbuatan yang dilakukan

Terdakwa;

89
Bahwa selain itu alasan kasasi Terdakwa Endang berkenaan

dengan penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan

tentang suatu kenyataan yang mana hal tersebut tidak dapat

dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi, dikarenakan

pada pemeriksaan tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak

diterapkan sebagaimana mestinya terhadap suatu peraturan atau

apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut undang-

undang, dan apakah benar Pengadilan telah melampaui batas

wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Ayat

(1) KUHAP;

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dan

putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan

hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut

dinyatakan ditolak;

Menimbang bahwa karena Terdakwa Endang dipidana, maka

dibebani untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi;

Mengingat Pasal 36 UU Jaminan Fidusia, Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan

Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009

serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.

90
Adapun amar putusannya adalah Menolak permohonan kasasi dari

Pemohon Kasasi/Terdakwa Endang Rustandi bin Jumhari tersebut;

dan Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya

perkara pada tingkat kasasi sebesar Rp 2.500 (dua ribu lima ratus

rupiah).

4.1.4.2 Amar Putusan

Adapun amar putusannya adalah sebagai berikut:

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa

Endang;

2. Membebankan kepada Terdakwa Endang untuk membayar

biaya perkara pada tingkat kasasi sebesar Rp 2.500 (dua ribu

lima ratus rupiah).

4.2 Analisis Pengaturan Pengalihan Objek Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian

Jaminan Fidusia Ditinjau dari UU Jaminan Fidusia

Jaminan Fidusia merupakan satu di antara beberapa jenis jaminan

kebendaan yang lazim diketahui dalam hukum positif Indonesia. Dalam

pengertiannya, fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas

dasar kepercayaan dengan ketentuan benda yang hak kepemilikannya dialihkan

tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda sebagaimana yang telah diatur

dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Fidusia. Dasar hukum dari jaminan fidusia

ini adalah suatu perjanjian antara debitur dengan kreditur yang di dalamnya

terdapat suatu hubungan perikatan yang menerbitkan hak bagi kreditur untuk

meminta penyerahan barang jaminan dari debitur secara constitutum

91
possessorium yakni penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik

benda tersebut sama sekali.

Perjanjian dalam rangka pemberian fidusia merupakan perjanjian yang

accesoir, yakni merupakan perjanjian yang membuntuti perjanjian lainnya

(perjanjian pokok) yang dalam perkara ini adalah perjanjian utang-piutang.

Perjanjian utang-piutang yang merupakan perjanjian pokok ini berbeda dengan

perjanjian jaminan fidusia karena dituangkan pada akta yang berbeda pula,

namun keduanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Perjanjian fidusia ini juga tergolong ke dalam perjanjian dengan syarat batal,

karena apabila utangnya dilunasi, maka hak jaminannya pun secara fidusia

menjadi hapus.

Dalam suatu perjanjian yang tergolong dalam bentuk apapun, di

dalamnya terdapat antara para pihak yang mengikatkan dirinya untuk

menjalankan sesuatu hal yang telah disepakati (prestasi). Namun pada

kenyataannya, tidak menutup kemungkinan hal tersebut dapat memberikan

dampak yang mana salah satu pihak tidak menjalankan apa yang telah

diperjanjikan. Mengingat prestasi merupakan suatu keharusan yang wajib

dipenuhi atau dijalankan oleh debitur dalam setiap perikatan, baik perikatan

yang bersumber dari perjanjian maupun dari undang-undang. Adapun wujud

dari prestasi terdapat pada Pasal 1234 KUHPer yang menyatakan bahwa “tiap-

tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau

92
untuk tidak berbuat sesuatu”. Terdapat sebab yang menjadikan prestasi tersebut

tidak dapat dilakukan oleh debitur sebagaimana mestinya, antara lain:73

1. Adanya kesalahan debitur baik karena mengandung unsur kesengajaan

atau terdapat unsur kelalaian, yang dalam hal ini dapat disebut

wanprestasi.

2. Adanya keadaan yang memaksa, yaitu diluar kemampuan debitur yang

dapat disebut juga dengan overmacht.

Besarnya cakupan suatu kesalahan meliputi kesengajaan, yakni

tindakan tersebut memang dikenali dan dikehendaki, sedangkan pada

kelalaian berarti pelaku tidak menghendaki adanya tindakan tersebut, tetapi

hanya mengetahui adanya kemungkinan bahwa dampaknya akan terjadi

kesengajaan (arglist). Hal ini dimuat pada ketentuan Pasal 1247 dan 1248

KUHPer. Untuk menentukan apakah seorang debitur itu bersalah dengan

tidak melakukan prestasinya, maka terdapat 3 (tiga) bentuk wanprestasi,

yaitu:

1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;

2. Debitur terlambat dalam memenuhi suatu prestasi yang berarti debitur

masih memenuhi prestasinya namun terdapat kendala waktu;

3. Debitur berprestasi tidak sebagaimana atau keliru dalam memenuhi

prestasinya sebagaimana mestinya yang berarti terdapat 2 (dua)

kemungkinan yakni apabila masih dapat diharapkan untuk diperbaiki,

73
Willer Napitupulu, et.all, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana
Jaminan Fidusia Terhadap Jaminan Fidusia Yang Dikuasai Pihak Ketiga”, Jurnal Hukum Khaira
Ummah, Vol. 12, No. 2, (2017), hal. 352

93
maka dianggap terlambat memenuhi prestasi, dan bilamana tidak dapat

diharapkan lagi, maka debitur dianggap tidak dapat memenuhi prestasi

sama sekali.

Jaminan fidusia terkait dengan hukum perjanjian dan hukum benda

yang termasuk di dalam hukum harta kekayaan sebagaimana yang diatur

dalam KUHPer, yang berarti hukum kebendaan diatur dalam Buku II

KUHPer sedangkan hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUHPer.

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya sebagaimana termaktub dalam Pasal 1338

KUHPer. Bagi para pihak yang membuat suatu perjanjian tidak

diperkenankan untuk membatalkan perjanjian yang telah disepakati

bersama antar keduanya, dikarenakan perjanjian tersebut telah memenuhi

syarat sahnya perjanjian yakni sepakat di antara mereka yang saling

mengikatkan dirinya, kecakapan para pihak dalam membuat perjanjian,

objek tertentu, dan suatu sebab yang halal.

