Anda di halaman 1dari 28

ASPEK HUKUM TANAH ADAT

Diposkan oleh Catatan Kampus Unhalu on 01:03

Dalam kehidupan manusia, keberadaan tanah tidak akan terlepas dari


segala tindak tanduk manusia itu sendiri, sebab tanah merupakan tempat,
bagi manusia untuk menjalani dan metanjutkan kehidupannya. Oleh karena
itu, tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat sehingga
sering terjadi sengketa di antara sesamanya, terutama yang menyangkut
tanah. Untuk itulah diperlukan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan
antara manusia dengan tanah.
Dalam Hukum Adat, tanah merupakan masalah yang sangat penting.
Hubungan antara manusiaa dengan tanah sangat erat, seperti yang telah
dijelaskan di atas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani
dan melanjutkan kehidupannya.
Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan
mereka, tanan di mana mereka dimakamkan dan terjadi tempat kediaman
orang-orang halus pelindungan beserta arwah leluhurnya. Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dahulu.
Tanah telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan
bangsa, serta pendukung suatu negara, lebih-lebih yang corak agrarisnya
berdominasi. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi
yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio shie qua non.
A.Hukum Tanah Adat dalam Hal Hak Persekutuan atau Hak
Pertuanan
Umat manusia ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman yang
selanjutnya disebut masyarakat desa atau ada yang berdiam secara tersebar
di pusat-pusat kediaman yang sama nilainya satu sama lain di suatu wilayah
yang terbatas, yang dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah.
Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak atas tanah itu, mempunyai
hak-hak tertentu atas tanah ituu dan melakukan hak itu baik keluar maupun
ke dalam persekutuan. Berdasarkan atas berlakunya hak tersebut ke luar,
maka persekutuan masyarakat hukum adat itu sebagai kesatuan yang
berkuasa, memungut hasil dari tanah itu dengan membatasi adanya orangorang lain yang melakukan hal yang serupa itu. Juga, sebagai suatu
kesatuan masyarakat, mereka bertanggung jawab terhadap orang-orang
dari luar masyarakat itu atas perbuatan-perbuatan pelanggaran di wilayah
tanah masyarakat itu.

Sifat yang khusus dari hak pertuanan atau persekutuan terletak pada
daya timbal-balik daripada hak itu terhadap hak-hak yang melekat pada
orang perorangan atau individu. Semakin kuat hubungan individu dengan
tanah, makin memperdalam hubungannya dengan hukum perseorangan
(terhadap tanah itu), dan makin kecillah hak yang dimiliki masyarakat
terhadap sebidang tanah itu.
Apabila anggota persekutuan melewati batas penggunaannya itu,
misalnya
melakukan
penggarapan
tanah
untuk
kepentingan
perdagangan (trading) dalam artian untuk memperkaya diri sendiri, maka
mereka akan diperlukan seberapa jauh sebagai orang-orang dari luar
persekutuan, yang selanjutnya hak-hak persekutuan yang bersifat ke luar
akan diberlakukan terhadap mereka. Sekali laai di sini dapat terlihat bahwa
sifat tanah itu benar-benar adalah bersifat sosial adanya.
Selanjutnya, anggota persekutuan masyarakat itu juga memiliki hak
untuk membuka tanah (ontginningsrecht), yaitu adanya penyelenggaraan
suatu hubungan sendiri terhadap sebidang tanah sebagai bagian dari
lingkungan hak pertuanan. Hak membuka tanah itu menurut hukum adat
adalah hanya salah satu daripada fanda munculnya nak persekutuan
atau beschikingsrecht dan hanya ada pada anggota-anggota masyarakat
atau tanah-tanah di lingkungan hak pertuanan itu sendiri.
Para pernimpin masyarakat adat juga memiliki hak untuk mencabut
kembali hak pakai atas tanah karena alasan-alasan tertentu. Misalnya,
apabila lahan lama telah lama ditinggalkan, atau si penggarap telah
meninggal dunia tanpa mempunyai ahli waris, atau karena suatu perjanjian
tertentu masyarakat hukum adat, atau karena si perjanjian telah
berkelakuan kurang baik terhadap persekutuan hukum.
Hak persekutuan atau pertuanan juga dapat berlaku ke luar. Dalam hal .
hak persekutuan atau beschikkingsrecht berlaku ke luar, orang-orang di luar
persekutuan, misalnya orang-orang dari persekutuan tetangga, hanya boleh
memungut hasil dari tanah tersebut, dan atau sudah membayar dana
pengakuan di muka serta dana ganti rugi di kemudian hari. Hak sedemikian
ini hanya dapat dimiliki oleh orang tersebut dalam tempo yang terbatas,
biasanya dalam praktik yaitu satu kali panen saja, dengan kemungkinan
untuk dilanjutkan lagi. Orang luar tersebut tidak akan pernah memiliki hak
untuk memiliki tanah tersebut, bahkan hak-hak mereka dapat saja dibatasi
oleh persekutuan dalani hal membuat perjanjian-perjanjian yang
berhubungan dengan tanah.

Hal lain yang dapat menimbulkan konflik di bidang pertanahan adalah


karena tidak jelasnya pembatasan daerah atau tanah persekutuan atau beschikkingsrecht. Artinya, ukuran yang digunakan dalam bidang pertanahan
menurut hukum adat adalahkonstruksi yuridis yang abstrak, sehingga batasbatas pertanahan antara persekutuan hukum adat yang satu dengan yang
lainnya yang bertetanggaan sering kali tidaklah jelas adanya. Ketika satu
persekutuan hukum adat mengklaim batas tertentu tanahnya, bisa jadi itu
sudah dianggap melampaui batas yang telah diklaim oleh persekutuan
hukum adat tetangganya.
Hal lain yang membuat aspek sedemikian itu rawan konflik, adalah
adanya prinsip bahwa tanah persekutuan atau pertuanan tersebut tidak
dapat dipindahtangankan (onvervreemdbaarheid). Artinya, pada waktu
terjadi perbedaan pendapat tentang kepemilikan hak antar persekutuan
hukum tentang batasbatas tanah tersebut, masing-masing persekutuan
hukum akan membela haknya dengan segala cara. Mereka tidak akan
pernah mengizinkan haknya atas tanah yang telah mereka klaim, yang
mungkin telah terjadi untuk waktu yang cukup lama, lepas begitu saja.
Dalam hal beschikkingsrecht, yang dimaksnd adalah hak menguasai atau
memakai tanah. Hal ini merupakan pendapat dari Prof. Van Vollenhoven.
Sehingga, fungsi ke dalam maupun ke luar dapat disimpulkan sebagai hak
pakai oleh setiap warga masyarakat daerah persekutuan atas tanah demi
kepentingan bersama dalam masyarakat daerah persekutuan serta
persekutuan lainnya.
Sementara itu, ada juga hak perseorangan atau individu atas tanah.
Dalam hal ini ada beberapa hak perorangan atau individu dalam tertib
hukum masyarakat persekutuan, antara lain hak milik atas tanah, yaitu hak
yang dimiliki oleh anggota persekutuan terhadap hak ulayat. Pada dasarnya,
yang bersangkutan belum mempunyai kekuasaan penuh atas tanah yang
dimilikinya atau dikuasainya tersebut. Artinya, belum bisa menguasainya
secara bebas, karena hak milik ini masih mempunyai fungsi sosial. Fungsi
sosial dimaksud akan terlihat dengan jelas dan dibahas lebih lanjut dalam
pokok bahasan berikutnya. Sehingga, jika seandainya persekutuan sewaktuwaktu membutuhkan tanah itu, maka hak milik dapat menjadi hak
persekutuan kembali. Di Bali, hal seperti ini dikenal dengan istilah kelakeran.
Hak menikmati, yaitu hak yang diberikan persekutuan pada seseorang
untuk memungut hasil darj tanah tersebut untuk satu kali panen saja. Hak
ini mirip dengan hak yang dinikmati oleh orang asing atau orang luar

1.
2.
3.
4.
5.

