Sifat yang khusus dari hak pertuanan atau persekutuan terletak pada
daya timbal-balik daripada hak itu terhadap hak-hak yang melekat pada
orang perorangan atau individu. Semakin kuat hubungan individu dengan
tanah, makin memperdalam hubungannya dengan hukum perseorangan
(terhadap tanah itu), dan makin kecillah hak yang dimiliki masyarakat
terhadap sebidang tanah itu.
Apabila anggota persekutuan melewati batas penggunaannya itu,
misalnya
melakukan
penggarapan
tanah
untuk
kepentingan
perdagangan (trading) dalam artian untuk memperkaya diri sendiri, maka
mereka akan diperlukan seberapa jauh sebagai orang-orang dari luar
persekutuan, yang selanjutnya hak-hak persekutuan yang bersifat ke luar
akan diberlakukan terhadap mereka. Sekali laai di sini dapat terlihat bahwa
sifat tanah itu benar-benar adalah bersifat sosial adanya.
Selanjutnya, anggota persekutuan masyarakat itu juga memiliki hak
untuk membuka tanah (ontginningsrecht), yaitu adanya penyelenggaraan
suatu hubungan sendiri terhadap sebidang tanah sebagai bagian dari
lingkungan hak pertuanan. Hak membuka tanah itu menurut hukum adat
adalah hanya salah satu daripada fanda munculnya nak persekutuan
atau beschikingsrecht dan hanya ada pada anggota-anggota masyarakat
atau tanah-tanah di lingkungan hak pertuanan itu sendiri.
Para pernimpin masyarakat adat juga memiliki hak untuk mencabut
kembali hak pakai atas tanah karena alasan-alasan tertentu. Misalnya,
apabila lahan lama telah lama ditinggalkan, atau si penggarap telah
meninggal dunia tanpa mempunyai ahli waris, atau karena suatu perjanjian
tertentu masyarakat hukum adat, atau karena si perjanjian telah
berkelakuan kurang baik terhadap persekutuan hukum.
Hak persekutuan atau pertuanan juga dapat berlaku ke luar. Dalam hal .
hak persekutuan atau beschikkingsrecht berlaku ke luar, orang-orang di luar
persekutuan, misalnya orang-orang dari persekutuan tetangga, hanya boleh
memungut hasil dari tanah tersebut, dan atau sudah membayar dana
pengakuan di muka serta dana ganti rugi di kemudian hari. Hak sedemikian
ini hanya dapat dimiliki oleh orang tersebut dalam tempo yang terbatas,
biasanya dalam praktik yaitu satu kali panen saja, dengan kemungkinan
untuk dilanjutkan lagi. Orang luar tersebut tidak akan pernah memiliki hak
untuk memiliki tanah tersebut, bahkan hak-hak mereka dapat saja dibatasi
oleh persekutuan dalani hal membuat perjanjian-perjanjian yang
berhubungan dengan tanah.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3. Milik Yayasan
Milik yayasan adalah tanah-tanah usaha bekas tanah partikelir yang
diberikan kepada penduduk yang mempunyainya dengan hak milik (hak
yasan = hak milik adat). Lihat ketentuan Pasal 5 UU No.1 Tahun 1958
tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir.
4. Hak atas Druwe
Hak atas druwe adalah istilah hak milik yang dikenal di lingkungan
masyarakat hukum adat di Bali.
5. Hak atas Druwe Desa
Hak atas druwe desa adalah bila masyarakat mernbeli tanah untuk
dipakai buat kepentingan-kepentingannya sendiri, maka di sini dapat disebut
"hak miliknya" dusun atau wilayah. Dikenal dalam masyarakat Bali dengan
istilah hak atas druwe desa.
6. Pesini
Pesini ialah harta kerabat tak terbagi-bagi yang di Minahasa disehat
dengan barang kalakeran. Mengenai keadaan tetap tak terbagi-baginya
barang yang diperoleh atas usaha perseorangan, yaitu barang pesini,
misalnya tanaman-tanaman di atas tanah kalakeran, maka bila pemiliknya
itu mati lantas diwarisi sebagai harta bersama dari golongan anak-cucunya
orang yang meninggal dunia itu. Jadi, golongan anak cucunya merupakan
sebagian kecil dari kerabat seluruhnya yang memiliki harta kalakeran.