Pada perjanjian utang-piutang yang dilakukan oleh debitur dan

kreditur, maka diadakannya suatu pembebanan benda dengan jaminan

fidusia yang diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 10 UU Jaminan Fidusia,

yang dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen yang disebut dengan

“Akta Jaminan Fidusia” yang bersifat akta otentik dengan penggunaan

dalam Bahasa Indonesia. Adapun akta jaminan fidusia harus berisikan hal-

hal sebagai berikut:

1. Identitas pihak debitur dan kreditur;

94
2. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

3. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

4. Nilai penjaminan; dan

5. Nilai benda yang menjadi jaminan fidusia.

Dalam hal ini, penulis menilai bahwa alasan UU Jaminan Fidusia

menetapkan bentuk perjanjian jaminan fidusia dengan akta notaris adalah

pertama, akta notaris merupakan suatu akta otentik yang memiliki kekuatan

pembuktian yang sempurna, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1868

KUHPer menyatakan bahwa:

“Akta otentik adalah suatu akta yang bentuknya telah ditentukan


oleh undang-undang dan dibuat di hadapan pejabat umum yang
berwenang di twilayah dimana pejabat umum membuat akta
tersebut”;

Kedua, mengingat objek daripada jaminan fidusia itu sendiri pada

umumnya merupakan benda bergerak; dan ketiga, karena UU Jaminan

Fidusia melarang adanya fidusia ulang dimana artinya atas benda yang sama

telah dilakukan pembebanan fidusia, dibebankan sekali lagi. Jadi, apabila

kepemilikan sudah diserahkan kepada pihak kreditur, maka debitur tidak

diperkenankan untuk menyerahkan kepada kreditur lain. Sebab,

sebagaimana diketahui bahwa UU Jaminan Fidusia menjunjung tinggi

prinsip fidusia sebagai peralihan hak milik secara kepercayaan, bukan hanya

jaminan utang saja.

Adapun sebelum benda yang dijadikan jaminan tersebut harus

didaftarkan terlebih dahulu sebagaimana yang telah diamanatkan dalam

Pasal 11 ayat (1) UU Jaminan Fidusia. Lebih lagi, pendaftaran jaminan

95
fidusia ini dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Pada formulir

permohonan pendaftaran jaminan fidusia harus sekurang-kurangnya

memuat:

a. Identitas pihak debitur dan kreditur;

b. Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat kedudukan

Notaris yang membuat akta jaminan fidusia;

c. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

d. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

e. Nilai penjaminan; dan

f. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Pendaftaran ini dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2021 tentang

Tata Cara Pendaftaran, Perubahan, dan Penghapusan Jaminan Fidusia,

menyatakan bahwa pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh pemohon

secara elektronik (online). Selanjutnya, jaminan fidusia akan memiliki

sertifikat jaminan fidusia.

Adanya kewajiban mendaftarkan jaminan fidusia di Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham) ini

menunjukan adanya asas publisitas. Dalam pendaftaran tersebut memuat

data yang lengkap yang dimasukkan ke dalam akta jaminan fidusia.

Pendaftaran tersebut bertujuan agar khalayak ramai yang memiliki

kepentingan seperti halnya pihak ketiga dapat mengetahuinya, khususnya

pembebanan terhadap benda tertentu, dan oleh karena itu daftar yang

96
bersangkutan dinyatakan terbuka oleh umum sebagaimana yang dimaksud

dalam ketentuan Pasal 18 UU Jaminan Fidusia. Selain itu, ketentuan

pendaftaran ini diadakan agar dapat diketahui oleh pihak ketiga bahwa suatu

barang sudah dijaminkan secara fidusia, sehingga pihak ketiga yang akan

menerima pengalihan hak dapat berpikir kembali untuk menerima

pengalihan hak tersebut serta memiliki akibat hukum terhadap pihak ketiga

yang menerima pengalihan tersebut.

Berangkat dari hal di atas, maka dengan adanya pembebanan

jaminan fidusia dengan akta notaris ini merupakan hal yang cukup penting

sebagai syarat bahwa perjanjian jaminan fidusia telah sah dan mendapatkan

kepastian hukum. Di samping itu, maka dengan pembebanan jaminan

fidusia akan berlaku suatu hak dan kewajiban yang mengikat antara para

pihak yang terkait, terlebih kepada pihak kreditur untuk mendapatkan

pelunasan. Begitu juga dalam hal memberikan dukungan kepada debitur

untuk melaksanakan prestasinya yaitu dengan membayar utang kepada

kreditur yang dalam hal ini adalah lembaga pembiayaan leasing sesuai

dengan perjanjian utang-piutang yang tercantum. Lebih lagi, penulis

menilai bahwa terhadap pendaftaran jaminan fidusia ini tidak menjamin

debitur akan selalu taat dan patuh pada prestasinya. Sebaliknya, bahkan

sering ditemukannya debitur untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang

dapat dikategorikan ke dalam perbuatan pidana.

Realisasi jaminan fidusia ini ternyata pada faktanya masih banyak

ditemukan pelanggaran-pelanggaran terhadap benda yang dijadikan objek

97
jaminan fidusia. Perbuatan ini kerap kali dilakukan oleh debitur yang tidak

menjalankan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Ketika suatu

benda jaminan fidusia sudah didaftarkan di Kemenkumham, namun masih

ada saja debitur yang mengalihkan benda yang sudah didaftarkan tersebut

atau memindahtangankan dengan menjual kepada kreditur lainnya. Hal ini

dilakukan semata-mata agar debitur dapat memperoleh pinjaman dari

kreditur lainnya dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan dalam

menjalankan usahanya. Oleh karena itu, terkait hal-hal yang menjadi

kewajiban debitur, antara lain adalah:

1. Debitur wajib untuk memenuhi tanggungan seluruh utang dalam

perjanjian fidusianya sesuai dengan jumlah dan waktu yang telah

disepakati:

a. Kewajiban apabila terjadi keadaan cidera janji sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) UU Jaminan Fidusia, maka

debitur wajib menggantinya dengan objek yang sepadan yang

ditegaskan oleh Pasal 21 ayat (3) UU Jaminan Fidusia.

b. Kewajiban untuk mengubah benda persediaan yang dialihkan,

sebagaimana pada Pasal 21 ayat (3) UU Jaminan Fidusia

menyebutkan bahwa benda persediaan yang menjadi objek jaminan

fidusia yang telah dialihkan wajib diganti oleh debitur dengan objek

yang sepadan.

c. Atas benda dagangan yang telah dialihkan oleh debitur ada

kewajiban dari debitur untuk mengubahnya dengan benda yang

98
sama; dan Ketentuan ini merupakan penekanan kembali bahwa

debitur dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi objek

jaminan Fidusia, baik dengan langkah menjual maupun

menyewakan dalam rangka kegiatan usahanya. Namun demikian

untuk melindungi kepentingan kreditur, maka benda yang dialihkan

tersebut wajib diganti dengan objek yang setara nilai dan jenisnya.

