Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti yang diketahui, tujuan ekonomi adalah memenuhi kebutuhan manusia dengan
menciptakan manfaat. Pengangkutan adalah satu jenis kegiatan yang menyangkut
peningkatan kebutuhan manusia dengan mengubah letak geografi orang maupun barang.
Ada tiga faktor ekonomis alasan kenapa pemerintah memiliki dan mengusahakan sendiri
upaya transpor ini, yaitu:
1. kurangnya kapital yang dimiliki oleh pihak swasta, sehingga tidak mampu bergerak
dibidang usaha pengangkutan tertentu.
2. adanya pemilihan usaha pada rute-rute tertentu oleh pihak swasta yang secara
ekonomis menguntungkan sehingga akan menuju kepada kapasitas yang berlebihan
di daerah tertentu.
3. karena kepemilikan secara swasta menyebabkan terpecah dan tersebarnya
penyediaan jasa angkutan secara tidak terkoordinir sehingga tidak terdapat efisiensi
dan keterpaduan dalam pelayanannya bagi masyarakat.
Hubungan antara pembangunan ekonomi dengan jasa pengangkutan adalah sangat
erat sekali dan saling tergantung satu sama lainnya. Oleh karena itu untuk membangun
perekonomian sendiri perlu didukung dengan perbaikan dalam bidang transpor atau
pengangkutan ini. Perbaikan dalam transportasi ini pada umumnya berarti akan dapat
menghasilkan terciptanya penurunan ongkos pengiriman barang-barang, terdapatnya
pengangkutan barang-barang dengan kecepatan lebih besar dan perbaikan dalam
kualitas atau sifat daripada jasa-jasa pengangkutan tersebut sendiri.
Pengangkutan di Indonesia memiliki peranan penting dalam memajukan dan
memperlancar perdagangan dalam maupun luar negeri karena adanya pengangkutan
dapat memperlancar arus barang dari daerah produksi ke konsumen sehingga
kebutuhan konsumen dapat terpenuhi. Hal tersebut dapat terlihat pada perkembangan
dewasa ini jasa pengangkutan di Indonesia mulai menunjukkan kemajuan, terbukti
dengan ditandainya banyaknya perusahaan industri yang percaya untuk menggunakan
jasa pengangkutan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu hukum pengangkutan?
2. Apa itu perjanjian pengangkutan?
3. Bagaimana prinsip-prinsip tanggung jawab pengangkut?

C. Tujuan Penulisan
Ada beberapa tujuan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Menjelaskan berkenaan dengan hukum pengangkutan
2. Menjelaskan tentang perjanjian pengangkutan
3. Menjelaskan tentang prinsip-prinsip tanggung jawab pengangkut

2
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengangkutan
Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan atau orang dari tempat
asal ke tempat tujuan. Dalam hal ini terkait unsur-unsur pengangkutan sebagai berikut:
1. Ada sesuatu yang diangkut
2. Tersedianya alat kendaraan sebagai alat pengangkutnya,
3. Ada tempat yang dilalui alat angkut
Fungsi pengangkutan yaitu memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke
tempat lain dengan maksud meningkatkan daya guna dan nilai.1 Dikatakan memberikan
nilai kepada barang yang diangkut karena nilai barang akan lebih tinggi di tempat tujuan
daripada di tempat asalnya. Peraturan hukum pengangkutan di Indonesia ditemukan dalam
beberapa peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang
pengangkutan, yaitu:
1. KUHD
2. UU No. 13 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
3. UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
4. UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
5. UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan
Adapun hal yang dapat diangkut seperti:
1. Pengangkutan Orang
Menurut pasal 3 BVS pengangkut kereta api, berkewajiban untuk mengangkut
setiap orang, kecuali bila ada ketentuan dalam BVS yang melarangnya. Larangan itu
disebut dalam pasal 13 BVS, yang isinya2:
a. Orang yang kelihatannya mabuk, berbahaya, dan memiliki gangguan,
b. Orang yang menderita penyakit menular,
c. Apabila mendapatkan orang seperti pada poin (a) dan (b), maka uang harga karcis
harus dikembalikan,

1
Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, cetakan kedua (Yogyakarta: FH UII Press,
2014), hlm.371.
2
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia III: Hukum Pengangkutan (Jakarta:
Djambatan, 2003), hlm.74.