7. Grant Sultan
Grant Sultan adalah semacam hak milik adat, diberikan oleh Pemerintah
Swapraja, khusus bagi kawula Swapraja, dan didaftar di Kantor Pejabat
Swapraja.
8. Landerijenbezitrecht
Tanah-tanah landerijenbezitrecht oleh Gouw Giok Siong disebut tanah-tanah Tionghoa, karena subjeknya terbatas pada golongan Timur Asing,
terutama golongan Cina.
9. Altidjddurende Erfpacht
Altidjddurende Erfpacht adalah pemilikan tanah persil yang berada di
bawah sewa turun-temurun untuk selama-lamanya. (S.1915 No. 207, Pasal
1 ayat (1), Dalam Terjemahan BeberapaStaatsblad dan Bijblad tentang
Pengaturan Tanah Partikelir, Jakarta, 5 Juli 1988, hlm. 4). Golongan Timur
Asing di sekitar Jakarta banyak yang mempunyai tanah di atas apa yang
disebut "tanah partikelir" dengan "hak usaha", seperti orang-orang pribumi.
10. Hak Usaha atas Tanah Bekas Partikelir
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
Tanah wakaf terlembagakan untuk selama-lamanya dalam waktu yang kekal dan abadi.
Tidak ada wakaf yang bertentangan waktu tertentu.
4.
tujuan peruntukan sebagai kepentingan peribadatan atau kepentingan umum.
5.
Wakaf memutuskan hubungan kepemilikan antara wakif dengan mauqufbih-nya
selanjutnya status pemiliknya menjadi milik masyarakat luas.
6.
Wakif tidak mbiasa menarik kembali terhadap tanah yang telah diwakafkan.
7. Ikrar harus dilakukan didepan pejabat pembuat akta ikrar wakaf, guna
mendapatkan akta autentik yang akan dapat dipergunakan dalam
berbagai hal seperti untuk mendaftarkan tanahnya kepada kepala
kantor badan pertanahan Nasional ataupun sengketa yang terjadi
dikemudian hari.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Hak Ulayat adalah pengakuan bersama oleh seluruh anggota masyarakat dan didalamnya juga
terkandung hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai tanah
di lingkungan hak ulayat tersebut. Sementara menurut Budi Harsono hak ulayat adalah hak dari
suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya, yang memberi wewenangwewenang tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah
wilayah masyarakat hukum tersebut.
C. Van Vollenhoven menyebutkan enam ciri hak ulayat, yaitu persekutuan dan para anggotanya
berhak untuk memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala sesuatu yang ada di dalam
tanah dan tumbuh dan hidup di atas tanah ulayat ini. Adapun keenam ciri-ciri hak ulayat adalah
sebagai berikut:
1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.
2. Pimpinan persekutuan dapat menentukan untuk menyatakan dan menggunakan bidangbidang tanah tertentu ditetapkan untuk kepentingan umum dan terhadap tanah ini tidak
diperkenankan diletakkan hak perseorangan.
3. Orang asing yang mau menarik hasil tanah-tanah ulayat ini haruslah terlebih dulu meminta
izin dari kepada persekutuan dan harus membayar uang pengakuan, setelah panen harus
membaar uang sewa.
4. Persekutuan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di atas lingkungan ulayat.
5. Larangan mengasingkan tanah yang termasuk tanah ulayat, artinya baik persekutuan
maupun para anggotanya tidak diperkenankan memutuskan secara mutlak sebidang tanah
ulayat sehingga persekutuan hilang sama sekali wewenangnya atas tanah tersebut.
B. Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu
kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat
hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok
tersebut sepanjang masa.
Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama
dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh
kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan,
tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan
lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.