2. Debitur tidak diperkenankan meminjamkan, menyewakan, mengalihkan

atau mengubah penggunaan atas objek jaminan sebagaimana diatur

dalam Pasal 23 ayat (2) UU Jaminan Fidusia;

3. Debitur wajib bertanggung jawab atas setiap keadaan, kehilangan,

kehancuran, penurunan nilai, atau perubahan apapun yang terjadi pada

objek jaminan, termasuk juga di dalamnya untuk menjaga dan merawat

objek jaminan dengan sebaik-baiknya;

4. Debitur menanggung segala pajak, pungutan, dan beban lainnya

terhadap objek jaminan;

5. Debitur wajib menyusun laporan terkait dengan keadaan benda

persediaan secara berjangka maupun setiap saat berdasarkan permintaan

kreditur, dengan tujuan memberikan informasi perkembangan baik

secara kualitatif maupun kuantitatif kepada kreditur terhadap keadaan

benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia;

6. Debitur wajib mengelola benda persediaan dengan cara apapun agar

jumlah benda persediaan di tempat yang ditetapkan tidak berkurang

secara jumlahnya;

99
7. Debitur menjamin kreditur dalam hal semua gugatan yang diajukan oleh

pihak ketiga sehubungan dengan objek jaminan;

8. Debitur wajib mengurus, menyelesaikan, dan membayar tuntutan atau

gugatan tersebut atas biaya dan tanggung jawab debitur sendiri;

9. Debitur tidak diperkenankan untuk melakukan fidusia ulang atau

mengalihkan dengan cara apapun atas objek jaminan fidusia kepada

pihak ketiga atau pihak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU

Jaminan Fidusia; dan

10. Bilamana debitur cidera janji, maka diatur eksekusi objek jaminan

fidusia yang diatur dalam Pasal 29 UU Jaminan Fidusia yang

didalamnya memuat cara-cara eksekusi objek jaminan fidusia yaitu

dengan pelaksanaan titel eksekutorial. Dengan titel eksekutorial ini

menimbulkan konsekuensi yuridis bahwa jaminan fidusia mempunyai

kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap. Sehingga penjualan terhadap benda yang

menjadi jaminan fidusia, selain melalui titel eksekutorial, dapat juga

dilakukan dengan cara melelang secara umum dan melakukan penjualan

di bawah tangan. Oleh karena itu debitur wajib menyerahkan benda

yang menjadi objek jaminan fidusia untuk dieksekusi kepada kreditur

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 30 UU Jaminan Fidusia.

Dilihat berdasarkan poin di atas, jika debitur tidak mengindahkan

kewajiban tersebut apalagi sudah merugikan pihak lain yang dalam hal ini

adalah kreditur, maka debitur akan mendapatkan konsekuensi yang

100
selanjutnya debiturlah yang akan bertanggung jawab. Sebagaimana telah

diuraikan sebelumnya, bahwa debitur tidak boleh melakukan hal yang

bertentangan dengan peraturan yang berlaku seperti mengalihkan maupun

menyewakan objek jaminan fidusia kepada pihak lain tanpa ada persetujuan

dari kreditur. Begitu pula bila debitur dalam hal ini bertindak tidak

berdasarkan itikad baik dalam menjaga benda yang dijadikan objek jaminan

fidusia sebagaimana setelah lahirnya sertifikat jaminan fidusia, maka pada

pokoknya debitur telah mengetahui dan memahami akan hak dan kewajiban

yang mengikat di antara pihak debitur dan kreditur.

Dalam jaminan fidusia, peranan itikad baik dari debitur merupakan

hal yang sangat penting. Perjanjian jaminan fidusia itu hanya diketahui oleh

para pihak yang melakukan perjanjian saja, yaitu debitur dan kreditur.

Debitur yang tidak beritikad baik dapat menyalahgunakan wewenangnya

terhadap objek yang sudah difidusiakan, yaitu melakukan pengalihan hak

atas objek jaminan fidusia dengan menjual objek tersebut pada kreditur lain

tanpa persetujuan tertulis dari pihak kreditur yang sesuai dalam perjanjian

sebelumnya antara kedua belah pihak, dan pihak kreditur lain tersebut

bersedia melakukan perbuatan hukum itu karena menganggap barang yang

dikuasai oleh debitur nantinya akan dijaminkan sekali lagi adalah milik

debitur. Pasal 23 ayat (2) UU Jaminan Fidusia menyatakan bahwa:

“Pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan atau


menyewakan pada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan
fidusia yang bukan merupakan benda persediaan, kecuali dengan
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia”.

101
Ketentuan ini menjelaskan bahwa objek yang menjadi jaminan

fidusia yang bukan merupakan benda persediaan tidak boleh dialihkan pada

pihak lain tanpa persetujuan dari pihak kreditur. Sebagaimana disebutkan

pada pasal di atas, bahwa persetujuan tersebut dapat berupa izin tertulis dari

pihak kreditur. Mengingat pada jaminan fidusia, benda yang dibebankan

tidak diserahkan kepada kreditur melainkan tetap dalam penguasaan fisik

debitur, namun penguasaan yuridis tetap berada pada pihak kreditur.

Dengan kata lain, debitur dapat mengalihkan objek jaminan fidusia

kepada pihak lain dengan persetujuan dari pihak kreditur atau telah

melakukan pelunasan utangnya terhadap kreditur. Dari 2 (dua) hal tersebut,

maka penguasaan debitur terhadap objek jaminan fidusia tidak sepenuhnya

menjadikan debitur memiliki hak penguasaan seluruhnya sebagai pemilik

barang. Mengingat dalam jaminan fidusia dikenal dengan diakuinya

penyerahan hak milik secara kepercayaan sebagai titel pemindahan hak

milik dengan penyerahan secara constitutum possessorium, maka di sini

secara tidak langsung diakui, bahwa hak milik atas benda yang dijadikan

objek jaminan fidusia selama penjaminan berlangsung menjadi terbagi 2

(dua), yaitu hak milik ekonomisnya tetap ada pada debitur, sedangkan hak

milik yuridisnya ada pada kreditur.

