Anda di halaman 1dari 7

1.

Kewenangan bhp
a. Kewenangan lama
Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pada Pasal 111
ayat 1 dinyatakan bahwa bagi Warga Negara Indonesia (WNI) golongan
Eropa, Cina atau Tionghoa, surat keterangan warisnya dibuat oleh notaris.
Bagi golongan Timur Asing, surat keterangan warisnya dibuat oleh Balai Harta
Peninggalan (BHP), sedangkan bagi golongan penduduk pribumi, surat ke-
terangan warisnya dibuat dibawah tangan, bermaterai, diketahui oleh lurah dan
camat berdasarkan tempat tinggal terakhir pewaris.1
Balai Harta Peninggalan pada mulanya hanya didirikan untuk memenuhi
kebutuhan Kompeni Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie, (VOC)) yang
kemudian semakin berkembang dan meluas mencakup mereka yang termasuk
golongan Eropa, Cina, dan Timur Asing lainya. Bahkan dengan perkembangan
hukum di Indonesia dan semakin pesatnya kemajuan dalam bidang ekonomi dan
perdagangan, telah menarik banyak orang-orang dari golongan pribumi
menundukkan dari secara sukarela kepada Hukum Perdata Barat dan melaksanakan
hubungan-hubungan hukum yang merupakan materi yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Namun demikian, hingga kini belum
ada ketentuan yang mengatur bahwa golongan pribumi tersebut termasuk di bawah
pengurusan Balai Harta Peninggalan.
Balai Harta Peninggalan merupakan bagian dari struktur organisasi
Dapartemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, dibawah lingkungan Direktorat
Perdata. Secara struktural maka Balai Harta Peninggalan merupakan lembaga
pemerintahan (eksekutif) yang melaksanakan urusan pemerintah. Lembaga yang
berada dalam ruang lingkup eksekutif atau pemerintah yang melaksanakan urusan
pemerintah dikategorikan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara (Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara) sebagai
Badan Tata Usaha Negara diberikan wewenang untuk mengeluarkan surat keputusan

1
Amalia Putri Vairus, Dyah Ochtorina Susanti dan Rahmadi Indra Tektona, “Kewenangan Notaris dalam
Membuat Surat Keterangan Hak Waris bagi Anak yang Dilahirkan pada Hubungan Sedarah”, Jurnal Rechtnes,
Vol. 10, No. 1, Universitas Jember, Jember, 2021, h.76.
atau penetapan yang bersifat konkret, individual, dan final (Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).2
Kewenangan collage van boedelmeesteren dari Balai Harta Peninggalan
(Weeskamer) untuk KHW bagi Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing
selainnya Timur Asing Tionghoa diatur dalam Pasal 14 ayat (2) Ordonnantie tanggal
22-7-1916, S. 1916-517 diubah LN 1931 Nomor 168 dan LN 1937 Nomor 611.17
Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) pada saat ini ada di Jakarta, Medan, Semarang,
Surabaya, dan Makasar. Adapun keberadaan Balai Harta Peninggalan secara
struktural kelembagaan merupakan lembaga pemerintah (eksekutif) yang berada
dalam ruang lingkup Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang
melaksanakan urusan pemerintah. Bukti ahli waris yang merupakan bukti perdata
tidak tepat jika dikeluarkan oleh pejabat yang tunduk pada hukum administrasi.3
b. Kewenangan baru
Telah diundangkannya Permenkumham 7/ 2021, tentu membawa implikasi
sendiri terhadap kewenangan Balai Harta Peninggalan, terlebih kewenangannya
dalam membuat Surat Keterangan Hak Waris (SKHW). Dalam rumusan pasal 3
huruf c Permenkumham 7/ 2021, mengimbuhkan: “Dalam melaksanakan tugas….,
BHP menyelenggarakan fungsi : …..c.pembuatan surat keterangan hak waris”. Hal
ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan, apakah BHP menjadi Lembaga tunggal
yang berwenang untuk mengeluarkan SKHW bagi seluruh golongan pendududk
WNI, ataukah tidak?
Hal ini tentu perlu dikaji secara seksama dan sesuai dengan aturan yang
berlaku. Apakah dengan dijadikannya BHP sebagai Lembaga tunggal yang
berwenang mengeluarkan SKHW menjadi lebih efektif ataukah tidak? Hal tersebut
merupakan focus dari penelitian ini, dimana penulis merasa rumusan Pasal 3 huruf c
Permenkumham 7/ 2021 tersebut merupakan sebuah norma yang kabur (vague
norm).
2. Kekaburan norma dalam Pasal 3 huruf c Permenkumham 7/ 2021