Apabila dipandang dari sudut bentuk masyarakat hukum adat, maka lingkungan tanah mungkin
dikuasai oleh suatu masyarakat hukum adat atau beberapa masyarakat. Oleh karena itu
biasanyanya lingkungan tanah adat dibedakan antara :
1. Lingkungan tanah sendiri, yaitu lingkungan tanah yang dimiliki oleh satu masyarakat hukum
adat. Misalnya masyarakat adat tunggal desa di Jawa.
2. Lingkungan tanah bersama, yaitu yaitu lingkungan tanah adat yang dikuasai oleh beberapa
masyarakat hukum adat yang setingkat. Dengan alternatif sebagai berikut :
a. Beberapa masyarakat hukum adat tunggal. Misalnya beberapa belah di Gayo.
b. Beberapa masyarakat hukum adat atasan. Misalnya, luhat di Padanglawas.
c. Beberapa masyarakat adat bawahan. Misalnya, huta-huta di Angkola.
C. Hubungan Hak Ulayat Dengan Hak Perorangan
Di berbagai bagian Hindia-Belanda terdapat lingkungan-lingkungan hak purba yang satu sama
lain dipisahkan oleh wilayah-wilayah tak bertuan yang luas. Di bagian-bagian lain terdapat
wilayah-wilayah yang disitu hampir tak ada sebidang tanah pun yang termasuk dalam hak
purba. Hak purba itu di tempat yang satu masih kuat, sedang di tempat lain sudah lemah. Dan
gejala yang bersifat umum adalah semakin maju dan bebas penduduk dalam usaha-usaha
pertaniannya, semakin lemahlah hak ulayat itu dengan sendirinya. Akhirnya jika hak ulayat
sudah lemah, maka dengan sendirinya hak perorangan akan berkembang dengan pesatnya
(semakin menguat).
Menurut Ter Haar hubungan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan persekutuan
adalah timbal balik dan memiliki kekuatan yang sama. Artinya, hak perseorangan
mempertahankan diri terhadap hak persekutuan adalah sama kuatnya dengan hak persekutuan
mempertahankan diri terhadap hak perseorangan. Fakta tersebut dapat dirumuskan demikian:
hak ulayat dan hak perorangan itu bersangkut-paut dalam hubungan kempis-mengembang,
desak-mendesak, batas-membatasi, mulur-mungkret tiada henti. Ketika hak ulayat menguat
maka hak perorangan melemah, demikian pula sebaliknya ketika hak perorangan menguat hak
ulayat melemah.Di Tapanuli Selatan ada kemungkinan tanah perorangan itu dicabut haknya,
hal ini dapat terjadi apabila yang mengolahnya adalah orang lain dan mereka sendiri pergi
meninggalkan lingkungan ulayatnya. Oleh karena itu, tanah mereka akan dibagikan kepada
orang-orang miskin denga hak pakai. Tanah yang demikian tersebut disebut salipi na tartat.
Selanjutnya hak ulayat juga juga berlaku terhadap orang-orang luar, yaitu orang-orang yang
bukan anggota persekutuan. Apabila orang-orang di luar hendak memasuki persekutuan
mereka harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari kepala persekutuan dan sebelum
permohonan mereka dikabulkan terlebih dahulu harus memberi sesuatu kepada persekutuan;
misalnya di Aceh, orang di luar persekutuan yang hendak memasuki persekutuan harus
membayar uang pemasukan, di Jawa disebut mesi.
Hal lain yang dapat dicontohkan untuk menjelaskan hubungan antara hak peroranga dengan
hak ulayat adalah sebagai berikut: Hak rakyat tani di jawa atas tanahnya mengalami
perkembangan melalui taraf-taraf yang menggambarkan makin menipisnya hak purba
persekutuan hukum, sejalan dengan makin menebalnya hak perorangan.
1) Sistem Bluburan; Milik Komunal dengan pembagian periodik
Tanah kuliah pertanian dibagi dalam beberapa bidang dengan pematang-pematang (galengan)
sebagai batas pemisahnya. Setiap bidang dikerjakan oleh seorang petani. Sesudah panen,
galengan-galengan itu dihapus (diblubur). Menjelang masa menggarap, diadakan
pembidangan kembali yang berbeda dengan pembagian semula. Dan pada masa tanam yang
berikut ini masing-masing petani mendapat bidang tanah yang lain, sehingga hubungannya
dengan tanah garapanya tidak tetap, tidak kontinu.