Oleh karenanya, kata yang kepemilikannya dialihkan tersebut tetap

dalam penguasaan pemilik benda dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan

Fidusia diartikan, bahwa hak milik ekonomisnya masih ada pada debitur,

yang tetap berkedudukan sebagai pemilik, sekalipun sekarang hanya

102
sebagai pemegang hak pemilik ekonomis saja, sedangkan hak kepemilikan

dalam penjelasan Pasal 17 UU Jaminan Fidusia tertuju kepada hak milik

yuridis. Dengan begitu debitur tidak memiliki wewenang untuk

mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan bahkan menjual kepada

pihak ketiga walaupun dalam praktiknya barang yang dipindahtangankan

merupakan barang milik debitur. Bilamana hal tersebut terjadi, maka

perbuatannya tersebut sudah melampaui wujud perjanjian yang sudah

disepakati oleh kedua belah pihak dan dapat dikategorikan sebagai

perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum. Oleh karena itu, perbuatan

debitur haruslah dapat dipertanggungjawabkan dan akan dikenakan sanksi

yang dapat digolongkan ke dalam tindak pidana pengalihan objek jaminan

fidusia.

Atas segala tindakan dan kelalaian debitur di atas, kreditur tidak

dikenakan pertanggungjawaban sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24

UU Jaminan Fidusia yakni:

“Penerima fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan


atau kelalaian pemberi fidusia baik yang timbul dari hubungan
kontraktual atau yang timbul dari perbuatan melanggar hukum
sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan benda yang
menjadi objek jaminan fidusia”.

Bilamana debitur memilih untuk melakukan pengalihan objek

jaminan fidusia yang bukan merupakan benda persediaan kepada pihak

ketiga tanpa persetujuan tertulis dari pihak kreditur, maka tindakan tersebut

merupakan tindakan melanggar hukum yang dapat dijatuhkan hukuman

pidana. Dalam hal menyangkut ranah pidana maka dikenal suatu peraturan

103
khusus yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana khusus. Oleh karena itu,

penulis menilai pada perbuatan pengalihan objek jaminan fidusia yang

dilakukan debitur merupakan suatu tindak pidana khusus yang dalam hal ini

wajib diberlakukan suatu undang-undang yang lebih khusus pula. Maka dari

itu, dapat diterapkannya suatu Asas lex specialis derogat legi generali yang

pada pokoknya asas ini menentukan aturan hukum mana yang lebih

didahulukan untuk diberlakukan.

Atas tindakan tersebut, terdapat dua aturan hukum yang mengatur

yakni dalam KUHP dan UU Jaminan Fidusia. Sebagaimana ketentuan

pidana khusus yang berkaitan dengan pengalihan objek jaminan fidusia

maka terhadap Pasal 36 UU Jaminan Fidusia menyampingkan Pasal 372

KUHP. Adapun sanksi pidana dalam Pasal 36 UU Jaminan Fidusia

menyebutkan bahwa:

“Pemberi fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau


menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan
tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)”.

Adapun unsur-unsur pidana yang harus dipenuhi dalam Pasal 36 UU

Jaminan Fidusia adalah:

1. Pemberi Fidusia

Sebagaimana yang telah diuraikan oleh penulis bahwa berdasarkan

Pasal 1 angka 5 UU Jaminan Fidusia menyatakan: “Pemberi fidusia atau

lebih dikenal dengan sebutan debitur merupakan orang perseorangan

atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia”.

104
2. Yang mengalihkan benda objek jaminan fidusia, menggadaikan benda

objek jaminan fidusia, atau menyewakan benda jaminan fidusia.

Terkait dengan unsur ini memiliki sifat alternatif, maksud dari hal

ini adalah apabila salah satu perbuatan pada unsur ini terbukti maka

dapat dikatakan salah satu unsur tersebut terpenuhi. Adapun unsur-

unsur yang berhubungan yang dapat melahirkan pertanggungjawaban

pidana dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU Jaminan Fidusia adalah:

a. Mengalihkan benda objek jaminan fidusia;

b. Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia

mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban

penerima fidusia kepada kreditur baru;

c. Beralihnya jaminan fidusia dengan didaftarkannya kepada kantor

pendaftaran fidusia oleh kreditur baru.

Dalam Pasal 19 ayat (1) UU Jaminan Fidusia, penulis menilai bahwa

tindakan mengalihkan yang tanpa persetujuan dari pihak kreditur

didasarkan pada tindakan aktif dan sadar serta cukup dapat dikatakan

bahwa debitur menghendaki tindakan tersebut. Oleh karena itu, tindakan

tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sebab mengalihkan

atau memindahtangankan diluar atau tidak sesuai dengan yang telah

diatur dalam UU Jaminan Fidusia itu sendiri.

3. Tanpa persetujuan tertulis penerima fidusia

Definisi perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 KUHPer, yaitu

bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana

105
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan

overeenkomst dalam bahasa Belanda. Kata overeenkomst tersebut lazim

diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. 74 Jadi persetujuan dalam

Pasal 1313 KUHPer tersebut sama artinya dengan perjanjian.

Mengingat suatu perjanjian adalah semata-mata untuk suatu persetujuan

yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang

pokok di dalam dunia usaha dan menjadi dasar bagi kebanyakan

transaksi dagang khususnya dalam pemberian kredit. Berdasarkan Pasal

1 angka 5 UU Jaminan Fidusia, bahwa Penerima Fidusia adalah orang

perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang

pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. Sehingga terkait

ketentuan Pasal ini, pelaku tindak pidana dalam melakukan tindakannya

tersebut tidak didasarkan atas suatu keadaan mereka mengikatkan diri

untuk melakukan sesuatu, dalam hal ini debitur telah berlaku secara

sepihak yaitu dengan mengalihkan objek jaminan fidusia tanpa

persetujuan bentuk tertulis dari pihak kreditur.

