A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa mampu :
1. Memahami Dasar Hukum Pengangkutan di Jalan, Pengangkutan Orang,
Pengangkutan Barang.
2. Menjelaskan Kewajiban dan Hak, Perlintasan Sebidang
.
B. URAIAN MATERI
1. Pendahuluan
Kata pengangkutan berasal dari kata dasar angkut yang berarti
mengangkat dan membawa. Dalam kamus hukum tercantum bahwa, pengangkutan
adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, di mana
pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang
dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat,
sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. (Widagdo
413) Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan atau
aktivitas kehidupan manusia sehari-hari.
Pengangkutan adalah “orang yang mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke
tempat tujuan tertentu dengan selamat.” (Utari 6) Pengangkutan adalah kegiatan
pemuatan penumpang atau barang kedalam alat pengangkut, pemindahan
penumpang atau barang ketempat tujuan dengan alat pengangkut, dan penurunan
penumpang atau pembongkaran barang dari alat pengangkut ketempat tujuan yang
disepakati. (Muhamad 42) Sedangkan hukum pengangkutan adalah sebuah
perjanjian timbal balik, yang mana pihak pengangkut mengikat diri untuk untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ketempat tujuan tertentu,
sedangkan pihak lainnya (pengirim atau penerima, penumpang) berkeharusan
1
untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut.
2
pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengangkutan. Melalui pengkajian
tersebut akan diperoleh penemuan dan pemahaman baru mengenai pengangkutan.
Penemuan dan pengalaman baru tersebut akan dimanfaatkan untuk
meningkatkan mutu pengaturan dan sifat perilaku atau perbuatan teratur
masyarakat dalam pengangkutan. Melalui pengkajian akan diketahui sejauh mana
ketentuan hukum pengangkutan yang berlaku itu (das sollen) sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dalam kegiatan pengangkutan (das sein). Teori hukum
pengangkutan adalah serangkaian ketentuan undang-undang atau perjanjian
mengenai pengangkutan yang direkonstruksikan sedemikian rupa sehingga
menggambarkan proses kegiatan pengangkutan.
Teori hukum pengangkutan merupakan gambaran secara jelas rekonstruksi
ketentuan undang-undang atau perjanjian bagaimana seharusnya para pihak
berbuat sehingga tujuan pengangkutan itu tercapai.
Apabila teori hukum pengangkutan ini diterapkan pada pengangkutan,
penerapannya disebut praktik hukum pengangkutan. Praktik hukum pengangkutan
merupakan rangkaian peristiwa mengenai pengangkutan. Rangkaian peristiwa
tersebut merupakan proses kegiatan mulai dari pemuatan kedalam alat pengangkut,
pemindahan ke tempat tujuan yang telah ditentukan, dan penurunan/pembongkaran
di tempat tujuan. Proses rangkaian perbuatan ini dapat diamati secara nyata pada
setiap pelaksanaan pengangkutan. Dengan kata lain, teori hukum pengangkutan
hanyalah mempunyai nilai guna jika dilaksanakan melalui setiap jenis
pengangkutan.
Praktik hukum pengangkutan merupakan rangkaian perilaku atau
perbuatan sebagai pelaksanaan atau realisasi dari ketentuan undang-undang,
perjanjian, konvensi internasional, dan kebiasaan mengenai pengangkutan.
Perilaku atau perbuatan tersebut dapat diketahui melalui serangkaian tindakan
nyata (perbuatan empiris atau melalui instrumen hukum berupa dokumendokumen
pengangkutan yang membuktikan bahwa perbuatan (action) sudah dilakukan.
Kajian praktik hukum pengangkutan termasuk dalam penelitian hukum terapan
(applied law) bidang hukum pengangkutan.
