PANGAN
”DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP POLA
PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN DI DAERAH SENTRA
PRODUKSI PANGAN LAMPUNG”
DISUSUN
O
L
E
H
Sektor pertanian berhubungan erat dengan perubahan iklim. Aktivitas pertanian adalah
salah satu factor yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dan sekaligus merasakan dampak
dari perubahan iklim. Sebagai penyebab perubahan iklim, sektor pertanian merupakan
penyumbang gas metan (CH4) dan gas dinitrogen oksida (N2O) yang merupakan gas rumah
kaca (Minardi, 2012). Disisi lain perubahan iklim dapat menyebabkan penurunan produktivitas
pertanian. Menurut Naylor (2007), kejadian el-nino telah menyebabkan terjadinya
penurunan produksi beras di Jawa-Bali, yang berakibat terjadinya paceklik dan bencana. Selain
itu, dinamika iklim yang tidak menentu menimbulkan populasi hama/pathogen penyakit menjadi
semakin meningkat dan merusak pertanaman.
Dampak perubahan iklim terhadap kehidupan manusia begitu besar. Hal itu membuat
usaha antisipasi harus dilakukan oleh semua pihak diantaranya petani sebagai subyek pelaksana
pertanian. Bagi sektor pertanian banjir, longsor dan kekeringan menyebabkan bergesernya pola
tanam, bahkan banyak tanaman yang gagal tumbuh dan gagal panen (Haryatmo, 2008).
Dalam upaya antisipasi dampak perubahan iklim kemampuan masyarakat tani dalam
beberapa hal harus dihargai. Hal itu adalah berkat pengalaman yang mereka miliki. Secara tidak
disadari petani kadang mempunyai daya adaptasi yang lebih terhadap dampak prubahan iklim.
Pengenalan kemampuan- kemampuan itu telah membantu mereka dalam menetapkan siasat
antisipasi dampak perubahan iklim. Untuk memahami lebih jauh strategi petani beradaptasi
dengan dampak perubahan iklim, dilakukan suatu kajian untuk menganalisis sampai sejauh mana
dampak perubahan iklim berpengaruh terhadap pola pengelolaan lahan pertanian di Lampung.
1.2 Tujuan
Tujuan dari literatur ini adalah Untuk mengetahui karakteristik pola usaha tani di daerah
sentra produksi pangan Lampung, dampak perubahan iklim terhadapan aktivitas pertanian di
Lampung, dan pola pengolahan lahan saat terjadinya perubahan iklim
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum komoditas tanaman semusim yang dikelola petani setiap tahun di lahan sawah
irigasi hampir sama, yaitu padi di musim rendeng, padi lagi di musim gaduh kalau dapat jatah air
irigasi, dan atau jagung kalau tidak dapat jatah air irigasi, dilanjutkan penanaman sayuran
untuk memanfaatkan sisa-sisa air di musim hujan. Pada sawah tadah hujan setelah penanaman
padi di musim hujan sebagian besar petani menanam jagung atau intercropping jagung
dengan ubikayu di musim gaduh.
Pengolahan tanah baik dimusim rendeng ataupun gaduh > 70% dilakukan secara mekanisasi.
Sementara sekitar 20-30 % petani masih menggunakan tenaga ternak. Bibit atau varietas yang
ditanam petani terlihat belum terpengaruh oleh perubahan iklim. Ciherang masih merupakan
varietas pilihan utama, baik di wilayah Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Timur maupun
Lampung Tengah dan meski varietas yang digunakan kebanyakan sudah berlabel. Terkait
serangan OPT, tikus merupakan musuh utama petani diikuti penyakit blast dan atau patah leher.
Hal yang cukup menggembirakan >75 % petani telah menggunakan thresser untuk merontokan
padi namun untuk pengeringan petani masih mengandalkan cahaya matahari (lampiran).
Sementara bahan/pupuk organik lebih banyak digunakan di lahan kering untuk penanaman
jagung ataupun ubikayu.
Di daerah Lampung Selatan pada sawah irigasi teknis petani dominan menggunakan pola
tanam padi- padi-palawija dan padi gogo-jagung/ubikayu pada hamparan lahan kering,
sedangkan di Lampung Tengah dan Lampung Timur petani lebih memilih pola tanam padi-padi-
jagung untuk sawah irigasi yang dapat jatah gaduh dan padi-jagung-jagung untuk yang tidak
dapat jatah air irigasi gaduh. Sedangkan untuk lahan kering umumnya jagung-jagung/ubikayu dan
pada sawah tadah hujan kadang padi gogorancah-ubikayu.
Khusus di lahan kering kebanyakan petani menilai penanaman jagung dan singkong lebih
menguntungkan di banding padi gogo. Sementara ubikayu dinilai petani sebagai komoditas yang
paling toleran terhadap kekeringan.