1.

persekutuan atas tanah persekutuan. Hanya saja, perseorangan anggota


persekutuan tidak dituntut untuk membayar biaya atau ganti rugi tertentu.
Hak yang dibeli, vaitu hak yang diberikan pada seseorang untuk membeli
tanah dengan mengesampingkan orang lain. Hal ini terjadi karena yang
membeli itu adalah sanak saudara dari si penjual, atau tetangganya, atau
berasal dari satu anggota persekutuan yang sama, Hak memungut hasil
karena jabatan, yaitu hak yang diberi pada seseorang atau individu yang
sedang memegang jabatan tertentu di dalam persekutuan hukum adat
tersebut, dan hak itu tetap ia miliki selama memegang jabatan yang
dimaksud seperti yang dibahas sebelumnya; tanah bengkok di Jawa
merupakan suatu contoh konkret tentang hak ini.
Hak pakai yaitu hak yang diberikan kcpada seseorang untuk mengambil
hasil dan sebidang tanah. Misalnya, di Minang ada hak atau sawah pusaka,
sedang anggota-anggota persekutuan mempunyai hak pakai atas tanahtanah bagian sawah pusaka yang dibagikan kepada mereka untuk dipungut
hasilnya yang sering disebut gamggan bantuak, di mana anggota-anggota
persekutuan juga mernpunyai hak pakai atas tanah kerabat yang tidak dapat
dibagi-bagi, dan tokoh-tokoh hukum adat setempat yang serupa dengan itu.
Hak gadai dan hak sewa, yaitu hak-hak yang timbul karena perjanjian
atas tanah. Hak gadai dari si pemegang gadai, juga halnya seseorang yang
menyewa tanah dengan pembayaran uang sewa lebih dahulu. Hak raja, yaitu
hak yang diberikan pada raja untuk memungut hasil karena kedudukannya.
Sebagaimana telah diketahui, sebelum berlakunya UUPA di Indonesia
terdapat dualisme dalam hukum pertanahan, yaitu yang bersumber pada
Hukum Adat dan yang bersumber pada Hukum Barat. UUPA mengakhiri
dualisme tersebut dan menciptakan unifikasi Hukum Tanah Nasional kita.
Sumber-sumber Hukum Tanah Nasional kita berupa norma-norma hukum
yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis, sebagai berikut :
1. Sumber-sumber hukum yang tertulis:
Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3);
Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960);
Peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA;
Peraturan-peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA; yang dikeluarkan sesudah tanggal
24 September 1960 yang karena sesuatu masalah perlu diatur;
Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku berdasarkan ketentuan
pasal-pasal peralihan.
2. Sumber-sumber hukum yang tidak tertulis :
Norma-norma Hukum Adat yang sudah di-saneer;

2.

Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan praktik Administrasi.


Dalam hal tersebut, termasuk pula didalamnya kebiasaan dan tingkah
laku orang Indonesia terhadap tanah, yaitu sebagai berikut :
1.
Hak membuka tanah
2.
Transaksi-transaksi tanah
3.
Transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah
Menurut penulis, Hukum Tanah Adat adalah hak pemilikan dan
penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa
lampau dan masa kini, ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan
secara autentik atau tertulis, yaitu hanya didasarkan atas pengakuan serta
ada pula yang mempunyai bukti autentik.
Hukum Tanah adat terdiri dari dua jenis, pertama hukum tanah adat
masa lampau. Hukum Tanah Adat masa lampau ialah hak memiliki dan
menguasai sebidang tanah pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang,
serta pada zaman Indonesia merdeka tahun 1945, tanpa bukti kepemilikan
secara autentik maupun tertulis. Jadi, hanya berdasarkan pengakuan ciri-ciri
Tanah Hukum Adat masa lampau adalah tanah-tanah dimiliki dan dikuasai
oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat yang memiliki dan
menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindahpindah sesuai dengan, daerah, suku, dan budaya hukumnya, kemudian
secara turun-temurun masih berada.
Kedua, hukum tanah adat masa kini, yaitu hak memiliki dan menguasai
sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka tahun 1945 sampai sekarang,
dengan bukti autentik berupa:
1. Girik, Petuk Pajak, Pipil
Misalnya di DKI Jakarta, girik terdiri dari 2 (dua) jenis, girik milik adat
yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh pribumi yang telah didaftarkan
sebelum dan sesudah tahun 1945. Tanah . tersebut pada umumnya di atas
tanah hak barat dan memang dari semula sudah dikuasai oleh pribumi.
Kemudian apabila dimohon haknya .sesuai dengan Ketentuan Peraturan
Menteri Pertanian dan Agraria, dapat diterbitkan sertifikat hak milik. Untuk
mengetahui status tanahnya dapat dilihat dari riwayat tanah. Dahulu yang
menaeluarkan riwayat tanah adalah Instansi Pajak Bumi dan Bangunan dan
pada saat ini adalah Kantor Kelurahan atau Kepala desa setempat.
2. Hak Agrarisch Eigendom
Hak Agrarisch Eigendom adalah suatu hak ciptaan pemerintah Belanda
yang bertujuan akan memberikan kepada orang-orang Indonesia suatu hak
atas tanah yang kuat.

3. Milik Yayasan
Milik yayasan adalah tanah-tanah usaha bekas tanah partikelir yang
diberikan kepada penduduk yang mempunyainya dengan hak milik (hak
yasan = hak milik adat). Lihat ketentuan Pasal 5 UU No.1 Tahun 1958
tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir.
4. Hak atas Druwe
Hak atas druwe adalah istilah hak milik yang dikenal di lingkungan
masyarakat hukum adat di Bali.
5. Hak atas Druwe Desa
Hak atas druwe desa adalah bila masyarakat mernbeli tanah untuk
dipakai buat kepentingan-kepentingannya sendiri, maka di sini dapat disebut
"hak miliknya" dusun atau wilayah. Dikenal dalam masyarakat Bali dengan
istilah hak atas druwe desa.
6. Pesini
Pesini ialah harta kerabat tak terbagi-bagi yang di Minahasa disehat
dengan barang kalakeran. Mengenai keadaan tetap tak terbagi-baginya
barang yang diperoleh atas usaha perseorangan, yaitu barang pesini,
misalnya tanaman-tanaman di atas tanah kalakeran, maka bila pemiliknya
itu mati lantas diwarisi sebagai harta bersama dari golongan anak-cucunya
orang yang meninggal dunia itu. Jadi, golongan anak cucunya merupakan
sebagian kecil dari kerabat seluruhnya yang memiliki harta kalakeran.
7. Grant Sultan
Grant Sultan adalah semacam hak milik adat, diberikan oleh Pemerintah
Swapraja, khusus bagi kawula Swapraja, dan didaftar di Kantor Pejabat
Swapraja.
8. Landerijenbezitrecht
Tanah-tanah landerijenbezitrecht oleh Gouw Giok Siong disebut tanah-tanah Tionghoa, karena subjeknya terbatas pada golongan Timur Asing,
terutama golongan Cina.
9. Altidjddurende Erfpacht
Altidjddurende Erfpacht adalah pemilikan tanah persil yang berada di
bawah sewa turun-temurun untuk selama-lamanya. (S.1915 No. 207, Pasal
1 ayat (1), Dalam Terjemahan BeberapaStaatsblad dan Bijblad tentang
Pengaturan Tanah Partikelir, Jakarta, 5 Juli 1988, hlm. 4). Golongan Timur
Asing di sekitar Jakarta banyak yang mempunyai tanah di atas apa yang
disebut "tanah partikelir" dengan "hak usaha", seperti orang-orang pribumi.
10. Hak Usaha atas Tanah Bekas Partikelir

