Anda di halaman 1dari 80

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara hukum1 oleh karena itu segala
sesuatu tindakan penyelenggara Negara harus berdasarkan
hukum.

Peran

hukum

sangatlah penting,

dalam

karena

kehidupan

bermasyarakat

dalam pergaulan

masyarakat

terdapat aneka macam hubungan antara masyarakat, yakni


hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan-kepentingan
anggota masyarakat, disinilah peran hukum sebagai penjamin
kelangsungan keseimbangan dalam hubungan antar anggota
masyarakat tersebut. Setiap pelanggar peraturan hukum yang
ada akan dikenakan sanksi yang berupa hukuman sebagai
reaksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum yang
dilakukannya.2 Untuk itu diperlukan suatu lembaga yang
mempunyai kewenangan untuk menjalankan dan menegakkan
hukum yang belaku dan mengikat bagi setiap subjek hukum.
Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya tindakan main
hakim sendiri (eigenrichting).3
Di Indonesia lembaga yang
tersebut

adalah

Pengadilan.

mempunyai

kewenangan

Pengadilan

merupakan

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.


C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), 40.
3
Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdat dan Dokumen Litigasi
Perkara Perdata, (Surabaya: Kencana, 2009), 1.
2

2
penyelenggara

Peradilan

atau

organisasi

yang

menyelenggarakan hukum dan keadilan sebagai pelaksana


dari kekuasaan kehakiman. Sebagai cerminan dari kekuasaan
kehakiman, itu dilihat sejak diundangkan dan diberlakukan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sampai berlakunya
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004,
disebutkan bahwa: Kekuasaan kehakiman adalah kekuasan
Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna

menegakkan

Pancasila,

demi

hukum

dan

terlaksananya

keadilan

Negara

berdasarkan

Hukum

Republik

Indonesia.4
Penyelenggara kekuasaan kehakiman diserahkan kepada
badan-badan Peradilan yang ditetapkan dengan UndangUndang.
menerima,

Peradilan

adalah

memeriksa,

menyelesaikan

masalah

kekuasaan
mengadili,

untuk

Negara

dalam

memutus,

menegakkan

hukum

dan
dan

keadilan. Adapun yang dimaksud dengan kekuasaan Negara


adalah kekuasaan kehakiman yang memiliki kebebasan dari
campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan bebas
dari paksaan, direktifa atau rekomendasi yang datang dari
pihak ekstra yuidisial, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan
oleh undang-undang.5 Sejalan dengan tugas pokok tersebut,
4

A. Rahmat Rosyid dan Sri Hatini, Advokat dalam Prespektif Islam dan Hukum
Positif, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), 57.
5
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada,
1998), 6.

3
maka Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas. Hal ini berarti Pengadilan wajib
untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara tersebut.6
Dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004

tentang

Kekuasaan

penyelenggaraan

Kehakiman

kekuasaan

dinyatakan

kehakiman

dilakukan

bahwa
oleh

sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan Peradilan yang


berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Adapun badan Peradilan yang berada dibawah Mahkamah
Agung meliputi Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.7
Dalam Bab III Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dijelaskan tentang kewenangan dan kekuasaan mengadili
yang menjadi beban tugas Peradilan Agama. Dalam Pasal 49
ditentukan

bahwa

Pengadilan

Agama

bertugas

dan

berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan


perkara-perkarta di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,

Bambang Sutiyosno dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan


Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2005), 27.
7
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), 2.

4
hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf
dan sedekah.8
Dalam menjalankan tugas Peradilan terdapat tiga tahap
tindakan. Yaitu tahap pendahuluan, tahap penentuan dal
tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan merupakan persiapan
menuju kepada penentuan atau pelaksanaan. Dalam tahap
penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian
sekaligus sampai pada putusannya. Sedang dalam tahap
pelaksanaan diadakan pelaksanaan dari pada putusan.9
Sengketa perkawinan merupakan salah satu kewenangan
absolut yang dimiliki oleh Pengadilan Agama. Perkawinan
sendiri merupakan suatu perbuatan hukum yang meimbulkan
hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri
pada perkawinan tersebut. Hak dan kewajiban tersebut harus
dipenuhi oleh pasangan suami istri yang terikat dalam
perkawinan. Akibat hukum yang ditimbulkan oleh perkawinan
tidak hanya sebatas dalam hal hubungan kekeluargaan,
terlebih dari itu juga dalam bidang harta kekayaanya.10
Harta yang dapat disengketakan ketika terjadi percaraian
adalah harta yang diperoleh selama perkawinan (harta
8

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan


Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), 12-13.
9
Sudikmo Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta:
Liberty, 2006), 5.
10
J. Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, (Yogyakarta:
Laksbang Grafika, 2012), 1.

5
bersama)

saja,

sedangkan

harta

bawaan

tidak

dapat

disengketakan atau dibagi dan tetap berada di bawah


kekuasaan masing-masing pihak. Pembagian harta bersama
dapat dilakukan dengan musyawarah kekeluargaan atau atas
dasar kesepakatan antara kedua belah pihak. Tidak jarang
cara kekeluargaan tersebut tidak berhasil menyelesaikan
permasalahan pembagian harta bersama dikarenakan adanya
pihak yang merasa diragukan, sehingga seringkai terjadi
sengketa atas pembagian harta bersama tersebut. Pengajuan
gugatan atas harta bersama bisa dilakukan dilakukan di
Pengadilan Agama.11
Agar Hakim Pengadilan Agama dapat mempertimbangkan
dan mengabulkan gugatan Penggugat, maka Penggugat harus
mencantumkan permohonan dalam petitum gugatannya yang
diajukan

ke

Pengadilan.

Pengajuan

gugatan

hak

pada

dasarnya adalah merupakan salah satu upaya mendapatkan


jaminan kepastian hukum atas hak perdata materiil. 12 Tiap
orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan
terhadap pihak yang dianggap merugikan lewat Pengadilan. 13
Pengajuan gugatan bisa secara tulis ataupun secara lisan.

11

Ibid.
Edi AsAdi, Hukum Acara Perdata dalam Prespektif Mediasi (ADR) di
Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), 9.
13
R, Soeroso, Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
26.
12

6
Gugatan lisan dibenarkan kepada mereka yang buta huruf.
Namun dalam perkembangannya, praktek Peradilan sekarang
tidak lazim lagi ditemukan pengajuan gugatan secara lisan.14
Dalam tata hukum Indonesia, kata gugatan atau
permohonan hanya dipakai dalam kaitan Acara Perdata.15
Perbedaan antara gugatan dan permohonan adalah bahwa
dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang
harus diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan. Sedangkan
yang disebut permohonan tidak ada sengketa, misalnya
apabila segenap ahli waris almarhum secara bersama-sama
menghadap ke Pengadilan untuk mendapat suatu penetapan
perihal bagian masing-masing dari warisan almarhum.16
Cara pengajuan gugatan diatur dalam Pasal 118 H.I.R, akan
tetapi pasal 118 H.I.R tidak mengatur hal-hal apa saja yang
harus dimuat dalam surat gugatan.17 Namun mengenai
persyaratan tentang isi daripada gugatan kita dapat melihat
dalam Pasal 8 ayat (3) Rv yang mengharuskan adanya pokok
gugatan yang meliputi:18 (a) Identitas dari para pihak; (b)
Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang
merupakan dasar serta alasan-alasan dari tuntutan. Dalil-dalil
14

Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2004), 25.
15
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo,
1994), 63.
16
Retnowulan Sutanto, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), 10.
17
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Binacipta, 1989), 30.
18
Sophar Maru Hutangalung, Praktik Peradilan Perdata Teknis Mengenai
Perkara di Pengadilan, (Jakrta: Sinar Grafika, 2011), 17

7
ini lebih dikenal dengan istilah fundamentium petebdi; (c)
Tuntutan atau ini harus jelas dan tegas. H.I.R dan R.Bg sendiri
hanya mengatur mengenai cara mengajukan gugatan.
Formulasi gugatan yang disusun dan diajukan penggugat
merupakan dasar serta acauan dalam pemeriksaan perkara
tersebut di

Pengadilan.

Apabila

gugatan tersebut tidak

memenuhi syarat-syarat formil sebuah gugatan, maka akibat


hukumnya adalah gugatan tersebut akan dinyatakan tidak
dapat diterima (Neit Ont Van Kelijk Ver Klaard) yang disingkat
NO. Dengan demikian, surat gugatan yang diajukan ke
Pengadilan harus disusun dan dirumuskan secara sistematis.19
Jika ada ketidakjelasan dari gugatan yang diajukan, maka
Pengadilan berhak untuk tidak menerima gugatan tersebut.
Karena gugatan dianggap kabur (obscuur libel) sehingga
perkara tidak dapat diterima dan harus membuat gugatan
baru jika ingin perkara tersebut diperiksa di Pengadilan.20
Yang

dimaksud

obscuur

libel

adalah

surat

gugatan

Penggugat yang tidak jelas. Sebab kejelasan suatu surat


gugatan merupakan syarat formil dari sebuah gugatan. Ada
beberapa

alasan

atau

pertimbangan

Hakim

dalam

menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima, salah


19
20

Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar, 28.


R, Soeroso, Tata Cara dan, 90.

8
satunya

adalah

dengan

alasan

obscuur

libel,

misalnya

menyangkut batas-batas objek sengketa yang tidak jelas.


Hakim memegang

peranan

penting

dalam menilai

dan

mempertimbangkan formalitas sebuah gugatan, yakni apakah


telah memenuhi syarat formil berdasarkan Pasal 8 Rv atau
tidak. Setiap pihak yang ingin mengajukan gugatan haruslah
mempunyai kepentingan hukum yang cukup.21
Patokan perkara obscuur libel adalah:22 (a) Fundamentum
Petendi tidak menjelaskan dasar gugatan; (b) Tidak jelas objek
yang disengketakan; (c) Penggabungan perkara yang tidak
jelas; (d) Bertentangan antara posita dan petitum; (e) Petitum
tidak terinci.
Untuk mengatasi adanya kekurangan-kekurangan yang
dihadapi oleh para pencari keadilan dalam memperjuangkan
kepentingannya, Pasal 119 HIR atau Pasal 143 RBg memberi
wewenang kepada Ketua Pengadilan untuk memberi nasehat
dan bantuan kepada pihak Penggugat dalam pengajuan
gugatannya. Dengan demikian hendak dicegah pengajuan
gugatan-gugatan yang cacat formil atau gugatan yang tidak
sempurna, yang akan dinyatakan tidak dapat diterima. 23
Namun pada prakteknya masih ada atau sering perkara yang
21

Sudikmo Mertokusumo, Hukum Acara, 53.


Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2012), 88-89.
23
Sudikmo Mertokusumo, Hukum Acara, 67.
22

9
berakhir dengan dictum putusan yang menyatakan gugatan
Penggugat tidak dapat diterima.
Sebelum memasuki pemeriksaan perkara di persidangan
maka para pihak yang berperkara harus dipanggil terlebih
dahulu.

Panggilan

menurut

Hukum Acara

Perdata

ialah

menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly)


kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di
Pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang
diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan.
Meurut pasal 388 dan pasal 390 ayat (1) HIR, yang berfungsi
melakukan panggilan adalah jurusita. Hanya yang dilakukan
jurusita panggilan dianggap resmi dan sah. Kewenangan
jurusita ini berdasarkan pasal 121 ayat (1) HIR diperolehnya
lewat perintah ketua (Majelis Hakim) yang dituangkan pada
penetapan hari sidang atau penetapan pemberitahuan,24
Pemanggilan terhadap tergugat harus dilakukan secara
patut.

Setelah

melakukan

panggilan,

jurusita

harus

menyerahkan risalah (relaas) panggilan kepada Hakim yang


akan memeriksa perkara tersebut yang merupakan bukti
bahwa tergugat telah dipanggil. Oleh karena itu, sah tidaknya
pemanggilan dan pemberitahuan yang dilakukan oleh pihak

24

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 213.

10
pengadilan sangat menentukan baik atau buruknya proses
pemeriksaan persidangan di pengadilan.25
Perkara ini diawali dengan gugatan harta bersama yang
diajukan oleh Pemohon tanggal 20 Januari 2014 di Pengadilan
Agama Sidoarjo. Pada saat hari sidang yang telah ditentukan
atau persidangan pertama Penggugat dan Tergugat hadir dan
Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan kedua belah
pihak

namun

tidak

berhasil.

Kemudian

Penggugat

dan

Tergugat juga telah menjalankan mediasi akan tetapi hasil dari


mediasi antara para pihak tidak berhasil atau telah gagal
mencapai kesepakatan. Pada saat persidangan kedua dan
selanjutnya Tergugat tidak pernah datang menghadap, dan
menurut relaas panggilan yang disampaikan oleh juru sita
Pengadilan Agama Sidoarjo, Tergugat sudah tidak tinggal di
alamat sebagaimana alamat Tergugat di dalam surat gugatan
Penggugat,

bahkan

Majelis

Hakim

telah

memerintahkan

kepada Penggugat untuk mencari alamat Tergugat, akan


tetapi

Penggugat

masih

tetap

memberikan

alamat

sebagaimana alamat Tergugat yang ada di dalam surat


gugatan.

25

Dwimas Andila, Pemanggilan Pihak-Tinjauan Umum (FHUI: adobe reader,


2009), 9.

