Anda di halaman 1dari 14

PERTEMUAN KE 5

HUKUM PENGANGKUTAN DARAT

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa mampu :
1. Memahami Dasar Hukum Pengangkutan di Jalan, Pengangkutan Orang,
Pengangkutan Barang.
2. Menjelaskan Kewajiban dan Hak, Perlintasan Sebidang
.

B. URAIAN MATERI

1. Pendahuluan
Kata pengangkutan berasal dari kata dasar angkut yang berarti
mengangkat dan membawa. Dalam kamus hukum tercantum bahwa, pengangkutan
adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, di mana
pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang
dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat,
sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. (Widagdo
413) Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan atau
aktivitas kehidupan manusia sehari-hari.
Pengangkutan adalah “orang yang mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke
tempat tujuan tertentu dengan selamat.” (Utari 6) Pengangkutan adalah kegiatan
pemuatan penumpang atau barang kedalam alat pengangkut, pemindahan
penumpang atau barang ketempat tujuan dengan alat pengangkut, dan penurunan
penumpang atau pembongkaran barang dari alat pengangkut ketempat tujuan yang
disepakati. (Muhamad 42) Sedangkan hukum pengangkutan adalah sebuah
perjanjian timbal balik, yang mana pihak pengangkut mengikat diri untuk untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ketempat tujuan tertentu,
sedangkan pihak lainnya (pengirim atau penerima, penumpang) berkeharusan

1
untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut.

2. Dasar Hukum Pengangkutan di Jalan


Peraturan hukum pengangkutan adalah keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur tentang jasa pengangkutan. Istilah peraturan hukum (rule of law) dalam
definisi ini meliputi semua ketentuan:
a. Undang-undang pengangkutan;
b. Perjanjian pengangkutan;
c. Konvensi internasional tentang pengangkutan;
d. Kebiasaan dalam pengangkutan kereta api, darat, perairan, dan penerbangan.
Peraturan hukum tersebut meliputi juga asas hukum, norma hukum, teori
hukum, dan praktik hukum pengangkutan. Asas hukum pengangkutan merupakan
landasan filosofis (fundamental norm) yang menjadi dasar ketentuan-ketentuan
pengangkutan yang menyatakan kebenaran, keadilan, dan kepatutan yang diterima
oleh semua pihak. Kebenaran, keadilan, dan kepatutan juga menjadi tujuan yang
diharapkan oleh phak-pihak. Asas tersebut dijelmakan dalam bentuk ketentuan-
ketentuan (rules) yang mengatur pengangkutan niaga. Asas hukum sebagai
landasan filosofis ini digolongkan sebagai filsafat hukum (Legal Philosophy)
mengenai pengangkutan.
Norma hukum pengangkutan merupakan rumusan ketentuan-ketentuan
dalam undang-undang, perjanjian, konvensi internasional, dan kebiasaan yang
mengatur tentang pengangkutan. Norma hukum pengangkutan berfungsi mengatur
dan menjadi pedoman perilaku atau perbuatan pihak-pihak yang berkepentingan
dalam pengangkutan. Fungsi pengaturan ini mengarahkan pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pengangkutan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki,
yaitu tiba di tempat tujuan dengan selamat, aman, bermanfaat, nilai guna
meningkat, dan menguntungkan semua pihak.
Teori hukum pengangkutan merupakan kajian pengembangan hukum
pengangkutan yang bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sangat berguna
bagi masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan. Objek kajian pengembangan
tersebut meliputi ketentuan-ketentuan hukum pengangkutan dan pengalaman nyata