Ketika unsur-unsur di atas dapat dibuktikan, hal ini berkaitan dengan

kedudukan kreditur yang diatur menurut UU Jaminan Fidusia. Mengingat

kedudukan kreditur itu adalah sebagai pemegang jaminan, maka

kewenangan yang dimiliki layaknya seorang pemilik, yakni melakukan

pengawasan atas benda jaminan. Dalam hal tersebut, tidak ada ketentuan

74
Dwi Tatak Subagiyo, Op.Cit., hal. 93

106
lain yang memberikan perlindungan kepada kreditur apabila pihak debitur

melakukan perbuatan melanggar hukum berkaitan dengan penggunaan

objek jaminan fidusia. Perlindungan tersebut hanyalah sebatas sebagaimana

ditentukan oleh Pasal 20 UU Jaminan Fidusia yang menyebutkan bahwa:

“Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan


fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali
pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan
fidusia”.

Pada ketentuan pasal tersebut memuat asas droit de suite yang telah

dijelaskan sebelumnya oleh penulis, bahwa pengakuan asas droit de suite

merupakan hak jaminan yang mengikuti bendanya dalam tangan siapapun

benda tersebut berada dengan maksud memberikan kepastian hukum bagi

kreditur untuk memperoleh pelunasan utang dari hasil penjualan objek

jaminan fidusia apabila tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi.

Oleh karena itu, kreditur memiliki hak yang telah diatur berdasarkan UU

Jaminan Fidusia di antaranya adalah hak atas hasil benda objek jaminan

fidusia dan klaim asuransi; hak menjalankan titel eksekutorial; hak untuk

menjual benda objek jaminan fidusia atas dasar kekuasaannya sendiri; dan

diaturnya ketentuan pidana bagi debitur yang mengalihkan, menggadaikan

atau menyewakan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU Jaminan

Fidusia. Dengan ini terciptalah suatu perlindungan hukum lain bagi kreditur

yaitu dapat mengajukan gugatan atas ganti kerugian yang disebabkan oleh

debitur yang wanprestasi.

Berkenaan dengan hal di atas maka kreditur berhak meminta

pertanggungjawaban kepada debitur. Setiap orang yang melakukan tindak

107
pidana dengan sendirinya harus dipidana, dan untuk dapat dipidana harus

ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan

diteruskannya celaan (verwijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan

yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang

berlaku, dan secara subjek kepada pembuat yang memenuhi persyaratan

untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Pertanggungjawaban

pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak

pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk

dapat dijatuhkan pidana karena perbuatannya itu.75 Sebaliknya bila suatu

perbuatan yang dilakukan seseorang bukan perbuatan yang bersifat

melawan hukum, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada

pembuat atau pelaku. Berkenaan dengan hal tersebut maka seseorang dapat

dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila unsur utama yaitu unsur

kesalahan atau kelalaian telah terpenuhi. Seseorang dapat dikatakan

melakukan tindak pidana apabila memenuhi unsur subjektif dan objektif,

yang mana unsur subjektif dalam hal ini adalah debitur dalam mengalihkan

benda jaminan fidusia dilakukan secara sengaja karena adanya pemikiran

dari debitur untuk mengalihkan objek yang menjadi jaminan fidusia

tersebut. Sedangkan dalam unsur objektifnya merupakan tindakan yang

dalam hal ini adalah pengalihan benda yang menjadi jaminan fidusia yaitu

adanya perbuatan debitur yang bersifat aktif dimana hal ini adalah debitur

yang mengalihkan benda jaminan fidusia kepada pihak ketiga secara sadar

75
Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Korporasi, (Depok : Kencana, 2020), hal 29

108
serta mengetahui bahwa terdapat larangan terhadap benda jaminan fidusia

yang tidak diperbolehkan untuk dialihkan tanpa sepengetahuan penerima

fidusia.

Terkait dengan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 36 UU Jaminan Fidusia

sudah cukup jelas mengatur bahwa dalam ketentuan 2 (dua) pasal ini

terdapat ketentuan yang di dalamnya menjelaskan unsur debitur dapat

dimintakan pertanggungjawaban secara pidana terhadap benda jaminan

fidusia tersebut apabila dialihkan kepada pihak ketiga tanpa adanya

persetujuan dari kreditur. Adapun beberapa unsur-unsur yang harus

dipenuhi tentang seseorang yang dikategorikan telah melakukan kesalahan,

yaitu:76

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat, artinya jiwa

si pembuat harus normal;

2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa

kesengajaan atau kealpaan, disebut bentuk-bentuk kesalahan;

3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan

pemaaf.

Oleh karena itu, berdasarkan ketiga unsur ini terpenuhi, bilamana

pelaku yang melanggar pasal 23 ayat (2) dan Pasal 36 UU Jaminan Fidusia

dapat dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana

sehingga dalam hal ini bagi pelaku yang mengalihkan objek jaminan fidusia

76
Syahron Sahputra, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pengalihan Benda Jaminan Fidusia
Dalam Perjanjian Kredit”, Issn Nomor 2620-6625, 2020, Jurnal Ilmiah “Advokasi”, Vol. 08, No.
01, (2020), hal. 103

109
tanpa persetujuan terlebih dahulu dari penerima fidusia dapat dimintakan

pertanggungjawaban dan dapat dipidana sebagaimana telah diatur dalam

Pasal 36 UU Jaminan Fidusia karena apabila pengalihan objek jaminan

fidusia itu tidak selaras dengan sepengetahuan kreditur yang terdahulu,

maka tindakan seperti itu tidak dapat dibenarkan oleh hukum. Dengan

begitu, hadirnya UU Jaminan Fidusia dapat memberikan perlindungan

terkait kepentingan kreditur terhadap kemungkinan-kemungkinan yang

terjadi akibat perbuatan penyelewengan oleh debitur.

4.3 Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Pengalihan objek Jaminan

Fidusia Oleh Debitur Dalam Perjanjian Pembiayaan Leasing Kendaraan

Roda Empat (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2641

K/PID.SUS/2018)

4.3.1 Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cianjur Putusan Nomor

352/PID.B/2017/PN CJR

Sebelum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cianjur menjatuhkan

putusan, terlebih dahulu mempertimbangkan keadaan yang memberatkan

dan keadaan yang meringankan dari Terdakwa. Keadaan yang memberatkan

dari Terdakwa adalah di mana tindakan terdakwa mengakibatkan PT Adira

mengalami kerugian sebesar Rp 120.000.000 (seratus dua puluh juta rupiah)

dan hal tersebut telah merusak kepercayaan dari PT Adira itu sendiri.