Tanah usaha adalah bagian-bagian tanah partikelir yang dimaksud dalam


Pasal 6 ayat (1) dari Peraturan tentang Tanah-Tanah Partikelir (S.1912-422).
Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan
Tanah-Tanah Partikelir. Pasal 6 ayat (1) 5.1912 Nomor 422 mengatakan:
"Semua tanah yang oleh penduduk pribumi dan penduduk yang disamakan
dengan mereka diolah, digarap atau dipelihara atas biaya dan risiko sendiri
untuk dijadikan tempat tinggal atau semacam itu, kecuali kekecualian yang
terdapat dalam reglemen ini, dianggap diberikan sebagai Tanah Usaha,
dengan syarat membayar kepada Tuan Tanah, pungutan-pungutan yang
dalam hubungan itu harus dibayarnya.
11. Fatwa Ahli Waris
Fatwa ahli waris adalah jawab (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh
Bukti terhadap suatu masalah (dalam hal ini masalah pewarisan).
12. Akte Peralihan Hak
Akte peralihan hak adalah perubahan data yuridis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), berupa peralihan hak karena jual beli, tukarmenukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, peralihan hak karena warisan, peralihan hak
karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi dan peralihan
hak tanggungan.
13. Surat Segel di Bawah Tangan
Yaitu perbuatan hukum mengenai peralihan sebidang tanah atas
kesepakatan para pihak dan pemberian sepihak yang tidak dibuat oleh
pejabat yang berwenang. Perbuatan hukum semacam ini pada umunuiya
dilakukan masyarakat dan badan hukum scbelum berlalunya PP Nomor 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
14. Surat Pajak Hasil Bumi (Verponding Indonesia)
Surat Pajak Hasil Bumi (Verponding Indonesia) adalah tanah-tanah yang
dimiliki dan dikuasai oleh pribumi yang berada di atas hak-hak barat
dulunya. Kemudian didaftar di Kantor Pajak Pendaftaran Daerah dulunya
sekitar tahun 1960 sampai dengan tahun 1964. Khusus di wilayah Provinsi
DKI Jakarta, surat pajak hasil bumi (Verponding Indonesia) ini oleh Kantor
Pajak Pendaftaran Daerah telah diserahkan kepada Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta dan riwayat tanahnya dapat
diperoleh dari Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta. Dan kalau dimohon haknya
bisa menjadi hak milik.

15. Hak-Hak Lainnya Sesuai dengan Daerah Berlakunya Hukum Adat


tersebut
Selain hak-hak di atas, masih terdapat hak-hak tanah adat sesuai
dengan perkara yang telah putuskan oleh pengadilan.
1. Hak Perorangan
Hak perorangan ialah hak yang diberikan kepada warga desa ataupun
orang luar atas sebidang tanah yang berada diwilayah hak ulayat
persekutuan yang berasangkutan. Hak ini termasuk dalam hak ulayat, dan
merupakan hak pribadi kodrati atas lingkungan tanah dari masyarakat
hukum adat, dimana ia menjadi anggotanya.
Sifat dan ciri-ciri hak miliki :
1. Hak milik adalah hak yang terkuat (Pasal 20 UUPA) sehingga harus
didaftarkan.
2. Dapat beralih, artinya dapat diwariskan kepada ahli warisnya. (Pasal 20
UUPA).
3. Dapat dialihkan kepada pihak yang menienuhi syarat. (pasal 20 jo. Pasal
26 UUPA).
4. Dapat menjadi induk dari hak-hak atas tanah yang lain, artinya dapat
dibebani dengan hak-hak atas tanah lain, yaitu hak guna bangunan, hak
pakai, hak sewa, hak gadai, hak usaha bagi hasil, dan hak menumpang.
2. Subjek Hak Milik
Dalam kaitannya dengan hak milik atas tanah, maka hanya warga
negara Indonesia yang mempunyai hak milik, seperti yang secara tegas
dirumuskan dalam Pasal 21 UUPA:
(1) Hanya warga Regara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
(2) Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik dan syarat-syaratnya.
(3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh
hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena
perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak
milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun
sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu.
Jika sesudah angka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan,
maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada
negara, dengan ketentuan dan tanahnya jatuh pada negara, dengan

ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap


berlangsung.
(4) Selama
seseorang
di
samping
kcwarganegaraan
Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai
tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3)
Pasal ini.
3. Terjadinya Hak Milik
Terjadinya hak milik atas tanah merupakan rangkaian pemberian hak
atas tanah yang diatur di dalam UUPA, yang di dalam Pasal 22 UUPA
disebutkan:
(1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, hak
milik terjadi karena:
1.
penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
2.
Ketentuan undang-undang.
4. Pembebasan
Pasa1 24 UUPA menyebutkan bahwa penggunaan tanah milik oleh bukan
pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan. Pasal ini
memberikan kemungkinarn untuk membebani hak milik dengan hak atas
tanah lain. Kebutuhan nyata dari masyarakat menuntut agar diberikan
kesempatan kepada bukan pemilik untuk mempergunakan tanah hak milik.
Inilah yang menjadi alasan bahwa hak miliki dapat menjadi induk dari hakhak atas tanah lainnya. Hak-hak yang dapat membebani hak milik adalah
hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak gadai, hak usaha bagi hasil,
hak menumpang.
5. Peralihan
Hak milik dapat dipindah haknya kepada pihak lain (dialihkan) dengan
cara jual beli, hibah, tukar-menukar, pemberian dengan wasiat dan
perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 26:
(1) Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian
menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan
pemerintah.
(2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengarn wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak

1.
2.
3.
4.

langsung memindahkan hak milik kenada orang asing, kepada seorang


warga negara yang di sacnping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali
yang ditetapkan oleh pemerintah tennaksud dalam Pasal 21 ayat (2),
adalah batal karena hukum dan tanalulya jatuh kepada negara, dengan
ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak
dapat dituntut kembali.
B. Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal
Peraturan yang Tengatur tentang pemberian hak milik atas tanah untuk
rumah tinggal adalah Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998.
Peraturan ini menurut pengamatan penulis sangat kontroversial selama
kurun waktu Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, sehingga
penulis berpendapat antara lain :
1. Untuk hak milik atas tanah di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta sebaiknya untuk sementara waktu tidak diberikan.
2. Untuk wilayah lain di Negara Kesatuan Republik Indonesia, badan hukum
yang diperbolehkar. mempunyai hak milik adalah
Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara);
Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan UndangUndang No.79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 No.139);
Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria, setelah
mendengar Menteri Agama;
Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar
Menteri Kesejahteraan Sosial.
Selanjutnya, peraturan tertanng pemberian hak untuk yang dimaksud,
menyatakan hal-hal sebagai berikut :
1. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal
kepunyaan perseorangan warga negara Indonesia yang luasnya 600
M2 (enam ratus meter persegi) atau kurang, atas permohonan yang
bersangkutan dihapus dan diberikan kembali kepada bekas pemegang
haknya dengan Hak Milik.
2. Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah
tinggal kepunyaan perseorangan warga negara Indonesia yang luasnya
600 M2 (enam ratus meter persegi) atau kurang yang sudah habis jangka
waktunya dan masih dipunyai oleh bekas pemegang hak tersebut, atas

