Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan
bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang
lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia akan mengalami peristiwa yang merupakan
hukum yang lazimnya disebut dengan meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu
meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu bagaimana tentang
pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia.

Menurut pakar hukum Indonesia, Wirjono Prodjodikoro, hukum waris diartikan sebagai
hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia
(Pewaris), dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain (Ahli Waris).
Meskipun pengertian hukum waris tidak tercantum dalam KUH Perdata, namun tata cara
pengaturan hukum waris tersebut diatur oleh KUH Perdata. Sedangkan berdasarkan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 mengenai Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam Indonesia,
pengertian hukum waris adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan atas harta
peninggalan Pewaris, lalu menentukan siapa saja yang berhak menjadi Ahli Waris dan berapa
besar bagian masing-masing.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, dapat dirumuskan
beberapa pokok masalah yang menjadi kajian dalam penelitian ini. Rincian dari pokok masalah
ini dinyatakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa itu kewarisan menurut KHI ?
2. Bagaimana pemahaman mengenai waris menurut BW ?
3. Apa itu waris menurut persepektif hukum adat ?

1
C. Tujuan Penelitian

Mengiringi latar belakang serta permasalahan sebelumnya diharapkan tulisan ini mampu
menjawab dan mengungkap persoalan melalui pembahasan yang mudah dimengerti dan terarah
dengan baik. Untuk mewujudkan semua itu, ada beberapa tujuan dan nilai guna yang ingin
dicapai, antara lain:

1. Memahami apa itu Hukum Kewarisan dalam pandangan KHI.


2. Memahami bagaimana BW memandang mengenai Hukum Kewarisan.
3. Mengetahui kewarisan dari sisi Hukum Adat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Kewarisan Menurut KHI

Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) Hukum Kewarisan sendiri diatur pada buku II Yang
terdiri dari 43 pasal yaitu mulai dari pasal 171 sampai pasal 214.

Adapun definisi hukum kewarisan dalam KHI ialah:

Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing (Pasal 171 a. KHI). 1

Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang
meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Dengan demikian secara garis besar
definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seorang yang
meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam
mewarisi.2

Dari dua pembahasan di atas kita tentunya tidak asing dengan istilah pewaris dan juga ahli
waris, karena pada setiap pembahasan mengenai waris tentu sudah pasti akan menyangkut
dengan kedua istilah ini, jadi sekarang kita juga akan membahas mengenai pewaris dan juga ahli
waris menurut KHI:

a. Pewaris

Mengenai pewaris tercantum dalam Pasal 171 huruf b : “Pewaris adalah orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.”

Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya pewarisan disyaratkan untuk pewaris
adalah telah meninggal dunia, baik secara hakiki maupun hukum.

1
Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI, (Jakarta: 2007), hal 114
2
Muslih Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Cet, keI,1997, hlm. 6.

3
b. Ahli Waris

Kriteria sebagai ahli waris tercantum di dalam Undang-undang Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 171 huruf c yang berbunyi :

“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris”

Dari Pasal 174, 181, 182 dan 185 KHI dapat dilihat bahwa ahli waris terdiri atas :

1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, kakek dan suami

2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan isteri.

3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti adalah seperti cucu laki-laki
atau perempuan dari anak laki-laki atau perempuan.

Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat
sebagai ahli waris adalah; mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Tentang beragama Islam bagi
ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 172 KHI : “Ahli waris dipandang beragama Islam
apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau 36 kesaksian, sedangkan
bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.”

Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah seseorang yang dinyatakan
mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau
perkawinan dan beragama Islam serta tidak terhalang mewarisi seperti yang disebutkan di dalam
pasal 173 KHI. Meskipun demikian tidak secara otomatis setiap anggota keluarga dapat
mewarisi harta peninggalan pewarisnya, meskipun kriteria dalam pasal 173 KHI telah terpenuhi.
Karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan si mati dan ada juga hubunganya
lebih jauh dengan si mayit.