Sedangkan keadaan yang meringankan dari Terdakwa adalah:

1. Terdakwa mengakui dan menyesali akan perbuatannya;

2. Terdakwa bersikap sopan dan berterus-terang di hadapan persidangan;

110
3. Terdakwa berprofesi sebagai pendidik tingkat dasar yang sangat

dibutuhkan oleh murid-muridnya.

Setelah Majelis Hakim mempertimbangkan terkait keadaan yang

memberatkan dan keadaan meringankan dari Terdakwa, kemudian hakim

menjatuhkan putusan yakni putusan Nomor 352/Pid.B/2017/PN Cjr, yang

amar putusannya telah diuraikan oleh penulis pada sub bab 4.1.2.3

penelitian ini.

Jika mencermati isi putusan Majelis Hakim tersebut, kemudian

penulis menghubungkan dengan perbuatan terdakwa dapat diketahui bahwa

putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cianjur Nomor

352/Pid.B/2017/PN Cjr telah sesuai dengan ketentuan UU Jaminan Fidusia,

khususnya Pasal 36 UU Jaminan Fidusia. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pengertian fidusia

yaitu:

“Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan


dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu”.

Dari pengertian fidusia tersebut, dapat diketahui unsur-unsur fidusia

adalah: (1) pengalihan hak kepemilikan suatu benda; (2) dilakukan atas

dasar kepercayaan; dan (3) kebendaannya tetap dalam penguasaan pemilik

benda.

Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri,

penulis juga akan menganalisis terhadap unsur-unsur yang didakwakan

kepada terdakwa terkait dengan pengalihan objek jaminan fidusia. Adapun

111
unsur yang pertama ialah Unsur Pemberi Fidusia. Hakim menyatakan

bahwa sesuai dengan fakta yang ada, baik melalui keterangan saksi-saksi,

petunjuk, maupun keterangan terdakwa sendiri yang mana telah

menunjukkan bahwa pelaku dalam perkara ini adalah benar Terdakwa

Endang.

Penulis dengan ini sependapat dengan Majelis Hakim, dimana

dalam dasar pokok penjatuhan pidana terhadap seseorang yang telah

melakukan perbuatan pidana merupakan norma yang tidak tertulis. Tindak

pidana terjadi apabila terjadinya suatu kesalahan. Mengingat bahwa

seseorang akan dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, apabila

tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau

peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat

dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang

mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya. Artinya dasar pertanggungjawaban pidana seseorang adalah

bertumpu pada kesalahan yang dilakukannya. Sehingga haruslah

terpenuhinya unsur-unsur lain sehingga dapat ditentukan apakah terdakwa

tersebut sama dengan unsur subjek yang mana didakwakan kepadanya.

Secara yuridis yakni berdasarkan Pasal 1 KUHP bahwa sebagai

suatu Negara Hukum, sistem peradilan di Indonesia menganut asas legalitas,

yang mana menyatakan bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat

dipidana kecuali ditentukan terlebih dahulu atas kekuatan aturan pidana

dalam perundang-undangan yang telah ada. Adapun dalam sistem

112
perundang-undangan Indonesia diatur juga bahwa dalam menjatuhkan

putusan, hakim tidak hanya mendasarkan pada bukti formil, melainkan juga

berdasarkan pada unsur yang lebih esensial, yaitu pada adanya suatu

keyakinan hakim. Bukti formil dan keyakinan hakim tersebut merupakan 2

(dua) unsur pokok dalam pengambilan sebuah keputusan pengadilan.

Berdasarkan Pasal 183 KUHAP mengandung 2 (dua) asas pembuktian

yaitu:

1. Asas minimum pembuktian, yaitu asas bahwa untuk membuktikan

kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah; dan

2. Asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang

mengajarkan suatu prinsip hukum pembuktian bahwa disamping

kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus pula diikuti keyakinan hakim

akan kebenaran kesalahan terdakwa.

Merujuk pada Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang dimaksud adalah

sebagai berikut:

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa

Berdasarkan kedua asas tersebut bilamana dihubungkan dengan

penentuan kesalahan terdakwa Endang, maka diperoleh keyakinan bahwa

113
terdakwa telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan dengan adanya

alat bukti yang diajukan dipersidangan yakni berupa keterangan 6 (enam)

orang saksi, surat-surat yang mana di antaranya adalah Surat Perjanjian

Pembiayaan, Akta Jaminan Fidusia, Surat Pernyataan atas nama terdakwa

dan juga barang bukti lainnya yang telah penulis uraikan di atas. Disamping

kesalahan yang telah cukup terbukti, diikuti juga dengan keyakinan hakim

akan kebenaran kesalahan terdakwa melalui fakta-fakta hukum yang

terungkap di persidangan maka terlihat bahwa dalam menentukan siapa

yang dapat diberikan pertanggungjawaban pidana haruslah orang yang telah

dijatuhi pidana itu mengetahui pidana apa yang dilarang dan dijatuhkan

kepadanya dan dalam hal ini adalah Terdakwa Endang.

Pertimbangan kedua yang Majelis Hakim pertimbangkan adalah

Unsur mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan benda yang menjadi

objek jaminan fidusia tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari

penerima fidusia. Hal ini Majelis Hakim mempertimbangkan berdasarkan

fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan bahwa barang objek

jaminan fidusia yang dialihkan ialah berupa 1 (satu) unit kendaraan roda

empat terlebih merk Daihatsu Terios warna hitam metalik dengan Nomor

Rangka: MHKG2CJ1J7K001072, Nomor Mesin: DAC 9077 dan Nomor

Polisi B 2483 TC tahun 2007, STNK dan BPKB atas nama Edi Suprani

Sebawih. Bahwa berdasarkan fakta lain di persidangan, pihak penerima

fidusia yang dalam hal ini adalah PT Adira tidak pernah memberikan

persetujuan secara tertulis terhadap pengalihan unit mobil Daihatsu Terios

114
tersebut, sehingga dengan demikian Majelis Hakim memimbang bahwa

terdakwa dalam hal ini pemberi fidusia tidak pernah memberitahu dan

pengalihan unit mobil Daihatsu Terios tidak pernah disetujui oleh pihak

penerima fidusia yaitu PT Adira.