permohonan yang bersangkutan diberikan Hak Milik kepada bekas


pemegang hak.
PERALIHAN HAK ATAS TANAH
A. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat
Jual belitanah sebagai suatu lembaga hukum, tidak secara tegas dan
terperinci diatur dalam UUPA. Bahkan, sampai sekarang belum ada
peraturan yang mengatur khusus mengenai pelaksanaan jual beli tanah.
Dadala pasal 5 UUPA terdapat pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasional
kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas
lembaga hukum dan sistem Hukum Adat.Hukum Adat yang dimaksud
tentunya Hukum Adat yang telah di-saneer yang telah dihilangkan cacatcacatnya/ disempurnakan. Jadi pengertian jual beli tanah menurut Hukum
Tanah Nasional kita adalah pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sumber-sumber Hukum Tanah
Nasional kita berupa norma-norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak
tertulis, sumber-sumber huukum yang tertulis berupa Undang-Undang Dasar
1945, UUPA, peraturan- peraturan pelaksana UUPA, dengan peraturanperaturan lama yang masih berlaku.Adapun sumber-sumber hukum yang
tidak tertulis adalah norma-norma Hukum Adat yang telah di-saneer dan
Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi.
Dengan demikian ada 2 fungsi atau peranan dari Hukum Adat. Yaitu
sebagai sumber utama pembangunan Hukum Tanah Nasional dan sebagai
pelangkap dari ketentuan-ketantuan Hukum Tanah yang belum ada
peraturannya agar tidak terjadi kekososngan Hukum karena hukumnya
belum diatur sehingga kegiatan masyarakat yang berhibungan dengan
Hukum Tanah tidak terhambat karenanya.
Menurut Hukum Adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan
pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan damai.
Kadang-kadang seorang pembeli tanah dalam pelaksanaan jual belinya
belum tentu mempunyai uang tunai sebesar harga tanah yang ditetapkan.
Dalam hal yang demikian ini berarti pada saat terjadinya jual beli, uang
pembayaran dari harga tanah uyang ditetapkan belum semuanya terbayar
lunas ( hanya sebagian saja). Belum lunasnya harga tanah yang ditetapkan
tersebut tidak menghalangi pemindahan haknya atas tanah, artinya
pelaksanaan jual beli tetap dinggap telah selesai.Adapun sisa uang
yang harus dibayar oleh pembeli kepada penjual dianggap sebagai

utang pembeli kepada penjual.Jadi hubungan ini merupakan hubungan


utang piutang antara penjual dan pembeli.
Dalam hukum adat, jual beli tanah dimasukan da;lam hukum benda,
khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah, tidak dalam hukum
perikatan khususnya hukum perjanjian, hal ini karena :
1.
Jual beli tanah menurut Hukum Adat bukan merupakan suatu perjanjian, sehingga tidak
diwajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli tersebut
2.
Jual beli tanah menurut Hukum Adat tidak menimbulkan hak dan kewajiban, yang ada
hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi apabila para pembeli baru membayar
harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar
terjadinya jual beli tanah tersebut.
Ciri-ciri yang menandai dari jual beli tersebut antara lain , jual beli
serentak selesai dengan tercapai persetujuan atau persesuaian kehendak
( konsesnsus ) yang diikuti dengan ikrar/pembuatan kontrak jual beli
dihadapan Kepala Persekutuan hukum yang berwenang, dibuktikan dengan
pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan kesediaan
penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli. Dengan
terjadinya jual beli tersebut, hak milik atas tanah telah berpindah, meskipun
formalitas balik nama belum terselesaikan. Kemudian ciri yang kedua adalah
sifatnya yang terang, berarti tidak gelap. Sifat ini ditandai dengan peranan
dari Kepala Persekutuan, yaitu menanggung bahwa perbuatan itu sudah
cukup tertib dan sah menurur hukumnya.
Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara
calon penjual dengan cal;on pembeli mengenai objek jual belinya yaitu
tanah hak milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui
musyawarah diantara mereka sendiri setelah mereka sepakat atas harga
tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi, diikuti dengan pemberian panjer.
Jual beli tanah dalam sistem Hukum Adat mempunyai 3 muatan, yaitu:
1. Pemindhan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai sedemikian
rupa dengan hak untuk mendapatkan tanahnya kembali
setelah membayar uang yang pernah dibayarkan. Antara lain,
menggadai, menjual gade, adil sende, ngejual akad atau gade.
2. Pemindhan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak
untujk membeli kembali, jadi menjual lepas untuk selama-lamanya.
Antara lain, adol plas, runtemurun, menjual jaja.
3. Pemindhan hak atas tanah atas dasar pembayaran dengan perjanjian
setelah beberapa panen dan tanpa tindakan hukum tertentu tanah
akan kembali ( menjual tahunan, adol oyodan ).

B. Jual Beli Tanah Menurut UUPA


Dalam UUPA istolah jual beli hanya disebutkan dalam pasa 26 yaitu yang
menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya tidak
ada kata yang menyebutkan jual beli , tetapi disebutkan sebagai dialihkan.
Apa yang dimaksud dengan jual beli itu sendiri oleh UUPA tidak
diterangkan secara jelas, akan tetapi mengikat dalam pasal 5 UUPA
disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional dan Hukum Adat. Berarti kita
menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum, dan sistem Hukum
adat.Maka pengertian jual beli menurut Hukun Tanah Nasional adalah
pengertian jual beli tanah menurut hukum adat.Hukum Adat yang dimaksud
adalah Pasal 5 UUPA tersebut adalah hukum adat yang telah di- saneer yang
dihilangkan dari cacat-cacatnya/ hukm adat yang telah disempurnakan/
hukum adat yang telah dihilangkan kedaerahannnya dan diberi sifat
nasional.
Perjanjian jual beli tanah menurut hukum adat merupakan perbuatan
pemindahan hak, yangh sefatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti
bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang
sama. Sifat riil berarti bahwa de3ngan mengucapkan kata-kata dengan
mulut saja belumlah terjadi jual beli, hal ini dikuatkan dalam Putusan MA No.
271/K/Sip/1956 dan No. 840/K/Sip/1971.
Sejak berlakunya PP No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual
beli dilakukan oleh para pihak dihadapan PPAT yang bertugas membuat
aktanya. Dengan dilakukannya jual beli diahadapan PPAT, dipenuhi syarat
terang ( bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi )
Syarat jual beli tanah ada 2, yaitu :
1.Syarat Materiil
Syarat Materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah
tersebut, antara lain sebagai berikut :
a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan
Maksudnya pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk
memiliki tanah yang akan dibelinya.untuk menentukan berhak atau
tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya
tergfantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut.Apakah Hak
Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai. Menurut UUPA yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal
dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah ( pasal 21

UUPA ) jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing disamping


kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum yang
tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena
hukum dan tanah tersebut jatuh pada negara ( pasal 26 ayat 2 UUPA).
b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan
Yang berhak menjual suatu bidang tanah tertentu saja si pemegang yang
sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik
sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri
tanah tersebut.Akan tetapi pemilik tanah adalah 2a oarang maka yang
berhak menjual tanah itu adalah kedua orang itu bersama-sama.
c. Tanah hak yang bnersangkutan boleh diperjual belikan dan tidak sedang
dalam sengketa.
Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjual belikan telah ditentukan
dalan UUPA yaitu hak milik ( pasal 20), hak guna Usaha ( pasal 28), hak
guna bangunan ( pasal 35 ), hak pakai ( pasal 41 ),
2. Syarat formal
Setelah semua persyaratan materiil telah dipenuhi maka PPAT ( Pejabat
Pembuat Angka Tanah ) akan membuata akta jual belinya. Akta jual beli
menurut pasal 37 PP 24/1997 harus dibuat oleh PPAT. Jual beli yang
dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada
hukum adat ( pasal 5 UUPA), sedangkan dalam hukum adat sistem yang
dipakai adalah sistem yang konkrit/nyata/riil.
Sebelum akta jual beli dibuat PPAT, maka disyaratkan bagi para pihak
untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT, berupa:
1. Jika tanahnya sudah bersertifikat: sertifikat tanhanya yang asli dan tanda
bukti pembayaran biaya pendaftarannya.
2. Jika tanahnya belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah tersebut
belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan
penguatan oleh kepala desa dan camat, dilengkapi dengan surat-surat
yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan
untuk persertifikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli.
Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak akta tersebut
ditandatangani PPAT menyerahkan akta tersebut kepada kantor
pendafratan tanah untuk pendaftaran pemindahan haknya.
C. Penghibahan Tanah
Hibah tanah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dengan
tidak ada penggantian apapun dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada

kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu


dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup. Inilah yang berbeda
dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan sesudfah si wasiat meninggal
dunia.Pengertian Hibah juga diatur dalam pasal 1666 KUHPerdata.
Kekuatan huku akta hibah terletak pada fungsi akta autentik itu sendiri
yakni sebagai alat bukti yang sah menurut UU sehingga hal ini merupakan
akibat langsung yang merupakjan keharusan dari ketentuan per-UndangUndangan, bahwa harus ada akta-akta autentik sebagai alat pembuktian.
Hal-hal yang membatalkan akta Hibah telah dijelaskan dalam pasal 1688
BW. Suatu hibah tidak dapat ditarik kembal;i maupun dihapuskan karenanya
melainkan dalam hal-hal berikut.
a. Karena tidak dipenuhi syarat-syarat dengan mana penghibahan telah
dilakukan.
b. Jika penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu
melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah
atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah.
c. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah,
setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan.
Dalam menyelesaikan masalah dalam penghibahan hendaknya tidak
melihat satu pasal tentang hibah saja, akan tetapi nperlu juga melihat pasal
lain yang terkait dengan objek yang dihibahkan dalam BW dan juga
peraturan perundanangan untuk refisi KUHPerdata mendatang, penyebutan
akta notaris diganti dengan akta autentik, baik hibah untuk benda-benda
bergerak maupun tidak bergerak.
D. Pewaris Tanah
Perolehan hak milik atas tanah dapat juga terjadi karena pewarisan dari
pemilik kepada ahli waris sesuai dengan pasal 26 UUPA. Pewaris dapat
terjadi karena ketentuan Undang-Undang atau karena wasiat dari orang
yang mewasiatkan.
Dengan jatuhnya tanah kepada para ahli waris, terjadilah pemilikan
bersama tanah hak milik jika tanah tersebut hanya satu-satunya.Akan
tetapi, jika pewaris memiliki tanah tersebut sesuai dengan jumlah ahli waris
dan telah dibuatkan surat wasiat maka tanah dimaksud telah menjadi milik
masing-masing ahli waris.
Untuk memperoleh kekuatan pembuktian tanah dari hasil pewarisan,
maka surat keterangan waris sanagat diperlukan disamping sebagai dasar

1.
2.
3.
4.

1.

2.

untuk pendaftaran tanahnya.Namun sampai saat ini, untuk memperoleh


surat keterangan waris, hukum yang berlaku bagi WNI masih berbeda-beda.
Sejak berlakunya peraturan pemerintah No.10 Tahun 1961 tentangh
Pendaftaran Tanah, dan sesuai dengan pasal 25, surat keterangan warisan
itu merupakan suatu keharusan.hanya saja, pejabat yang berwengang untuk
membuat surat keterangan warisan itu belum ditentukan. Untuk
menyeragamkan masalah surat keterangan waris, dengan memperhatikan
penggolongan warga negara, maka:
Golongan keturunan Eropa, surat keterangan waris dibuat oleh notaris.
Golongan penduduk asli/pribumi, surat keterangan waris oleh para ahli waris, disaksikan
oleh lurah, diketahui oleh camat.
Golongtan keturunan Tionghoa oleh notaris.
Golongan keturunan Timur Asing lainnya surat keterangan waris dibuat oleh balai harta
peninggalan.
E. Perwakafan Tanah
Menururt Moh. Anwar wakaf ialah menahan suatu barang dari
dijualbelikan atau diberikan atau dipinjamkan oleh pemilik, guna dijadikan
manfaat untuk kepentingan tertentu yang diperbolehkan oleh orang yang
ditentukan Syara` serta tetap bentuknya, dan boleh dipergunakan, diambil
manfaatnya oleh orang yang ditentukan ( yang menerima wakaf) atau
umum menurut David Pearl dalam bukunya A taxtbook on Moslem Law ,
( 1979 ) Wakaf adalah Menyerahkan tanah atau benda-benda lain yang
dapat dimanfaatkan oleh umat islam tanpa merusak atau menghabiskan
pokoknya kepada seseorang atau suatu badan hukum agar dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan umat islam seperti mewakafkan tanah
untuk pembangunan Mesjid, Madrasah, Pondok Pesantren, Asrama yatim
Piatu, dsb.Keberadaan wakaf telah mendapat pengakuan UUPA seperti yang
telah terkandung dalam pasal 49.
Ruang lingkup pengaturan perwakafan tanah mencakup :
Tanah yang dapat diwakafkan adalah tanah yang berstatus hak milik, karena ia
mempunyai sifat terkuat dan terpengaruh bagi si pemilik tanah tersebut, sehingga dari siafat
tersebut si pemilik tanah tidak terikat dengan tenggang waktu dan persyaratan tertentu dengan
pemilikan dan penggunaannya. Oleh karena itu, apabila tanah itu diwakafkan, tidak
menimbulkan akibat yang dapat mengganggu sifat kekekalan dan keabadian kelembagaan wakaf
tanah.
Perwakafan tanah harus diperuntukan untuk masyarakat banyak, bukan untuk
kepentingan pribadi, karena akan mendatangkan manfaat dan maslahat bagi masyarakat.
Ketentuan ini melekat pada hak atas tanah yang dianut dalam UUPA.

3.

Tanah wakaf terlembagakan untuk selama-lamanya dalam waktu yang kekal dan abadi.
Tidak ada wakaf yang bertentangan waktu tertentu.
4.
tujuan peruntukan sebagai kepentingan peribadatan atau kepentingan umum.
5.
Wakaf memutuskan hubungan kepemilikan antara wakif dengan mauqufbih-nya
selanjutnya status pemiliknya menjadi milik masyarakat luas.
6.
Wakif tidak mbiasa menarik kembali terhadap tanah yang telah diwakafkan.
7. Ikrar harus dilakukan didepan pejabat pembuat akta ikrar wakaf, guna
mendapatkan akta autentik yang akan dapat dipergunakan dalam
berbagai hal seperti untuk mendaftarkan tanahnya kepada kepala
kantor badan pertanahan Nasional ataupun sengketa yang terjadi
dikemudian hari.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaa

HUKUM TANAH ADAT


Mei 16, 2012 oleh sarjanasujana in Hukum Adat

A. Pengertian Hak Ulayat/ Hak Purba


Hak Purba memiliki beberapa istilah, diantaranya hak persekutuan dan hak purba itu sendiri,
hal ini diungkapkan oleh Djojodigoeno, hak pertuanan diungkapkan oleh Supomo, dan dalam
UUPA disebut hak ulayat. Dalam masa lalu, dimasa sebelum kemerdekaan dan masa-masa
kerajaan di Nusantara ini, hak persekutuan/hak purba merupakan hak tertinggi atas tanah di
seluruh Nusantara ini.
Hak purba adalah hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan/ gens/ stam), sebuah serikat desadesa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah dan
seisinya dalam lingkungan wilayahnya.
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa hak persekutuan atas tanah adalah hak persekutuan (hak
masyarakat hukum) dalam hukum adat terhadap tanah tersebut; misalnya hak untuk
menguasai tanah, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang
hidup di atasnya, atau berburu binatang-binatang yang hidup di atas tanah itu. Hak masyarakat
hukum atas tanah ini disebut juga hak ulayat atau hak pertuanan. Dalam literatur oleh C.
Van Vollenhoven disebut dengan istilah beschikking, sedangkan tanah sebagai wilayahnya
disebut beschikkingring.