11
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka
gugatan Penggugat dikatakan tidak jelas (obscuur libel), oleh
karenanya Majelis Hakim menyatakan bahwa gugatan harta
bersama yang diajukan oleh Penggugat tidak dapat diterima
(di NO = Nit Onvankeljke Verklaard).
Dari pemaparan diatas penulis tertarik untuk meneliti dan
mengkaji lebih lanjut mengenai bagaimana prosedur Hakim
dalam menetapkan obscuur libel sebagaimana yang telah
diputus oleh pihak Pengadilan Agama Sidoarjo terhadap
putusan perkara 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dan disamping itu
penulis

ingin

mengetahui

bagaimana

kesesuaian

pertimbangan hukum dan dasar hukum yang digunakan


Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dengan Hukum Acara
Peradilan Agama. Sehingga penulis bermaksud mengadakan
penelitian terhadap putusan perkara tersebut.
Disini penulis mengangkat masalah obscuur libel dari sudut
pandang yang berbeda dengan Hakim Pengadilan Agama
Sidoarjo. Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo menganggap
bahwa gugatan Penggugat obscuur libel dikarenakan alamat
Tergugat tidak jelas atau kabur, sedangkan ketika dilihat
dalam fakta persidangan Tergugat hadir dalam persidangan
pertama sehingga dapat dikatakan bahwa Tergugat telah

12
dipanggil secara sah dan patut dengan relaas panggilan yang
disampaikan oeleh jusu sita. Maka dapat disimpulkan bahwa
alamat Tergugat jelas atau tidak kabur.
Kalaupun relaas terebut tidak samapai kepada Tergugat
sejak panggilan pertama dan Kepala Desa menerangkan
bahwa Tergugat sudah tidak bertempat tinggal sebagaimana
dalam alamat surat gugatan maka Juru Sita seharusnya
menyampaikan
selanjutnya

surat

panggilan

menempelkannya

pada

kepada
papan

Bupati

dan

pengumuman

Pengadilan Agama agar Tergugat tahu bahwa dia merupakan


pihak yang berperkara dalam perkara tersebut. Hal tersebut
sesuai dengan Pasal 390 ayat (3) HIR atau Pasal 718 ayat (3)
RBg.
Disini penulis berpendapat lain bahwa obscuur libel dalam
gugatan Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda terletak pada objek
sengketa dan petitum. Objek sengketa harus rinci baik alamat
atau letak objek, luas objek, serta batas-batas objek sengketa.
Sedangkan dalam merumuskan petitum gugatan harus secara
jelas dan tegas apa yang dimintakan kepada Hakim. Dalam
gugatan Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda objek sengketa tidak
dirinci secara jelas, dan petitumnya hanya berbentuk ex-

13
aequo

et

beno

(mohon

keadilan)

saja

sehingga

tidak

memenuhi syarat formil suatu gugatan.


Dari

pemaparan

tersebut

diatas

penulis

membahas

masalah tersebut dengan judul Analisis Yuridis Terhadap


Gugatan

Obscuur

Libel

0201/Pdt.G/2014/Pa.Sda

Dalam

Tentang

Putusan
Harta

Nomor

Bersama

Di

Pengadilan Agama Sidoarjo.


B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Sesuai dengan paparan latar belakang masalah di atas
dapat

diketahui

timbulnya

beberapa

masalah

yang

berhubungan dengan obscuur libel dalam perkara Nomor


0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama di Pengadilan
Agama Sidoarjo sebagai berikut:
1. Syarat-syarat bentuk dan formulasi gugatan.
2. Syarat-syarat gugatan obscuur libel.
3. Gugatan tidak dapat diterima.
4. Hukum Acara Peradilan Agama.
5. Pertimbangan hukum putusan Pengadilan Agama Sidoarjo
menyatakan

obscuur

libel

gugatan

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama.


6. Dasar hukum putusan Pengadilan Agama

Sidoarjo

menyatakan obscuur libel putusan 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda


tentang harta bersama.
7. Kesesuaian putusan Pengadilan Agama Sidaorjo perkara
Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda

yang

menggunakan

14
pertimbangan hukum dan dasar hukum dengan Hukum
Acara Peradilan Agama.
Dari identifikasi masalah tersebut peneliti membatasi
masalah yaitu:
1. Pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus
perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama di
Pengadilan Agama Sidaorjo.
2. Kesesuaian pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim
dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan Hukum
Acara Peradilan Agama.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka
dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim
dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta
bersama di Pengadilan Agama Sidaorjo?
2. Bgaimana kesesuaian pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis
Hakim dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan
Hukum Acara Peradilan Agama?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya untuk
memperoleh gambaran mengenai permasalahan yang akan
diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh
peneliti

sebelumnya

sehingga

diharapkan

tidak

ada

pengulangan penelitian secara mutlak. Sepanjang data yang

15
penulis peroleh tentang gugatan obscuur libel di Pengadilan
Agama yang pernah dilakukan, diantaranya adalah:
1.
Skripsi yang disusun oleh saudari Fatmawati dengan judul
Analisis

Yuridis

Terhadap

No.1359/Pdt.G/2013/PA.Mlg

Putusan

Hakim

Alasan

Gugatan

dengan

Obscuur Libel dalam Perkara Cerai Gugat. Penelitian ini


membahas

tentang

pertimbangan

Majelis

Hakim

bahwasanya gugatan dari Penggugat tidak secara spesifik


mendalilkan
melainkan

dan

mengemukakan

hanya

mengangkat

alasannya
dalil

sendiri

dan

alasan

sebagaimana yang dipergunakan dalam jawaban dan


duplik dalam perkara No.1122/Pdt.G/2009/PA.Mlg. Adapun
analisis

terhadap

putusan

1359/Pdt.G/2013/PA.Mlg

yang

Hakim

menyatakan

No.
gugatan

obscuur libel dalam perkara cerai gugat adalah jika dilihat


dari asas Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
2.

ringan.26
Skripsi yang disusun oleh saudara Syihabuddin yang
berjudul

Tinjauan

OnvantKelijk

(NO)

Yuridis

Terhadap

(Studi

0380/Pdt.G/2013/PA.Mlg).

Kasus

Penelitian

Putusan

Neit

Perkara

No.

ini

membahas

tentang dasar Majelis Hakim menjatuhkan putusan tidak


26

Fatmawati, Analisis Yuridis Terhadap Putusan Hakim


No.1359/Pdt.G/2013/PA.Mlg dengan Alasan Gugatan Obscuur Libel dalam
Perkara Cerai Gugat, Prodi Ahwalus Syakhsiyah, Jurusan Hukum Islam,
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014.

16
dapat menerima gugatan cerai Penggugat dikarenakan
gugatan obscuur libel sebab kuasa hukum dari Penggugat
telah melampaui batasan kewenangan dari hak kuasa.
Bahwasanya Penggugat telah memberi kuasa kepada
kuasa hukumnya untuk menggugat cerai Tergugat saja
tidak termasuk menggugat lainnya. Hal ini sudah sesai
dengan Pasal 123 ayat (1) HIR dan SEMA No. 1 Tahun 1971
3.

jo. SEMA No.6 Tahun 1994.27


Skripsi yang disusun oleh saudari Rasidatul Fitriah dengan
judul Pembatalan Putusan Oleh MA Terhadap Putusan PTA
Surabaya Tentang Gugatan Obscuur Libel dalam Perkara
Sengketa

Waris

(Analisis

Putusan

466

K/AG/1999).

Penelitian ini membahas tentang pertimbangan hukum


yang dipakai oleh Pengadilan Tinggi Agama Surabaya
membatalkan putusan Pengadilan Agama Pasuruan dan
memutus tidak menerima gugatan dari Penggugat karena
obscuur libel dengan adanya ketidakjelasan kebenaran
hubungan

nasab

ahli

waris

yang

merupakan

subjek

gugatan. Akan tetapi Mahkamah Agung membatalkan


putusan

Pengadilan

Tinggi

Agama

Surabaya

tentang

gugatan obscuur libel dalam perkara sengketa waris.

27

Syihabuddin, Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Neit OnvantKelijk (NO)


(Studi Kasus Perkara No. 0380/Pdt.G/2013/PA.Mlg), Jurusan Ahwalus
Syakhsiyah, Fakultas Syariah, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013.

17
Menurut Mahkamah Agung tidak adanya unsur obscuur
4.

libel dalam gugatan yang diajukan oleh Penggugat28.


Skripsi yang disusun oleh saudara M. Riyan Fadli dengan
judul

Analisis

318/Pdt.G/2007/PA.Sda

Terhadap
tentang

Putusan
Penolakan

Nomor:
Pembagian

Harta Bersama. Penelitian ini membahas tentang dasar


pertimbangan hukum yang dipakai oleh Pengadilan Agama
Sidoarjo

dalam

318/Pdt.G/2007/PA.Sda

memutus
yang

perkara
mana

Hakim

Nomor:
telah

mengabulkan gugatan dari istri tentang harta bersama


semua jatuh kepada istri dikarenakan perjanjian yang
dibuat dari sisi hukum yang dipakai di Indonesia dalam hal
pembuatan perjanjian.29
Dalam skripsi ini penulis mencoba mengkaji putusan
Pengadilan Agama Nomor 0201/Pdt.g/2014/PA.Sda tentang
gugatan harta bersama yang tidak dapat diterima oleh Majelis
Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo karena pertimbangan
hukum yang menyatakan alamat Tergugat kabur sehingga
menyebabkan gugatan obscuur libel. Dari pemaparan penulis
tentang tinjauan pustaka diatas, penulis memilih bahwa topik
28

Rasidatul Fitriah, Pembatalan Putusan Oleh MA Terhadap Putusan PTA


Surabaya Tentang Gugatan Obscuur Libel dalam Perkara Sengketa Waris
(Analisis Putusan 466 K/AG/1999), Jurusan Ahwalus Syahsiyah, Fakultas
Syariah, IAIN Sunan Ampel Surbaya, 2007.
29
M. Riyan Fadli. Analisis Terhadap Putusan Nomor: 318/Pdt.G/2007/PA.Sda
tentang Penolakan Pembagian Harta Bersama, Prodi Ahwalus Syakhsiyah,
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014

18
yang akan dibahas disini berbeda dengan skripsi-skripsi yang
terdahulu. Judul skripsi yang akan dibahas penulis adalah
Analisis Yuridis Terhadap Gugatan Obscuur Libel Dalam
Putusan

Nomor

0201/Pdt.G/2014/Pa.Sda

Tentang

Harta

Bersama Di Pengadilan Agama Sidoarjo, belum ada yang


membahas.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan
dari rumusan masalah diatas, sehingga dapat diketahui
secara jelas dan terperinci tujuan diadakannya penelitian ini.
Adapun tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum yang digunakan oleh
Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda
tentang harta bersama di Pengadilan Agama Sidaorjo.
2. Untuk mengetahui bagaimana kesesuaian pertimbangan hukum yang
digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor
0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan Hukum Acara Peradilan Agama.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna
bermanfaat

sekurang-kurangnya

dalam

dua

hal

dan

sebagai

berikut:
1. Kegunaan secara teoritis, yaitu memperkaya khazanah
keilmuan,

dapat

dijadikan

sebagai

bahan

referensi

penelitian selanjutnya dan untuk memperkaya literatur


pengetahuan tentang gugatan obscuur libel.

19
2. Kegunaan secara praktis, sebagai acuan pembaca untuk
lebih

memahami

arti

sebuah

gugatan

obscuur

libel

khususnya bagi masyarakat yang berperkara.


G. Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya multi interpertasi terhadap
pengertian yang dimaksud penulis perlu menjelaskan dan
memberikan

definisi

terhadap

istilah-istilah

yang

menunjukkan ke arah pembahasan yang sesuai dengan


maksud dan tujuan pokok tersebut, yaitu:
1. Analisis Yuridis adalah suatu penguraian berdasarkan
pandangan Hukum Acara Peradilan Agama.
2. Obscuur Libel
adalah surat gugatan penggugat tidak
jelas. Sebab kejelasan suatu surat gugatan merupakan
syarat formil dari sebuah gugatan. Dalam putusan ini yang
dianggap obscuur libel mengenai alamat Tergugat yang
tidak jelas atau kabur. Namun dalam skripsi ini yang
dimaksud dengan obscuur libel adalah alamat Tergugat
yang tidak jelas (kabur)
3. Harta Bersama adalah harta yang diperoleh suami istri
selama perkawinan berlangsung.
4. Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo adalah produk hukum
yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Sidoarjo terhadap
gugatan

perkara

harta

bersama

Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda.
H. Metode Penelitian
Di dalam skripsi ini penulis membahas tentang analisis
yuridis terhadap gugatan obscuur libel dalam putusan nomor

20
0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama di Pengadilan
Agama

Sidoarjo.

Agar

tercipta

penulisan

skripsi

yang

sistematis jelas dan benar, maka perlu dijelaskan tentang


metode penelitian sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Dengan adanya penelitian

ini

maka

data

yang

diperlukan adalah isi putusan Pengadilan Agama Sidoarjo


Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama,
yang meliputi:
a. Identitas dari para pihak.
b. Posita atau fundamentium petendi.
c. Petitum atau tuntutan.
d. Pertimbangan hukum.
e. Dasar hukum.
f. Amar putusan.
2. Sumber data
Yang menjadi sumber data dalam penelitian adalah dari
mana data dapat diperoleh. 30 Maka berdasarkan data yang
akan dihimpun

di

atas,

yang

menjadi

sumber

data

penelitian ini adalah:


a. Sumber primer adalah sumber yang diperoleh secara
langsung dari subyek penelitian. Dalam penelitian ini
sumber primer adalah:
1) Putusan
Pengadilan

Agama

Sidoarjo

Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda.
b. Sumber sekunder yaitu data yang diambil dan diperoleh
dari bahan pustaka dengan mencari data informasi
berupa

30

benda-benda

tertulis

seperti

buku-buku,

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:


PT Rineka Cipta, 2002), 129.