Praktik hukum pengangkutan adalah serangkaian perbuatan nyata yang
3
masih berlangsung (in action) atau perbuatann yang sudah selesai dilakukan,
seperti keputusan hakim atau yurisprudensi (judge made law), dokumen hukum
(legal documents), seperti karcis penumpang dan surat muatan barang. Praktik
hukum pengangkutan menyatakan secara empiris peristiwa perbuatan pihakpihak
sehingga tujuan pengangkutan itu tercapai dan ada pula yang tidak tercapai. Tidak
tercapainnya tujuan dapat terjadi karena wanprestasi salah satu pihak atau karena
keadaan memaksa (force majeur).1 Dalam hal ini peraturan pengangkutan darat
diatur terperinci pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan serta Peraturan PerundangUndangan yang ada dibawahnya.
3. Pengangkutan Orang
a. Pengangkutan orang pada Pengangkutan di jalan
4
sebagaimana dimaksud dijelaskan dalam Pasal 142 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan meliputi:
a. Angkutan Lintas Batas Negara Angkutan lintas batas Negara adalah
angkutan dari satu kota ke kota lain yang melewati lintas batas negara
dengan menggunakan mobil bus umum yang terikat dalam trayek
(Penjelasan Pasal 142 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
b. Angkutan Antarkota Antar Provinsi Angkutan antarkota antar Provinsi
adalah angkutan dari satu kota ke kota lain yang melalui daerah
kabupaten/kota yang melewati satu daerah provinsi yang terikat dalam
trayek (Penjelasan Pasal 142 huruf b Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan).
c. Angkutan Antar Kota Dalam Provinsi Angkutan antar Kota dalam
Provinsi adalah angkutan dari satu kota ke kota lain antardaerah
kabupaten/kota dalam satu daerah provinsi yang terikat dalam trayek
(Penjelasan Pasal 142 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
d. Angkutan Perkotaan Angkutan perkotaan adalah angkutan dari satu
tempat ke tempat lain dalam kawasan perkotaan yang terikat dalam
trayek (Penjelasan Pasal 142 huruf d Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan).
Kawasan perkotaan yang dimaksud berupa:
1) Kota sebagai daerah otonom.
2) Bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan.
3) Kawasan yang berada dalam bagian dari dua atau lebih daerah yang
berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan.
5
tempat ke tempat lain dalam satu daerah kabupaten yang tidak
bersinggungan dengan trayek angkutan perkotaan (Penjelasan Pasal 142
huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
Pelayanan Angkutan Umum berdasarkan Pasal 151
UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas 15 dan Angkutan Jalan merupakan Angkutan Orang
Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek, meliputi sebagai
berikut:
1) Angkutan orang dengan menggunakan taksi Angkutan orang
dengan menggunakan taksi adalah Angkutan dengan menggunakan
Mobil Penumpang umum yang diberi tanda khusus dan dilengkapi
dengan argometer yang melayani Angkutan dari pintu ke pintu
dengan wilayah operasi dalam Kawasan Perkotaan (Pasal 1 ayat 15
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia 108 Tahun
2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan
Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek).
2) Angkutan orang dengan tujuan tertentu Angkutan orang dengan
tujuan tertentu adalah Angkutan Orang Dengan Kendaraan
Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek dengan menggunakan Mobil
Penumpang umum atau Mobil Bus umum untuk keperluan angkutan
antar jemput, angkutan karyawan, angkutan permukiman, angkutan
carter, dan angkutan sewa umum serta angkutan sewa khusus (Pasal
1 ayat 16 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia 108
Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan
Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek).
3) Angkutan orang untuk keperluan pariwisata Angkutan orang untuk
keperluan pariwisata adalah Angkutan dengan menggunakan Mobil
Penumpang umum dan Mobil Bus umum yang dilengkapi dengan
tanda khusus untuk keperluan wisata serta memiliki tujuan tempat
wisata (Pasal 1 ayat 17 Peraturan Menteri Perhubungan Republik
6
Indonesia 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan
Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek).
d. Angkutan orang di kawasan tertentu. Angkutan orang di kawasan
tertentu adalah Angkutan dengan menggunakan Mobil Penumpang
umum yang dioperasikan dijalan lokal dan jalan lingkungan (Pasal 1
ayat 18 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia 108
Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan
Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek).