Hak Ulayat adalah pengakuan bersama oleh seluruh anggota masyarakat dan didalamnya juga
terkandung hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai tanah
di lingkungan hak ulayat tersebut. Sementara menurut Budi Harsono hak ulayat adalah hak dari
suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya, yang memberi wewenangwewenang tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah
wilayah masyarakat hukum tersebut.
C. Van Vollenhoven menyebutkan enam ciri hak ulayat, yaitu persekutuan dan para anggotanya
berhak untuk memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala sesuatu yang ada di dalam
tanah dan tumbuh dan hidup di atas tanah ulayat ini. Adapun keenam ciri-ciri hak ulayat adalah
sebagai berikut:
1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.
2. Pimpinan persekutuan dapat menentukan untuk menyatakan dan menggunakan bidangbidang tanah tertentu ditetapkan untuk kepentingan umum dan terhadap tanah ini tidak
diperkenankan diletakkan hak perseorangan.
3. Orang asing yang mau menarik hasil tanah-tanah ulayat ini haruslah terlebih dulu meminta
izin dari kepada persekutuan dan harus membayar uang pengakuan, setelah panen harus
membaar uang sewa.
4. Persekutuan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di atas lingkungan ulayat.
5. Larangan mengasingkan tanah yang termasuk tanah ulayat, artinya baik persekutuan
maupun para anggotanya tidak diperkenankan memutuskan secara mutlak sebidang tanah
ulayat sehingga persekutuan hilang sama sekali wewenangnya atas tanah tersebut.
B. Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu
kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat
hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok
tersebut sepanjang masa.
Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama
dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh
kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan,
tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan
lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.
Apabila dipandang dari sudut bentuk masyarakat hukum adat, maka lingkungan tanah mungkin

dikuasai oleh suatu masyarakat hukum adat atau beberapa masyarakat. Oleh karena itu
biasanyanya lingkungan tanah adat dibedakan antara :
1. Lingkungan tanah sendiri, yaitu lingkungan tanah yang dimiliki oleh satu masyarakat hukum
adat. Misalnya masyarakat adat tunggal desa di Jawa.
2. Lingkungan tanah bersama, yaitu yaitu lingkungan tanah adat yang dikuasai oleh beberapa
masyarakat hukum adat yang setingkat. Dengan alternatif sebagai berikut :
a. Beberapa masyarakat hukum adat tunggal. Misalnya beberapa belah di Gayo.
b. Beberapa masyarakat hukum adat atasan. Misalnya, luhat di Padanglawas.
c. Beberapa masyarakat adat bawahan. Misalnya, huta-huta di Angkola.
C. Hubungan Hak Ulayat Dengan Hak Perorangan
Di berbagai bagian Hindia-Belanda terdapat lingkungan-lingkungan hak purba yang satu sama
lain dipisahkan oleh wilayah-wilayah tak bertuan yang luas. Di bagian-bagian lain terdapat
wilayah-wilayah yang disitu hampir tak ada sebidang tanah pun yang termasuk dalam hak
purba. Hak purba itu di tempat yang satu masih kuat, sedang di tempat lain sudah lemah. Dan
gejala yang bersifat umum adalah semakin maju dan bebas penduduk dalam usaha-usaha
pertaniannya, semakin lemahlah hak ulayat itu dengan sendirinya. Akhirnya jika hak ulayat
sudah lemah, maka dengan sendirinya hak perorangan akan berkembang dengan pesatnya
(semakin menguat).
Menurut Ter Haar hubungan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan persekutuan
adalah timbal balik dan memiliki kekuatan yang sama. Artinya, hak perseorangan
mempertahankan diri terhadap hak persekutuan adalah sama kuatnya dengan hak persekutuan
mempertahankan diri terhadap hak perseorangan. Fakta tersebut dapat dirumuskan demikian:
hak ulayat dan hak perorangan itu bersangkut-paut dalam hubungan kempis-mengembang,
desak-mendesak, batas-membatasi, mulur-mungkret tiada henti. Ketika hak ulayat menguat
maka hak perorangan melemah, demikian pula sebaliknya ketika hak perorangan menguat hak
ulayat melemah.Di Tapanuli Selatan ada kemungkinan tanah perorangan itu dicabut haknya,
hal ini dapat terjadi apabila yang mengolahnya adalah orang lain dan mereka sendiri pergi
meninggalkan lingkungan ulayatnya. Oleh karena itu, tanah mereka akan dibagikan kepada
orang-orang miskin denga hak pakai. Tanah yang demikian tersebut disebut salipi na tartat.
Selanjutnya hak ulayat juga juga berlaku terhadap orang-orang luar, yaitu orang-orang yang
bukan anggota persekutuan. Apabila orang-orang di luar hendak memasuki persekutuan

mereka harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari kepala persekutuan dan sebelum
permohonan mereka dikabulkan terlebih dahulu harus memberi sesuatu kepada persekutuan;
misalnya di Aceh, orang di luar persekutuan yang hendak memasuki persekutuan harus
membayar uang pemasukan, di Jawa disebut mesi.
Hal lain yang dapat dicontohkan untuk menjelaskan hubungan antara hak peroranga dengan
hak ulayat adalah sebagai berikut: Hak rakyat tani di jawa atas tanahnya mengalami
perkembangan melalui taraf-taraf yang menggambarkan makin menipisnya hak purba
persekutuan hukum, sejalan dengan makin menebalnya hak perorangan.
1) Sistem Bluburan; Milik Komunal dengan pembagian periodik
Tanah kuliah pertanian dibagi dalam beberapa bidang dengan pematang-pematang (galengan)
sebagai batas pemisahnya. Setiap bidang dikerjakan oleh seorang petani. Sesudah panen,
galengan-galengan itu dihapus (diblubur). Menjelang masa menggarap, diadakan
pembidangan kembali yang berbeda dengan pembagian semula. Dan pada masa tanam yang
berikut ini masing-masing petani mendapat bidang tanah yang lain, sehingga hubungannya
dengan tanah garapanya tidak tetap, tidak kontinu.
2) Matok Galeng, gilir wong
Tanah kulian pertanian dibagi dalam beberapa bidang yang tetap, tidak diblubur setiap habis
panen. Tetapi bagian masing-masing petani itu gilir-berganti setiap masa tanam. Masingmasing petai tidak/belum mau memperbaiki tanah garapannya, karena ia tahu bahwa masa
tanam berikutnya ia akan mendapat bidang tanah yang lain.
3) Matok galeng, matok wong
Disamping petani yang mendapat bagian yang berganti-ganti ada juga yang mendapat bagian
tetap. Tetapi tanah itu hanya dikuasainya hanya seumur hidupnya sendiri, sesudah ia meninggal
maka desalah yang menentukan kepada siapa tanah itu akan diserahkan (kembali kepada
persekutuan hukum sendiri/kepada warga lain dalam persekutuan hukum tersebut).
4) Tanah dapat diwariskan disertai pembatasan
Tanah yang dikuasai seumur hidup itu dapat diwariskan tetapi tidak boleh dibagi dan tidak
boleh dijual.
5) Tebok dengan seleksi
Seorang petani yang menguasai hak atas tanah kulian tetapi dia berhutang, selanjutnya ia
melepaskan tanah tersebut sebagai pengganti hutangnya, orang yang mau menebus atau tebok
tanah tersebut maka dia menguasai tanah kulian itu.