21
majalah, dokumen peraturan-peraturan dan catatan
harian lainnya. Adapun dalam penelitian ini penulis
menggunakan data sekunder berupa buku-buku yang
terkait dengan pembahasan ini, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006

tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun


1989 tentang Peradilan Agama.
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
3)
4)
5)
6)

1974

tentang

Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam
HIR dan RBg
Buku Praktek Perkara Perdata karya Mukti Arto.
Buku Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan

Mahkamah Syariyah karya Mardani.


7) Buku Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan
Agama karya Yahya Harahap.
8) Buku Hukum Acara Perdata

dalam

Teori

dan

Praktek karya Retnowulan.


9) Buku Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama
karya Ahmad Mujahidin.
10)
Buku Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,
Persidangan,

Penyitaan,

Pembuktian,

Putusan

Pengadilan karya Yahya Harahap.


11)
Sumber-sumber lain yang berkaitan dengan
skripsi ini.
3. Teknik pengumpulan data
a. Dokumentasi
Dokumentasi yakni mengumpulkan data yang
dilakukan melalui data tertulis dengan menggunakan

22
contetct

analysis.31

Dalam

hal

ini

dokumentasi

dilakukan dengan telaah dan mengutip isi putusan.


b. Wawancara (Interview)
Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi
atau percakapan antara dua prang atau lebih guna
memperoleh informasi, yakni dengan cara bertanya
langsung

kepada

sebyek

atau

informasi

yang

diinginkan guna mencapai tujuan dan memperoleh


data

yang

dijadikan

sebagai

bahan

laporan

penelitian.32 Mengadakan tanya jawab kepada Majelis


Hakim dan Penitera di Pengadilan Agama Sidoarjo
yang

memutus

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda

perkara

Nomor

sebagai narasumber dan

Hakim lain Pengadilan Agama yang tidak memutus


perkara tersebut sebagai informan.
4. Teknik analisis data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini menggunakan teknik deskriptif analisis dengan pola
pikir deduktif. Teknik deskriptif analisis yaitu suatu
metode yang menggambarkan dan menafsirkan data
yang telah terkumpul dengan pola pikir deduktif, yaitu
dengan menggunakan teori-teori bersifat umum tentang
putusan harta bersama dalam hukum acara Peradilan
31

Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, (Surabaya, Hilal Pustaka, 2013),


208.
32
S. Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah), (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), 113.

23
Agama kemudian digunakan untuk menganalisis isi
putusan perihal putusan harta bersama yang dalam
amarnya menyatakan gugatan tidak dapat diterima
karena obscuur libel secara khusus untuk memeperoleh
kesimpulan.
I. Sistematika Pembahasan
Agar terbangun pemahaman yang jelas tentang kajian
skripsi ini, penulis menyusun sistematika pembahasannya
menjadi V bab sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan meliputi Latar Belakang,
Identifikasi dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian
Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi
Operasional, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
Bab kedua adalah landasan teori alasan gugatan obscuur
libel dalam Hukum Acara Peradilan Agama yang memeparkan
tentang harta bersama (pengertian dan dasar hukum harta
bersama. macam-macam harta bersama, pembagian harta
bersama).

Kemudian

(pengertian
gugatan

gugatan,

dalam

memaparkan

tentang
bentuk

putusan,

tentang

gugatan

dan

gugatan,

prinsip-prinsip

alasan

gugatan

formulasinya

macam-macam
gugatan.

Serta

obscuur

libel

(pengertian gugatan obscuur libel, macam-macam gugatan


obscuur libel.
Bab ketiga adalah alasan gugatan obscuur libel dalam
putusan

Pengadilan

Agama

Sidoarjo

perkara

Nomor

24
0201/Pdt.G/2014/PA.Sda merupakan bab yang memeparkan
data

tentang

profil

Pengadilan

Agama

Sidoarjo

(letak

geografis, wewenang Pengadilan Agama Sidoarjo, dan struktur


organisasi

Pengadilan

Agama

Sidoarjo).

Serta

mendeskripsikan gugatan Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda .


Bab keempat adalah analisis yuridis terhadap gugatan
obscuur libel dalam perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda
tentang

harta

bersama

di

Pengadilan

Agama

Sidoarjo

merupakan bab yang menguraikan tentang analisis yuridis


terhadap pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama
Sidoarjo

dalam

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda

memutus
dan

analisis

perkara
yuridis

nomor
terhadap

kesesuaian pertimbangan hukum yang digunakan Hakim


Pengadilan Agama Sidoarjo dalam memutus obscuur libel
Perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan Hukum Acara
Peradilan Agama.
Bab kelima adalah penutup yang berisi tentang kesimpulan
dari kajian ini dan saran-saran.

25

BAB II
GUGATAN OBSCUUR LIBEL DAN ALASANNYA DALAM
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
A. Harta Bersama
1. Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang
diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan, Hal
ini diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, yaitu sebagai berikut:33
a. Harta bersma yang diperoleh selama perkawian menjadi
harta bersama.
b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masig sepanjan para pihak tidak menentukan
lain.
Dari pengetian Pasal 35 diatas, dapat dipahami
bahwa segala harta yang diperoleh selama dalam ikatan
perkawinan di luar harta warisan, hibah dan hadiah
33

Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika,


2012), 56.

23

26
merupakan

harta

bersama.

Karena

itu,

harta

yang

diperoleh suami atau istri berdasarkan usahanya masingmasing merupakan milik bersama suami istri. Lain halnya
harta yang diperoleh masing-masing suami dan istri
sebelum akad nikah, yaitu harta asal atau harta bawaan.
Harta

asal

itu,

akan

diwarisi

oleh

masing-masing

keluarganya bila pasangan suami istri itu meninggal dan


tidak mempunyai anak.34
Menurut Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan penjelasan pasalnya, akibat hukum perceraian
terhadap harta bersama diatur menurut hukumnya masingmasing, yang mencakup hukum agama, hukum adat atau
hukum lain. Ini berarti bahwa Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 menyerahkan kepada para pihak

(mantan

suami dan mantan istri) yang bercerai untuk memilih


hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku, dan jika
tidak ada kesepakan maka Hakim di Pengadilan dapat
mempertimbangkan

menurut

rasa

keadilan

yang

sewajarnya.35
Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974,

dalam

Kompilasi

Hukum

Islam

(KHI)

memberi

pengertian harta bersama adalah harta benda yang


diperoleh
34

suami

dan

istri

selama

berlangsungnya

Ibid.
Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
425.
35

27
perkawinan. Dalam Pasal 85 KHI disebutkan adanya harta
bersama

dalam

perkawinan

itu

tidak

menutup

kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami


istri, bahkan dalam Pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa
pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami
dan istri dalam perkawinan.36
Sedangkan menurut hukum Islam, harta suami istri
tidak terpisah, dalam arti masing-masing mempunyai hak
untuk

menggunakan

atau

membelanjakan

harta

sepenuhnya, tanpa boleh diganggu oleh pihak lain. Harta


benda yang menjadi hak sepenuhnya masing-masing pihak
adalah harta bawaan masing-masing sebelum terjadi
perkawinan ataupun harta yang diperoleh masing-masing
pihak dalam masa perkawinan yang bukan merupakan
usaha bersama, misalnya menerima warisan, hibah, dan
lain sebagainya.37
Dalam kitab-kitab fiqh tradisional, harta bersama
diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh
suami istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan atau
dengan perkaatan lain disebutkan bahwa harta bersama itu
adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara
suami istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu
dengan yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi.
36

Saekan, Erniati Efendi, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, (Surabaya: aeloka,


1997), 75.
37
Ibid., 413.

28
Dasar hukumnya adalah Al-Quran surat An-Nisaa ayat 32
dimana dikemukakan bahwa bagi semua laki-laki ada
bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua wanita
ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula.38
Jadi ketika mereka (suami istri) telah terikat dalam
perjanjian perkawinan sebagai suami istri maka semuanya
menjadi bersatu, baik harta maupun anak-anak seperti
yang diatur dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 21. Tidak
perlu diiring dengan syirkah (perjanjian dalam perkawinan).
Sebab perkawinan dengan ijab qobul serta memenuhi
persyaratan lain-lainnya seperti wali, saksi, mahar sudah
dapat dianggap adanya syirkah antara suami istri.39
2. Macam-Macam Harta Bersama
Mengenai macam-macam harta dalam perkawinan,
menurut pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan menyebutkan sebagai berikut:40
a. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama
b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.

38

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta:


Kencana Pernada Media, 2006), 109.
39
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 232.
40
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum, 11.

29
Sedangkan dalam KHI pasal 85 sanpai dengan pasal
97 disebutkan, bahwa harta perkawinan dapat dibagi
menjadi:41
a. Harta bawaan suami, yaitu harta yang dibawa suami
sejak sebelum perkawinan.
b. Harta bawaan istri, yaitu harta yang dibawa istri sejak
sebelum perkawinan.
c. Harta bersama suami dan istri, yaitu harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
suami dan istri.
d. Harta dari hasil hadiah, hibah, waris dan shadaqah
suami, yaitu harta yang diperoleh sebagai hadiah atau
warisan.
e. Harta dari hasil hadiah, hibah, waris dan shadaqah istri,
yaitu harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harta
benda yang menjadi hak sepenuhnya masing-masing pihak
adalah harta bawaan masing-masing sebelum terjadi
perkawinan ataupun yang diperoleh masing-masing pihak
dalam masa perkawinan yang bukan merupakan usaha
bersama, misalnya menerima warisan, hibah, shadaqah
dan lain sebagainya. Sedangkan harta bersama adalah
harta yang diperoleh masing-masing suami istri dalam
masa perkawinan melalui usaha mereka berdua atau dari
usaha salah satu dari mereka. Dalam hal ini, suami istri
41

Suyuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, Universitas


Indonesia, 1986), 83.

30
dapat mempergunakan harta bersama atas persetujuan
kedua belah pihak.
3. Pembagian Harta Bersama
Menurut Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dikemukakan bahwa harta bersama antara
suami istri apabila terjadi putusnya perkawinan, baik
karena kematian atau perceraian, maka kepada suami dan
istri tersebut masing-masing mendapat setengah bagian
dari

harta

yang

mereka

peroleh

selama

perkawinan

berlangsung.
Sehubungan dengan hal tersebut, pembagian harta
bersama adalah setengah untuk suami dan setengah untuk
istri.

Dalam

kasus-kasus

tertentu,

dapat

dilenturkan

mengingat realita dalam kehidupan keluarga di beberapa


daerah

Indonesia

ini

ada

pihak

suami

yang

tidak

berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga.


Dalam hal ini, sebaiknya para praktisi hukum, lebih hatihati

dalam

memeriksa

kasus-kasus

tersebut,

agar

memenuhi rasa keadilan, kewajaran dan kepatutan. Oleh


karena itu, perlu adanya pertimbangan khusus tentang
partisipasi pihak suami dalam mewujudkan harta bersama
keluarga, sehingga bagian yang menetapkan setengah dari
harta

bersama

untuk

istri

dan

untuk

suami

perlu

31
dilenturkan lagi, sehingga yang diharapkan oleh Pasal 229
Kompilasi Hukum Islam.42
Sedangkan cara mendapatkan harta bersama adalah
sebagai berikut:43
a. Pembagian harta bersama dapat diajukan bersamaan
dengan

saat

mengajukan

gugat

cerai

dengan

menyebutkan harta bersama dan bukti-bukti bahwa


harta tersebut diperoleh selama perkawinan dalam
posita

(alasan

pembagian
(tuntutan).
b. Pembagian
adanya

pengajuan

harta
harta

putusan

gugatan).

disebutkan
bersama

dalam

dapat

perceraian,

Permintaan
petitum

diajukan

artinya

setelah

mengajukan

gugatan atas harta bersama. bagi yang beragama Islam


gugatan atas harta bersama diajukan ke Pengadilan
Agama di wilayah tempat tinggal istri. Untuk non-Islam
gugatan

pembagian

harta

bersama

diajukan

ke

Pengadilan Negeri tempat tinggal termohon.


B. Gugatan dan Formulasinya
1. Pengerian Gugatan
Untuk mengajukan tuntutan hak ke pengadilan, maka
seseorang harus membuat gugatan 44. Yang dimaksud
dengan gugatan adalah suatu tuntutan hak yang diajukan
42

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum, 129.


Muhammad Syaifuddin, IHukum PerceraianI, 427.
44
Wahju Muljiono, Teori dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), 53.
43

32
oleh penggugat kepada tergugat melalui pengadilan. 45
Menurut pakar hukum positif, gugatan adalah tindakan
guna memperoleh perlindungan hakim untuk menuntut
hak atau memeriksa pihak lain memenuhi kewajibannya.46
Gugatan dapat disimpulkan sebagai suatu tuntutan
hak dari setiap orang atau pihak (kelompok) atau badan
hukum yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan
dan menimbulkan perselisihan, yang ditujukan kepada
orang lain atau pihak lain yang menimbulkan kerugian itu
melalui pengadilan.47
Surat gugatan

ialah

surat

yang

diajukan

oleh

penggugat kepada ketua pengadilan yang berwenang,


yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung
suatu sengketa dan sekaligus merupakan landasan dasar
pemeriksan perkara.48
Dalam perkara gugatan terdapat dua pihak yang
saling

berhadapan

(yaitu

penggugat

dan

tergugat). 49

Permohonan atau gugatan yang prinsipnya harus dibuat


tertulis oleh pemohon atau penggugat atau kuasanya,50
Secara umum dan teoritis untuk membuat suatu
surat gugatan dikenal dua pola penyusunan, yaitu:51
45

Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012), 31.
46
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2012), 48.
47
Sopar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan., 1.
48
Mukti Anto, Praktek Perkara Perdata, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), 39
49
Ibid.
50
Sulaikin Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia,2012), 53.
51
Sopar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan., 16.