3
d. Pengangkutan orang-orang seperti di atas dapat diperkenankan bila orang itu di
bawah pengawasan yang berwajib dan mendapat tempat khusus.
Penumpang boleh membawa barang bawaan tangan yang harus diletakan pada
tempat yang sudah disediakan dan tidak perlu membayar (pasal 29 BVS). Tetapi
penumpang dilarang membawa barang-barang seperti di bawah ini (pasal 30 BVS)3:
a. Barang atau binatang yang berbahaya,
b. Barang atau binatang yang tidak boleh diangkut dengan kereta api,
c. Penumpang yang berbuat melanggar ketentuan seperti di atas,
d. Barang atau binatang yang bertentangan dengan ketentuan di atas.

2. Pengangkutan Barang
Pengangkutan barang dengan kereta api dapat dilakukan dengan beberapa jenis
pengangkutan, yaitu: pengangkutan barang muatan (vrachtgoed), kiriman kilat
(ijlgoed), barang kiriman (bestelgoed) dan bagasi (bagage).4
a. Pengangkutan sebagai barang kiriman (bestelgoed)
Barang yang beratnya tidak lebih dari 50 kg, diangkut sebagai “barang
kiriman”, kecuali pengirim meminta bagar barangnya dikirim sebagai “barang
muatan” atau “barang kilat” (pasal 95, (1) BVS).
b. Pengangkutan sebagai barang muatan (vrachtgoed)
Pasal 95 BVS menetapkan barang-barang yang diperbolehkan dikirim sebagai
“barang kiriman”, maka barang-barang lain di luar ketentuan tersebut dalam pasal
95 BVS, harus dikirim sebagai “barang muatan”.
c. Pengangkutan sebagai kiriman kilat (ijlgoed)
Barang yang dikirim sebagai kiriman kilat ini, pelaksanaannya lebih cepat
daripada pengangkutan sebagai “barang muatan” atau “barang kiriman”.
Ketentuannya hampir sama dengan kedua jenis pengiriman di atas.
d. Pengangkutan barang sebagai bagasi (bagage)
Apabila barang tidak bisa dibawa sebagai barang bawaan, maka harus
dibagasikan. Pemilik barang bagasi harus memiliki surat bukti bagasi.

3
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang..., hlm., 76.
4
Ibid.

4
3. Pengangkutan Pos, Telegram, dan Telepon
Pada akhir-akhir ini PN Pos dan Telekomunikasi itu sangat berkembang pesat,
sehingga PN Pos dan Telekomunikasi itu perlu dipecah menjadi dua perusahaan, yang
masing-masing berdiri sendiri, yaitu dengan:
a. PP No. 29 Tahun 1965 telah didirikan PN Pos dan Giro,
b. PP No. 30 Tahun 1965, telah didirikan PN Telekomunikasi,
c. PP No. 36 Tahun 1974, PN Telekomunikasi telah dialih bentukan menjadi Perum
Telekomunikasi (Perusahaan Umum Telekomunikasi).

B. Jenis-Jenis Pengangkutan
Jenis pengangkutan diklarifikasikan menjadi 3 di antaranya, yaitu:
1. Pengangkutan Darat
Yang dimaksud dengan pengangkutan darat yaitu Proses kegiatan membawa
barang atau penumpang ke dalam pengangkutan, dari tempat pengangkutan ke tempat
tujuan yang dilakukan di darat seperti pengangkutan dengan menggunakan kereta api
dan kendaraan yang lainnya.
a. Kereta api
Pengusahaan pengangkutan dengan kereta api itu dilakukan oleh sebuah
perusahaan hukum yang disebut “Perusahaan Jawatan Kereta Api”. PJKA ini ada
di bawah lingkungan Departemen Perhubungan. Bentuk badan hukum dari PJKA
itu sudah mengalami 3 kali perubahan, yakni:
1. Dengan S. 1939-556, bentuk badan hukum PJKA adalah, yang termasuk dalam
golongan perusahaan I.B.W. (Indonesische Bedrijvenwet)
2. Dengan PP No. 22 Tahun 1963, bentuk badan hukum itu diubah menjadi
“Perusahaan Negara Kereta Api”(PNKA),
3. Dengan PP No. 61 Tahun 1971, bentuk PNKA diubah lagi menjadi PJKA.
PJKA ini adalah perusahaan yang modalnya sepenuhnya milik Pemerintah
Indonesia dan ditempatkan di bawah lingkungan Departemen Perhubungan.
Pengusaha pengangkutan dengan kereta api berkewajiban untuk mengangkut
barang atau orang sesuai dengan tugas yang diberikan kepada PJKA, kecuali kalau
dalam BVS ada ketentuan yang melarangnya (pasal 3 dan 4 BVS)5.