Tentang perubahan hak ulayat menjadi hak perorangan baru dapat terjadi apabila ditempuh
cara-cara sebagai berikut:
1. Apabila seorang pemimpin lingkungan ulayat menyatakan dirinya sebagai pendukung hak
ulayat dan akibatnya pimpinan lingkungan ulayat yang biasanya raja, menyatakan dirinya
karena kekuasaannya sebagai pemilik tanah di bawah kekuasaannya; misalnya desa Mijen di
Jawa dimana kepala desanya menjadi pemilik dari tanah ulayat.
2. Apabila anggota ulayat mencari orang-orang luar untuk mengusahakan tanah-tanah hutan
yang kosong dengan mengadakan pembayaran terlebih dahulu.
3. Apabia anggota ulayat ditarik biaya jika mereka ingin mengusahakab tanah tersebut.
D. Kedudukan Hak Ulayat Dalam UUPA (UU No. 5 Tahun 1960)
Dalam Undang-undang Pokok Agraria pasal 5 UU No.5 1960 menyebutkan bahwa: Hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
UU ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Ketentuan ini mengandung makna, bahwa unsur-unsur hukum adat di bidang pertanahan yang
ada di dalam suatu masyarakat hukum adat selama tidak bertentangan dengan ketentuan dan
peraturan yang ada dapat dipergunakan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan
Undang-Undang Pokok Agraria tersebut.
Unsur-unsur yang penting dalam UUPA yang perlu kita perhatikan dan mempunyai kaitan
dengan uraian ini lebih lanjut adalah:
1. Bahwa tidak ada perbedaan tiap-tiap WNI baik laki-laki maupun wanita dalam memperoleh
kesempatan untuk mendapatkan sesuatu hak dan manfaat atas tanah. [pasal 9: (2)]
2. Bahwa UUPA No.5 1960 mengharuskan adanya pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah (pasal 19)
3. Bahwa UUPA No.5 1960 membenarkan adanya sistem pemilikan bersama (pasal 17)
4. Perintah penegasan hak-hak atas tanah adat yang telah ada sebelum UUPA No.5 1960
diundangkan (pasal-pasal ketentuan Konversi).
Untuk menerangkan bagaimana hubungan antara hak ulayat dengan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA)/ UU No. 5 Tahun 1960 kita dapat melihat pasal 3 yang berbunyi sebagai

berikut: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan pasal 3 di atas, hak ulayat atau hak tanah adat diakui keberadaannya, akan tetapi
pengakuan itu diikuti syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya:
1. Eksistensinya masih ada
2. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
3. Tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam undang-undang.
Ketentuan ini berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang
baru (UUPA). Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan
berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak
tersebut diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam
melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu
seringkali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-Undang Pokok
Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat
akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada
masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian hak atas tanah
(umpamanya hak guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan
didengar pendapatnya dan akan diberi recognitie, yang memang ia berhak menerimanya
selaku pemegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum
tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut
di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat
dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak
begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyekproyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan
pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah
itu sendiri sering kali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat, inilah yang
merupakan pangkal pikiran kedua pada ketentuan pasal 3 tersebut di atas. Kepentingan suatu
masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan
hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu.

Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak dihapus, tetapi juga
tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat
melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus
dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan
dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).
Daftar Pustaka:
1. Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah.Jakarta: Djambatan, 1991.
2. Sajuti, Thalib. Hubungan Tanah Adat Dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Bina
Aksara, , 1985.
3. Sudiyat, Imam. Hukum Adat, Yogyakarta: Liberty, 2000.
4. Soerjono Soekanto. Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1990.
5. Wulansari, Dewi. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama,
2010.
6. Republik Indonesia, UU No. 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria)
http://sarjanasujana.wordpress.com/2012/05/16/hukum-tanah-adat/

......
Memori van Toelichting
Tidak semua karya disini itu saya salin, ada pula yang murni dari analisis pribadi,
sehingga tidak memerlukan lagi catatan kaki ataupun daftar pustaka Sedangkan
apabila anda tidak senang dengan blog ini karena mungkin anda merasa ada karya
anda yang saya terbitkan tidak menyertakan sumber, saya mengucapkan maaf
yang sebesar-besarnya; semua semata-mata hanya kekhilafan, karena motivasi
utama saya dalam membuat blog ini adalah "demi kemajuan bangsa Indonesia
untuk lebih peka terhadap hukum sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bung
Karno". Serta yang terpenting ialah adagium, "Ignorantia iuris nocet" yang artinya

Ketidaktahuan akan hukum, mencelakakan, semoga blog bermanfaat untuk semua


orang untuk sadar hukum.
Disclaimer

Blog ini bukanlah blog ilmiah, dan Informasi yang tersedia di


www.raja1987.blogspot.com tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum,
namun hanya memberikan gambaran umum terhadap suatu informasi atau
permasalahan hukum yang sedang dihadapi.
-----------------------------nomor telepon : 085714669636
PIN Black Berry : 22641e94
surat elektronik : raja.saor@gmail.com
19
FEB
Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional
Dengan segala kerendahan hati diunggah oleh Fernandes Raja Saor, S.H. di 05:46

HUKUM ADAT DALAM HUKUM TANAH NASIONAL


PENGERTIAN HUKUM ADAT
Hukum Tanah Nasional tunggal yang berdasarkan Hukum Adat
Tadinya pada Rancangan UUPA susunan Soenarjo tidak memilih Hukum Adat
sebagai dasar Utama Pembangunan Tanah yang Baru. Namun dalam UUPA telah
menanggalkan kebhinekaan hukum di bidang pertanahan dan menciptakan hukum
tanah nasional yang tunggal pada hukum Adat. UUPA juga mengunifikasi hak-hak

penguasaan atas tanah maupun hak-hak atas tanah maupun hak-hak jaminan atas
tanah.
Hukum Adat dalam UUPA
Pernyataan hukum adat dapat dijumpai dalam UUPA pada : Konsiderans UUPA,
Penjelasan Umum angka III (1), Pasal 5, Penjelasan Pasal 5, Penjelasan Pasal 16,
Pasal 56, dan secara tidak langsung juga terdapat pada Pasal 58 UUPA.
Hukum Adat Mana?
Karena adanya berbagai definisi mengenai Hukum Adat dan juga secara sederhana
Hukum Adat di setiap daerah yang berbeda, maka Hukum Adat yang mana? C. Van
Vollenhoven menyebut hukum adat sebagai hukum adat sebagai hukum adat
golongan pribumi (Golongan III Pasal 131 IS) atau hukum adat golongan timur asing
(Golongan II Pasal 131 IS). Sementara itu dalam Penjelasan Umum III angka 1
mengisyaratkan bahwa hukum adat yang dimaksud ialah hukum aslinya golongan
pribumi, yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsure-unsur
nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan
keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.
Unsur-Unsur dan Pengejahwantahan Hukum Adat
Hukum Adat yang melekat pada masyarakat Hukum Adat tidak hanya diartikan
sebagai hukum positif yakni sebagai rangkaian norma-norma hukum. Namun
apabila ditinjau lebih lanjut maka hukum adat disusun dalam satu tatanan atau
sistem, dengan lembaga-lembaga hukum yang senantiasa berubah dan diperlukan
dalam memenuhi kebutuhan kongrit masyarakat-masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Dan hal tersebut sangat tergantung pada situasi dan keadaan
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
KONSEPSI dan SISTEM HUKUM ADAT
Konsepsi Hukum Adat
Komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual,
dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur
kebersamaan. Manifestasi lebih lanjut pada konsepsi ini ialah dengan adanya Tanah
Ulayat yang memiliki unsur kebersamaan dan terdapat fungsinya untuk
kepentingan bersama. Dan dengan demikian maka tanah ulayat, selain
mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah yang termasuk dalam ranah
hukum perdata, juga mengandung tugas mengelola yang masuk dalam hukum
publik. Hak Ulayat ini memungkinkan adanya hak Milik atas tanah yang dikuasai
pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat.
Sistem Hukum Adat
Sistem hak-hak penguasaan tanah pada masyarakat hukum adat ternyata
membentuk hirarki yang biasanya terjadi pada Tanah Ulayat adalah : (1) Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat, (2) Hak kepada Adat dan para tetua adat, (3) hak atas
tanah.
HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT
Hak Ulayat

