Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan Demokrasi Parlementer. Sistem
demokrasi parlementer mulai diberlakukan sebulan sesudah kemerdekaan diproklamasikan.
Namun model demokrasi ini dianggap kurang cocok untuk Indonesia. Lemahnya budaya
berdemokrasi masyarakat Indonesia untuk mempraktikkan demokrasi model Barat, telah
memberi peluang yang sangat besar kepada partai partai politik untuk mendominasi kehidupan
sosial politik.
Ketiadaan budaya demokrasi yang sesuai dengan sistem Demokrasi Parlementer, yang
pada akhirnya melahirkan fragmentasi politik berdasarkan afiliasi agama dan kesukuan.
Pemerintahan yang berbasis pada koalisi politik di masa ini tidak mampu bertahan lama, koalisi
yang dibangun sangat mudah retak. Hal ini menimbulkan destabilisasi politik nasional yang
mengancam integrasi nasional yang sedang dibangun. Persaingan tidak sehat antara faksi faksi
politik dan pemberontakan daerah terhadap pemerintah pusat malah mengancam berjalannya
demokrasi itu sendiri.
Kepemimpinan Presiden Soekarno tanpa batas ini terbukti melahirkan kebijakan dan
tindakan yang menyimpang dari ketentuan ketentuan UUD 1945. Contohnya, pada tahun 1960
Presiden Soekarno membubarkan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) hasil pemilihan umum,
padahal dalam penjelasan Undang Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa
presiden tidak memiliki wewenang untuk berbuat demikian. Dengan demikian, sejak
diberlakukan Dekrit Presiden tahun 1959 telah terjadi penyimpangan konstitusi oleh Presiden
Soekarno.
Kondisi ini masih diperburuk dengan peran politik Partai Komunis Indonesia (PKI) yang
mendominasi di kehidupan politik Indonesia. Bersandar pada Dekrit Presiden 5 Juli sebagai
sumber hukum, maka didirikan banyak badan ekstra konstitusional seperti Front Nasional yang
digunakan oleh PKI sebagai wadah kegiatan politik. Front Nasional telah dimanipulasi oleh PKI
agar menjadi bagian strategi taktik komunisme internasional yang menggariskan pembentukan
Front Nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat. Strategi politik PKI
untuk mendulang keuntungan dari karisma kepemimpinan Presiden Soekarno yang dilakukan
dengan cara mendukung pemberedelan pers dan partai politik yang tidak sejalan dengan
kebijakan pemerintahan seperti yang dilakukan Presiden atas Partai Masyumi.
Perilaku politik PKI yang sewenang wenang tersebut tentu tidak dibiarkan begitu saja
oleh partai politik lainnya dan kalangan militer (TNI), yang pada waktu itu merupakan salah satu
dari komponen politik penting Presiden Soekarno. Akhir dari sistem Demokrasi Terpimpin
Soekarno yang berakibat pada perseteruan politik ideologi antara PKI dan TNI adalah peristiwa
berdarah yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI).
Demokrasi Pancasila secara garis besar menawarkan tiga komponen demokrasi. Pertama,
demokrasi di dalam bidang politik pada hakikatnya adalah menegakkan kembali asas asas negara
hukum dan kepastian hukum. Kedua, demokrasi di dalam bidang ekonomi pada hakikatnya ialah
kehidupan yang layak untuk semua warga negara. Ketiga, demokrasi di dalam bidang hukum
pada hakikatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia), peradilan yang
bebas yang tidak memihak.
Hal yang sangat disayangkan di masa ini adalah alih alih pelaksanaan ajaran Pancasila
secara murni dan konsekuen, Demokrasi Pancasila yang dikampanyekan oleh Orde Baru baru
sebatas retorika politik belaka. Di dalam praktik kenegaraan dan pemerintahannya, penguasa
Orde Baru bertindak jauh di luar dari prinsip prinsip demokrasi. Ketidakdemokratisan penguasa
Orde Baru ditandai oleh: (1) dominannya peranan militer (ABRI); (2) birokratisasi dan
sentralisasi pengambilan keputusan politik; (3) pengebirian peran dan fungsi partai politik; (4)
campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan publik; (5) politik masa
mengambang; (6) monolitisasi ideologi negara; dan (7) inkorporasi lembaga non-pemerintah.
Periode pasca Orde Baru sering disebut dengan era Reformasi. Periode ini erat
hubungannya dengan gerakan reformasi rakyat yang menuntut pelaksanaan demokrasi dan HAM
(Hak Asasi Manusia) secara konsekuen. Tuntutan ini ditandai oleh lengsernya Presiden Soeharto
dari tampuk kekuasaan Orde Baru pada Mei tahu 1998, setelah lebih dari tiga puluh tahun
berkuasa dengan Demokrasi Pancasilanya. Penyelewengan atas dasar negara Pancasila oleh
penguasa Orde Baru berdampak pada sikap antipati sebagian masyarakat terhadap dasar negara
tersebut.
Pengalaman pahit yang menimpa Pancasila, yang pada dasarnya sangat terbuka, inklusif
dan penuh nuansa HAM (Hak Asasi Manusia), berdampak pada keengganan kalangan tokoh
reformasi untuk menambahkan atribut tertentu pada kata demokrasi. Bercermin pada
pengalaman manipulasi atas Pancasila oleh penguasa Orde Baru, demokrasi yang hendak
dikembangkan setelah kejatuhan rezim Orde Baru ialah demokrasi tanpa nama atau demokrasi
tanpa embel-embel yang di mana hak rakyat merupakan komponen inti di dalam mekanisme dan
pelaksanaan pemerintahan yang demokratis. Wacana demokrasi pasca Orde Baru berkaitan erat
dengan pemberdayaan masyarakat madani (civil society) dan penegakan HAM (Hak Asasi
Manusia) secara sungguh-sungguh.
Sekian dari informasi ahli mengenai sejarah demokrasi di Indonesia, semoga tulisan
informasi ahli mengenai sejarah demokrasi di indonesia dapat bermanfaat.