5
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang..., hlm., 74.

5
b. Kendaraan
Kendaraan itu sendiri menurut pasal 1 angka 7 UU Lalu Lintas dan Angkutan
jalan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas kendaraan bermotor dan
kendaraan tidak bermotor. Kendaraan bermotor menurut pasal 1 angka 8 UU Lalu
Lintas dan Angkutan jalan adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan
mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di atas rel. Adapun
peraturan-peraturan yang penting mengenai pengangkutan melalui jalan umum ini
adalah:
1. UU No. 3 Tahun 1965, tentang “Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya”,
2. “Wegverkeersverordening”, yang telah diubah dan ditambah dengan PP No. 44
Tahun 1954 dan PP No. 2 Tahun 1964, tentang “Peraturan Lalu Lintas Jalan”,
3. Penetapan Lalu Lintas Jalan Perhubungan (Surat Keputusan Direktur
Perhubungan dan Perairan, tanggal 26 September 1936, No. W.1/9/2, Bilblad
no. 13699,
4. Penetapan Lalu Lintas Jalan Dalam Negeri (Surat Keputusan Direktur
Pemerintahan Dalam Negeri, tanggal 8 Oktober 1936, No. Pol. 35/6/1, Bilblad
No. 13700,
5. UU No. 33 Tahun 1964, tentang “Dana Pertanggungan wajib Kecelakaan
Penumpang”,
6. PP No. 17 Tahun 1965, tentang “Ketentuan pelaksanaan dana pertanggungan
wajib kecelakaan penumpang”,
7. PP No. 18 Tahun 1965, tentang “Ketentuan-ketentuan Pelaksanaan dana
kecelakaan lalu lintas jalan”.
Di tingkat pusat dan di setiap Daerah Tingkat I dibentuk Dewan Angkutan Darat
Pusat dan Dewan Angkutan Daerah, yang memberi pertimbangan masing-masing
kepada Menteri dan kepada Gubernur/ Kepala Daerah yang bersangkutan (pasal
31, ULL). Tugas pokok Dewan Angkutan Darat ialah mengkoordinasikan segala
usaha dan kegiatan di bidang angkutan darat, baik dalam taraf perencanaan,
pembinaan maupun dalam taraf pelaksanaan dan pengawasan. Dewan Angkutan
Darat Pusat dibentuk dengan keputusan Presiden, sedangkan Dewan Angkutan
Darat Daerah dibentuk dengan keputusan Menteri. Berikut susunan anggota:
1. Pejabat-pejabat Pemerintah yang mempunyai keahlian dalam bidang angkutan
darat dan tugasnya berhubungan dengan pembinaan angkutan darat,
2. Wakil-wakil organisasi perusahaan,