2) Matok Galeng, gilir wong
Tanah kulian pertanian dibagi dalam beberapa bidang yang tetap, tidak diblubur setiap habis
panen. Tetapi bagian masing-masing petani itu gilir-berganti setiap masa tanam. Masingmasing petai tidak/belum mau memperbaiki tanah garapannya, karena ia tahu bahwa masa
tanam berikutnya ia akan mendapat bidang tanah yang lain.
3) Matok galeng, matok wong
Disamping petani yang mendapat bagian yang berganti-ganti ada juga yang mendapat bagian
tetap. Tetapi tanah itu hanya dikuasainya hanya seumur hidupnya sendiri, sesudah ia meninggal
maka desalah yang menentukan kepada siapa tanah itu akan diserahkan (kembali kepada
persekutuan hukum sendiri/kepada warga lain dalam persekutuan hukum tersebut).
4) Tanah dapat diwariskan disertai pembatasan
Tanah yang dikuasai seumur hidup itu dapat diwariskan tetapi tidak boleh dibagi dan tidak
boleh dijual.
5) Tebok dengan seleksi
Seorang petani yang menguasai hak atas tanah kulian tetapi dia berhutang, selanjutnya ia
melepaskan tanah tersebut sebagai pengganti hutangnya, orang yang mau menebus atau tebok
tanah tersebut maka dia menguasai tanah kulian itu.
Tentang perubahan hak ulayat menjadi hak perorangan baru dapat terjadi apabila ditempuh
cara-cara sebagai berikut:
1. Apabila seorang pemimpin lingkungan ulayat menyatakan dirinya sebagai pendukung hak
ulayat dan akibatnya pimpinan lingkungan ulayat yang biasanya raja, menyatakan dirinya
karena kekuasaannya sebagai pemilik tanah di bawah kekuasaannya; misalnya desa Mijen di
Jawa dimana kepala desanya menjadi pemilik dari tanah ulayat.
2. Apabila anggota ulayat mencari orang-orang luar untuk mengusahakan tanah-tanah hutan
yang kosong dengan mengadakan pembayaran terlebih dahulu.
3. Apabia anggota ulayat ditarik biaya jika mereka ingin mengusahakab tanah tersebut.
D. Kedudukan Hak Ulayat Dalam UUPA (UU No. 5 Tahun 1960)
Dalam Undang-undang Pokok Agraria pasal 5 UU No.5 1960 menyebutkan bahwa: Hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
UU ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Ketentuan ini mengandung makna, bahwa unsur-unsur hukum adat di bidang pertanahan yang
ada di dalam suatu masyarakat hukum adat selama tidak bertentangan dengan ketentuan dan
peraturan yang ada dapat dipergunakan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan
Undang-Undang Pokok Agraria tersebut.
Unsur-unsur yang penting dalam UUPA yang perlu kita perhatikan dan mempunyai kaitan
dengan uraian ini lebih lanjut adalah:
1. Bahwa tidak ada perbedaan tiap-tiap WNI baik laki-laki maupun wanita dalam memperoleh
kesempatan untuk mendapatkan sesuatu hak dan manfaat atas tanah. [pasal 9: (2)]
2. Bahwa UUPA No.5 1960 mengharuskan adanya pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah (pasal 19)
3. Bahwa UUPA No.5 1960 membenarkan adanya sistem pemilikan bersama (pasal 17)
4. Perintah penegasan hak-hak atas tanah adat yang telah ada sebelum UUPA No.5 1960
diundangkan (pasal-pasal ketentuan Konversi).