4
Dalam hal ini, para ahli waris harus mengingat urutannya masing-masing, dan didalam urut-
urutan penerimaan harta warisan seringkali yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga
yang dekat hubungannya dengan pewaris akan tetapi tidak tergolong sebagai ahli waris karena
dari kelompok dzawil arham yaitu orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan
pewaris tetapi tidak menerima warisan karena terhijab oleh ahli waris utama.

B. Hukum Kewarisan Dalam perspektif BW

Buku II KUHPerdata, tidak hanya mengatur tentang Benda dan Hak Kebendaan semata-mata,
tetapi juga mengatur tentang Hukum Waris.
KUHPerdata memandang hak mewaris adalah hak kebendaan atas harta kekayaan dari orang
yang meninggal dunia (Pasal 528 KUHPerdata). Di samping itu, Pasal 584 KUHPerdata
menyebutkan hak mewaris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak milik, sedangkan cara -
cara untuk memperoleh hak milik diatur dalam Buku II KUHPerdata, sehingga hukum waris
ditempatkan dalam Buku II KUHperdata. 3

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua


Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengatakan:
Bahwa hukum waris adalah hukum-hukum atau peraturanperaturan yang mengatur, tentang
apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.

Sedangkan Subekti dalam Pokok-pokok Hukum Perdata tidak menyebutkan definisi hukum
kewarisan, hanya beliau mengatakan asas hukum waris, menurut Subekti:
Dalam Hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku satu asas, bahwa
hanyalah hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja
yang dapat diwariskan. Oleh karena itu hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan
hukum kekeluargaan pada umumnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepribadian misalnya
hak-hak dan kewajiban sebagai seorang suami atau sebagai seorang ayah tidak dapat
diwariskan, begitu pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang sebagai anggota suatu
perkumpulan.

3
Djaja S. Meliala, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2018), Cetakan ke-1, h. 1.

5
Menurut Wirjono Prodjodikoro Mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, bahwa
pengertian kewarisan menurut KUH Perdata memperlihatkan unsur, yaitu:

Ke 1: Seorang peninggal warisan atau (erflater) yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan.
Unsur pertama ini menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai di mana hubungan seseorang
peninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana
si peninggal warisan berada;
Ke 2: Seseorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak menerima kekayaan
yang ditinggalkan itu, menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai di mana harus ada tali
kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal warisan dapat
beralih kepada si ahli waris;
Ke 3: Harta warisan (halatenschap), yaitu ujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih
kepada ahli waris itu; menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai di mana ujud kekayaan
yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana si peninggal warisan
dan ahli waris bersama-sama berada.4

Dalam sistem hukum waris menurut versi KUH Perdata, dikenal dua macam ahli waris, yaitu:

1. Ahli waris karena kedudukannya sendiri (dalam bahasa Belanda uit eigen hoofde), Yang
dimaksud dengan ahli waris karena kedudukannya sendiri adalah para ahli waris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 852 ayat (1) KUH Perdata, yaitu anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sama atau dari perkawinan yang berlain-lainan yang mewaris kepada kedua
orang tuanya, kepada kakek/ nenek dan keluarga selanjutanya menurut garis lurus ke atas,
dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan perempuan, atau antara yang lahir terlebih
dahulu dengan yang lahir kemudian.

4
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(BW), (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1994), Cetakan ke-1, h. 104-106.

6
2. Ahli waris karena pergantian tempat (dalam bahasa Belanda bij plaatsvervulling), Yang
dimaksudkan dengan ahli waris karena pergantian tempat adalah orang yang mewaris yang
sebenarnya bukan ahli waris, tetapi kedudukannya berubah menjadi ahli waris karena yang
seharusnya menjadi ahli waris lebih dahulu meninggal dunia dari pewaris. Misalnya seorang
ayah meninggal dunia, namun ada anaknya yang lebih dahulu meninggal dunia, tetapi dari anak
yang lebih dahulu meninggal dunia tersebut terdapat cucu-cucunya (cucu-cucu dari pewaris).
Maka dalam hal ini, cucu-cucu dari pewaris tersebut mendapatkan hak sebesar hak orang tuanya
seandainya orang tuanya tersebut masih hidup. 5