2
pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengangkutan. Melalui pengkajian
tersebut akan diperoleh penemuan dan pemahaman baru mengenai pengangkutan.
Penemuan dan pengalaman baru tersebut akan dimanfaatkan untuk
meningkatkan mutu pengaturan dan sifat perilaku atau perbuatan teratur
masyarakat dalam pengangkutan. Melalui pengkajian akan diketahui sejauh mana
ketentuan hukum pengangkutan yang berlaku itu (das sollen) sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dalam kegiatan pengangkutan (das sein). Teori hukum
pengangkutan adalah serangkaian ketentuan undang-undang atau perjanjian
mengenai pengangkutan yang direkonstruksikan sedemikian rupa sehingga
menggambarkan proses kegiatan pengangkutan.
Teori hukum pengangkutan merupakan gambaran secara jelas rekonstruksi
ketentuan undang-undang atau perjanjian bagaimana seharusnya para pihak
berbuat sehingga tujuan pengangkutan itu tercapai.
Apabila teori hukum pengangkutan ini diterapkan pada pengangkutan,
penerapannya disebut praktik hukum pengangkutan. Praktik hukum pengangkutan
merupakan rangkaian peristiwa mengenai pengangkutan. Rangkaian peristiwa
tersebut merupakan proses kegiatan mulai dari pemuatan kedalam alat pengangkut,
pemindahan ke tempat tujuan yang telah ditentukan, dan penurunan/pembongkaran
di tempat tujuan. Proses rangkaian perbuatan ini dapat diamati secara nyata pada
setiap pelaksanaan pengangkutan. Dengan kata lain, teori hukum pengangkutan
hanyalah mempunyai nilai guna jika dilaksanakan melalui setiap jenis
pengangkutan.
Praktik hukum pengangkutan merupakan rangkaian perilaku atau
perbuatan sebagai pelaksanaan atau realisasi dari ketentuan undang-undang,
perjanjian, konvensi internasional, dan kebiasaan mengenai pengangkutan.
Perilaku atau perbuatan tersebut dapat diketahui melalui serangkaian tindakan
nyata (perbuatan empiris atau melalui instrumen hukum berupa dokumendokumen
pengangkutan yang membuktikan bahwa perbuatan (action) sudah dilakukan.
Kajian praktik hukum pengangkutan termasuk dalam penelitian hukum terapan
(applied law) bidang hukum pengangkutan.
Praktik hukum pengangkutan adalah serangkaian perbuatan nyata yang

3
masih berlangsung (in action) atau perbuatann yang sudah selesai dilakukan,
seperti keputusan hakim atau yurisprudensi (judge made law), dokumen hukum
(legal documents), seperti karcis penumpang dan surat muatan barang. Praktik
hukum pengangkutan menyatakan secara empiris peristiwa perbuatan pihakpihak
sehingga tujuan pengangkutan itu tercapai dan ada pula yang tidak tercapai. Tidak
tercapainnya tujuan dapat terjadi karena wanprestasi salah satu pihak atau karena
keadaan memaksa (force majeur).1 Dalam hal ini peraturan pengangkutan darat
diatur terperinci pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan serta Peraturan PerundangUndangan yang ada dibawahnya.

3. Pengangkutan Orang
a. Pengangkutan orang pada Pengangkutan di jalan

Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di dalam Pasal


140 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan terdiri atas :

1) Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek


Angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek adalah
angkutan yang dilayani dengan mobil penumpang umum atau bus umum
dalam wilayah perkotaan dan/ atau kawasan tertentu atau dari suatu tempat
ke tempat lain, mempunyai asal dan tujuan lintasan dan waktu yang tetap.
2) Angkutan orang dengan kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek
Angkutan orang dengan kendaraan Bermotor Umum tidak dalam
trayek adalah angkutan yang dilayani dengan mobil penumpang umum atau
bus umum dalam wilayah perkotaan dan/ atau kawasan tertentu atau dari
suatu tempat ke tempat lain, mempunyai asal dan tujuan tetapi tidak
mempunyai lintasan dan waktu yang tetap (Pasal 1 ayat (3) Peraturan
Menteri Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum
Tidak Dalam Trayek).
Angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek

4
sebagaimana dimaksud dijelaskan dalam Pasal 142 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan meliputi:
a. Angkutan Lintas Batas Negara Angkutan lintas batas Negara adalah
angkutan dari satu kota ke kota lain yang melewati lintas batas negara
dengan menggunakan mobil bus umum yang terikat dalam trayek
(Penjelasan Pasal 142 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
b. Angkutan Antarkota Antar Provinsi Angkutan antarkota antar Provinsi
adalah angkutan dari satu kota ke kota lain yang melalui daerah
kabupaten/kota yang melewati satu daerah provinsi yang terikat dalam
trayek (Penjelasan Pasal 142 huruf b Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan).
c. Angkutan Antar Kota Dalam Provinsi Angkutan antar Kota dalam
Provinsi adalah angkutan dari satu kota ke kota lain antardaerah
kabupaten/kota dalam satu daerah provinsi yang terikat dalam trayek
(Penjelasan Pasal 142 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
d. Angkutan Perkotaan Angkutan perkotaan adalah angkutan dari satu
tempat ke tempat lain dalam kawasan perkotaan yang terikat dalam
trayek (Penjelasan Pasal 142 huruf d Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan).
Kawasan perkotaan yang dimaksud berupa:
1) Kota sebagai daerah otonom.
2) Bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan.
3) Kawasan yang berada dalam bagian dari dua atau lebih daerah yang
berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan.

e. Angkutan Perdesaan Angkutan perdesaan adalah angkutan dari satu

5
tempat ke tempat lain dalam satu daerah kabupaten yang tidak
bersinggungan dengan trayek angkutan perkotaan (Penjelasan Pasal 142
huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
Pelayanan Angkutan Umum berdasarkan Pasal 151
UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas 15 dan Angkutan Jalan merupakan Angkutan Orang
Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek, meliputi sebagai
berikut:
1) Angkutan orang dengan menggunakan taksi Angkutan orang
dengan menggunakan taksi adalah Angkutan dengan menggunakan
Mobil Penumpang umum yang diberi tanda khusus dan dilengkapi
dengan argometer yang melayani Angkutan dari pintu ke pintu
dengan wilayah operasi dalam Kawasan Perkotaan (Pasal 1 ayat 15
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia 108 Tahun
2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan
Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek).
2) Angkutan orang dengan tujuan tertentu Angkutan orang dengan
tujuan tertentu adalah Angkutan Orang Dengan Kendaraan
Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek dengan menggunakan Mobil
Penumpang umum atau Mobil Bus umum untuk keperluan angkutan
antar jemput, angkutan karyawan, angkutan permukiman, angkutan
carter, dan angkutan sewa umum serta angkutan sewa khusus (Pasal
1 ayat 16 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia 108
Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan
Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek).
3) Angkutan orang untuk keperluan pariwisata Angkutan orang untuk
keperluan pariwisata adalah Angkutan dengan menggunakan Mobil
Penumpang umum dan Mobil Bus umum yang dilengkapi dengan
tanda khusus untuk keperluan wisata serta memiliki tujuan tempat
wisata (Pasal 1 ayat 17 Peraturan Menteri Perhubungan Republik

6
Indonesia 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan
Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek).
d. Angkutan orang di kawasan tertentu. Angkutan orang di kawasan
tertentu adalah Angkutan dengan menggunakan Mobil Penumpang
umum yang dioperasikan dijalan lokal dan jalan lingkungan (Pasal 1
ayat 18 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia 108
Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan
Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek).

b. Pengangkutan orang pada pengangkutan kereta api


1. Pengangkutan Perkeretapian
Secara umum dinyatakan bahwa setiap pengangkutan bertujuan untuk tiba
di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi
penumpang ataupun barang yang diangkut.Pengangkutan PT KAI wajib
mengangkut penumpang yang telah memiliki karcis penumpang sesuai
dengan tingkat pelayanan yng disepakati. Pengangkut wajib mengganti
kerugian akibat kelalaian pengangkut sesuai dengan perjanjian dan
ketentuan Undang-undang Perkeretaapian. Sacara khusus, setiap jenis
pengangkutan mempunyai tujuan yang khusus pula. Demikian juga
pengangkutan dengan kereta api bertujuan untuk:

a. Memperlancar perpindahan orang atau barang secara massal dengan


selamat, aman, nyaman, cepat dan lancar, tepat, tertib, teratur dan
efesien.
b. Menunjang pemerataan, pertumbuhan,stabilitas, pendorong dan
penggerak pembangunan nasional