Untuk menerangkan bagaimana hubungan antara hak ulayat dengan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA)/ UU No. 5 Tahun 1960 kita dapat melihat pasal 3 yang berbunyi sebagai
berikut: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan pasal 3 di atas, hak ulayat atau hak tanah adat diakui keberadaannya, akan tetapi
pengakuan itu diikuti syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya:
1. Eksistensinya masih ada
2. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
3. Tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam undang-undang.
Ketentuan ini berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang
baru (UUPA). Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan
berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak
tersebut diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam
melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu
seringkali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-Undang Pokok
Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat
akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada
masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian hak atas tanah
(umpamanya hak guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan
didengar pendapatnya dan akan diberi recognitie, yang memang ia berhak menerimanya
selaku pemegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum
tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut
di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat
dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak
begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyekproyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan
pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah
itu sendiri sering kali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat, inilah yang
merupakan pangkal pikiran kedua pada ketentuan pasal 3 tersebut di atas. Kepentingan suatu
masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan
hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu.
Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak dihapus, tetapi juga
tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat
melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus
dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan
dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).
Daftar Pustaka:
1. Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah.Jakarta: Djambatan, 1991.
2. Sajuti, Thalib. Hubungan Tanah Adat Dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Bina
Aksara, , 1985.
3. Sudiyat, Imam. Hukum Adat, Yogyakarta: Liberty, 2000.
4. Soerjono Soekanto. Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1990.
5. Wulansari, Dewi. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama,
2010.
6. Republik Indonesia, UU No. 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria)
http://sarjanasujana.wordpress.com/2012/05/16/hukum-tanah-adat/
......
Memori van Toelichting
Tidak semua karya disini itu saya salin, ada pula yang murni dari analisis pribadi,
sehingga tidak memerlukan lagi catatan kaki ataupun daftar pustaka Sedangkan
apabila anda tidak senang dengan blog ini karena mungkin anda merasa ada karya
anda yang saya terbitkan tidak menyertakan sumber, saya mengucapkan maaf
yang sebesar-besarnya; semua semata-mata hanya kekhilafan, karena motivasi
utama saya dalam membuat blog ini adalah "demi kemajuan bangsa Indonesia
untuk lebih peka terhadap hukum sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bung
Karno". Serta yang terpenting ialah adagium, "Ignorantia iuris nocet" yang artinya
penguasaan atas tanah maupun hak-hak atas tanah maupun hak-hak jaminan atas
tanah.
Hukum Adat dalam UUPA
Pernyataan hukum adat dapat dijumpai dalam UUPA pada : Konsiderans UUPA,
Penjelasan Umum angka III (1), Pasal 5, Penjelasan Pasal 5, Penjelasan Pasal 16,
Pasal 56, dan secara tidak langsung juga terdapat pada Pasal 58 UUPA.
Hukum Adat Mana?
Karena adanya berbagai definisi mengenai Hukum Adat dan juga secara sederhana
Hukum Adat di setiap daerah yang berbeda, maka Hukum Adat yang mana? C. Van
Vollenhoven menyebut hukum adat sebagai hukum adat sebagai hukum adat
golongan pribumi (Golongan III Pasal 131 IS) atau hukum adat golongan timur asing
(Golongan II Pasal 131 IS). Sementara itu dalam Penjelasan Umum III angka 1
mengisyaratkan bahwa hukum adat yang dimaksud ialah hukum aslinya golongan
pribumi, yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsure-unsur
nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan
keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.
Unsur-Unsur dan Pengejahwantahan Hukum Adat
Hukum Adat yang melekat pada masyarakat Hukum Adat tidak hanya diartikan
sebagai hukum positif yakni sebagai rangkaian norma-norma hukum. Namun
apabila ditinjau lebih lanjut maka hukum adat disusun dalam satu tatanan atau
sistem, dengan lembaga-lembaga hukum yang senantiasa berubah dan diperlukan
dalam memenuhi kebutuhan kongrit masyarakat-masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Dan hal tersebut sangat tergantung pada situasi dan keadaan
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
KONSEPSI dan SISTEM HUKUM ADAT
Konsepsi Hukum Adat
Komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual,
dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur
kebersamaan. Manifestasi lebih lanjut pada konsepsi ini ialah dengan adanya Tanah
Ulayat yang memiliki unsur kebersamaan dan terdapat fungsinya untuk
kepentingan bersama. Dan dengan demikian maka tanah ulayat, selain
mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah yang termasuk dalam ranah
hukum perdata, juga mengandung tugas mengelola yang masuk dalam hukum
publik. Hak Ulayat ini memungkinkan adanya hak Milik atas tanah yang dikuasai
pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat.