6
3. Wakil-wakil organisasi buruh.
Dalam UU No. 3 Tahun 1965, tentang “Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya”
tidak mengandung aturan khusus tentang pengangkutan orang, perjanjian
pengangkutan orang, hak dan kewajiban pengangkut terhadap penumpang dan
sebaliknya. Mengenai pengangkutan barang-barang dengan kendaraan bermotor
umum diatur dalam Bab X, pasal 22 dan 23 ULL. Pengangkutan kendaraan bermotor
juga harus dipertanggungjawabkan oleh pengusaha terhadap kerugian-kerugian yang
diderita oleh penumpang dan kerusakan-kerusakan barang dalam kendaraan tersebut,
kecuali dia dapat membuktikan bahwa kerugian itu terjadi di luar kesalahannya. Tetapi
tanggung jawab itu tidak ada, bila kerusakan tersebut terjadi karena tidak sempurnanya
bungkusan barang yang diangkut dan hal itu telah diberitahukan oleh pengangkut
kepada pengirim sebelum pengangkutan dimulai (pasal 24 ULL).
Pengangkutan darat, diatur dalam KUHD, Buku I, Bagian 2 dan 3, mulai pasal 90
sampai dengan 98. Dalam bagian ini diatur sekaligus pengangkutan darat dan
pengangkutan perairan darat, tetapi hanya khusus mengenai pengangkutan barang.
Peraturan-peraturan khusus lainnya, misalnya:
a. S. 1927-262, tentang pengangkutan dengan kereta api,
b. UU No. 3 Tahun 1965, tentang “Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Raya”,
c. S. 1936-451 bsd. PP No. 28 Tahun 1951, yang telah diubah dan ditambah dengan
PP No. 44 Tahun 1954 dan PP No. 2 Tahun 1964, tentang “Peraturan Lalu- Lintas
Jalan”
d. Peraturan tentang pos dan telekomunikasi dan lain-lain.

2. Pengangkutan Udara
Pengangkutan udara yaitu proses kegiatan membawa barang atau penumpang
ke dalam pengangkutan, dari tempat pengangkutan ke tempat tujuan yang dilakukan
di Udara dengan menggunakan pesawat. Pesawat dalam arti luas mencakup pesawat
terbang, helikopter, pesawat terbang layang.6 Pasal 1 angka UU No. 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan (selanjutnya disebut UU Penerbangan) mendefinisikan pesawat
udara sebagai setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena adanya gaya
angkat dari reaksi udara, tetapi bukan reaksi udara terhadap permukaan bumi yang

6
Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, . . . hlm.373.

7
digunakan penerbangan.7 Pasal 1 angka 4 UU Penerbangan mendefinisikan pesawat
terbang sebagai pesawat udara yang lebih berat dari udara, dengan sayap tetap dan
dapat terbang dengan tenaga sendiri.

3. Pengangkutan Laut
Proses kegiatan membawa barang atau penumpang ke dalam pengangkutan,
dari tempat pengangkutan ke tempat tujuan yang dilakukan di laut. Keuntungan
pengangkutan di laut yaitu daya angkut lebih besar, dan biayanya lebih murah.
Sedangkan kerugian pengangkutan di laut yaitu proses pengangkutan berlangsung
lama, dan kegiatan pelayaran dipengaruhi oleh faktor alam yang dapat mengganggu
jadwal yang sudah direncanakan menjadi tidak sesuai rencana.
Pasal 1 angka 36 UU Pelayaran, kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan
jenis tertentu yang di gerakan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, ditarik atau
ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah
pemukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
Pasal 309 ayat 1 KUHD adalah benda yang mengapung dan bergerak di air, Pasal 1
UU Pelayaran memperluas makna kapal dengan termasuk kendaraan di bawah
permukaan air seperti kapal selam.
Demikian jelas bahwa pengertian kapal yang telah disebutkan di atas adalah
pengertian yang sangat luas, sehingga yang dimaksud dengan kapal tidak hanya kapal
atau perahu yang sudah biasa dikenal masyarakat, tetapi juga mencakup, misal dok
terapung, alat pengeruk pasir laut, alat penyedot lumpur di laut, dan rumah atau
bangunan terapung.

C. Perjanjian Pengangkutan
1. Definisi Perjanjian
Hukum perjanjian diatur dalam buku III BW (K.U.H. Perdata) sebagai sebagian
dari BW yang terdiri dari IV buku. Perjanjian atau Verbintenis adalah suatu hubungan
hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak

7
Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, . . . hlm.374.