2
Ni Ketut Novita Sari, Sihabudin, Bambang Sutjito, “Penggolongan Penduduk Dalam Pembuatan Surat
Keterangan Waris Terkait Pendaftaran Hak Atas Tanag Setelah Berlakunya Undang Undang Nomor 12 Tahun
2006 Tentang Kewarganegaraan republic Indonesia”, Jurnal RectIdee, Vol. 14, No. 2, Fakultas Hukum
UNIBRAW, Malang, 2019, h. 221
3
Mulyani Sri Utami, “Implikasi Yuridis Pembuatan Surat Keterangan Waris (SKW) di Indonesia Setelah
Berlakunya UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Indonesia dan UU Nomor 24 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pendidikan”, Jurnal Signifikan Humaniora, Vol. 3, No. 3, Universitas Islam Malang,
Malang, 2021, h.34.
Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai beberapa permasalahan, yaitu
mulai dari kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum
(antinomi hukum) dan kekaburan norma (vage normen) atau norma tidak jelas.4 Mathias
Klatt menggulirkan problematika yuridis, yakni dapat ditentukan “apa hukumnya” secara
tepat (legal indeterminacy). Legal indeterminacy ini kemungkinan disebabkan oleh
berbagai hal, seperti :
a) Kekaburan magna (vaqueness), dengan demikian apabila terdapat suatu norma yang
kabur, dinamakan vaqueness norm
b) Kemenduartikan makna (ambiguity)5
Penggunaan hukum positif yang berkaitan dengan vage normen juga dapat ditemukan
hampir dalam setiap produk perundang-undangan dalam berbagai bentuk dan tingkatan.
Vage normen dalam praktek dapat “melahirkan” diskresi oleh pejabat tata usaha negara
berupa tindakan tata usaha negara yang tidak didasari norma hukum yang pasti. Dengan
perkataan lain, vage normen sebagai sumber hukum dari diskresi. Tindakan yang
demikian bersifat dilematis, sebab di satu sisi seakan-akan tindakan tersebut kurang
sesuai dengan prinsip negara hukum, namun pada sisi lain tindakan tersebut harus
dilakukan dalam rangka menyelenggarakan tugas-tugas kepentingan umum.6
Adanya kekaburan norma dalam penelitian ini berkaitan dengan tidak jelasnya
pengaturan mengenai Lembaga yang berwenang membuat surat keterangan waris pasca
berlakunya Permenkumham 7/ 2021. Kekaburan norma seperti itu, tentu dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat karena masyarakat tidak jelas
mengetahui apa yang dimaksud dan dikehendaki dari pasal tersebut.7 Selain itu,
Kekaburan norma dalam menafsirkan makna pasal tersbut akan menimbulkan konfilik
kewenagan dalam pelaksanaannya.
Menghadapi persoalan yang demikian itu maka penegak hukum dan masyarakat
tentunya harus mampu melakukan “terobosan hukum” agar hukum benar benar mencapai
tujuannya. Salah satu sarana dalam melakukan terobosan hukum melalui penalaran
hukum (legal reasoning). Penalaran pada hakikatnya adalah usaha memperoleh