2.2 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Aktivitas Pertanian di Daerah Sentra Produksi
Pangan
Hasil dari literatur ini memberi gambaran bahwa sebagian besar petani di daerah sentra
produksi pangan Provinsi Lampung yaitu Lampung Tengah, Lampung Selatan dan Lampung
Timur telah merasakan dampak perubahan iklim terhadap aktivitas dan produktivitas pertanian
mereka. Indikasi dari perubahan iklim yang terungkap antara lain kondisi cuaca yang dirasakan
semakin panas (diluar kewajaran) terutama di musim kemarau, turun hujan yang tidak menentu,
air semakin sulit sehingga tanaman sering mengalami kekeringan (cekaman air), waktu
kedatangan musim hujan yang sulit di prediksi atau tidak tepat lagi, air sumur yang cepat
menyusut, sumber air irigasi suplemen yang semakin berkurang, dan intensitas gangguan
organisme pengganggu tanaman (OPT) yang semakin meningkat (Tabel 1).
Tabel 1. Indikasi dan dampak dari perubahan iklim yang dirasakan petani di daerah sentra produksi
pangan Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Timur dan Lampung Selatan
Dampak dari perubahan iklim yang dirasakan petani terhadap aktivitas dan produktivitas
pertanian (Tabel 1) adalah kekeliruan informasi akan jadwal kedatangan air irigasi sudah cukup
sering, kedatangan hujan yang tidak menentu dan sering merusak persemaian padi,
intensitas serangan OPT meningkat dan serangan dapat dikategori tingkat sedang sampai berat,
petani sawah harus buru-buru mempersiapkan lahan untuk tanam musim gaduh (mengejar
ketersediaan air), dan ketersediaan air dinilai sebagai kendala utama untuk memaksimal
produktivitas komoditas pada lahan kering. Dari literatur terungkap cukup sulit untuk dapat
mempertahankan produktivitas komoditas dalam kondisi normal. Secara umum hasil dari lahan
sawah dan lahan kering cenderung berfluktuasi dan faktor yang dinilai paling berpengaruh
terhadap hal itu adalah curah hujan (Tabel 1).
Dari literatur terungkap bahwa produksi padi sawah yang dipengaruhi secara nyata oleh
dampak perubahan iklim adalah produksi di musim gaduh. Hasil padi di musim gaduh secara
rata-rata 3,5-4,5 ton/ha. Sedangkan dimusim rendeng rata-rata antara 6,5-7,5 ton/ha.
Penurunan produksi ini seperti terungkap dalam literature disebabkan rendahnya ketersediaan air
di musim gaduh. Bahkan pada daerah irigasi semi teknis, padi sering mengalami fuso untuk
tanam musim gadu. Sedangkan pada sawah tadah hujan padi hanya bisa ditanam satu kali dalam
setahun.
Menurut petani produktivitas tanaman yang paling terpengaruh oleh dampak perubahan
iklim adalah penurunan produksi tanaman lahan kering terutama jagung. Sementara Petani
dari daerah Lampung Timur menginformasikan bahwa dampak perubahan iklim belum begitu
berpengaruh terhadap penurunan produktivitas pertanian, malahan untuk sawah rawa,
perpanjangan musim kering oleh dampak perubahan iklim membuat permukaan air pada lahan
rawa lebih mudah ditata sehingga memberi banyak kesempatan kepada petani mengolah sawah
rawa dan lebih berhasil.
2.3 Pola Pengelolaan Lahan Petani sebagai Respon Terhadap Dampak Perubahan Iklim
Respon petani terhadap DPI dapat diartikan sebagai kemampuan petani dalam beradaptasi
dengan perubahan iklim yang menurut Prabhakar, et al. (2007) diartikan sebagai kemampuan
masyarakat/petani untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim. Secara prinsip ada beberapa
pola pengelolaan lahan petani yang berubah akibat DPI. Sebagaimana dilaporkan Deressa, et al,
(2008), petani memiliki kecenderungan beradaptasi dengan perubahan iklim melalui perubahan
cara pemeliharaan lahan, diversifikasi tanaman, waktu tanam, dan ataupun melakukan irigasi
suplemen. Di dalam Tabel 2, disajikan beberapa cara pengelolaan lahan dan komponen
usahatani yang dilakukan petani tanaman pangan Lampung, sebagai respon terhadap d a m p a k
perubahan iklim.