Penulis dalam hal ini setuju dengan Majelis Hakim untuk dapat

memenuhi unsur kedua ini, tentunya dalam hal ini kita wajib mengetahui

objek apa yang menjadi perkara pada persidangan berlangsung. Adapun

objek yang menjadi perkara dalam kasus ini sesuai dengan kasus posisi yang

telah diuraikan sebelumnya, yang merupakan objek jaminan fidusia yang

telah dijaminkan oleh Terdakwa Endang yaitu berupa 1 (satu) unit

kendaraan roda empat merk Daihatsu Terios warna hitam metalik dengan

Nomor Rangka: MHKG2CJ1J7K001072, Nomor Mesin: DAC 9077 dan

Nomor Polisi B 2483 TC tahun 2007, STNK dan BPKB atas nama Edi

Suprani Sebawih dengan harga sesuai dengan surat perjanjian pembiayaan

leasing nomor 0224116200189 tertanggal 19 Mei 2016 yang mana juga

mobil tersebut telah terdaftar sebagai objek jaminan fidusia berdasarkan

Akta Jaminan Fidusia Nomor 594 tanggal 20 Mei 2016 dari Notaris

Kusnadi, S.H., M.Kn dan Sertifikat Jaminan Fidusia dari Kementrian

Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Jawa Barat di Bandung

Nomor Registrasi: W12-00189811.AH.05.01 tahun 2016.

Dalam pertimbangannya juga, penulis setuju dengan Majelis Hakim

yang menyatakan bahwa Terdakwa Endang telah melakukan tindak pidana

pengalihan objek jaminan fidusia. Mengingat pada perjanjian pembiayaan

115
tersebut telah ditandatangani oleh para pihak, sehingga sah dan mengikat

antara para pihak untuk menjalankan prestasi mereka. Adapun dalam Pasal

10 Perjanjian Pembiayaan Leasing PT Adira telah diatur dengan jelas

perihal keadaan cidera janji yang dilakukan oleh debitur ialah ketika debitur

lalai membayar angsuran secara penuh dan tepat waktu pada tanggal jatuh

tempo angsuran yang telah disepakati sebelumnya. Terlebih dari itu, dalam

Pasal 12 huruf b Perjanjian Pembiayaan Leasing PT Adira juga mengatur

secara khusus terkait larangan debitur dalam hal mengubah bentuk atau tata

susunan barang/agunan, meminjamkan, menyewakan, mengalihkan,

menjaminkan, atau menyerahkan penguasaan barang tersebut kepada pihak

ketiga dengan cara apapun dan dalam hal ini akan dikenakan Pasal 372 dan

Pasal 378 KUHP.

Menurut penulis, perbuatan Terdakwa yang tidak membayar

angsuran sejak angsuran ke 9 sudah merupakan salah satu bentuk

wanprestasi karena tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar

angsuran kepada pihak kreditur. Maka dalam hal pelaksanaan hukumnya,

undang-undang menghendaki pihak kreditur yakni PT Adira untuk

menyatakan lalai kepada debitur. Hal lain juga didukung dengan keterangan

saksi dari Pihak Adira yang mana telah dikeluarkan surat teguran dan

penagihan langsung ke alamat Terdakwa, namun ternyata objek jaminan

fidusia tersebut sudah dipindahtangankan atau dialihkan kepada pihak

ketiga, yaitu Asep Hadi beralamat di Kampung Haregem RT. 004 RW. 006

Desa Nyalindung, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur. Oleh karena

116
itu, memang sudah sepatutnya terdakwa dinyatakan melakukan tindak

pidana pengalihan objek jaminan fidusia. Selanjutnya pada pemenuhan

unsur ketiga, yakni adanya unsur dilakukan tanpa persetujuan tertulis

terlebih dahulu dari pihak penerima fidusia, Majelis Hakim

mempertimbangkan berdasarkan fakta hukum yang terungkap di

persidangan bahwa benar dalam hal mengalihkan unit mobil Daihatsu

Terios tidak pernah mengajukan permohonan secara tertulis dan pihak Adira

sebagai penerima fidusia juga tidak pernah memberikan persetujuannya

secara tertulis tentang pengalihan unit mobil Daihatsu Terios tersebut.

Namun dalam pertimbangan oleh Majelis Hakim tersebut penulis menilai

bahwa seharusnya Majelis Hakim melakukan pembuktian terhadap unsur

tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima Fidusia. Pada

Memorie van Toelichting (MvT), dimuat antara lain bahwa kesengajaan itu

adalah dengan sadar berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan

tertentu. Mengenai kesengajaan tersebut, dalam hukum pidana dikenal 2

(dua) teori, yaitu:77

1. Teori Kehendak (Willenstheorie)

Teori ini dikemukakan oleh von Hippel dalam bukunya Die

Grenze Vorsatz und Fahrlässigkeit tahun 1903. Menurutnya,

kesengajaan adalah kehendak membuat suatu tindakan dan

kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu Dalam hal

77
Rosiani Niti Pawitri dan Budi Setiyanto, “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pengalihan Objek
Jaminan Fidusia Terhadap Pihak Lain Tanpa Persetujuan Tertulis Dari Penerima Fidusia (Studi
Kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Wates Nomor: 109/Pid.Sus/2014/PN.Wat)”, Jurnal Hukum
Pidana dan Penanggulangan Kejahatan, Vol. 3 No. 3, (2014), hal. 265

117
ini, menurut Moeljatno, kehendak yang diarahkan pada

terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam undang-

undang.

2. Teori Membayangkan (Voorstelling Theorie)

Teori ini dikemukakan oleh Frank dalam bukunya

Festschrift Gieszen tahun 1907, yang mengemukakan bahwa

manusia hanya dapat mengingini, mengharapkan atau

membayangkan (voorstellen) kemungkinan adanya suatu akibat.

Adalah sengaja apabila akibat yang timbul dari tindakan yang

dibayangkan sebagai maksud dari tindakan itu.

Berdasarkan kedua teori tersebut di atas, penulis menggunakan teori

kehendak untuk dapat memberi analisis terhadap perbuatan Terdakwa,

dimana perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dalam hal ini Terdakwa

Endang dinyatakan sebagai pemberi jaminan fidusia, mengalihkan objek

jaminan fidusia tersebut tidak berdasarkan persetujuan dari penerima

jaminan fidusia yaitu PT Adira merupakan perbuatan yang dilakukan

dengan sengaja atau secara sadar. Kesengajaan ini diarahkan pada telah

terwujudnya suatu perbuatan seperti yang diamanatkan dalam undang-

undang yang dalam hal ini berarti Pasal 36 UU Jaminan Fidusia.