4
Ahmad Rifai. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Cetakan
Kedua. Jakarta. Penerbit Sinar Grafika. h. 90.
5
Mathias Klatt, Making The Law Explicit : The Normativity of Legal Argument,Oxfor Portland Oregon,
Hart Publishing, 2008, h. 262-264.
6
Abintoro Prakoso, “Vage Normen sebagai Sumber Hukum Diskresi yang Belum Ditetapkan Oleh Polisi
Penyidik Anak”, Jurnal Hukum, Vo. 17, No.2, 2010, Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember, 2010, h.254.
7
Herliany dan Prof Dr. Suhariningsih, “Kekaburan Norma Syarat untuk Melakukan Poligami dalam Pasal
4 ayat (2) huruf (a dan b) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), Fakultas Hukum
UNIBRAW, Malang, tanpa tahun, h.3.
kebenaran/proses berpikir untuk menemukan kebenaran dengan menggunakan nalar
(akal pikiran yang logis. Neil MacCormick mendefinisikan penalaran hukum adalah ”
...one branch of practical reasoning, which is the appication by humans of their reason
to deciding how it is right to conduct themselves in situations of choice”.8 Interpretasi
hukum (interpretative of law), adalah merupakan suatu metode penafsiran dalam ilmu
hukum untuk membuat terang dan transparan dari suatu norma yang abstrak menuju
suatu interpratasi yang konkrit.9
Mengatasi kekaburan hukum dalam Pasal 3 huruf c Permenkumham 7 2021, penulis
menggunakan 2 (dua) penafsiran, yaitu penafsiran historis dan penafsiran gramatikal.
Alasan penulis menggunakan penafsiran historis adalah meninjau peraturan apa saja yang
mendasari lahirnya Permenkumham 7 2021 serta mengaitkannya dengan Undang Undang
anti diskriminasi. Sedangkan, alasan penulis menggunakan penafsiran gramatikal adalah,
bagaimana kalimat dalam Pasal 3 huruf c tersebut ditafsirkan kata per kata dan
mendapatkan makna dari rumusan pasal tersebut.
3. Penafsiran historis
a. PP 24/1997
Ketentuan pembuatan surat keterangan waris di Negara Indonesia sampai saat
ini masih didasarkan pada pembagian golongan penduduk, sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 42 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah juncto ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara
Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
(selanjutnya disebut sebagai Perkaban Nomor 3 Tahun 1997), yang berbunyi :surat
tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa :
1) wasiat dari pewaris, atau,
2) putusan Pengadilan, atau
3) penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau
4) bagi warganegara Indonesia penduduk asli

8
Ibid., h. 192.
9
Dr Nurul Qamar, Logika dan Penalaran dalam Ilmu Huku, CV. Social Politic Genius (SIGn), Makassar,
Makassar, 2018, h.3.
Surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan
oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat
tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia;
1) bagi warganegara Indonesia keturunan Tionghoa: akta keterangan hak mewaris
dari Notaris,
2) bagi warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat keterangan
waris dari Balai Harta Peninggalan:
a. surat kuasa tertulis dari ahli waris apabila yang mengajukan permohonan
pendaftaran peralih-an hak bukan ahli waris yang bersangkutan;
b. bukti identitas ahli waris.10
b. UU ADMINDUK
Dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
Indonesia dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Kependududkan, Surat Keterangan Waris untuk surat tanda bukti sebagai ahli waris,
dalam aturan dan praktiknya masih tetap dibuat berdasarkan penggolongan penduduk
sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Menteri dan Surat Departemen Dalam
Negeri Direktorat Agraria tersebut diatas, meskipun penggolongan penduduk tersebut
sudah tidak relevan lagi di tengah negara yang telah lama merdeka ini. Dasar
penggolongan penduduk dalam surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Agraria
yang diikuti oleh Peraturan Menteri Agraria adalah pasal 131 dan 163 IS. Namun,
penggolongan penduduk berdasarkan ras atau etnis yang merupakan peraturan sisa
kolonial, seharusnya sudah tidak lagi diberlakukan, apalagi sekarang telah ada
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Indonesia. Warga Negara merupakan salah satu unsur hakiki dan
unsur pokok suatu Negara. Status Kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbal
balik antara Warga Negara dan Negaranya. Setiap warga negara mempunyai hak dan
kewajiban terhadap negaranya. Sebaliknya Negara juga mempunyai kewajiban
memberikan perlindungan terhadap warganya.
Dalam hal ini jelas, jika ditinjau secara historis pembuat Undang-Undang secara
jelas mengklasifikasikan golongan penduduk menjadi beberapa golongan dan juga
adanya pluralismE Lembaga yang berwenang untuk membuat Surat Keterangan
Waris (SKW) bagi Warga Negara Indonesia, yang mana ini tidak sejalan dengan apa

