Disusun Oleh :
Hudiono Reksoprojo
30301800186
hudiono@std.unissula.ac.id
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak ada negara demokratis di era modern dewasa ini yang tidak
menyelenggarakan pemilihan umum dalam mekanisme ketatanegaraannya. Dalam
negara demokrasi pemilu merupakan mekanisme memperbarui perjanjian sosial warga
negara dan pembentukan kelembagaan demokrasi.1
Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pemilu menyediakan ruang untuk terjadinya proses “diskusi” antara
pemilih dan calon-calon wakil rakyat, baik sendiri-sendiri maupun melalui partai
politik, tentang bagaimana penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus dilakukan.
Melalui Pemilihan Umum (Pemilu), rakyat memberikan persetujuan siapa pemegang
kekuasaan pemerintahan dan bagaimana menjalankannya. Pemilu diselenggarakan
melalui berbagai tahapan, mulai dari pendataan calon pemilih hingga pelantikan
anggota lembaga yang dipilih. Setiap tahapan harus dilaksanakan sesuai asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Untuk menjamin pelaksanaan pemilu sesuai asas-
asas konstitusional, dibentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur norma dan
prosedur pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) yang harus dipatuhi oleh semua pihak.
Berbicara mengenai pemilihan u-mum pasti juga akan berbicara mengenai
penyelenggara pemilu, karena penyelenggara pemilu disini dibentuk untuk menjadi
pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilu. Mempersiapkan, mengatur dan
menertibkan pelaksanaan pemilu. Penyelenggara pemilu yang aktif dalam pelaksanaan
pemilu di lapangan yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu). Dimana KPU adalah penyelenggara teknis yang berfungsi sebagai pihak
1
Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hlm. 22.
yang mempersiapkan segala keperluan untuk terlaksananya pemilu, sedangkan Bawaslu
merupakan penyelenggara pemilu yang lebih berfungsi sebagai pihak yang berfungsi
untuk mengawasi dan menerima laporan dari berbagai jenis pelanggaran yang dilakukan
dalam pelaksanaan tahapan pemilu.
Salah satu mekanisme penting dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)
adalah penyelesaian pelanggaran pemilu. Mekanisme ini diperlukan untuk mengoreksi
jika terjadi pelanggaran atau kesalahan dan memberikan sanksi pada pelaku pelanggaran
sehingga proses Pemilihan Umum (Pemilu) benar-benar dilaksanakan secara demokratis
dan hasilnya mencerminkan kehendak rakyat.2 Pemilu tidak pernah lepas dari intrik-
intrik politik. Sehingga tidak mengherankan di setiap pelaksanaan Pemilu tidak pernah
lepas dari pelanggaran Pemilu baik yang bersifat administrasi, bahkan Tindak Pidana
atau yang lazim disebut tindak pidana pemilu.
Sudah tidak di pungkiri lagi dalam proses pemilu ada yang namnya kampanye
dimana kampanye sekarang ini sangat beragam dan kreatif, akan tetapi di tengah
kreatifitas dan keberagaman kampanye terdapat suatu permasalahan yang biasanya
dilanggar oleh tim kampanye yaitu menggunakan fasilitas ataupun tempat pendidikan
untuk kampanye dimana membuat proses kampanye menjadi sebuah ajang perebutan
kekuasaan dengan menghalalkan segala cara maupun bentuk apapun demi mendapatkan
kekuasaan politik, tanpa memperhatikan situasi maupun tempat yang dalam hal ini
dilarang oleh undang-undang, sehingga hal ini dapat mengotori persaingan politik yang
ada.
Maka dari itu diperlukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu) di setiap tingkatan untuk berperan dalam penanganan
pelanggaran administrasi dengan melakukan pengawasan dan menerima laporan dari
masyarakat.3 Apabila menemukan terjadinya pelanggaran administrasi, Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) akan
2
M. Rusli Karim, Pemilihan Umum Demokratis Kompetitif, Cet I, Tiara Wacana, Yogyakarta,
1991, hlm. 2
3
Ahsanul Minan, 2019, Refleksi Sistem dan Praktek Penegakan Hukum Pemilu di Indonesia,
Jurnal Bawaslu Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019: Perihal Penegakan Hukum
Pemilu, Jakarta: Bawaslu, hlm. 5.
melaporkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota. Pelanggaran tersebut
harus diputus oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemilihan Umum (KPU)
provinsi, atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota dalam waktu 7 hari
sejak diterimanya laporan dugaan pelanggaran dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
atau Panitia Pengawas Pemilihan.
Dari urain pendahuluan latar belakang di atas maka penulis mengambil judul
tugas makalah Perbandingan Hukum Pidana “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana
Pemilu Dalam Kampanye Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 dan
Undang-Undang No. 7 Tahun 2017”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan di bahas
dalam makalah ini adalah :
1. Apa itu tindak pidana pemilu kampanye ?
2. Bagimana ketentuan larangan dalam kampanye menurut Undang-Undang
No. 8 Tahun 2012 dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017?