33
a. Substantieringstheorie
Suatu teori yang membahas cara pembuatan
surat gugatan hendaknya harus diperinci secara detail
mulai dari adanya hubungan hukum sebagai dasar
gugatan (rechtsfronden, legal grounds), dasar dan
sejarah gugatan, serta kejadian formal atau material
dari gugatan. Misalnya penggugat mendalilkan dalam
surat

gugatannya

bahwa

ia

sebagai

pemilik

dari

sebidang tanah dengan luas dan batas-batas tertentu


sebagaimana sertifikat hak atas tanah. Maka menurut
substantieringstheorie, tidak cukup penggugat hanya
menyebutkan dalam gugatannya bahwa ia sebagai
pemilik, tetapi juga harus diuraikan terlebih dahulu
secara mendetail dan terperinci dalam gugatannya
dengan menyebutkan data dan hubungan hukum.
b. Individualiseringstheorie
Suatu teori yang membahas agar dalam
penyusunan surat gugatan dibuat secara garis besarnya
saja tentang dasar hubungan hukum dalam gugatan
atau kejadian material. Jadi, terhadap ketentuan kaidah
atau pasal tersebut dirumusakn secara umum kemudian
diindualisasikan pada gugatan dan terhadap hal lainnya,
seperti dasar pokok gugatan, sejarah gugatan, dan
lainnya dapat dijelaskan dalam sidang berikutnya, baik

34
dalam

tahap

replik,

duplik

maupun

pembuktian.

Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI perumusan


kejadian material secara singkat telah memenuhi syarat
dan gugatan tidak obscuur libel.
2. Bentuk Gugatan
Tentang bentuk gugatan dapat disimpulkan dari
ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR atau Pasal 142 ayat (1)
RBg dan Pasal 120 HIR atau Pasal 144 ayat (1) RBg. Dari
ketentuan pasal-pasal tersebut, gugatan dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:52
a. Bentuk tertulis
Pada prinsipnya semua gugatan atau permohonan
harus dibuat secara tertulis.53 Gugatan tertulis diatur
dalam Pasal 118 HIR dan Pasal 142 ayat (1) R.Bg. Dalam
kedua

Pasal

ini

ditentukan

bahwa

gugatan

harus

diajukan secara tertulis dan diajukan kepada Ketua


Pengadilan
tersebut.

yang
Surat

berwenang

gugatan

yang

mengadili
ditulis

perkara

itu

harus

ditandatangani oleh Penggugat atau para Pengggat. Jika


perkara itu dilimpahkan kepada kuasa hukumnya, maka
yang menandatangani surat gugat itu adalah kuasa
hukumnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 123
ayat (1) HIR dan Pasal 147 ayat (1) R.Bg.54
b. Bentuk lisan
52

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,


(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 186-187
53
Mukti Anto, Praktek Perkara, 40.
54
Abdul Manan, Penerapan Hukum, 27.

35
Bilamana Penggugat tidak dapat menulis, maka
gugatan dapat diajukan secara lisan kepada Ketua
Pengadilan,55 Terhadap gugatan lisan tersebut, Ketua
Pengadilan mencatat atau menyuruh mencatat kepada
salah

seorang

pejabat

pengadilan.

Kemudian

dari

catatan tersebut Ketua Pengadilan menformulasikan


berupa surat gugatan.56
3. Macam-Macam Gugatan dalam Amar Putusan
a. Gugatan dikabulkan
Dikabulkannya suatu gugatan adalah

dengan

syarat bila dalil gugatannya dapat dibuktikan oleh


penggugat sesuai alat bukti sebagaimana diatur dalam
Pasal 1865 kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau
Pasal 164 HIR. Dikabulkannya gugatan ini pun ada yang
dikabulkan sebagian, ada yang dikabulkan seluruhnya,
ditentukan oleh pertimbangan majelis hakim.57
b. Gugatan ditolak
Bahwa bila penggugat dianggap tidak berhasil
membuktikan dalil-dalil gugatannya, akibat hukum yang
harus ditanggungnya atas kegagalan membuktikan dalil
gugatannya
seluruhnya.

adalah
Jadi,

bila

gugatannya
suatu

mesti

gugatan

tidak

ditolak
dapat

dibuktikan dalil gugatannya bahwa tergugat patut

55

M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum.., 13


Ibid., 188.
57
HIR/ Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1949 No. 16, S,1941
No.44)
56

36
dihukum karena melanggar hal-hal yang disampaikan
dalam gugatan, maka gugatan akan ditolak.58
c. Gugatan tidak dapat diterima
Bahwa ada berbagai cacat formil yang mungkin
melekat pada gugatan.59 Antara lain, gugatan yang
ditandatangai kuasa berdasarkan surat kuasa tidak
memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 yat (1) HIR
jo. SEMA Nomor 4 Tahun 1996:60
1) Gugatan tidak memiliki dasar hukum;
2) Gugatan error in persona dalam bentuk dikualifikasi
atau plurium litis consortium;
3) Gugatan mengandung cacat atau obscuur libel, atau
4) Gugatan melanggar yuridiksi (kompetensi) absolut
atau relatife dan sebagainya.
Menghadapi gugatan yang cacat formil (surat
kuasa, error in persona, obscuur libel, premature,
kadaluwarsa, ne bis in idem), putusan yang dijatuhkan
harus dengan jelas dan tegas mencantumkan dalam
amar putusan menyatakan gugatan tidak dapat diterima
(neit ontvankerlijke verklaard/N.O)
4. Prinsip-Prinsip Gugatan
Abdul Manan dalam bukunya menyebutkan ada 5
prinsip yang harus ada dalam suatu gugatan, yaitu:61
a. Harus ada dasar hukum

58

Yahya Harahap, Hukum Acara., 812.


Ibid, 811.
60
Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan
Bidangnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), 108.
61
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara., 17-23.
59

37
Para pihak yang dimaksud mengajukan gugatan
kepada pengadilan haruslah mengetahui terlebih dahulu
dasar

hukumnya.

Gugatan

yang

tidak

ada

dasar

hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh hakim dalam


sidang pengadilan karena dasar hukum inilah yang
menjadi dasar putusan yang diambilnya. Disamping
mempunyai
masalah

hubungan

yang

persidangan,

sangat

terutama

erat

dengan

hal-hal

yang

berhubungan dengan pembantah jawaban lawan dan


pembuktian.

Dalam

mempertahankan

dalil-dalil

di

dalam persidangan tidak hanya sekedar menjawab atau


membantah
didukung

saja,

oleh

akantetapi

dasar

semuanya

hukum

yang

kuat

haruslah
dalam

mempertahankan dalil gugat. Dasar hukum ini dapat


berupa

peraturan

perundang-undangan,

doktrin,

praktek pengadilan dan kebiasaan yang sudah diakui


sebagai hukum.62
b. Adanya kepentingan hukum
Penggugat haruslah

mempunyai

kepentingan

hukum secara langsung yang melekat pada dirinya


sebelum

menuangkan

suatu

tindakan

dan

sebuah

gugatan, hal ini menjadi syarat mutlak untuk dapat


mengajukan gugatan. Orang yang tidak mempunyai
62

Jaremias Lemak, Penuntut Membuat Gugatan, (Yogyakarta: Liberty, 1993), 6.

38
kepentingan

hukum

tidak

dibenarkan

mengajukan

gugatan, hanya orang yang berkepentingan langsung


yang dapat mengajukan gugatan, sedangkan orang
yang tidak mempunyai kepentingan langsung haruslah
mendapat kuasa terlebih dahulu dari orang untuk dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan.
c. Merupakan suatu sengketa
Gugatan yang diajukan kepada

pengadilan

haruslah bersifat sengketa dan persengketaan itu telah


menyebabkan kerugian dari pihak penggugat, sehingga
perlu diselesaikan melalui pengadilan sebagai instansi
yang berwenang dan tidak memihak. Dalam gugatan
ini,

tuntutan

haknya

harus

mengandung

sengketa

sebagaimana yang dimaksud Pasal 118 HIR/ Pasal 132


RBg.
d. Dibuat dengan cermat dan terang
Gugatan secara tertulis haruslah disusun dalam
surat gugatan yang dubuat secara cermat dan terang,
jika

tidak

dilakukan

secara

demikian

maka

akan

mengalami kegagalan dalam sidang pengadilan. Surat


gugatan tersevut harus disusun secara singkat, padat
dan mencakup dalam persoalan yang disengketakan.
Gugatan tidak boleh obscuur libel, artinya tidak boleh
kabur

baik

mengenai

pihak-pihaknya,

objek

39
sengketanya,

dan

landasan

hukum

yang

dipergunakannya sebagai dasar gugat.


e. Memahami hukum formil dan materiil
Pemahaman dalam hukum formil dan materiil
merupakan

prinsip

gugatan,

sebab

kedua

hukum

tersebut berkaitan erat dengan seluruh isi gugatan yang


akan dipertahankan dalam sidang pengadilan. Namun
jika seorang belum memahami hukum formil atau
materiil maka sebagaimana tertuang dalam Pasal 119
HIR dan Pasal 143 RBg dengan tujuan agar tidak
mengalami kesulitan dalam membuat gugatan bagi
orng-orang

yang

kurang

pengetahuannya

tentang

hukum formil dan materiil.


5. Syarat-Syarat Gugatan
Mengenai persyaratan tentang isi daripada gugatan
tidak ada ketentuannya, akan tetapi jika kita melihak
dalam Rv Pasal 8 angka (3) yang mengharuskan pokok
gugatan yang meliputi:63
a. Identitas para pihak
Yang dimaksud dengan identitas adalah ciri-ciri
dari penggugat dan tergugat, yaitu:
1) Nama (beserta bin/binti dan aslinya)
2) Umur
3) Agama
4) Pekerjaan
5) Tempat tinggal
6) Kewarganegaraan (jika perlu).64
63

Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika,


2004), 6.
64
Abdul Manan, Praktek Perkar Perdata, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
40.

40
Identitas ini merupakan bagian penting dalam gugatan,
sebab

apabila

ataupun

penggugat

alamat

si

salah

tergugat

menuliskan

nama

kemungkinan

bisa

menimbulkan gugatan tidak dapat diterima atau bisa


terjadi subjek yang mengajukan gugatan termasuk tidak
memenuhi

persyaratan

undang-undang

persona).65
b. Fundamentum petadi/posita gugatan
Fundamentum petadi adalah
konkret

tentang

adanya

(error

dalil-dalil

hubungan

hukum

in

posita
yang

merupakan dasar dari suatu tuntutan hak,66


Fundamentum petadi terbagi atas dua bagian:
1) Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau
peristiwa (feitelijke gronden)
2) Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya
(rechtgronden)67
Uraian dalam posita harus memuat fakta hukum
dan bukan fakta rill (apa adanya). Untuk itu diperlukan
pengetrahuan hukum yang memadai, khususnya yang
ada kaitannya dengan materi gugatan agar dapat
melakukan seleksi atau analisis fakta rill yang ada. Fakta
mana

yang

harus

dikesampingkan

atau

cukup

disampaikan melalui keterangan saksi di depan sidang.68


c. Petitum (tuntutan)

65
66
67
68

Sophar Maru, Praktik Peradilan, 18.


Pasal 193 HIR (283 RBg, 1865 BW).
Ahmad Mujahiddin, Pembaharuan Hukum Acara, 84
Sophar Maru,Praktik Peradilan.., 20.

41
Dalam

surat

gugatan

harus

pula

dilengkapi

dengan petitum, yaitu hal-hal apa yang diinginkan atau


diminta oleh penggugat untuk diputuskan, ditetapkan
dan diperintahkan Hakim. Petitum ini harus lengkap dan
jelas, karena bagian dari surat gugatan ini yang
terpenting. Apabila petitum tidak jelas atau tidak
sempurna dapat berakibat tidak diterimannya petitum
tersebut.69
Demikian pula gugatan yang berisi pernyataanpernyataan yang bertentangan satu sama lain disebut
obscuur libel (gugatan yang tidak jelas atau gugatan
kabur),

yang

berakibat

tidak

diterimanya

atau

ditolaknya gugatan tersebut.70


Petitum ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
bagian pokok, yaitu:
1) Petitum primer (pokok) yang langsung berhubungan
dengan pokok perkara.
Merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta
penggugat dan Hakim tidak boleh mengabulkan lebih
dari apa yang diminta (dituntut).
2) Petitum tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi
masih ada hubungannya dengan pokok perkara.
Merupakan tuntutan
pelengkap
daripada
tuntutan pokok seperti dalam perceraian berupa

69
70

Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata., 17.


Ibid., 22.