Kesengajaan tersebut tampak setelah Terdakwa Endang tidak membayar

angsuran selama 2 (dua) bulan sampai dengan tindakan pengalihan objek

jaminan fidusia kepada pihak ketiga yang dalam hal ini adalah Asep Hadi.

118
Hal tersebut dilakukan dengan tanpa adanya persetujuan tertulis dari pihak

kreditur yakni PT Adira Dinamika Multi Finance.

Dalam hal ketiga unsur diatas terpenuhi, maka Majelis Hakim

menilai bahwa Terdakwa Endang telah melanggar Pasal 36 UU Jaminan

Fidusia. Sementara itu pertimbangan yang meringankan bagi terdakwa

adalah karena tingkah laku terdakwa yang sopan selama di muka sidang dan

mengaku secara terus terang menyesali perbuatannya dan bahkan berjanji

tidak akan mengulangi lagi perbuatannya serta terdakwa juga belum pernah

dihukum menjadi hal yang meringankan terdakwa. Selain itu status sosial

terdakwa dalam masyarakat selama ini adalah sebagai pendidik tingkat

dasar yang sangat dibutuhkan oleh murid-muridnya dan merupakan orang

baik dan belum pernah berurusan dengan hukum. Oleh karena itu penulis

menilai bahwa pertimbangan hakim tersebut sudah tepat. Hal ini

dikarenakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh terdakwa seperti yang

telah penulis uraikan sebelumnya telah secara sah dan meyakinkan

memenuhi unsur-unsur tindak pidana seperti yang terdapat pada Pasal 36

Jaminan Fidusia yakni melakukan tindak pidana “Mengalihkan Benda yang

menjadi objek jaminan fidusia yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis

terlebih dahulu dari penerima fidusia”.

4.3.2 Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pengadilan Tinggi Putusan

Nomor 91/PID.SUS/2018/PT BDG

Dari pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat di

Bandung, penulis menganalisis pertimbangan yang pada pokoknya

119
menyatakan bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama

sudah tepat dan benar menurut hukum begitu pula dengan lamanya pidana

penjara dan pidana denda yang dijatuhkan dapat disetujui oleh Majelis

Hakim Pengadilan Tinggi. Akan tetapi, dalam proses pemeriksaan perkara

di tingkat banding terdakwa tidak dilakukan penahanan, maka terhadap

amar angka 4 (empat) dalam putusan tingkat pertama, menurut Majelis

Hakim Tingkat Banding tidak perlu dicantumkan dan harus diperbaiki

sekedar mengenai amar putusan pada angka 4 (empat). Penulis sependapat

dengan pertimbangan hakim tersebut karena Majelis Hakim Tingkat

Pertama sesungguhnya telah memeriksa dan mengadili kasus ini dengan

tepat dan benar sesuai dengan alat bukti dan fakta hukum yang ada. Oleh

karena itu, terhadap putusan Pengadilan Negeri Cianjur tersebut sepatutnya

diperbaiki.

4.3.3 Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung Putusan Nomor 2641

K/PID.SUS/2018

Dari pertimbangan Mahkamah Agung, penulis menganalisis

pertimbangan yang pada pokoknya menyatakan Judex Facti (Pengadilan

Negeri dan Pengadilan Tinggi) telah memeriksa fakta dan bukti dalam

perkara ini dengan benar. Penulis setuju dengan pertimbangan hakim pada

tingkat Mahkamah Agung ini karena sejatinya dari sejumlah fakta hukum

yang terungkap selama persidangan Terdakwa Endang telah terbukti

melakukan tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia tanpa

120
persetujuan tertulis pihak kreditur. Akibat dari putusan tersebut Terdakwa

terjerat hukuman pidana selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sebanyak

Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut

tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

Dengan demikian, permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi

(Terdakwa) harus ditolak oleh Mahkamah Agung. Oleh karenanya, maka

Terdakwa dihukum untuk membayar biaya perkara karena kepadanya sudah

terbukti unsur kesalahan serta kepadanya dapat dinyatakan sebagai pemberi

jaminan fidusia, dimana dalam hal ini Terdakwa selaku debitur pun tidak

melaksanakan kewajibannya selayaknya pemberi jaminan fidusia yang

memiliki itikad baik. Bentuk-bentuk kesalahan Terdakwa merupakan unsur

pertanggungjawaban pidana. Selain itu, penjatuhan pidana terhadap

Terdakwa ini adalah untuk memberikan efek jera bagi Terdakwa.

Maka berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis sampaikan,

penulis berpendapat bahwa peranan hakim dalam menegakkan hukum, tidak

dapat dipisahkan dari perbincangan antara hukum dan hakim, untuk

menghadirkan suatu keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat.

Hakim menjadi faktor utama dalam menentukan bahwa eksistensi

Pengadilan di Indonesia adalah upaya untuk mencari tegaknya kebenaran,

keadilan serta kepastian hukum bagi masyarakat. Secara keseluruhan,

penulis menilai bahwa hakim sudah benar dalam menjatuhkan suatu putusan

kepada pelaku dengan pengenaan pasal yang lebih khusus. Berikut upaya

penyelesaian perkara ini juga penulis menilai telah sesuai dengan prosedur

121
Hukum Acara Pidana di Indonesia. Penerapan hukum acara pidana baik

pada Pengadilan Negeri Cianjur, Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung,

maupun Mahkamah Agung dalam memutus perkara dapat dilihat dari

berbagai aspek, di antaranya: jangka waktu penyelesaian perkara yang

sesuai berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2

Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama

dan Tingkat Banding pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan yang mana pada

kasus ini penyelesaian pada Pengadilan Tingkat Pertama tidak melebihi

waktu 5 (lima) bulan dan pada Pengadilan Tingkat Tinggi tidak melebihi

waktu 3 (tiga) bulan; putusan pengadilan didukung oleh alat bukti surat

yang juga telah sesuai dengan Pasal 187 KUHAP, yakni alat bukti surat

yang diajukan oleh pihak penuntut umum berupa akta otentik yaitu Akta

Jaminan Fidusia yang mana memiliki nilai kekuatan pembuktian yang

sempurna dan mengikat; dan dasar hukum yang digunakan oleh Majelis

Hakim untuk memutuskan perkara sudah tepat dan sesuai dengan pokok

perkara dengan menggunakan KUHP, KUHAP dan UU Jaminan Fidusia

sebagai pedomannya.

122

Anda mungkin juga menyukai