2. Dasar Hukum Pengangkutan Perkeretapian


Pengangkutan kereta api pada dasarnya merupakan perjanjian
antara pengangkut dengan penumpang sehingga berlaku Pasal 1235, 1338
KUH Perdata di mana PT KAI sebagai pengangkut menyediakan jasa untuk

7
mengangkut penumpang dan/atau barang dari suatu tempat tertentu ke
tempat tertentu lainnya dengan selamat, tidak menimbulkan kerugian, dan
penumpang dapat merasa nyaman dengan fasilitas yang diberikan.
Penumpang dan/atau pengirim barang berdasarkan Pasal 491 KUHD
mempunyai kewajiban membayar ongkos-ongkos angkutan kepada PT
KAI, sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang dibuktikan dengan karcis
atau surat muatan yang dimiliki oleh penumpang dan atau pengirim barang.
Luas dan batas tanggung jawab pengangkut ditentukan oleh pasal 1236 dan
1246 KUHPerdata. Pengangkut dalam hal ini tidak dapat melakukan
pengurangan atau penghapusan tanggung jawab, karena hal tersebut dapat
terjadi apabila adanya persetujuan dari pengirim dan penerima (Pasal 1320
KUHPerdata) dan mengenai penghapusan tanggung jawab tidak dapat
dilakukan bila terdapat unsur kesegajaan pengangkut (1338 KUHPerdata).

4. Pengangkutan Barang
a. Pengangkutan barang dalam pengangkutan di jalan

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan


Jalan menjelaskan bahwa kendaraan adalah suatu sarana angkut dijalan yang
terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. Kendaraan
Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik
berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel. Kendaraan bermotor
umum adalah “setiap kendaraan yang digunakan untuk mengangkut orang
dan/atau barang dengan dipungut bayaran.” Kendaraan khusus adalah
kendaraan bermotor yang penggunaannya untuk keperluan khusus atau
mengangkut barang-barang khusus. Termasuk keperluan khusus antara lain
kendaraan derek, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan ambulance,
kendaraan ternak, kendaraan barang berbahaya, dan kendaraan pencampuaran
beton

8
b. Pengangkutan barang barang pada pengangkutan dengan kereta api

Pengangkutan dengan kereta api diatur dalam Undang-undang Nomor 23


Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem
yang terdiri atas prasarana, sarana, dan sumber daya manusia, serta norma,
kriteria, persyaratan, dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta
api. (RI)Jenis alat angkut tersebut disebut kereta api. Dalam Pasal 1 angka 1
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, “ Kereta api
adalah sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri
maupun dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun
sedang bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta api” .
Adapun kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan pemindahan orang
dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kereta
api. Jenis angkutan barang pada kereta api menggunakan gerbong. Angkutan
barang terdiri atas barang umum; barang khusus; barang bahan berbahaya dan
beracun; limbah bahan berbahaya dan beracun.

5. Kewajiban dan Hak


Perjanjian akan menimbulkan hak dan kewajiban para pihak. Hubungan
kewajiban dan hak timbal balik antara pengangkut, ekspeditur, dan pengirim terjadi
karena perbuatan, kejadian, atau keadaan dalam proses pengiriman. Akibat dari
hubungan hukum tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban, dimana hak
merupakan suatu yang diterima, sedangkan kewajiban merupakan beban.
(Ariyanto)

Hak dan kewajiban para pihak antara lain sebagai berikut :

1. Hak dan Kewajiban Ekspeditur Kewajiban perusahaan ekspedisi antara lain :


a. Melaksanakan kuasa dari pengirim untuk melakukan segala tindakan untuk
mengirim barang. Dengan ini maka dia tunduk pada ketentuanketentuan
mengenai pemberian kuasa (Pasal 1792 sampai dengan 1819 KUHPerdata).

9
b. Menyimpan dan menjaga barang pengirim ketika ekspeditur belum
mendapatkan pengangkut yang memenuhi syarat. Untuk itu diberlakukan
ketentuan-ketentuan mengenai penyimpanan barang (bewaargeving), Pasal
1694 KUHPerdata.
c. Memelihara register harian tentang macam, jumlah barang-barang dagangan
dan barang lainnya yang harus diangkut, begitu pula harganya (Pasal 86 ayat
(2) KUHD). Hal ini erat hubunganya dengan Pasal 6 KUHD. Kecuali register
harian tersebut di atas, dia harus membuat surat muatan (vrachtbrief-Pasal 90
KUHD) pada tiap-tiap barang yang akan diangkut.
Selain kewajiban-kewajiban di atas, ekspeditur juga mendapatkan hak untuk
menerima provisi (imbalan jasa) dari pengirim barang.