42
tuntutan pembayaran nafkah anak, mutah, nafkah
iddah dan pembagian harta bersama.71
3) Tuntutan subsidair atau pengganti72
Petitum subsidair atau pengganti. Biasanya
berisi kata-kata, apabila Majelis Hakim perkara
pendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya
(ex aequo et bono).
Jadi, maksud dan tujuan tuntutan subsidair
adalah apabila tuntutan primer ditolak masih ada
kemungkinan
didasarkan

dikabulkannya

atas

kebebasan

gugatan
atau

yang

kebijaksanaan

hakim berdasarkan keadilan.73


6. Formulasi Gugatan
Formulasi gugatan ialah rumusan dan sistematika
gugat yang tepat menurut hukum dan praktek peradilan.
Sehubungan dengan masalah formulasi gugatan masih
sering digunakan gugatn yang tidak memenugi syarat. Dari
sinilah akan ditentukan formulasi dan sistimatika yang
tepat dan memenuhi syarat, yaitu sebagai berikut:
a. Pencantuman tanggal gugatan
Kealpaan
mencantumkan
tanggal

tidak

mempengaruhi keabsahan gugat. Karena tanggal bukan


bagian daripada syarat formal dari surat gugatan dalam
praktek peradilan, tanggal surat gugatan secara resmi
dicantumkan
71
72
73

Ibid., 84.
Ibid., 22.
Ibid.

dalam

putusan.tetapi

sekiranya

alpa,

43
dasar tanggal resminya surat gugatan dapat diambil
dari tanggal pendaftaran dalam buku register perkara.74
b. Pencantuman alamat Ketua Pengadilan
Surat
gugatan dialamatkan kepada
Ketua
Pengadilan.75 Oleh karena itu, surat gugatan harus
mencantumkan bahwa gugatan dialamatkan kepada
Ketua

Pengadilan.

gugatan.

Hal ini bukan keabsahan surat

Seandainya

mengakibatkan

gugatan

penggugat

lupa,

tidak

Kelalaian

sah.

tidak
itu

dianggap sudah tercantum dalam gugatan.


c. Pencantuman lengkap dan terang nama dan alamat
para pihak
Sistematika berikut adalah pencantuman nama
lengkap serta alamat yang terang dari para pihak. Hal
ini merupakansalah satu faktor esensial syarat formal
surat gugatan. Mengenai penyebutan pekerjaan, umur,
agama dan kewarganegaraan tidak mesti. Tetapi lebih
tepat

dicantumkan

untuk

memperkuat

kebenaran

identitas gugatan.76
d. Penegasan para pihak dalam perkara
Formulasi penegasan para pihak dalam gugatan,
penulisannya langsung mengikuti penyebutan identitas.
Penegasan ini

merupakan syarat

formal.

Kelalaian

atsnya dapat dianggap gugatan obscuur libel. Sebab


74

Ibid., 19.
Pasal 118 ayat (1) HIR dan Pasal 142 ayat (1) RBg.
76
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syriah,
(Jakarta:Sinar Grafika, 2010), 86.
75

44
tujuan penegasan kedudukan para pihak berkaitan erat
dengan

hak

kepentingan

membela

para

pihak.

dan

mempertahankan

Disamping

dalam

posita

diuraikan hubungan hukum yang terjadi antara para


pihak harus ditegaskan satu persatu kedudukan para
pihak dalam surat gugatan. Jika tidak, gugatan dianggap
kabur atau obscuur libel.77
e. Uraian posita atau dalil gugat
Posita gugat adalah penjelasan dalil atau alasan
gugatan. Ia merupakan esensi gugatan yang berisi halhal penegasan hubungan hukum antara penggugat
dengan objek yang disengketakan pada satu segi,
hubungan hukum antara penggugat dan tergugat serta
hubungan tergugat dengan objek sengketa pada segi
lain.
Pada prinsipnya dalil gugat supaya jelas harus
merupakan rangkaian dari beberapa hubungan hukum
dan peristiwa atau rechtsfeiten. Posita gugat harus
cukup ringkas, jelas dan terinci peristiwa-peristiwa yang
berkenaan dengan dalil dan persengketaan. Banyak
gugatan yang panjang lebar tapi berbeli-belit sehingga
terkadang bias mengakibatkan gugatan menjadi kabur.
f. Perumusan hal-hal yang bersifat assecor
Dalil gugatan dengan segala penjelasan yang
membarenginya adalah bagian dari pokok perkara atau
77

Ibid.

45
materi perkara. Tapi terkadang gugatan pokok sering
diikuti dengan gugatan atau permohonan yang bersifat
assecor. Maksudnya, dengan adanya gugatan pokok,
hukum membenarkan penggugat mengajukan gugatan
tambahan yang melekat pada gugatan pokok.
Maka sesuai dengn sistematika formulasi gugatan,
gugat assecor mengikuti urutan rumusan dalil gugatan
pokok. Tidak boleh terbalik karena dapat berakibat
gugatan menjadi obscuur libel, sebab tidak jelas mana
yang pokok dan mana yang assecor.78
g. Pencantuman permintaan untuk dipanggil dan diperiksa
Pencantuman permintaan agar para pihak
dipanggil dan diperiksa adalam persidangan adalah
rumusan formal.79 Namun rumusan ini bukan syarat
formal yang menentukan keabsahan surat gugatan.
Sekiranya lalai mencantumkan, tidak mengakibatkan
surat gugatan mengandung cacat.
h. Petitum gugatan
Petitum gugatan juga disebut

juga

diktum

gugatan. Petitum gugatan yang berisi rincian satu


persatu tentang apa yang diminta dan dikehendaki
penggugat untuk dinyatakan dan dihukumkan kepada
para pihak, terutama kepada pihak tergugat. Dengan
kata lain, petitum ini menjadi kesimpulan akhir gugatan

78
79

Ibid.
Pasal 121 Ayat (1) HIR

46
yang berisi rincian tuntutan penggugat kepada pihak
tergugat.
Kedudukan

petitum

dalam

surat

gugatan

merupakan syarat formil yang bersifat mutlak. Suatu


gugatan yang tidak berisi perumusan petitum dianggap
kabur atau tidak sempurna, dan gugatan dinyatakan
tidak dapat diterima.80
C. Gugatan Obscuur Libel.
1. Pengertian Gugatan Obscuur Libel
Yang dimaksud dengan obscuur libel adalah surat
gugatan tidak terang isinya atau isinya gelap (onduidlijk).
Bisa disebut juga dengan formulasi gugatan tidak jelas,
padahal agar gugatan itu dianggap sudah memenuhi
syarat formil, maka dalil gugatan harus terang dan jelas
atau tegas (duidelijk). Obscuur libel juga dapat diartikan
dengan gugatan yang berisi penyataan-pernyataan yang
bertentangan satu sama lain.81 Penyataan-pernyataan yang
bertentangan tersebut mengakibatkan gugatan tidak jelas
dan mengakibatkan gugatan menjadi kabur.
Ketentuan Pasal 118 ayat (1), Pasal 120 dan Pasal
121 HIR tidak dapat penegasan merumuskan gugatan
secara

jelas

dan

terang.

Namun

praktik

peradilan

memedomani pasal 8 Rv sebagai rujukan berdasarkan asas


process
80

doelmatigheid

(demi

kepentingan

beracara).

Ibid., 196
Dzulhifli Umar dn Utsman Handoyo, Kamus Hukum, (Surabaya: Quantum
Media Press, 2000), 288.
81

47
Menurut

pasal

Rv,

pokok-pokok

gugatan

disertai

kesimpulan yang jelas dan tertentu (een duidelijk en


bapaalde conclusive). Berdasarkan ketentuan itu, praktik
peradilan mengembangkan penerapan eksepsi gugatan
kabur (obscuur libel) atau eksepsi gugatan tidak jelas.
2. Macam-macam Gugatan Obscuur Libel
Obscuur libel yaitu surat gugatan penggugat tidak
terang atau kabur. Disebut juga formulasi gugatan yang
tidak jelas. Gugatan kabur ini dikarenakan oleh:82
a. Posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar
hukum dan kejadian yang mendasari gugatan
b. Tidak jelas objek yang disengketakan
c. Penggabungan dua atau beberapa gugatan

yang

masing-masing berdiri sendiri


d. Terdapat saling bertentangan antara posita dengan
petitum
e. Petitum tidak terinci, tetapi hanya berupa ex aequo et
bono
Gugatan obsscuur libel (tidak jelas atau kabur) terdiri
dari:83
a. Obscuur libel fundamentum petendi
Dasar
hukum gugatan
atau

posita

atau

fundamentum petendi, yakni dasar hukum dan kejadian


atau peristiwa yang mendasari gugatan. Dapat terjadi
jika dasar atau landasan hukum yang digunakan dalam
gugatan salah atau tidak ada. Karena dasar hukum yang
82

M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Peradilan Agama,


(Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1994), 18.
83
M. Romdlon, Pokok-Pokok Hukum Acara Pedata, (Surabaya: IAIN Sunan
Ampel, 1998), 16.

48
dapat berupa peraturan perundang-undangan, doktrindoktrin, kebiasaan yang telah diakui, ini merupakan
dasar pengambilan suatu putusan yang berguna untuk
mempertahankan

dalil

gugatan

dalam

persidangan

serta meyakinkann para pihak bahwa kejadian dan


peristiwa hukum benar-benar terjadi.84
b. Obscuur libel objek sengketa
Hal ini terjadi jika objek dalam persengketaan
tidak jelas, misalnya dalam perkara harta bersama,
tanah sengketa yang digugat tidak jelas batas-batas
atau luasnya.85
Jika objek gugatan tidak dijelaskan dengan jelas
dan pasti, maka gugatan dapat dinyatakan obsscuur
libel. Hal tersebut mengacu pada Yurisprudensi MA
Nomor 556/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1974 yang
menyatakan bahwa: Jika objek gugatan tidak jelas,
maka gugtan tidak dapat diterima.86
Sesuai dengan Yurisprudensi

MA

Nomor

81

K/Sip/1971 tanggal 9 Juli 1973 yang menyatakan bahwa,


Karena tanah yang dikuasai Tergugat ternyata tidak
sama batas-batas dan luasnya dengan yang tercantum
dalam gugatan, maka gugatan harus dinyatakan tidak
dapat diterima. Maka tidak jelasnya objek gugatan
dapat terjadi seperti jika ukuran objek gugatan yang
84
85
86

Abdul Manan, Peneraoan Hukum., 8.


Ibid., 26.
Yurisprudensi MA Nomor 556/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1974

49
tercantum dalam gugatan tidak sama dengan yang
sebenarnya

dikuasai

oleh

tergugat

maka

gugatan

tersebut dapat dikatan obsscuur libel.87


Selain itu objek gugatan yang tidak menerangkan
batas-batas objek yang disengketakan, tidak disebutkan
dengan jelas di mana letak objek perkara, tidak
menjelaskan

ukuran

objek

perkara,

ukuran

objek

perkara berbeda dengan hasil pemeriksaan langsung


dan

lain-lain.

Ketentuan

tersebut

berdasarkan

yurisprudensi MA Nomor 1149 K/Sip/1979 tanggal 17


April 1979 yang menyatakan bahwa: Karena dalam
surat gugatan tidak disebutkan jelas letak atau batasbatas

tanah

diterima.

sengketanya,

Dan

gugatan

Yurisprudensi

MA

tidak

dapat

Nomor

1159

K/PDT/1983 tanggal 23 Oktober 1984 yang menyatakan


bahwa, Gugatan yang tidak menyebutkan batas-batas
objek sengketa dinyatakan obscuur libel dan gugatan
tidak dapat diterima.88
c. Penggabungan dua gugatan yang masing-masing berdiri
sendiri
Yang

menjadi

penggabungan

antara

masalah

ialah

wanprestasi

jika

dan

terjadi

PMH

hal

tersebut dapat mengakibatkan gugatan dinyatakan

87
88

Yurisprudensi MA Nomor 81 K/Sip/1971 tanggal 9 Juli 1973


Yurisprudensi MA Nomor 1159 K/PDT/1983 tanggal 23 Oktober 1984

50
obsscuur libel, kecuali dalam penggabungan tersebut
jelas dirinci pemisahan antara keduanya.
Beberapa permasalahan diatas mengakibatkan
gugatan obsscuur libel dengan demikian hendaknya
tergugat mengajukan tangkisan atau eksepsi terhadap
gugatan penggugat, disertai dengan alasan-alasan yang
jelas

sesuai

dengan

hukum

acara

yang

berlaku,

dimaksudkan untuk memperjelas hal-hal yang hendak


dimintakan keadilan terhadap Majelis Hakim.
d. Obsscuur libel petitum
Petitum atau tuntutan harus jelas dan tegas. HIR
dan RBg sendiri hanya mengatur menegenai cara
mengajukan gugatan. Tuntutan atau petitum adalah
segala hal yang dimintakan atau dimohonkaan oleh
penggugat agar diputuskan oleh majelis hakim. Jadi,
petitum itu akan terjawab di dalam amar atau diktum
putusan. Oleh karenanya, petitum harus dirumuskan
secara jelas dan tegas. Apabila petitum yang tidak jelas
atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanaya
petitum tersebut. Demikian pula gugatan yang berisi
penyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama
lain disebut obsscuur libel (gugatan yang tidak jelas

51
atau gugatan kbur), yang berakibat tidak diterimanya
atau ditolaknya gugatan tersebut.89
Menurut Yurisprudensi MA Nomor 492.K/Sip/1970
tanggal