8
pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain
untuk menunaikan prestasi. Perjanjian dibagi menjadi8:
a. Perjanjian Positif dan Negatif
Yaitu pembagian perjanjian yang ditinjau dari segi “isi” prestasi yang harus
dilaksanakan. Suatu perjanjian dikatakan positif apabila pelaksanaan prestasi, yang
dimaksudkan dalam isi perjanjian merupakan “tindakan positif”, baik berupa
“memberi/menyerahkan” sesuatu barang atau “melakukan” sesuatu perbuatan.
Sedangkan sesuatu perjanjian dikatakan “negatif”, apabila prestasi yang menjadi
maksud perjanjian merupakan sesuatu tindakan negatif Ini terdapat pada
persetujuan yang berupa “tidak melakukan sesuatu”.
b. Perjanjian Sepintas Lalu Dan Yang Berlangsung
Disebut perjanjian sepintas lalu, apabila pemenuhan prestasi berlangsung
sekaligus dalam waktu yang singkat dan dengan demikian perjanjian pun berakhir.
Misalnya persetujuan jual beli. Sedangkan perjanjian yang berlangsung terus,
apabila pemenuhan dan pelaksanaan prestasi langsung dalam jangka waktu yang
lama. Misalnya perjanjian sewa menyewa dan perjanjian kerja. Kewajiban prestasi
dalam kedua perjanjian tersebut berlangsung lama sesuai dengan jangka waktu
yang ditentukan dan seolah-olah merupakan rekanan kerja sama.
c. Perjanjian Alternatif
Penggolongan perjanjian alternatif ini didasarkan pada segi isi dan maksud
perjanjian maupun dari segi subjek. Dalam perjanjian ini, debitur dalam memenuhi
kewajibannya melaksanakan prestasi, dapat “memilih” salah satu di antara prestasi
yang telah ditentukan. Akan tetapi alternatif tadi bisa juga didasarkan pada segi
subjek. Yakni debitur diberi kebebasan memilih pemenuhan prestasi, apakah
prestasi itu akan dipenuhinya langsung kepada kreditur sendiri atau kepada pihak
ketiga.
d. Perjanjian Generik dan Spesifik
Perjanjian generik adalah perjanjian yang hanya menentukan jenis dan jumlah
benda/barang yang harus diserahkan debitur seperti yang diatur dalam pasal 1392
B.W “perjanjian generik debitur dalam memenuhi kewajibannya guna
membebaskan dirinya atas pemenuhan prestasi, tidak berkewajiban untuk

8
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, cetakan kedua, (Bandung: PT. Alumni, 1986), hlm.6.

9
menyerahkan jenis yang “terbaik”. Tetapi sebaliknya debitur tidak boleh
menyerahkan jenis yang “terburuk”.
Lain halnya dengan perjanjian spesifik (pasal 1391). Apabila benda yang
menjadi objek perjanjian yang ditentukan hanya “ciri-cirinya” saja, maka terjadilah
perjanjian spesifik. Jadi yang ditentukan hanya ciri-ciri khusus dari benda.
e. Perjanjian Bersyarat
Yaitu perjanjian yang pelaksanaannya digantungkan kepada sesuatu pada masa
yang akan datang yang belum pasti terjadi. Dari hal itu, kita dapat menduga,
kemungkinan kejadian yang disyaratkan itu betul-betul terjadi dalam kenyataan.
Sebaliknya kejadian itu tidak pernah muncul sampai batas waktu yang ditentukan.
Apabila syarat itu benar-benar terjadi dalam kenyataan, perjanjian bersyarat tadi
menjadi perjanjian “bersyarat yang positif”. Sedangkan jika kejadian yang
dijadikan sebagai syarat tidak terlaksana sebagaimana yang ditentukan dalam
perjanjian, disebut perjanjian “bersyarat negatif”.

2. Perjanjian Pengangkutan
Dari segi hukum perjanjian, pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik
antara pengangkut dan pengirim barang atau penumpang. Dengan perjanjian
pengangkutan ini, pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang atau orang ke suatu tempat tujuan tertentu, dan pihak-pihak
pengirim barang atau penumpang mengikat dirinya pula untuk membayar ongkos
angkutannya.9
R. Subekti mendefinisikan perjanjian pengangkutan sebagai suatu perjanjian di
mana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa barang atau orang dari
suatu tempat ke tempat lain, sedangkan pihak lainnya menyanggupi untuk membayar
ongkos angkutannya.
Menurut UU ada perbedaan antara pengangkut dan ekspeditur. Ekspeditur
hanya memberikan jasa dalam pengiriman barang saja dan pada hakikatnya hanya
memberikan ke perantaraan antara pihak yang hendak mengirimkan barang dan pihak
yang mengangkut barang tersebut.10

9
Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, . . . hlm.375.
10
Ibid.