Sistem Hukum Adat
Sistem hak-hak penguasaan tanah pada masyarakat hukum adat ternyata
membentuk hirarki yang biasanya terjadi pada Tanah Ulayat adalah : (1) Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat, (2) Hak kepada Adat dan para tetua adat, (3) hak atas
tanah.
HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT
Hak Ulayat
(das solen), namun sekarang (das sein) telah diganti oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
Hukum Adat sebagai Sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional
Sumber Utama Hukum Adat yang diberlakukan sebagai Hukum Tanah nasional
adalah berupa konsepsi, asas, dan lembaga hukumnya. Konsepsi mendasar
sebagaimana pasal (1) ayat (2) ialah komunalistik dan religious, sedangkan asasnya
meliputi asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan,
asas pemerataan dan keadilan social, asas pemeliharaan tanah, asas pemisahan
horizontal.
Sumber-sumber Lain dalam Pembangunan Hukum Nasional
UUPA tidak menutup kesempatan untuk lembaga-lembaga yang dikenal dalam
hukum adat seperti lembaga-lembaga dari hukum asing sepanjang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pendaftaran
Tanah dengan melalui PPAT, adanya Hak Tanggungan, Hak Guna Usaha, dan Hak
Guna Bangunan merupakan lembaga hukum yang tidak dikenal dalam masyarakat
Hukum adat tetapi diakui UUPA.
Hukum Adat sebagai Pelengkap Hukum Tanah Nasional positif yang tertulis
Hukum Tanah Nasional adalah Hukum Adat (Pasal 5 UUPA), menunjukan fungsi
Hukum Adat sebagai sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional.
Maka jika sesuatu soal dalam Hukum Tanah tertulis belum lengkap maka berlakulah
Hukum Adat setempat. Hukum adat yang telah terkontaminasi feodalistik maupun
kapitalistik dalam konteks pelengkap Hukum Tanah Positif dalam penerapannya
harus dibersihkan terlebih dahulu dari ketentuan hukum asing. Sehingga dalam
praktik yang berwenang melakukan pemersihan atas Hukum Adat ini adalah Hakim
serta Penguasa Legislatif.
Tidak boleh bertentangan dengan Kepentingan nasional dan Negara
Hukum Adtat sudah semestinya untuk tidak bertentangan dengan Kepentingan
Nasional Negara, sehingga perlu adanya pembinaan dengan menguji hukum adat
agar tidak bertentangan.
Tidak boleh bertentangan dengan Sosialisme Indonesia
Perlu adanya pengaturan lebih lanjut mengenai sosialisme Indonesia, dalam hal ini
menghadapi hal-hal kongrit dalam masyarakat maka keinginnan dan kesadaran
hukum masyarakatlah yang merupakan pedoman.
Tidak boleh bertentangan dengan peraturan UUPA
Suatu contoh bahwa di Batak misalnya yang tidak memberikan kesempatan bagi
wanita untuk memiliki tanah karena patrilineal, sedangkan UUPA mengatur bahwa
tiap-tiap warganegara memiliki hak yang sama. Pertentangan tersebut yang berlaku
di Hukum Adat Batak dikesampingkan oleh UUPA sehingga di Batak memberi
kesempatan untuk wanita memiliki sebidang tanah.
Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya
Jadi peraturan perundang-undangan bisa mengenyampingkan hukum adat yang
berlaku asalkan dinyatakan demikian. Norma Hukum Kosong inilah yang sering
digunakan oleh penguasa untuk mengebiri keberadaan Hukum Adat dalam Hukum
Tanah Nasional.