C. Hukum Kewarisan Dalam Pandangan Hukum Adat

Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem
dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan itu dialihkan penguasaan dan
pemilikkannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah
hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. 6
Beberapa pengertian hukum waris adat menurut para ahli :
Menurut Ter Haar : “Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara
bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud
dan tidak berwujud dari generasi pada generasi”. 7
Menurut Soepomo : “Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang
tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya”. 8 Dengan demikian,
hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta
kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para ahli warisnya.

5
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), Cetakan ke-2, h. 142-144.
6
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h.8.
7
Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), h. 161
8
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h. 259

7
Hukum waris adat itu sendiri mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas Indonesia, yang
berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar
belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang
Bhineka Tunggal Ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang
bersifat tolong menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian di dalam
hidup.9
Menurut hukum adat, maka untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan
dua macam garis pokok, yaitu :
a. Garis pokok keutamaan
Garis pokok keutamaan, adalah garis hukum yang menentukan urutan- urutan keutamaan
diantara golongan-golongan dalam keluarga pewaris, dengan pengertian bahwa golongan
yang satu lebih diutamakan daripada golongan yang lain. Penggolongan garis pokok
keutamaan adalah sebagai berikut :

Kelompok keutamaan I : Keturunan pewaris


Kelompok keutamaan II : Orang tua waris
Kelompok keutamaan III : Saudara-saudara pewaris dan keturunannya
Kelompok keutamaan IV : Kakek dan nenek pewaris dan seterusnya.

b. Garis pokok penggantian


Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa di
antara orang-orang di dalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris. Yang
sungguh-sungguh menjadi ahli waris adalah :
1) Orang yang tidak punya penghubung dengan pewaris.
2) Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris. Di dalam pelaksanaan
penentuan para ahli waris dengan mempergunakan garis pokok keutamaan dan pengganti,
maka harus diperhatikan dengan seksama prinsip garis keturunan yang dianut oleh suatu
masyarakat tertentu. 10

9
Prodjojo Hamidjojo, Hukum Waris Indonesia, (Jakarta: Stensil, 2000), h. 51.
10
Prodjojo Hamidjojo, Ibid., h. 287.

8
Tiga sistem kewarisan menurut hukum Adat Indonesia yaitu:
a. Sistem Kewarisan Individual
Ciri Sistem Kewarisan Individual, ialah bahwa harta peninggalan itu terbagi-bagi pemilikannya
kepada para waris, sebagaimana berlaku menurut KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata), dan Hukum Islam, begitu pula berlaku di lingkungan masyarakat adat seperti pada
keluarga-keluarga Jawa, yang parental, atau juga pada keluarga-keluarga Lampung yang patrilineal.
Pada umumnya sistem ini cenderung berlaku di kalangan masyarakat keluarga mandiri, yang tidak
terikat kuat dengan hubungan kekerabatan. Pada belakangan ini di kalangan masyarakat adat yang
modern, di mana kekuasaan penghulu- penghulu adat sudah lemah, dan tidak ada lagi milik
bersama, sistem ini banyak berlaku. Kebaikan sistem individual ini adalah dengan adanya
pembagian, maka pribadi-pribadi waris mempunyai hak milik yang bebas atas bagian yang telah
diterimanya. Para waris bebas menentukan kehendaknya atas harta warisan yang menjadi
bagiannya, ia bebas untuk mentransaksikan hak warisannya itu kepada orang lain. Kelemahannya,
ialah bukan saja pecahnya harta warisan, tetapi juga putusnya hubungan kekerabatan antara
keluarga waris yang satu dan yang lainnya.11

b. Sistem Kewarisan Kolektif


Ciri sistem kewarisan kolektif, ialah bahwa harta peninggalan itu diwarisi/dikuasai oleh
sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi- bagi, yang seolah-olah merupakan suatu
badan hukum keluarga kerabat (badan hukum adat). Harta peninggalan itu di sebut hartou
menyayanak di Lampung, dalam bentuk bidang tanah kebun atau sawah, atau rumah
bersama (di Minangkabau-Gedung).12