2. Hak dan Kewajiban Pengirim barang


Hak pengirim adalah barang yang dia berikan kepada perusahaan
ekspedisi sampai ke tempat tujuan dengan tepat waktu dan kondisi baik dan
kewajibannya adalah memberikan ongkos pengiriman kepada pihak perusahaan
ekspedisi.

3. Hak dan Kewajiban Pengangkut


Kewajiban pengangkut yaitu menyelenggarakan pengangkutan dari tempat
asal ke tempat tujuan. Pengangkut juga berkewajiban menjaga keselamatan barang
atau penumpang yang diangkutnya hingga sampai di tempat tujuan yang
diperjanjikan. Sebaliknya pengangkut juga berhak atas ongkos angkutan yang telah
ia selenggarakan.

6. Perlintasan Sebidang
1. Ketentuan dalam Perencanaan Perlintasan Sebidang
Berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat,
Pedoman Teknis Perlintasan Sebidang Antara Jalan Raya dengan Jalan Kereta
Api yang dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan tahun 2005 maupun
Perencanaan Perlintasan Jalan dengan Jalan Kereta Api oleh Departemen

10
Pemukiman dan Prasarana Wilayah tahun 2004, ada 2 ketentuan dalam
perencanaan perlintasan sebidang yaitu:

a. Ketentuan umum dalam pedoman perlintasan jalan dengan jalur kereta api
harus memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
1) Keselamatan lalu lintas, dimana kereta api mempunyai prioritas utama.
2) Pandangan bebas pemakai jalan.
3) Kepentingan pejalan kaki.
4) Drainase jalan.
5) Kepentingan penyandang cacat.
6) Desain yang ramah lingkungan.
b. Ketentuan Teknis sebagai berikut :
1) Geometrik pada perlintasan sebidang (sarana dan prasarana, klasifikasi,
fungsi jalan, potongan melintang dan daerah/ruang bebas).
2) Pengaturan lalu lintas.
3) Tipe struktur perkerasan pada perlintasan sebidang.

2. Persyaratan Perlintasan Sebidang Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan


Nomor 36 Tahun 2011 Tentang Perpotongan dan Persinggungan antara Jalur
Kereta Api dengan Bangunan Lain disebutkan bahwa persyaratan perlintasan
sebidang adalah sebagai berikut :
a. Perpotongan antara jalur kereta api dengan bangunan lain dapat berupa
perpotongan sebidang atau perpotongan tidak sebidang.
b. Perpotongan antara jalur kereta api dengan jalan disebut perlintasan.
c. Perlintasan dibuat sebidang, jika :
1) Letak geografis yang tidak memungkinkan membangun perlintasan
tidak sebidang.
2) Tidak membahayakan dan mengganggu kelancaran operasi kereta api
dan lalu Iintas di jalan.
3) Pada jalur tunggal dengan frekuensi dan kecepatan kereta api rendah
d. Perlintasan sebidang sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan ketentuan