Hak Ulayat (UUPA), Pertuan (Ambon), paer (Lombok), Beschickkingsrech (van


Vollenhoven) ,atau sebuah tanah masyarakat hukum adat tidaklah dapat dikatakan
sebagai tanah res nullius, Karena hak ulayat atas tanah masyarakat hukum adat
sangat luas yang meliputi semua tanah yang ada di wilayah masyarakat hukum
adat. Sedangkan yang dimaksud dengan hak ulayat ialah wewenang dan kewajiban
suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak
dalam lingkungan wilayahnya.
Kekuatan Hak Ulayat yang berlaku ke dalam
Kekuatan yang dapat memaksa masyarakat hukum adat dalam menguasai
masyarakat hukum adat adalah dengan memberikan kewajiban masyarakat hukum
adat untuk: memelihara kesejahteraan anggota masyarakat hukumnya, dan
mencegah agar tidak timbul bentrokan akibat penggunaan bersama. Dan yang
menarik ialah ketika pewaris meninggalkan warisan tanpa ahli waris maka
masyarakat hukum adatlah yang menjadi ahli warisnya.
Hubungan Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan
Ada pengaruh timbale balik antara Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan yakni
semakin banyak usaha yang dilakukan oleh seseorang atas suatu tanah maka
semakin kuat pula haknya atas tanah tersebut. Misalnya tanah yang memiliki
keratan dan semakin diakui sebagai hak milik, tiba-tiba tidak diusahakan lagi, maka
tanah pribadi tersebut diakui kembali menjadi hak Ulayat.
Kekuatan Hak Ulayat berlaku ke luar
Setiap orang yang bukan masyarakat hukum adat suatu daerah dilarang untuk
masuk limgkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat tanpa izin
Penguasa hukum adatnya. Cara mendapatkan izin ialah dengan memberikan barang
(pengisi adat) secara terang dan tunai.
Hak Ulayat dalam UUPA
Hak ulayat jelas sekali diakui dalam UUPA, dengan syarat mengenai eksistensinya
dan sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Yang menjadi kriteria eksistensi
hak ulayat dapat diakui ilalah tidak ada, sehingga pelemahan Tanah Ulayat di
berbagai daerah sangatlah sulit. Sedangkan UUPA tidak mendelegasikan
pengaturan mengenai Hak Ulayat dan membiarkan pegaturannya tetap berlaku
menurut hukum adat setempat. Kemudian pada prakteknya sangat sukar untuk
menetukan atau mencari tanah yang masih Tanah Ulayat. Mengenai imbalan ketika
telah melakukan Hak Asasi dapat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas
umum, atau bentuk lain yang diperlukan oleh masyarakat.
Hak Ulayat didalam UU Pokok Kehutanan
Hak Ulayat diabahas setengah hati dalam UU Kehutanan 1999, yang didefinisikan
sebagai hak bersama para warga masyarakat hukum adat dengan syarat
sebagaimana pasal 67.
HUBUNGAN FUNGSIONAL ANTARA HUKUM ADAT DAN HUKUM TANAH NASIONAL
Arti Hubungan Fungsional
Hukum adat dalam konsideran UUPA yang diakui sebagai dasar, ternyata tidak
berfungsi sebgaimana yang diharapkan. Seperti halnya dalam masalah gadai, Gadai
yang seyogyanya dalam masyarakat hukum adat dilakukan di hadapan Kepala Desa

(das solen), namun sekarang (das sein) telah diganti oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
Hukum Adat sebagai Sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional
Sumber Utama Hukum Adat yang diberlakukan sebagai Hukum Tanah nasional
adalah berupa konsepsi, asas, dan lembaga hukumnya. Konsepsi mendasar
sebagaimana pasal (1) ayat (2) ialah komunalistik dan religious, sedangkan asasnya
meliputi asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan,
asas pemerataan dan keadilan social, asas pemeliharaan tanah, asas pemisahan
horizontal.
Sumber-sumber Lain dalam Pembangunan Hukum Nasional
UUPA tidak menutup kesempatan untuk lembaga-lembaga yang dikenal dalam
hukum adat seperti lembaga-lembaga dari hukum asing sepanjang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pendaftaran
Tanah dengan melalui PPAT, adanya Hak Tanggungan, Hak Guna Usaha, dan Hak
Guna Bangunan merupakan lembaga hukum yang tidak dikenal dalam masyarakat
Hukum adat tetapi diakui UUPA.
Hukum Adat sebagai Pelengkap Hukum Tanah Nasional positif yang tertulis
Hukum Tanah Nasional adalah Hukum Adat (Pasal 5 UUPA), menunjukan fungsi
Hukum Adat sebagai sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional.
Maka jika sesuatu soal dalam Hukum Tanah tertulis belum lengkap maka berlakulah
Hukum Adat setempat. Hukum adat yang telah terkontaminasi feodalistik maupun
kapitalistik dalam konteks pelengkap Hukum Tanah Positif dalam penerapannya
harus dibersihkan terlebih dahulu dari ketentuan hukum asing. Sehingga dalam
praktik yang berwenang melakukan pemersihan atas Hukum Adat ini adalah Hakim
serta Penguasa Legislatif.
Tidak boleh bertentangan dengan Kepentingan nasional dan Negara
Hukum Adtat sudah semestinya untuk tidak bertentangan dengan Kepentingan
Nasional Negara, sehingga perlu adanya pembinaan dengan menguji hukum adat
agar tidak bertentangan.
Tidak boleh bertentangan dengan Sosialisme Indonesia
Perlu adanya pengaturan lebih lanjut mengenai sosialisme Indonesia, dalam hal ini
menghadapi hal-hal kongrit dalam masyarakat maka keinginnan dan kesadaran
hukum masyarakatlah yang merupakan pedoman.
Tidak boleh bertentangan dengan peraturan UUPA
Suatu contoh bahwa di Batak misalnya yang tidak memberikan kesempatan bagi
wanita untuk memiliki tanah karena patrilineal, sedangkan UUPA mengatur bahwa
tiap-tiap warganegara memiliki hak yang sama. Pertentangan tersebut yang berlaku
di Hukum Adat Batak dikesampingkan oleh UUPA sehingga di Batak memberi
kesempatan untuk wanita memiliki sebidang tanah.
Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya
Jadi peraturan perundang-undangan bisa mengenyampingkan hukum adat yang
berlaku asalkan dinyatakan demikian. Norma Hukum Kosong inilah yang sering
digunakan oleh penguasa untuk mengebiri keberadaan Hukum Adat dalam Hukum
Tanah Nasional.

Hukum Adat sebagai bagian dari Hukum Tanah Nasional


Hukum adat harus tetap menjadi acuan dalam pembentukan hukum hukum tanah
selanjutnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya penyerapan Hukum Adat
dalam Hukum Tanah Nasional semakin berkurang untuk dijadikan dasar.
Hukum kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat
Hukum adat yang lahir dari Yurisprudensi Pengadilan ataupun Hukum Adat yang
lahir dari Praktik Administrasi tidaklah dianggap sebagai Hukum Adat. Begitu juga
dengan pembentukan hukum baru karena adanya kekosongan hukum tidak
dianggap sebagai hukum adat.
Diringkas dari Bab VII Buku Sejarah Hukum Agraria, karangan Prof. Budi Harsono

Anda mungkin juga menyukai