3. Bagaimana ketentuan pidana tindak pidana kampanye berdasarkan Undang-
Undang No. 8 Tahun 2012 dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Hukum Pidana.
2. Untuk memperluas Ilmu dan wawasan terkait hukum pidana di
Indonesia .
BAB II
PEMBAHASAN
4
https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-kampanye.html diakses pada tanggal 29
November 2021 pada pukul 19.37 Wib
5
Asnawi, Penegakan Hukum Pelanggaran Pidana Kampanye Pemilu Tahun 2019 Di Banten,
Jurnal Kerta Semarya, Vol. 8 No. 10 Tahun 2020, hal 1667, di akses pada tanggal 29 November 2021
pada pukul 19.55 Wib
Tindak pidana dalam kampanye Pemilu merupakan suatu hal yang sangat
serius harus dipehatikan maupun ditangani oleh penyelenggara pemilu agar
pelaksanaan pemilu oleh peserta dan tim kampanye tetap bermartabat dengan
memperhatikan segala situasi dan tempat yang tidak dilarang oleh undang-
undang dalam melakukan atau melaksanakan kampanye, sehingga memberikan
suatu teladan politik yang baik untuk segala proses politik maupun proses
pemilihan umum di Indonesia.
Tindak pidana kampanye dalam pemilu tidak hanya menggunakan sarana
pendidikan akan tetapi masaih banyak lagi seperti melakukan kampanye pemilu
di luar jadwal yang telah ditentukan oleh KPU, pelaksanaan kampanye yang
mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye pemilu di tingkat desa,
menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan calon dan/atau peserta pemilu
lain.6
6
Bambang Sugianto, Analisis Yuridis Penerapan Dan Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilu
Menurut Undang-Undang N0. 7 Tahun 2017, Vol 9 No.3 Tahun 2017, hal 302. Di akses pada tanggal 29
November 2021 pada pukul 20.20 Wib
f. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan
penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota
masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta
Pemilu;
h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat
pendidikan;
i. membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari
tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan; dan
j. menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta
Kampanye Pemilu.
(2) Pelaksana kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang
mengikutsertakan:
a. Ketua, Wakil Ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah
Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah
Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
c. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan deputi gubernur Bank
Indonesia;
d. direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik
negara/badan usaha milik daerah;
e. pegawai negeri sipil;
f. anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
g. kepala desa; dan
h. perangkat desa.
(3) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang ikut serta
sebagai pelaksana Kampanye Pemilu.
(4) Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf
f, huruf g, huruf i, dan huruf j, dan ayat (2) merupakan tindak pidana
Pemilu.
Adapun larangan dalam kampanye yang terdapat pada Pasal 280
Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 sebagai berikut :
Pasal 280
(1) Pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang:
a. mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
c. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau
Peserta Pemilu yang lain;
d. menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;
e. mengganggu ketertiban umum;
f. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan
penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota
masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta
Pemilu;
h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat
pendidikan;
i. membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari
tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan; dan
j. menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta
Kampanye Pemilu.
(2) Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu
dilarang mengikutsertakan:
a. Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung,
dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan
hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
c. gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank
Indonesia;
d. direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik
negara/badan usaha milik daerah;
e. pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai
pimpinan di lembaga nonstruktural;
f. aparatur sipil negara;
g. anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
h. kepala desa;
i. perangkat desa;
j. anggota badan permusyawaratan desa; dan
k. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.
(3) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang ikut serta sebagai
pelaksana dan tim Kampanye Pemilu.
(4) Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf
g, huruf i, dan huruf j, dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu.
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
Saran saya masyarakat memiliki peran yang cukup penting dalam pelaksanaan
pemilu. Dalam tahapan-tahapan pemilu masyarakat merupakan sasaran utama dari
semua tahapan tersebut. Misalnya dalam tahapan pemutakhiran data pemilih, tahapan
kampanye dan tahapan pemungutan suara, semuanya berhubungan dengan masyarakat.
Oleh karena itu perlu adanya perhatian dari masyarakat apabila terdapat pelanggaran
ataupun tindak pidana pemilu yang mana dapat langsung diadukan kepada lembaga
yang berwenang yaitu Bawaslu.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ahsanul Minan, 2019, Refleksi Sistem dan Praktek Penegakan Hukum Pemilu di
Indonesia, Jurnal Bawaslu Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019:
Perihal Penegakan Hukum Pemilu, Jakarta: Bawaslu, hlm. 5.
Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hlm. 22.
B. Jurnal
C. Undang – Undang
D. Web