NPM : B1A019099
Kasus Posisi
Ny. Tutun Suganda selaku Penggugat merupakan Warga Negara Indonesia yang
menggugat Kepala Badan Pertanahan Nasional atas penerbitan Surat Keputusan Badan
Pertanahan Nasional (dahulu Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional)
Nomor 24-XI-1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik No.
7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik No. 8/Puspasari atas nama Ny. Tutun Suganda yang
terletak di Desa Puspasari, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat
belum pernah ia terima dan baru diketahui oleh Penggugat pada tanggal 20 September 2001.
Diterbitkannya SK Badan Pertanahan Nasional Nomor 24-XI-1996 tanggal 3
Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik No. 7/Puspasari dan Sertifikat Hak
Milik No. 8/Puspasari atas pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri Bogor tanggal 17
Oktober 1988 No. 31/Pdt.G/1988/PN.Bgr jo Putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 7
Oktober 1989 No. 233/Pdt/1989/PT.Bdg jo Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 17
Februari 1993 No. 1311.K/Pdt/1990 dalam perkaran antara Tengku Muhammad Hasan
melawan Dharma Tandiono Sukanta. Selanjutnya, didasarkan atas Berita Acara Lelang
tanggal 27 November 1993 No. 994/1993-94 yang dimenangkan oleh R.H.A. Saleh untuk
memenuhi Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bogor No. 09/Eks/Pdt.PN.Bgr. jo No.
31/Pdt.G/1988/PN.Bgr tanggal 24 November 1993 dalam perkara antara Tengku
Muhammad Hasan melawan Dharma Tandiono Sukanta lalu. Tetapi lelang eksekusi tersebut
tidak benar menurut Penggugat karena dilakukan atas tanah hak milik Penggugat yang
berada pada Desa Puspasari, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat
namun Penggugat yang dulunya bernama Gan Tjoen Nio tidak ikut sebagai pihak dalam
perkara tersebut.
Sebelum pernikahan antara Penggugat dengan Dharma Tandiono Sukanta (pihak
dalam perkara Lelang di atas) yang dahulu bernama Tan Kong Tjoan telah diadakan
perjanjian Pemisahan Harta Perkawinan yang menyebabkan barang milik Penggugat tidak
dapat digunakan untuk membayar utang Dharma Tandiono Sukanta, yang karena hal
tersebut Lelang Eksekusi di atas adalah batal demi hukum.
Sewaktu SK Badan Pertanahan Nasional Nomor 24-XI-1996 tanggal 3 Desember
1996 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik No. 7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik No.
8/Puspasari atas Ny. Tutun Suganda diterbitkan, tanah tersebut sedang dalam penyitaan-
jaminan oleh PN Jakarta Selatan yang seharusnya Tergugat tidak dapat menerbitkan SK
yang dapat memindahkan hak atas tanah yang berstatus quo sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) huruf C Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Berdasarkan dalil-dalil yang telah dikemukakan di atas, Penggugat mohon kepada
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta untuk:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Tergugat No. 24-XI-1996
tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikt Hak Milik
No.7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik No.8/Puspasari atas nama Ny. Tutun
Suganda tersebut;
3. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Tergugat No. 24-
XI-1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikt Hak Milik
No.7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik No.8/Puspasari atas nama Ny. Tutun
Suganda tersebut;
4. Menghukum Tergugat membayar biaya perkara yang timbul dari perkara ini.
Penggugat dalam Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal
53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-undang No. 51 Tahun 2009
adalah Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
Penggugat merupakan seorang manusia yang mengemban hak dan kewajiban. Penggugat
dianggap memiliki kepentingan nilai yang harus dilindungi oleh hukum yang berkaitan
dengan faktor kepentingan dalam kaitannya yang berhak menggugat, karena sesuai dengan
jusrisprudensi peradilan perdata, yaitu:
Dengan itu maka, Tutun Suganda dalam putusan ini dapat dikatakan sebagai penggugat
sesuai dengan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 karena ia merupakan
seseorang yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara, yaitu Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 24-XI-
1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik No.7/Puspasari dan
Sertifikat No.8/Puspasari atas nama Ny. Tutun Suganda
b. Tergugat
Yang dapat digugat atau dijadikan tergugat adalah jabatan yang ada pada Badan Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN berdasarkan wewenang dari Badan TUN itu atau
wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Hal ini mengandung arti bahwa bukanlah orangnya
secara pribadi yang digugat tetapi jabatan yang melekat kepada orang tersebut. Badan atau
Pejabat TUN sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9
Tahun 2004 adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Dalam kasus ini, yang digugat atau yang menjadi tergugat adalah Kepala Badan
Pertanahan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah Lembaga Pemerintah Non Kementrian
yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dipimpin oleh Kepala.
(Sesuai dengan Perpres No. 63 Tahun 2013) Kepala Badan Pertanahan Nasional merupakan
suatu jabatan pada Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN.