21

Gugatan

Nopember
yang

1970

tidak

menyatakan

sempurna,

bahwa,

karena

tidak

menyebutkan dengan jelas apa-apa yang dituntut, harus


dinyatakan tidak dapat diterima. 90 Dan Yurisprudensi
MA Nomor 582.K/Sip/1973 tanggal 18 Desember 1975
menyatakan bahwa, Karena petitum gugatan adalah
tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat
diterima.91

BAB III
ALASAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA SIDOARJONOMOR
O2O1/Pdt.G/2014/PA.Sby TENTANMG HARTA BERSAMA
A. Profil Pengadilan Agama Sidoarjo
Pengadilan Agama Sidoarjo merupakan

Pengadilan

Agama Tingkat Pertama Kelas 1B yang berkedudukan di


Kabupaten Sidoarjo, terletak di Jalan Hasanuddin Nomor 90

89
90
91

Ibid., 29
Yurisprudensi MA Nomor 492.K/Sip/1970 tanggal 21 Nopember 1970
Yurisprudensi MA Nomor 582.K/Sip/1973 tanggal 18 Desember 1975

52
Sidoarjo dengan nomor telepon (031) 8921012 serta Faxinail
8963153.92
1. Letak Geografis Pengadilan Agama Sidoarjo
Pengadilan Agama Sidoarjo terletak

di

Jalan

Hasanuddin Nomor 90 Kelurahan Sekardangan Kecamatan


Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur pada garis
derajat 112030 sampai dengan 112055BT dan lintang
7020 sampai dengan 7030LS, dengan ketinggian 5 meter
diatas permukaan laut, dengan luas wilayah 714,243 km2.
Sedangkan secara geografis berbatasan dengan:
a. Sebelah Barat dengan Kabupaten Mojokerto;
b. Sebelah Utara dengan Kota Surabaya dan Kabupaten
Gresik;
c. Sebelah Timur dengan Selat Madura;
d. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Pasuruan.93
2. Wewenang Pengadilan Agama Sidoarjo
Wilayah kompetensi relatif Pengadilan

Agama

SIdoarjo dalam memutus suatu hukum adalah seluas


Kabupaten SIdoarjo sebagaimana yang dimaksud dalam
48
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,
yang

berbunyi:

Pengadilan

Agama

berkedudukan

di

Ibukota Kabupaten/Kota dan daerah hukumnya meliputi


wilayah

92

Kabupaten/Kota.94

Adapun

wilayah

yuridiksi

Kusnadi, Wawancara, Sidoarjo, 1 Desember 2015.


Data diperoleh dari laporan Tahunan Pengadilan Agama Sidoarjo Tahun
2014.
94
Pasal 4 ayat (1)Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama
93

53
Pengadilan Agama Sidoarjo terdiri dari 18 Kecamatan, 350
desa atau kelurahan diantaranya:
a. Radius I
Kecamatan Sidoarjo terdiri dari 24 desa
b. Radius II
Radius II terdiri dari 17 Kecamatan yaitu:
1. Kecamatan Buduran terdiri dari 25 desa
2. Kecamatan Candi terdiri dari 24 desa
3. Kecamatan Tanggulangin terdiri dari 18 desa
4. Kecamatan Porong terdiri dari 19 desa
5. Kecamatan Tulangan terdiri dari 22 desa
6. Kecamatan Gedangan terdiri dari 15 desa
7. Kecamatan Jabon terdiri dari 14 desa
8. Kecamatan Krembung terdiri dari19 desa
9. Kecamatan Krian terdiri 22 desa
10.
Kecamatan Balong Bendo terdiri dari 20 desa
11.
Kecamatan Tarik terdiri dari 20 desa
12.
KecamatanWonoayu terdiri dari 23 desa
13.
Kecamatan Prambon terdiri dari 20 desa
14.
Kecamatan Sukodono terdiri dari 19 desa
15.
Kecamatan Taman terdiri dari 24 desa
16.
Kecamatan Waru terdiri dari 16 desa
17.
Kecamatan Sedati terdiri dari 16 desa95
Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara
sesuai dengan jenis perkara yang telah diberikan oleh
undang-undang (perkara yang terjadi antara orang-orang
yang beragama Islam dengan perkara perdata tertentu)
sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Peradilan
Agama Nomor 3 Tahun 2006. Sedangkan dalam Pasal 49
Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 3 Tahun 2006
mengemukakan secara eksplisit perkara-perkara perdata
yang

khusus

ditangani

oleh

Peradilan

Agama

yang

berbunyi sebagai berikut: Pengadilan Agama bertugas


95

Kusnadi, Wawancara, Sidoarjo, 1 Desember 2015.

54
dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang:
hibah,

wakaf,

zakat,

perkawinan, waris, wasiat,

infaq,

shadaqah,

dan

ekonomi

syariah.96
3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Sidoarjo
Struktur organisasi pada Pengadilan Agama Sidoarjo
adalah

berbentuk

garis

lurus.

Dengan

demikian

kekeuasaan dan tanggung jawab berada pada setiap


pimpinan dari yang teratas sampai yang di bawahnya.
Seperti dalam lampiran 1.
Struktur organisai Pengadilan Agama Sidoarjo tahun
2015

dibuat

untuk

memudahkan

tugas-tugas

pokok

maupun tugas-tugas bantuan. Tugas pokok dalam hal ini


melaksanakan kegiatan-kegiatan menegenai tujuan utama
dari suatu kerja, sifatnya adalah teknis operasional dan
berkaitan
bantuan

dengan
adalah

bidang

subtantif.

tugas-tugas

yang

Sedangkan
berkaitan

tugas
dengan

penunjang atau dukungan kepada pelaksanaan tugas


pokok, sifatnya adalah kenis administratif dan berkaitan
dengan bidang fasilitatif (sarana).97
B. Deskripsi Isi Putusan Pengadilan

Agama

Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda
1. Identitas Para Pihak

96
97

Pasal 49 Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama


Kusnadi, Wawancara, Sidoarjo, 1 Desember 2015.

Sidoarjo

55
Perkara ini terdaftar di Pengadilan Agama Sidoarjo
dengan

register

perkara

Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda.

adapun deskripsi perkara tersebut adalah sebagai berikut:


Pengadilan Agama Sidoarjo yang memeriksa dan
mengadili perkara Gugatan Harta Bersama dalam tingkat
pertama dalam sidang Majelis Hakim telah menjatuhkan
putusan dalam perkara antara:
NUR KHASANAH, umur 43 tahun, agama Islam, pendidikan
terakhir PGAN, pekerjaan Swasta, tempat tinggal di Mboro
RT.05 RW.02 Kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo,
selanjutnya disebut Penggugat.
MELAWAN
BAMBANG BUDI SANTOSO, umur 50 tahun, agama Islam,
pendidikan terakhir SMA, pekerjaan ---, tempat tinggal di RT.05
RW.02 Mboro Kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo,
selanjutnta disebut Tergugat.
2. Duduk Perkara atau Posita
Bahwa Penggugat dalam surat gugatannya tertanggal
20

Januari

Kepaniteraan

Januari

2014

Pengadilan

yang
Agama

telah

didaftarkan

Sidoarjo,

di

Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda, telah mengajukan hal-hal sebagai


berikut:
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah menikah secara sah
menurut agama Islam pada tanggal 07 Agustus 1991, di
hadapan Pegawai Pencatatan Nikah Kecamatan Arjasa-

56
Sumenep dengan mendapatkan Kutipan Akta Bikah Nomor
261/62/VIII/1991;
2. Bahwa setelah melangsungkan perkawinan Penggugat dan
Tergugat telah dikaruniai 4 anak yang masing-masing
bernama:
a. Alif Baiturrahman AS
(Umur 22 tahun}}}}}}})
b. Sefty AS Choirunur Islamiya
(Umur 18 tahun)
c. Firman Ilham Ilahi
(Umur 16 tahun)
d. Jihan Arsy Aryanurfadila
(Umur 5 tahun)
3. Bahwa rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat tidak
bias dibina dengan baik, sehingga pada tanggal 28
September 2013 berdasarkan putusan Pengadilan Agama
4.

Sidoarjo Nomor 0952/Pdt.G/2013/PA.Sda sudah sah cerai;


Bahwa dalam pernikahan Penggugat dan Tergugat
mendapatkan sebuah rumah di atas tanah yang ukurannya
Lebar 6 M dan Panjang 17 M, adapun batas-batas tanahnya
sebagai berikut:
Batas utara
: Tanah Haji Somat;
Batas barat
: Tanah Haji Sulis;
Batas selatan : Saudara Hadi;
Batas timur
: Saudara Jamil;
Isi rumah hasil dari pernikahan Penggugat dan Tergugat

antara lain:
2 kulkas;
3 TV;
1 mesin cuci;
3 set meja dan kursi;
5. Bahwa setelah putusan perceraian semua harta yang
didapat dari pernikahan dikuasai Tergugat;
6. Bahwa Penggugat sudah meminta secara kekeluargaan
untuk pembagian harta gono gini dengan disaksikan dari

57
Aparat

Desa

dan

pihak

Kepolisian,

Tergugat

tetap

bersikeras untuk menguasai semuanya;


7. Bahwa Penggugat memohon kepada Bapak/Ibu Hakim
untuk membagi sesuai dengan hukum yang berlaku, untuk
biaya anak-anak kedepan;
8. Bahwa Tergugat dari Tahun 2003 sampai dengan tahun
2013 tidak bekerja dan tidak memberi nafkah sepeserpun;
3. Petitum Gugatan
Saya penggugat mohon pada Hakim Ketua untuk
memberi keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku;
4. Pertimbangan dan Dasar Hukum
Menimbang, bahwa pada hari sidang telah ditetapkan
kedua belah pihak telah datang menghadap di muka sidang;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berupaya
mendamaikan

kedua

belah

pihak

untuk

melaksanakan

mediasi dengan mediator Nurul Huda, S.HI dari Pengadilan


Agama Sidoarjo, dan sesuai dengan laporan mediator tanggal
8 Juli 2014 mediasi tidak berhasil atau telah gagal mencapai
kesepakatan;
Menimbang,
mendamaikan

bahwa

kedua

Majelis

belah

Hakim

pihak

telah

berupaya

berperkara

agar

menyelesaikan perkaranya secara kekeluargaan, akan tetapi


tidak berhasil;
Menimbang, bahwa selanjutnya pada sidang-sidang
selanjutnya Tergugat tidak pernah datang menghadap, dan
menurut relaas panggilan yang disampaikan oleh Jurusita
Pengadilan Agama Sidoarjo Tergugat sudah tidak tinggal di

58
alamat tersebut (alamat yang ditunjuk dalamsurat gugatan),
bahkan Majelis Hakim memerintahkan kepada Penggugat agar
mencari alamat Tergugat yang sebenarnya, akan tetapi
Penggugat tetap memberikan alamat Tergugat sebagaimana
dalam surat gugatan;
Menimbang, bahwa

untuk

memepersingkat

uraian

putusan ini maka hal-hal yang termuat dalam berita acara


persidangan perkara ini dinyatakan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan ini;
Menimbang, bahwa maksud

dan

tujuan

gugatan

Penggugat sebagaimana tersebut diatas;


5. Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan
Penggugat dan Tergugat hadir di persidangan dan Majelis
Hakim telah berusaha mendamaikan kedua belah pihak
namun tidak berhasil;
Menimbang bahwa untuk memenuhi PERMA Nomor 1
Tahun 2008 Majelis Hakim telah memerintahkan kepada para
pihak untuk menempuh mediasi, namun berdasarkan surat
pemberitahuan

dari

Nurul

Huda,

S.HI.,

mediator

pada

Pengadilan Agama Sidoarjo tertanggal 8 Juli 2014 pokonya


menyatakan mediasi antara para pihak tidak berhasil atau
telah gagal mencapai kesepakatan;
Menimbang, bahwa untuk memenuhi Pasal 82 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 130 HIR jo. Pasal 131

59
Kompilasi Hukum Islam, selama proses persidangan Majelis
Hakim telah berusaha mendamaikan kedua belah pihak
berperkara

agar

menyelesaikan

perkaranya

kekeluargaan, akan tetapi tidak berhasil;


Menimbang, bahwa perkara ini

termasuk

secara
bidang

perkawinan yang diselesaikan berdasarkan hukum Islam,


maka berdasarkan Pasal 1 angka 37 Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 1 angka
37 pasal 49 huruf (a) dan penjelasannya angka (10), maka
perkara a quo menjadi kewenangan absolut Pengadilan
Agama;
Menimbang,

bahwa

pada

hari

sidang

kedua

dan

selanjutnya Tergugat tidak pernah datang menghadap, dan


menurut relaas panggilan yang disampaikan oleh Jurusita
Pengadilan Agama Sidoarjo, Tergugat sudah tidak tinggal di
alamat sebagaimana alamat Tergugat di dalam surat gugatan
Penggugat,

bahkan

Majelis

Hakim

telah

memerintahkan

kepada Penggugat untuk mencari alamat Tergugat, akan


tetapi

Penggugat

masih

tetap

memeberikan

alamat

sebagaimana alamat Tergugat yang ada di dalam surat


gugata.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut
di atas, maka gugatan Penggugat adalah tidak jelas (obscuur

60
libel), oleh karenanya harus dinyatakan tidak dapat diterima
(di N.O=Neit Onvankerlijke Verklaard).
Menimbang, bahwa gugatan Penggugat

termasuk

bidang perkawinan, sesuai dengan ketentuan Pasal 89 ayat


(1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50
Tahun

2009

maka

Penggugat;
Mengingat

dan

biaya

perkara

memperhatikan

dibebankan
segala

kepada

peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan hukum syara yang


berkaitan dengan perkara ini:
6. Amar Putusan
a. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
b. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya
perkara ini sebesar Rp.891.000,- (delapan ratus sembilan
puluh satu ribu rupiah);
Demikian putusan ini dijatuhkan pada hari Selasa
tanggal 22 Juli 2014 Masehi bertepatan dengan tanggal 24
Ramadhan 1435 Hijriyah dalam sidang permusyawaratan
Majelis Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo, oleh kami Mukhtar,
S.Ag sebagai Ketua Majelis, Dra. Hj. Chulailah dan H.M. Sholik
Fartchurozi, S.H, masing-masing sebagai Hakim Anggota,
putusan mana dibacakan pada hari itu juga oleh Majelis
tersebut dalam sidang terbuka untuk umum dengan dibantu

61
oleh Hj. Nurul Islah, S.H sebagai Panitera Pengganti, diluar
hadirnya Penggugat dan Tergugat.