7
mengangkut penumpang dan/atau barang dari suatu tempat tertentu ke
tempat tertentu lainnya dengan selamat, tidak menimbulkan kerugian, dan
penumpang dapat merasa nyaman dengan fasilitas yang diberikan.
Penumpang dan/atau pengirim barang berdasarkan Pasal 491 KUHD
mempunyai kewajiban membayar ongkos-ongkos angkutan kepada PT
KAI, sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang dibuktikan dengan karcis
atau surat muatan yang dimiliki oleh penumpang dan atau pengirim barang.
Luas dan batas tanggung jawab pengangkut ditentukan oleh pasal 1236 dan
1246 KUHPerdata. Pengangkut dalam hal ini tidak dapat melakukan
pengurangan atau penghapusan tanggung jawab, karena hal tersebut dapat
terjadi apabila adanya persetujuan dari pengirim dan penerima (Pasal 1320
KUHPerdata) dan mengenai penghapusan tanggung jawab tidak dapat
dilakukan bila terdapat unsur kesegajaan pengangkut (1338 KUHPerdata).
4. Pengangkutan Barang
a. Pengangkutan barang dalam pengangkutan di jalan
8
b. Pengangkutan barang barang pada pengangkutan dengan kereta api
9
b. Menyimpan dan menjaga barang pengirim ketika ekspeditur belum
mendapatkan pengangkut yang memenuhi syarat. Untuk itu diberlakukan
ketentuan-ketentuan mengenai penyimpanan barang (bewaargeving), Pasal
1694 KUHPerdata.
c. Memelihara register harian tentang macam, jumlah barang-barang dagangan
dan barang lainnya yang harus diangkut, begitu pula harganya (Pasal 86 ayat
(2) KUHD). Hal ini erat hubunganya dengan Pasal 6 KUHD. Kecuali register
harian tersebut di atas, dia harus membuat surat muatan (vrachtbrief-Pasal 90
KUHD) pada tiap-tiap barang yang akan diangkut.
Selain kewajiban-kewajiban di atas, ekspeditur juga mendapatkan hak untuk
menerima provisi (imbalan jasa) dari pengirim barang.
6. Perlintasan Sebidang
1. Ketentuan dalam Perencanaan Perlintasan Sebidang
Berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat,
Pedoman Teknis Perlintasan Sebidang Antara Jalan Raya dengan Jalan Kereta
Api yang dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan tahun 2005 maupun
Perencanaan Perlintasan Jalan dengan Jalan Kereta Api oleh Departemen
10
Pemukiman dan Prasarana Wilayah tahun 2004, ada 2 ketentuan dalam
perencanaan perlintasan sebidang yaitu:
a. Ketentuan umum dalam pedoman perlintasan jalan dengan jalur kereta api
harus memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
1) Keselamatan lalu lintas, dimana kereta api mempunyai prioritas utama.
2) Pandangan bebas pemakai jalan.
3) Kepentingan pejalan kaki.
4) Drainase jalan.
5) Kepentingan penyandang cacat.
6) Desain yang ramah lingkungan.
b. Ketentuan Teknis sebagai berikut :
1) Geometrik pada perlintasan sebidang (sarana dan prasarana, klasifikasi,
fungsi jalan, potongan melintang dan daerah/ruang bebas).
2) Pengaturan lalu lintas.
3) Tipe struktur perkerasan pada perlintasan sebidang.
11
sebagai berikut :
1) Kecepatan kereta api yang melintas pada perlintasan kurang dari 60
km/jam.
2) Selang waktu antara kereta api satu dengan kereta api berikutnya
(headway) yang melintas pada lokasi tersebut minimal 30 (tiga puluh)
menit.