Wewenang yang dimiliki oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional dilihat dari sumber
kewenangan penerbitan keputusan objek yang disengkatan yaitu Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Dalam Pasal 1 angka 14 disebutkan
bahwa pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan keputusan pemberian suatu hak atas tanah
atau sertipikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacad hukum administrasi
dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Menurut pasal 3 angka (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 9 Tahun 1999 Pemberian dan pembatalan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan dilakukan oleh Menteri dan menurut pasal 3 ayat (2)
Pemberian dan pembatalan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri dapat
melimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pertanahan dan
Pejabat yang ditunjuk.
Dengan itu, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat dikatakan sebagai Tergugat
yang diatur pada pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004
Obyek Sengketa
Yang menjadi obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN). Keputusan Tata Usaha Negara sesuai pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo.
UU No. 9 Tahun 2004 adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dalam putusan ini Keputusan Tata Usaha Negara yang dipersengketakan adalah Surat
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 24-XI-1996 tanggal 3 Desember 1996
tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik No.7/Puspasari dan Sertifikat No.8/Puspasari atas nama
Ny. Tutun Suganda. Surat Keputusan tersebut merupakan Keputusan Tata Usaha Negara sesuai
pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004.
3. Tenggang Waktu
Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, suatu gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara hanya dapat
diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya
atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sehingga apabila
gugatan telah melewati jangka waktu yang ditentukan, maka gugatan tersebut menjadi batal
demi hukum. Penentuan 90 (sembilan puluh) hari tersebut dinterpretasikan secara bervariasi.
Intepretasi tersebut antara lain:
1) Sejak hari diterimanya Keputusan TUN yang digugat itu memuat nama penggugat;
2) Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam aturan perundang-undangan
yang memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk memberikan keputusan
namun ia tidak berbuat apa-apa;
3) Setelah 4 bulan apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan kesempatan
kepada administrasi negara untuk memberikan keputusan dan ternyata ia tidak berbuat
apa-apa;
4) Sejak hari pengumuman apabila KTUN itu harus di umumkan.
Dalam Putusan Nomor 214/G.TUN/2001/P.TUN-JKT, yang menjadi obyek sengketa
adalah Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasional No. 24-XI-1996 yang dikeluarkan pada
tanggal 3 Desember 1995. Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasional ini berisi tentang
Pembatalan Sertifikat Hak Milik No. 7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik No. 8/Puspasari
atas nama Ny. Tutun Suganda.
Dengan demikian, tenggang waktu sembilan puluh hari dalam perkara ini dihitung sejak
saat diterimanya Surat Keputusan tersebut oleh Penggugat, yaitu tanggal 3 Desember Tahun
1996. Dengan demikian, gugatan Penggugat yang diajukan ke Kepaniteraan Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta pada tanggal 11 Desember 2001 pada dasanya sudah melewati
tenggang waktu sembilan puluh hari sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang RI
Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009.
Disni dapat dipermasalahkan mengenai posisi pihak Ny. Tutun Suganda selaku
penggugat. Apakah Ny. Tutun Suganda tersebut adalah pihak yang dituju pada Keputusan
Badan Pertanahan Nasional tersebut atau hanya sebatas pihak lain yang berkepentingan. Hal
tersebut perlu diperhatikan karena ada penafsiran yang berbeda mengenai tenggang waktu
menggugat bagi pihak yang dituju dan pihak yang bekepentingan. Tenggang waktu
mengajukan gugatan bagi pihak yang dituju dengan sebuah KTUN adalah sembilan hari
sejak saat KTUN itu diterima. Sedangkan bagi pihak ke ketiga yang berkepentingan, maka
tenggang waktunya sejak 90 KTUN itu diumumkan. Namun sampai sekarang ini belum ada
ketentuan yang secara langsung mengatur mengenai kapan KTUN tersebut diumumkan.
Berdasarkan SEMA No 2 Tahun 1991, diatur bahwa bagi pihak ketiga yang
berkepentingan maka penghitungan 90 hari adalah sejak bersangkutan mengetahui
keputusan dan merasa kepentingannya dirugikan KTUN tersebut. Dengan demikian, pada
dasarnya MA No. 2 Tahun 1991 secara substansi memperpanjang masa tenggang waktu
menggugat di PTUN. Hal ini mengingat frasa “merasa kepentingannya dirugikan” tidak
hanya dibatasi oleh 90 hari, tetapi juga kapan saja tiba-tiba bisa muncul kondisi merasa
kepentingannya dirugikan. Sehingga melalui SEMA tersebut sangat dimungkinkan untuk
menggugat suatu KTUN yang sudah diterbitkan puluhan tahun silam.
Dengan demikian, merujuk pada SEMA No. 2 Tahun 1991, tersebut, dapat disimpulkan
bahwa meskipun tenggang waktu pengajuan gugatan telah terlampaui, namun Ny. Tutun
Suganda masih dapat mengajukan gugatannya. Hal ini dikarenakan kepetingan yang
dirugikannya tersebut, menurut SEMA No 2 Tahun 1991, tidak dibatasi oleh batas waktu 90
hari.