10
Di dalam perjanjian pengangkutan yang terlibat hanya pengangkut dan
pengirim barang atau penumpang. Sedangkan penerima barang tidak terlibat di
dalamnya karena penerima barang merupakan pihak ketiga yang kepentingannya atas
penyerahan barang. Kewajiban utama pengangkut yaitu “menyelenggarakan”
pengangkutan dari tempat asal ke tempat tujuan. Pengangkut juga berkewajiban
menjaga keselamatan barang atau penumpang yang diangkutnya hingga sampai di
tempat tujuan yang dijanjikan.
Dan apabila pengangkut telah melaksanakan kewajibannya berarti pengangkut
telah terikat pada konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung oleh pengangkut
barang atau penumpang dengan bertanggungjawab terhadap penumpang dan barang
yang diangkutnya. Demikian berarti pengangkut berkewajiban menanggung segala
kerugian yang diderita oleh penumpang atau barang yang diangkutnya. Tanggung
jawab yang dimaksudkan yaitu ganti rugi (kompensasi). Masa tanggung jawab
pengangkut menurut KUHD dimulai sejak barang-barang diterima hingga saat
penyerahan (Pasal 468 KUHD).

D. Prinsip - Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut


Dikenal 3 prinsip tanggung jawab hukum pengangkutan di antaranya, yaitu:11
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya unsur kesalahan ( fault liability, liability
based on fault)
Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan antara lain dianut oleh UU No.
1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (selanjutnya disebut UU penerbangan) dalam
kaitannya dengan tanggung jawab pengangkut terhadap bagasi kabin. Pasal 143
Penerbangan menentukan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian
karena hilang atau rusak bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan
bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang
diperkerjakannya.”

2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability),


Menurut prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga, tergugat dianggap
bertanggungjawab atas segala kerugian yang timbul, tetapi tergugat dapat

11
Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, . . . hlm.377.

11
membebaskan tanggung jawabnya, apabila ia dapat membuktikan bahwa dirinya tidak
bersalah. Pada dasarnya prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga adalah juga
prinsip berdasarkan adanya kesalahan, tetapi dengan pembalikan beban pembuktian
kepada pihak tergugat.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga ini dianut oleh konvensi Warsawa
1929. Menurut Pasal 17 Konvensi Warsawa, pengangkut bertanggungjawab terhadap
kerugian, kematian, luka-luka atau cedera yang diderita seorang penumpang bila
kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu terjadi di dalam pesawat, atau selama
melakukan kegiatan embarkasi atau debarkasi. Kemudian Pasal 18 ayat (1)
menyebutkan bahwa pengangkut bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi sebagai
akibat musnahnya, hilangnya, atas rusaknya bagasi atau kargo jika kejadian yang
menyebabkan kerugian-kerugian tersebut terjadi selama dalam pengangkutan udara.
Pasal 19 mengatur mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap
keterlambatan dalam pengangkutan udara. Prinsip tanggung jawab atas dasar praduga
ini juga dianut dalam pengangkutan laut yang diatur dalam pasal 468 ayat (2) KUHD,
yang berbunyi “Pengangku diwajibkan membayar ganti rugi yang disebabkan karena
tidak diserahkannya barang seluruhnya atau sebagian atau karena kerusakan barang,
kecuali bilamana ia membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang atau kerusakan
itu adalah akibat dari suatu peristiwa yang sepantasnya tidak dapat dicegah atau
dihindarinya, akibat sifat keadaan atau cacat benda sendiri atau dari kesalahan
pengirim.”
Berkaitan dengan tanggung jawab perusahaan angkutan umum terhadap
penumpang UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga, menurut prinsip tanggung jawab
atas dasar praduga. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 192 ayat (1) UU Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan yang menentukan “Perusahaan angkutan umum
bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang yang meninggal dunia
atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian
yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan penumpang.”
Ketentuan yang sama terdapat Pasal 193 ayat (1) UU Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan. Pasal ini menentukan bahwa perusahaan angkutan umum bertanggungjawab atas
kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena musnah, hilang, atau rusaknya
barang disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atas
kesalahan pengirim.