10
I Gusti Kade Prabawa Maha Yoga, Afifah Kusumandra, Endang Sri Kawur
yang telah dirumuskan dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 (selanjutnya
disebut dengan UU Anti diskriminasi).
c. Uu anti diskriminasi
Sebagaimana kita ketahui bahwa negara indoneseia adalah negara yang kaya
akan keanekaragaman budaya,adat,bahasa, ras atau etnis, dan lain-lain. akan tetapi
adanya keanekaragaman tentunya konsekuensi adanya keanekaragaman tidak dapat
dihindarkan seperti diskirimanasi yaitu sebuah tindakan yang tidak sesuai dengan
norma yang ada di masyarakat yang merugikan satu orang atau kelompok oleh orang
atau kelompok lain yang dimana hal ini selaras denagn pendapat dari Theodorson
menngungkapkan diskriminasi sebagai perlakuan tidak balance terhadap kalangan
ataupun kelompok bersumber pada suatu, umumnya bertabiat kategorial, ataupun
atributatribut khas, semacam bersumber pada ras, kesukubangsaan, agama, ataupun
kenaggotaan kelas- kelas sosial. Bagi Brigham, diskriminasi merupakan perlakuan
secara berbeda sebab keanggotaanya dalam sesuatu kelompok etnik tertentu.
Kelompok etnik tersebut antara lain merupakan suku bangsa, bahasa, adat istiadat,
agama, kebangsaan, serta yang lain. Jadi bisa disimpulkan kalau diskriminasi
merupakan suatu pembedaan perlakuan satu orang dengan orang lain ataupun
sekelompok/ organisasi dengan yang lain baik kalangan ataupun suku, corak kulit,
ekonomi, generasi, perbandingan tipe kelamin, agama, budaya serta lain- lain. perihal
tersebut terjalin sebab terdapatnya pihak yang dominan lebih memahami dalam
sesuatu perihal disuatu ruang lingkup pihak minoritas.11
Tak dapat dipungkiri adanya pasal tersebut menyebabkan terjadinya pluralism
hukum yang berimplikasi pada sulitnya terwujudnya unifikasi hukum. Seharusnya
dengan merdekanya Indonesia, juga seharusnya tidak lagi memberlakukan karena
menyebabkan pluralism hukum, memancing perpecahan dan bertentangan dengan
ideologi persatuan yang dicita-citakan bangsa Indonesia sendiri. Penghapusan pasal
mengenai penggolongan penduduk merupakan suatu hal yang bersifat urgent demi
terwujudnya unifikasi hukum dan cita- cita persatuan di tengah kebhinekaan
Indonesia.12 Maka dari itu, perlunya unifikasi hukum perihal Lembaga yang

11
Brilian Satrio Pamungkas, Febrio Elfianta, Kinta Anindita Zulfana, Tanti Sabila, “Diskriminasi Terhadap
WNI Keturunan Tionghoa Terhadap Kepemilikan Tanah di Yogyakarta”, Jurnal (gatau), Vol. 3, No. 1, Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa, Yogyakarta, 2021, h. 37.
12
Shela Natasha, “Penghapusan Pasal Penggolongan Penduduk dan Aturan hukum dalam Rangka Mewujudkan
Unifikasi Hukum (Abolition Of Population and Legal Rules Classification To Create Unification In Law), Majalah
Hukum Nasional Nomor 2 Tahun 2018, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, h. 170.
berwenang untuk membuat Surat Keterangan Waris di Indonesia, untuk
mempermudaj

4. Penafsiran gramatikal
Bahwa semestinya, wajib secara spesifik menjelaskan khusus pada frasa “…” agar
tidak menimbulkan kebingungan apa yang dimaksud dengan “…” pada rumusan pasal 3
huruf c tersebut, makna pada frasa “…” tersebut dapat menimbulkan kekaburan norma
(vague norm) yang berakibat pada timbulnya ketidakpastian hukum terhadap pengaturan
pasal 3 hurf c Peremenkumham 7/ 2021 tersebut. Maka diperlukannya suatu revisi
terhadap pengaturan pasal 3 hurf c Peremenkumham 7/ 2021, khussnya pada Bab
Penjelasan Pasal 3 huruf c tersebut.13

13
Anak Agung Sagung Ngurah Indradewi, “Substansi Hukum Kekeaburan Norma Pada Peralihan Hak
Cipta”, Jurnal Pendidikan Kewarganageraan Undiksha , Vol. 8, No. 3, 2020, Bali, Universitas Dwijendra Bali,
h.54

Anda mungkin juga menyukai