Tabel 2. Beberapa cara pengelolaan lahan yang diadaptasikan petani terhadap perubahan iklim di
daerah sentra produksi pangan di Provinsi Lampung
Pergiliran varietas. Sebagian petani baik berdasarkan intuisi atau informasi dari penyuluh dan
sumber lainnya telah mulai melakukan pergiliran vareitas. Informasi adanya varietas yang
relative tahan kekeringan dan tahan tergenang, adanya varietas yang tahan OPT tertentu,
adanya verietas yang beradaptasi baik dengan kondisi wilayah mereka, adalah hal-hal yang
mendorong petani mulai secara aktif melakukan pergiliran varietas. Sebagai indikasi nyata dari
kemauan tersebut adalah cukup intensifnya petani baik secara perorangan atau melalui kelompok
tani melakukan kontak dengan BPTP Lampung, menanyakan ketersediaan benih padi VUB.
Namun persentase petani yang mau melakukan pergiliran varietas untuk antisipasi dampak
perubahan iklim diperkirakan masih < 50%.
Pemanfaatan irigasi suplemen. Sumur bor sebagai sumber air irigasi suplemen untuk antisipasi
kecukupan air, terutama bagi penanaman di MT 2 (musim gaduh) sudah cukup banyak
digunakan, terutama di daerah Lampung Selatan. Air irigasi suplemen terutama diperuntukan
untuk penanaman jenis sayuran dan palawija. Pembuatan sumur bor secara swadaya atupun
berupa bantuan dari SKPD terkait sudah cukup banyak di dapatkan di Lampung Selatan. Cara
yang sama juga sudah mulai diikuti oleh petani di daerah Lampung Timur.
Pergeseran pola Tanam. Pergeseran pola tanam seperti pernah dilaporkan Hafif dan
Masganti (2013) banyak ditemukan di Lampung Timur dan Lampung Tengah. Pergeseran pola
tanam lebih banyak ditemukan di lahan sawah irigasi teknis sebagai akibat dari jadwal kedatangan
air irigasi yang sering berubah. Saat ini sudah cukup intensif sawah irigasi dimanfaatkan untuk
budidaya tanaman sayuran pada awal musim hujan. Seperti dilaporkan Hafif dan Masganti
(2013), petani sawah irigasi teknis di Lampung Timur menggunakan sawahnya untuk menanam
kacang panjang, mentimun, jagung manis, terong dan sebagainya diawal musim hujan
(awal/pertengahan November) menjelang masuknya air irigasi di bulan Januari. Pola lain yang
berkembang cara tanam gogorancah di sawah irigasi teknis. Maksudnya adalah petani tetap
memanfaatkan sawah irigasi teknis untuk penanaman padi, tetapi diinisiasi dengan cara tanam
gogorancah didukung tabela pada awal musim hujan. Saat air irigasi masuk ke sawah, petani
tinggal melakukan penggenangan.
Pengelolaan sawah tadah hujan. Di Lampung Timur sudah sangat berkembang teknik
penanaman gogorancah untuk optimasi lahan sawah tadah hujan. Hal ini antara lain didorong
oleh semakin tidak meratanya distribusi curah hujan akibat perubahan iklim. Cara gogorancah
dinilai petani sebagai cara budidaya padi yang hemat penggunaan air. Cara gogorancah juga
dinilai memerlukan jangka waktu tanam yang lebih pendek, memiliki resiko kegagalan panen
yang lebih kecil dalam kondisi curah hujan tidak menentu. Namun satu hal yang dinilai petani
paling positif adalah produksi padi dengan cara gogorancah tidak kalah dari cara tanam padi
konvensional. Sebagaimana laporan petani dalam FGD, hasil GKP padi varietas ciherang dengan
sisitem gogorancah bisa mencapai 8 ton/ha pada sawah tadah hujan.
Deressa, T. T., R. M. Hassan, C. Ringler, T. Alemu, and M. Yesuf. 2008. Analysis of the
Determinants of Farmers’ Choice of Adaptation Methods and Perceptions of Climate Change in
the Nile Basin of Ethiopia, IFPRI Discussion Paper No. 798 (Washington, DC: International
Food Policy Research Institute).
Hafif, B., dan Masganti. 2013. Strategy Of Farmers Rice Field Coping With Climate Change In
East Lampung. Diseminarkan pada The International Conference on Biodiversity, Climate
Change, and Food Security, Bandung July 1-4, 2013
Haryatmo, A. 2008. Climate Change dan Bencana. Kontestasi Sains dan Kepentingan Ekonomi
– Politik. Yayasan KEHATI / Civil Society Forum on CC.
Minardi S. 2012. Pengelolaan Lahan Pertanian dan Emisi Gas Rumah Kaca.
http://minardi.staff.uns.ac.id/ files/ 2011/ 10/makalah-alumnitanah-dan- pemanasan-
global.pdf
Naylor. 2007. Assessing Risk of Climate Variability and Climate Change for Indonesia Rice
Agriculture. PNAS. 7752-7757.