c. Sistem Kewarisan Mayorat


Ciri sistem kewarisan mayorat, adalah bahwa harta peninggalan orang tua atau harta
peninggalan leluhur kerabat tetap utuh tidak dibagi-bagi kepada para waris, melainkan
dikuasai oleh anak tertua laki-laki (mayorat laki-laki) di lingkungan masyarakat patrilineal
Lampung dan juga Bali, atau tetap dikuasai anak tertua perempuan (mayorat wanita) di
lingkungan masyarakat matrilineal semendo di Sumatera Selatan dan Lampung. Sistem
kewarisan mayorat hampir sama dengan sistem kewarisan kolektif, hanya penerusan dan

11
I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, (Semarang: UNDIP, 1995), h. 11
12
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h.16

9
pengalihan hak penguasa atas harta yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak
tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan
kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga. Diserahkannya hak penguasaan atas
seluruh harta kepada anak laki-laki tertua, bagi masyarakat Adat Lampung Pesisir,
maksudnya adalah sebagai penerus tanggung jawab orang tua yang wafat, untuk bertanggung
jawab atas harta peninggalan dan kehidupan adik-adiknya yang masih kecil, hingga mereka
dapat berdiri sendiri. Di daerah Lampung yang memimpin, mengurus, dan mengatur
penguasaan harta peninggalan adalah anak punyimbang, yaitu anak lelaki tertua dari isteri
tertua. 13
Kelemahan dan kebaikan sistem kewarisan mayorat, adalah terletak pada kepemimpinan
anak tertua dalam kedudukannya sebagai pengganti orang tua yang telah wafat, dalam
mengurus harta kekayaan dan memanfaatkannya guna kepentingan semua anggota keluarga
yang ditinggalkan. Hal ini disebabkan, karena anak tertua bukanlah sebagai pemilik harta
peninggalan secara perseorangan, tetapi sebagai pemegang mandat orang tua yang dibatasi
oleh musyawarah keluarga, dibatasi oleh kewajiban mengurus orang tua yang dibatasi oleh
musyawarah keluarga lain, dan berdasarkan atas tolong-menolong oleh bersama untuk
bersama.14

13
Hilman Hadikusuma, Ibid, h. 28.
14
Hilman Hadikusuma, Ibid, h. 30.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam KHI Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing (Pasal 171 a. KHI).

Dalam Hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku satu asas, bahwa
hanyalah hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja
yang dapat diwariskan. Oleh karena itu hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan
hukum kekeluargaan pada umumnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepribadian misalnya
hak-hak dan kewajiban sebagai seorang suami atau sebagai seorang ayah tidak dapat diwariskan,
begitu pula hak-hak dan kewajibankewajiban seorang sebagai anggota sesuatu perkumpulan.

Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan
asas-asas hukum waris, tentang harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikkannya dari
pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta
kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya.

Terdapat tiga sistem kewarisan dalam hukum adat yakni: sistem kewarisan individual,sistem
kewarisan kolektif, dan sistem kewarisan mayorat.

11
DAFTAR PUSTAKA

Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI, (Jakarta: 2007).

Maruzi, Muslih. Pokok-Pokok Ilmu Waris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Cet,
ke[1],1997)

Meliala, Djaja S. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung:
Penerbit Nuansa Aulia, 2018).

Ramulyo, M. Idris. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan


Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika, 1994).

Fuady, Munir. Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015).

Wignojodipoero, Soerojo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji


Masagung, 1988).

Soekanto, Soejono. Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012).

Hamidjojo, Prodjojo. Hukum Waris Indonesia, (Jakarta: Stensil, 2000).

Sugangga, I.G.N. Hukum Waris Adat, (Semarang: UNDIP, 1995).

Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003).

12

Anda mungkin juga menyukai