11
sebagai berikut :
1) Kecepatan kereta api yang melintas pada perlintasan kurang dari 60
km/jam.
2) Selang waktu antara kereta api satu dengan kereta api berikutnya
(headway) yang melintas pada lokasi tersebut minimal 30 (tiga puluh)
menit.
3) Jalan yang melintas adalah jalan kelas III.
4) Jarak perlintasan yang satu dengan yang lainnya pada satu jalur kereta
api tidak kurang dari 800 meter.
5) Tidak terletak pada lengkungan jalur kereta api atau jalan.
6) Jarak pandang bebas bagi masinis kereta api minimal 500 meter
maupun pengendara kendaraan bermotor dengan jarak minimal 150
meter.
e. Pembangunan perlintasan sebidang yang dimaksud harus memenuhi
persyaratan :
1) Permukaan jalan harus satu level dengan kepala rel dengan toleransi 0,5
cm.
2) Terdapat permukaan datar sepanjang 60 cm diukur dari sisi terluar jalan
rel.
3) Maksimum gradient untuk dilewati kendaraan dihitung dari titik
tertinggi di kepala rel adalah : a) 2% diukur dari sisi terluar permukaan
datar sebagaimana dimaksud pada huruf (b) untuk jarak 9,4 meter. b)
10% untuk 10 meter berikutnya dihitung dari titik terluar sebagai
gradient peralihan.
4) Lebar perlintasan untuk satu jalur jalan maksimum 7 meter.
5) Sudut perpotongan antara jalan rel dengan jalan harus 90o dan panjang
jalan yang lurus minimal harus 150 meter dari as jalan rel.

f. Pada perlintasan sebidang, kereta api mendapat prioritas berlalu lintas dan
harus dilengkapi dengan :
1) Rambu, marka dan alat pemberi isyarat lalu lintas,

12
2) Petugas penjaga pintu perlintasan. Berdasarkan Peraturan Direktorat
Jenderal Perhubungan Darat Nomor : SK.770/KA.401/DRJD/2005
tentang Pedoman Teknis Perlintasan Sebidang antara Jalan dengan Jalur
Kereta Api bahwa penentuan perlintasan sebidang adalah sebagai
berikut :
a. Jumlah kereta api yang melintas pada lokasi tersebut
sekurangkurangnya 25 kereta/hari dan sebanyak-banyaknya 50
kereta/hari.
b. Volume lalu lintas harian rata-rata (LHR) sebanyak 1.000 sampai
dengan 1.500 kendaraan pada jalan dalam kota dan 300 sampai dengan
500 kendaraan pada jalan luar kota.
c. Hasil perkalian antara volume lalu lintas harian rata-rata (LHR) dengan
frekuensi kereta api antara 12.500 samapai dengan 35.000 smpk.
Apabila melebihi kententuan diatas, maka perlintasan sebidang harus
ditingkatkan menjadi perlintasan tidak sebidang.

C. LATIHAN DAN TUGAS

1. Jelaskan pengertian orang dijalan ?

2. Jelaskan hak dan kewajiban dalam pengangkutan ?

DAFTAR PUSTAKA

13
Ariyanto. "Perbandingan Asas Itikad Baik;Dalam Perjanjian Menurut system Perbandingan Asas Itikad
Baik;Dalam Perjanjian Menurut system Anglo Saxon." Faculty of Law and Social Sciences
Ganesha University of Education (2016): 2. Vol.2, Nomor 2, ISSN :2356-4164.

Fardan. "Tanggung Jawab Pengangkutan Terhadap Penumpang pada Angkutan Jalan Menurut undang-
undang nomor 22 tahun 2009." Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 1, Volume 1 (2013): 3.

FDC, Drs. Sudjatmiko. Pokok – pokok Pelayaran Niaga. Jakarta: Akademi Pressindo, 2001.

Hamzah, Andi. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

M.S., Amir. Seluk Beluk Niaga dan Perdagangan Internasional. Bharata Karya Aksara, 2000.

Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum : Suatu Pengantar. Jakarta: Liberty, 1986.

Muhamad, Abdul Kadir. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: Citra Aditya Bakri, 2013.

Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara. Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti,
1991.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti, 2010.

Ningrum, Lestari. Usaha Perjalanan Wisata dalam Perspektif Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004.

Nurhayani, Neng Yani. Hukum Perdata. Bandung: Pustaka Setia, 2015.

R.I. Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. n.d.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1986.

RI. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Pasa; 1 Angka 1. 2007.

Tjakranegara, Soegijatna. Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang. Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1995. Cet.I.

Utari, Siti. Pengangkutan Laut. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

WARMAN, John Begjomulyo. Manajemen pergudangan John Warman; diterjemahkan oleh,


Begdjamuljo. Jakarta: Jakarta Sinar Harapan, 2010.

Widagdo, Setiawan. Kamus Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012.

14

Anda mungkin juga menyukai