BAB IV
ANALISIS YURIDIS TERHADAP GUGATAN OBSCUUR LIBEL
DALAM PERKARA NOMOR 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda
TENTANG HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA
SIDOARJO
A. Pertimbangan
Sidoarjo

Hukum

dalam

Hakim

Memutus

Pengadilan

Agama

Perkara

Nomor

62
0201/Pdt.G/2014/PA.Sda

Tentang

Harta

Bersama

di

Pengadilan Agama Sidoarjo


Harta beda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama mulai dari ijab Kabul sampai dengan putusnya
perkawinan (baik karena kematian atau karena perceraian). 98
Bila terjadi sengketa dalam harta bersama Pasal 37 UndangUndang

Nomor

Tahub

1974

tentang

Perkawinan

menyatakan: Bila perkawinan putus karena perceraian, harta


bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Lebih
jauh dalam penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1
Tahun

1974

tentang

Perkawinan

disebut

bahwa:

Yang

dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum


agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Bagi umat
Islam Indonesia , bila terjadi sengketa mengenai harta
bersama merujuk kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dan apabila terjadi perceraian maka masing-masing
suami istri berhak atas seperdua dari harta bersama tersebut,
baik cerai mati maupun cerai hidup.
Dalam memutus setiap perkara di dalam persidangan,
Hakim tidak serta merta memutus
suatu perkara dengan
58
sekehendak hatinya sendiri. Melainkan Hakim mempunyai
pertimbangan-pertimbangan

dan

landasan

hukum

untuk

memutus suatu perkara tersebut. Ia melakukan aktifitas atau


98

Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,


(Jakarta: Gema Insan, 2003), 56

63
kegiatan yuridis sendiri dan tidak melakukan silogisme belaka.
Ia ikut serta dalam pembentukan hukum.
Dalam
perkara
harta
bersama

Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sby Hakim memutus perkara tersebut


tidak dapat diterima atau Niet Ontvankelijke Verklarrd dengan
alasan gugatan yang diajukan oleh Penggugat obscuur libel
dan Hakim mempunyai alasan serta beberapa pertimbangan
hukum dalam memutus perkara tersebut obscuur libel.
Yang dimaksud dengan obsscuur libel adalah surat
gugatan tidak terang isinya atau isinya gelap (onduidlijk). Bisa
disebut juga dengan formulasi gugatan tidak jelas, padahal
agar gugatan itu dianggap sudah memenuhi syarat formil,
maka dalil gugatan harus terang dan jelas atau tegas
(duidelijk). Gugatan kabur ini dikarenakan oleh:99
a. Posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar
hukum dan kejadian yang mendasari gugatan
b. Tidak jelas objek yang disengketakan
c. Penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masingmasing berdiri sendiri
d. Terdapat saling bertentangan antara posita dengan petitum
e. Petitum tidak terinci, tetapi hanya berupa ex aequo et
bono.
Sidang permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan
Agama Sidoarjo yang memeriksa dan mengadili perkara
perdata pada tingkat pertama, pada hari Selasa tanggal 22
Juli 2014 M bertapatan dengan tanggal 24 Ramadhan 1435 H
99

M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan.., 18.

64
telah menjatuhkan putusan dalam perkara harta bersama
yang diajukan oleh Nur Khasanah, umur 43 tahun, agama
Islam, pendidikan terakhir PGAN, pekerjan Swasta, tempat
tinggal

di Mboro

RT.05

RW.02

Kecamatan Tanggulangin

Kabupaten Sidoarjo melawan Bambang Budi Santoso, umur 50


tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan ---,
tempat

tinggal

di

RT.05

RW.02

Mboro

Kecamatan

Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo dengan register perkara


Nomor: 0201/Pdt.G/2914/PA.Sda.
Majelis Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara
ini mempunyai pertimbangan hukum, yang pertama adalah
memepertimbangkan bahwa perkara a quo termasuk bidang
perkawinan dan menjadi wewenang secara absolut Pengadilan
Agama Sidoarjo, sebagaimana berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 1 angka 37 Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 1 angka 37, Pasal 49 huruf
(a) dan penjelasannya angka (10), yang mana Pasal tersebut
berbunyi:
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara di tingkatpertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf;
f. Zakat;

65
g. Infaq;
h. Shadaqh; dan
i. Ekonomi syariah.
Dari hasil wawancara kepada Ketua Majelis Hakim,
pertimbangan hukum yang selanjutnya adalah ketika sidang
pemeriksaan perkara harta bersama ini dimulai pada hari
Selasa tanggal 8 Juli 2014 dengan agenda pemeriksan
identitas para pihak. Dalam persidangan pertama tersebut
pihak Tergugat dan Penggugat hadir, Majelis Hakim telah
berusaha

mendamaikan

kedua

belah

pihak

agar

menyelesaikan perkaranya secara kekeluargaan akan tetapi


tidak berhasil. 100
Usaha mendamaikan kedua belah pihak ini mengacu
pada Pasal 82 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 jo Pasal 130 HIR jo Pasal 131 Kompilasi
Hukum Islam, Jika pada hari sidang yang ditentukan itu,
kedua belah pihak datang, maka Pengadilan Negeri dengan
pertolongan Ketua mencoba akan mendamaikan mereka.
Yang dimaksud Pengadilan disini bukan hanya Pengadilan
Negeri tetapi juga Pengadilan Agama.
Karena usaha yang dilakukan oleh Majelis Hakim untuk
mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil dan guna
100

Mukhtar, Wawancara, Sidoarjo, 04 Desember 2015

66
memenuhi PERMA Nomor 1 Tahun 2008 maka Majelis Hakim
menunda sidang dan memerintahkan kedua belah pihak untuk
melakukan mediasi. Ketua Majelis Hakim memerintahkan dan
memanggil para pihak untuk menghadiri sidang selanjutnya
pada hari Selasa tanggal 22 Juli 2014. Pemanggilan tersebut
dilakukan secara lisan di depan persidangan dan bersifat
sah.101
Kemudian di hari yang sama Majelis Hakim telah
memerintahkan

kedua

belah

pihak

untuk

melakukanan

mediasi dengan mediator Nurul Huda, S.HI dari Pengadilan


Agama Sidoarjo akan tetapi sesuai dengan laporan mediator
tanggal 8 Juli 2014 mediasi tidak behasil atau telah gagal
mencapai kesepakatan.102
Pada hari persidangan kedua pihak Penggugat hadir
namun pihak Tergugat tidak hadir, oleh karena itu Majelis
Hakim menunda persidangan sampai pada hari Selasa tanggal
5 Agustus 2014 dan memerintahkan jurusita Pengadilan
Agama Sidoarjo memanggil secara sah, resmi dan patut
kepada

pihak

Tergugat

dengan

menggunakan

relaas

panggilan ke alamat sebagaimana yang tercantum dalam


surat gugatan.103
Pada persidangan selanjutnya pihak Penggugat hadir
namun pihak Tergugat tidak hadir lagi, disini Majelis Hakim
101
102
103

Ibid.
Ibid.
Ibid.

67
memerintahkan kepada Penggugat untuk mencari alamat
Tergugat karena menurut relaas panggilan yang disampaikan
oleh jurusita Pengadilan Agama Sidoarjo menyatakan bahwa
Tergugat sudah tidak lagi tinggal di alamat sebagaimana
alamat Tergugat dalam surat gugatan. Akan tetapi Penggugat
masih

tetap

memeberikan

alamat

sebagaimana

alamat

Tergugat yang ada dalam surat gugatan.104


Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka gugatan
penggugat dianggap tidak jelas atau obscuur libel, oleh
karenanya Majelis Hakim memutus perkara tersebut tidak
dapat diterima atau Niet Ontvankelijke Verklarrd.
Karena gugatan Penggugat termasuk bidang perkawinan
maka biaya perkara dibebankan kepada Penggugat. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan yang
kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, yang
berbunyi:
B.

Biaya

perkara

dalam

bidang

perkawinan

dibebankan kepada penggugat atau pemohon.


Analisis Yuridis Terhadap Kesesuaian Pertimbangan
Hukum

yang

Digunakan

Hakim

Pengadilan

Agama

Sidoarjo dalam Memutus Obscuur Libel Perkara Nomor


0201/Pdt.G/2014/PA.Sda
Peradilan Agama
104

Ibid.

dengan

Hukum

Acara

68
Berdasarkan hasil wawancara mengenai pertimbangan
hukum yang digunakan Hakim untuk memutus perkara harta
bersama tersebut maka dapat dianalisis yang pertama bahwa
terdapat kejanggalan terkait dengan relaas panggilan yang
disampaikan jurusita terhadap Tergugat. Pada panggilan
sidang yang pertama relaas yang disampaikan oleh jurusita
telah sampai kepada Tergugat sehingga Tergugat dapat hadir
pada persidangan pertama, hal ini dapat diambil kesimpulan
bahwa pada awalnya Tergugat beralamatkan sebagaimana
yang ada pada surat gugatan. Sedangkan ketika jurusita
menyampaikan

relaas

panggilan

yang

kedua

jurusita

menyatakan bahwa tergugat tidak lagi bertempat tinggal


sebagaimana alamat yang ada di dalam surat gugatan.
Disini penulis berpendapat bahwa pertimbangan yang
digunakan Majelis Hakim dalam memutus perkara tersebut
tidak tepat karena pada relaas panggilan pertama Tergugat
menerima

relaas

tersebut

dan

dengan

demikian

dapat

disimpulkan bahwa alamat Tergugat yang dicantumkan dalam


surat gugatan adalah benar dan tidak kabur atau obscuur
libel. Untuk panggilan yang kedua relaas panggilan tidak
sampai kepada Tergugat dikarenakan Tergugat sudah tidak
lagi tinggal di alamat sebagaimana yang ada di dalam surat
gugatan dan ketika Penggugat diperintahkan oleh Majelis

69
Hakim untuk mencari alamat Tergugat namun Penggugat
masih memeberikan alamat yang sama sebagaimana yang
ada di dalam surat gugatan, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa keberadaan Tergugat tidak diketahui.
Dalam menyampaikan relaas panggilan kepada para
pihak

yang

ketentuan

berperkara,

Hukum

jurusita

Acara

Perdata.

diharuskan
Adapun

mematuhi
tata

cara

pemanggilan pihak yang berperkara telah diatur di dalam HIR


dan RBg, yang berbunyi sebagai berikut:
1. Pemanggilan pihak-pihak yang berperkara dilakukan oleh
jurusita atau jurusita pengganti dengan menyerahkan surat
panggilan.
2. Pada waktu memanggil tergugat harus harus diserahkan
juga kepadanya sehelai salinan surat gugatan, dengan
memberitahukan kepadanya , kalau ia boleh menjawabnya
secara tertulis. (Pasal 121 ayat (2) HIR/ Pasal 145 ayat (2)
RBg).
3. Surat panggilan harus disampaikan pada orang yang
bersangkutan sendiri di tempat diamnya atau di tempat
tinggalnya dan jika tidak bertemu surat panggilan harus
dismpaikan kepada kepala desanya atau lurah, yang
wajibkan dengan segera memberitahukan surat panggilan
itu kepada orang yang bersangkutan. (Pasal 390 ayat (1)
HIR/ Pasal 71 ayat (1) RBg).

70
4. Jika tergugat sudah meninggal dunia, maka surat panggilan
disampaikan kepada ahli warisnya dan jika ahli warisnya
tidak diketahui maka surat panggilan disampaikan kepada
kepala desa di tempat tinggal yang terakhir tergugat
meninggal dunia. (Pasal 390 ayat (2) HIR/ Pasal 718 ayat
(2) RBg).
5. Jika tidak diketahui tempat kediaman dan tempat tinggal
tergugat, maka surat panggilan disampaikan kepada Bupati
yang wilayahnya terletak tempat tinggal penggugat dan
selanjutnya menempelkannya pada papan pengumuman di
Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Agama (Pasal 390
ayat (3) HIR/ Pasal 718 ayat (3) RBg).
6. Jarak antara hari pemanggilan dan persidangan harus
memenuhi

tenggang

waktu

tertentu

yakni

sekurang-

kurangnya 3 hari kerja (tidak termasuk hari libur di


dalamnya). (Pasal 122 HIR, 146 RBg).
Dalam hal ini seharusnya Majelis Hakim memerintahkan
kepada jurusita untuk menyampaikan surat panggilan kepada
Bupati

dan

selanjutnya

menempelkannya

di

papan

pengumuman Pengadilan Agama, hal ini sesuai dengan Pasal


390 HIR. Dengan disampaikannya relaas panggilan kepada
Bupati dan ditempelkannya panggilan di papan Pengadilan
Agama diharapkan Tergugat dapat mengetahui dan dapat
menghadiri sidang. dengan demikian hak perdata yang

71
dimiliki oleh Penggugat dapat diperoleh dan tidak terbatasi
dengan tidak diketahuinya alamat Tergugat.
Sehingga menurut hemat penulis pendapat Majelis
Hakim yang menyatakan gugatan obscuur libel dikarenakan
alamat Tergugat kabur sehingga meneyebabkan putusan yang
menayatakan

gugatan

tidak

dapat

diterima

atau

Niet

Ontvankelijke Verklarrd (NO) adalah tidak dapat dibenarkan


dan

seharusnya

perkara

tersebut

dilanjutkan

pada

persidangan selanjutnya dengan menggunakan acara biasa.