3) Jalan yang melintas adalah jalan kelas III.
4) Jarak perlintasan yang satu dengan yang lainnya pada satu jalur kereta
api tidak kurang dari 800 meter.
5) Tidak terletak pada lengkungan jalur kereta api atau jalan.
6) Jarak pandang bebas bagi masinis kereta api minimal 500 meter
maupun pengendara kendaraan bermotor dengan jarak minimal 150
meter.
e. Pembangunan perlintasan sebidang yang dimaksud harus memenuhi
persyaratan :
1) Permukaan jalan harus satu level dengan kepala rel dengan toleransi 0,5
cm.
2) Terdapat permukaan datar sepanjang 60 cm diukur dari sisi terluar jalan
rel.
3) Maksimum gradient untuk dilewati kendaraan dihitung dari titik
tertinggi di kepala rel adalah : a) 2% diukur dari sisi terluar permukaan
datar sebagaimana dimaksud pada huruf (b) untuk jarak 9,4 meter. b)
10% untuk 10 meter berikutnya dihitung dari titik terluar sebagai
gradient peralihan.
4) Lebar perlintasan untuk satu jalur jalan maksimum 7 meter.
5) Sudut perpotongan antara jalan rel dengan jalan harus 90o dan panjang
jalan yang lurus minimal harus 150 meter dari as jalan rel.
f. Pada perlintasan sebidang, kereta api mendapat prioritas berlalu lintas dan
harus dilengkapi dengan :
1) Rambu, marka dan alat pemberi isyarat lalu lintas,
12
2) Petugas penjaga pintu perlintasan. Berdasarkan Peraturan Direktorat
Jenderal Perhubungan Darat Nomor : SK.770/KA.401/DRJD/2005
tentang Pedoman Teknis Perlintasan Sebidang antara Jalan dengan Jalur
Kereta Api bahwa penentuan perlintasan sebidang adalah sebagai
berikut :
a. Jumlah kereta api yang melintas pada lokasi tersebut
sekurangkurangnya 25 kereta/hari dan sebanyak-banyaknya 50
kereta/hari.
b. Volume lalu lintas harian rata-rata (LHR) sebanyak 1.000 sampai
dengan 1.500 kendaraan pada jalan dalam kota dan 300 sampai dengan
500 kendaraan pada jalan luar kota.
c. Hasil perkalian antara volume lalu lintas harian rata-rata (LHR) dengan
frekuensi kereta api antara 12.500 samapai dengan 35.000 smpk.
Apabila melebihi kententuan diatas, maka perlintasan sebidang harus
ditingkatkan menjadi perlintasan tidak sebidang.
DAFTAR PUSTAKA
13
Ariyanto. "Perbandingan Asas Itikad Baik;Dalam Perjanjian Menurut system Perbandingan Asas Itikad
Baik;Dalam Perjanjian Menurut system Anglo Saxon." Faculty of Law and Social Sciences
Ganesha University of Education (2016): 2. Vol.2, Nomor 2, ISSN :2356-4164.
Fardan. "Tanggung Jawab Pengangkutan Terhadap Penumpang pada Angkutan Jalan Menurut undang-
undang nomor 22 tahun 2009." Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 1, Volume 1 (2013): 3.
FDC, Drs. Sudjatmiko. Pokok – pokok Pelayaran Niaga. Jakarta: Akademi Pressindo, 2001.
M.S., Amir. Seluk Beluk Niaga dan Perdagangan Internasional. Bharata Karya Aksara, 2000.
Muhamad, Abdul Kadir. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: Citra Aditya Bakri, 2013.
Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara. Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti,
1991.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti, 2010.
Ningrum, Lestari. Usaha Perjalanan Wisata dalam Perspektif Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004.
R.I. Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. n.d.
RI. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Pasa; 1 Angka 1. 2007.
Tjakranegara, Soegijatna. Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang. Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1995. Cet.I.
14