12
Ketika penggugat hendak mengajukan tuntutan untuk mendapatkan santunan
cukup dengan menunjukkan bahwa kecelakaan atau kerugian yang menimpa dirinya
terjadi selama berada dalam pesawat udara, atau ketika melakukan kegiatan embarkasi
atau debarkasi, atau selama pengangkutan udara. Kemudian apabila pengangkut
berupaya untuk membebaskan tanggung jawabnya, maka ia harus membuktikan bahwa
ia tidak bersalah.
Sebagai imbalan adanya pembalikan beban pembuktian tersebut, maka prinsip
tanggung jawab berdasarkan praduga ini diiringi adanya ketentuan pembatasan
tanggung jawab. Tanggung jawab pengangkut untuk memberikan santunan dibatasi
hingga limit tertentu.

3. Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liablity atau absolute liability atau strict
liability).
Tergugat atau pengangkut selalu bertanggung jawab tanpa ada atau tidaknya
kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah. Dengan kata lain, di dalam prinsip
tanggung jawab mutlak ini memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan
untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak.
Prinsip tanggung jawab ini di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan istilah strict
liability dan absolute liability. Dari kedua istilah tersebut, beberapa pakar ada yang
membedakannya, tetapi juga ada yang menyamakannya.
Winfield, friedman dan Mirsea Mateesco Matte membedakan antara absolute liability
dan strict liability dengan memperhatikan ada tidak kemungkinan untuk membebaskan
diri dari tanggung jawab, sedangkan di dalam absolute liability hal tersebut tidak
dimungkinkan.
Prinsip tanggung jawab mutlak ini dalam hukum pengangkutan udara
internasional pertama kali diterapkan dalam Protokol Guatemala City 1971. Protokol
Guatemala City juga menghapuskan ketentuan pembebasan tanggung jawab
pengangkut yang diatur Pasal 20 ayat 1 Konvensi Warsawa 1929. Pengangkut hanya
dapat membebaskan tanggung jawabnya jika ia dapat membuktikan bahwa kematian
atau luka-lukanya penumpang semata-mata disebabkan oleh keadaan penumpang
sendiri atau kerugian itu turut disebabkan kesalahan penumpang sendiri. Dengan
diterapkannya absolute liability ini, pengangkut wajib memberikan santunan kepada
korban tanpa mempermasalahkan apakah pengangkut melakukan kesalahan atau tidak.

13
Berkaitan dengan tanggung jawab kepada penumpang di dalam hukum pengangkutan
udara domestik, prinsip tanggung jawab mutlak juga telah dianut UU Penerbangan.
Sehubungan dengan hal ini, Pasal 141 ayat (1) UU Penerbangan menentukan bahwa
pengangkut bertanggungjawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat
tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara
atau naik turun pesawat udara.

14
BAB 3
KESIMPULAN

Pengangkutan merupakan proses kegiatan membawa barang atau penumpang ke dalam


pengangkutan, dari tempat pengangkutan ke tempat tujuan. Dalam hal ini terkait unsur-
unsur pengangkutan sebagai berikut:
1. Ada sesuatu yang diangkut
2. Tersedianya alat kendaraan sebagai alat pengangkutnya,
3. Ada tempat yang dilalui alat angkut
Terkait dengan pengangkutan, berikut apa saja yang dapat diangkut:
1. Pengangkutan Orang
2. Pengangkutan Barang
3. Pengangkutan Pos, Telegram, dan Telepon
Adapun jenis-jenis pengangkutan, yaitu:
1. Pengangkutan Darat
2. Pengangkutan Udara
3. Pengangkutan Laut
Dalam melaksanakan atau menyelenggarakan pengangkutan, diperlukan adanya
perjanjian. Karena dengan perjanjian pengangkutan ini, pihak pengangkut mengikatkan
dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang ke suatu tempat tujuan
tertentu, dan pihak-pihak pengirim barang atau penumpang mengikat dirinya pula untuk
membayar ongkos angkutannya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian, cetakan kedua. Bandung: PT. Alumni.

Khairandy, Ridwan. 2014. Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, cetakan kedua.


Yogyakarta: FH UII Press.

Purwosutjipto, H.M.N. 2003. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia III: Hukum
Pengangkutan. Jakarta: Djambatan.

16

Anda mungkin juga menyukai