Jika pada sidang pertama Tergugat hadir tetapi pada
sidang-sidang selanjutnya Tergugat tidak hadir lagi bahkan
pada waktu pengucapan putusan Tergugat tersebut tidak
hadir maka perkaranya tidak bisa lagi digugurkan. Jadi
berjalanlah acara biasa, hanya saja tanpa bantuan Tergugat.
Putusan tanpa kehadiran atau bantuan Tergugat ini disebut
putusan contradictoir atau op tegenspraak.105
Agar gugatan tidak mengandung cacat formil, haruslah
mencantumkan

petitum

gugatan

berisi

pokok

tuntutan

penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu


persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang
menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan
dan dibebankan kepada tergugat.106
Dalam Pasal 8 Nomor 3 B.Rv, disebutkan bahwa petitum
adalah apa yang dimintakan atau yang diharapkan oleh
105
106

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara, 107


Sophar Maru Hutangalung, Praktik Peradilan, 23.

72
penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan.
Tuntutan ini akan terjawab dalam amar putusan. 107 Petitum
didasrkan pertimbangan hukum dan hal-hal yang telah
diuraikan dalam posita. Oleh karena itu, penggugat harus
merumuskan petitum dengan jelas dan tegas. Didalam
membuat

petitum

harus

memperhartikan

hal

sebagai

berikut:108
1) Antara posita dan petitum harus singkron.
2) Antara petitum sengan bagian petitum lainnya tidak boleh
saling bertentangan atau kontradiktif dengan posita.
3) Orang yang ditetapkan dalam petitum harus sebagai pihak
dalam perkara.
4) Petitum tidak membingungkan hakim, harus jelas dan
tegas.
5) Petitum tidak boleh berisi perintah untuk tidak berbuat.
6) Petitum harus runtut dan disusun sesuai dengan poin-poin
posita serta diberi nomor urut.
Petitum ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian
pokok, yaitu:
1) Petitum primer
dengan

pokok

(pokok)
perkara.

yang

langsung

Merupakan

berhubungan

tuntutan

yang

sebenarnya diminta penggugat dan Hakim tidak boleh


mengabulkan lebih dari apa yang diminta (dituntut).
2) Petitum tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada
hubungannya dengan pokok perkara. Merupakan tuntutan
pelengkap

107
108

daripada

tuntutan

pokok

Abdul Manan, Penerapan Hukum, 32.


Sophar Maru Hutangalung, Praktik Peradilan, 24-26.

seperti

dalam

73
perceraian berupa tuntutan pembayaran nafkah anak,
mutah, nafkah iddah dan pembagian harta bersama.
3) Tuntutan subsidair atau pengganti biasanya berisi katakata, apabila Majelis Hakim perkara pendapat lain, mohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Jadi,
maksud dan tujuan tuntutan subsidair adalah apabila
tuntutan

primer

ditolak

masih

ada

kemungkinan

dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas kebebasan


atau kebijaksanaan hakim berdasarkan keadilan.
Menurut yurisprudensi MA Nomor 492.K/Sip/1970
tanggal 21 Nopember 1970 menyatakan bahwa, Gugatan
yang tidak sempurna, karena tidak menyebutkan dengan jelas
apa-apa

yang

diterima.

Dan

dituntut,

harus

Yurisprudensi

dinyatakan

MA

Nomor

tidak

dapat

582.K/Sip/1973

tanggal 18 Desember 1975 menyatakan bahwa, Karena


petitum gugatan adalah tidak jelas, gugatan harus dinyatakan
tidak dapat diterima.
Namun jika dilihat lebih cermat dalam surat gugatan
perkara

harta

bersama

Nomor

0201/Pdt.g/2014/PA.Sda

petitum atau tuntutan hanya berbunyi: Saya penggugat


mohon pada Hakim Ketua untuk memberi keadilan sesuai
dengan

hukum

disimpulkan

yang

bahwa

berlaku.

Penggugat

Dalam

hanya

hal

ini

meminta

dapat

`kepada

Majelis Hakim berupa tuntuan ex aequo et bono tanpa

74
menjelaskan

secara

rinci

petitum,

hal

ini

dapat

meneyebabkan cacat formil dalam gugatan dan gugatan yang


diajukan oleh Penggugat menjadi obscuur libel.
Dan ketika melihat posita dalam surat gugatan angka
(4) maka dapat diketahui bahwa Penggugat menjelaskan
bahwa

dalam

pernikahan

Penggugat

dan

Tergugat

mendapatkan sebuat rumah di atas tanah yang ukurannya 6


m dan panjang 17 m yang berbatasan sebelah utara dengan
tanah Haji Somat, batas sebelah barat tanah Haji Sulis, batas
sebelah selatan Saudara Hadi, batas sebelah timur Saudara
Jamil. Dan isi rumah ahsil pernikahan Penggugat dan Tergugat
antara lain 2 kulkas, 3 TV, 1 mesin cuci, 3 set meja dan kursi.
Jika dilihat pengertiannya yang dimaksud objek
sengketa dalam harta bersama ialah harta yang diperoleh
masing-masing suami istri dalam masa perkawinan melalui
usaha mereka berdua atau dari usaha salah satu dari mereka,
baik benda bergerak ataupun tidak bergerak.
Salah satu syarat formil dalam merumuskan surat
gugatan adalah menerangkan objek sengeta secara jelas dan
pasti, jika objek gugatan tidak dijelaskan dengan jelas dan
pasti, maka gugatan dapat dinyatakan obscuur libel. Hal
tersebut

mengacu

pada

yurisprudensi

MA

Nomor

556/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1974 yang menyatakan

75
bahwa: Jika objek gugatan tidak jelas, maka gugtan tidak
dapat diterima.
Sesuai dengan yurisprudensi MA Nomor 81 K/Sip/1971
tanggal 9 Juli 1973 yang menyatakan bahwa, Karena tanah
yang dikuasai Tergugat ternyata tidak sama batas-batas dan
luasnya dengan yang tercantum dalam gugatan, maka
gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Maka tidak
jelasnya objek gugatan dapat terjadi seperti jika ukuran objek
gugatan yang tercantum dalam gugatan tidak sama dengan
yang sebenarnya dikuasai oleh tergugat maka gugatan
tersebut dapat dikatan obscuur libel.
Selain itu objek gugatan yang tidak menerangkan batasbatas objek yang disengketakan, tidak disebutkan dengan
jelas di mana letak objek perkara, tidak menjelaskan ukuran
objek perkara, ukuran objek perkara berbeda dengan hasil
pemeriksaan langsung dan lain-lain. Ketentuan tersebut
berdasarkan

yurisprudensi

MA

Nomor

1149

K/Sip/1979

tanggal 17 April 1979 yang menyatakan bahwa: Karena


dalam surat gugatan tidak disebutkan jelas letak atau batasbatas tanah sengketanya, gugatan tidak dapat diterima. Dan
Yurisprudensi MA Nomor 1159 K/PDT/1983 tanggal 23 Oktober
1984

yang

menyatakan

bahwa,

Gugatan

yang

tidak

menyebutkan batas-batas objek sengketa dinyatakan obscuur


libel dan gugatan tidak dapat diterima.

76
Jika dilihat ketentuan dari beberapa yurisprudensi diatas
maka

dapat

disimpulkan

bahwa

objek

sengketa

yang

sebutkan oleh Penggugat dalam posita angka (4) adalah tidak


jelas atau kabur karena tidak disebutkannya letak atau alamat
objek sengketa secara terperinci. Selain itu batas-batas objek
sengketa selatan dan timur adalah nama orang yang tidak
dapat dijadikan sebagai batas objek sengketa.
Apabila objek gugatan adalah benda bergerak, maka
haruslah

jelas

dan

lengkap

disebutkan

apapun

jenis

barangnya. Hal ini dapat menghindari kesalahan menegenai


objek perkara sebagai dimaksud dalam gugatan. 109 Dalam
menyebutkan objek sengketa benda bergerak seperti kulkas,
TV, mesin cuci sebaiknya menyebutkan pula secara terperinci
ciri-ciri benda tersebut seperti merek atau ukurannya. Hal ini
dikarenakan jika dalam pelaksanaan putusan Hakim berupa
eksekusi yang dilakukan oleh jurusita diharapkan tepat dan
tidak terjadi kesalahan objek.
Dalam hal ini Majelis Hakim tidak mempertimbangkan
tentang petitum atau tuntutan Pemohon dalam surat gugatan.
Seharusnya

Majelis

Hakim

mencantumkan

pertimbangan

hukum terkait dengan petitum atau tuntutan yang hanya


berupa tuntutan ex aequo et bono dan juga tentang kabnrnya
objek sengketa yang tidak menyebutkan letak objek sengketa
109

Ibid, 50.

77
dan salah dalam menyebutkan batas-batas objek sengketa.
Sehingga menjadikan pula petitum dan objek sengketa yang
tidak jelas atau kabur sebagai pertimbangan hukum untuk
menjadikan landasar yang menyaatkan gugatan Penggugat
obscuur libel dan meneyebabkan putusan yang menayatakan
gugatan

tidak

dapat

diterima

atau

Niet

Ontvankelijke

Verklarrd (NO).

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis uraikan
di atas dan sejalan dengan rumusan yang ada, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pertimbangan hukum yang digunakan Majelis Hakim dalam
memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang
harta

bersama

di

Pengadilan

Agama

Sidoarjo

yang

menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima atau


Niet Ontvankelijke Verkaard dikarenakan Majelis Hakim
menilai bahwa gugatan yang diajukan oleh Penggugat
obscuur libel. Peneyebab obscuur libel dalam gugatan
Penggugat adalah dalam mencantumkan alamat Tergugat
tidak jelas atau kabur.

78
2. Berdasarkan analisis terhadap kesesuaian pertimbangan
hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus
perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA>Sda tentang harta
bersama di Pengadilan Agama Sidoarjo dengan Hukum
Acara Peradilan Agama adalah mengenai alamat Tergugat
yang dinilai Majelis Hakim kabur atau tidak jelas (obscuur
libeli). Padahal didapati relaas panggilan yang pertama
telah sampai ke Tergugat dan pada persidangan pertama
Tergugat hadir dalam persidangan. Namun pada panggilan
selanjutnya

yang

disampaikan

oleh

jurusita,

relaas

panggilan tidak sampai 72kepada Tergugat dikarenakan


Tergugat sudah tidak ada di alamat sebagaimana yang
tercantum dalam surat gugatan. Hal ini yang memnjadi
pertimbangan Hakim dalam memutus gugatan Penggugat
tidak dapat diterima atau Niet Ontvankelijike Verklaard.
Padahal jika dilihat dalam Pasal 390 dikatakan bahwa jika
Penggugat tidak diketahui alamat keberadaannya maka
jurusita harus menyampaikan panggilan ke Bupati dan
mengumumkan

di

papan

penggumuman

Pengadilan

Agama dan kemudian persidangan tersebut dilanjutkan


dengan pemeriksaan acara biasa. Namun jika melihat
petitum dan objek gugatan yang mana petitum hanya
berisi tuntutan ax aequo et bono atau hanya meminta

79
keadilan yang seadil-adilnya dan objek sengketa yang
terdapat pada posita angka (4) yang tidak menyebutkan
secara rinci letak atau alamat objek sengketa dan salah
dalam menyebutkan batas-batas dari objek sengketa,
sehingga menjadikan gugatan Penggugat obscuur libel.
Seharusnya dalam memutus gugatan Penggugat tidak
dapat diterima Hakim menggunakan pertimbangan hukum
petitun dan objek sengketa yang kabur atau obscuur libel,
bukan karena alamat Tergugat.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis kemukakan
beberapa saran yang relevan dengan permasalahan ini:
1. Diharapkan Majelis Hakim Pengadilan Agama

lebih

mengkaji isi gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Dan


dalam hal pertimbangan hukum yang digunakan dalam
menyatakan alamat Tergugat kabur atau obscuur libel
karena Tergugat tidak berada di alamat sebagaimana
alamat

yang

diharapkan
memanggil

tercantum

Hakim

dalam

menerapan

Tergugat,

agar

surat
Pasal

tidak

gugatan
390

HIR

menghalangi

maka
dalam
hak

keperdataan Penggugat untuk menuntut hak-haknya,


2. Bagi Peradilan harus memenuhi harapan dari pencari
keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang cepat,
tepat, adil, dan biaya ringan. Sehingga dalam menerapkan

80
hukum kirannya dapat dipertimbangkan lebih dalam lagi
sehingga menciptakan suatu keadilan.

Anda mungkin juga menyukai