Anda di halaman 1dari 2

RELEASE ALIANSI SUARA RAKDJAT

Merespon wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) dan


perpanjangan masa jabatan presiden yang diusulkan oleh koalisi Jokowi, dan saat
ini sedang hangat-hangatnya diperbincangkan oleh publik, maka dengan ini kami
Aliansi Suara Rakdjat (ASURO) Malang menyuarakan beberapa catatan kritis
penolakan terhadap wacana tersebut dari berbagai macam aspek.

Pertama. Di aspek hukum dan konstitusi, penundaan pemilu dan masa


perpanjangan presiden merupakan pembangkangan terhadap ketentuan UUD
1945. Pasal 7. UUD 1945 yang merupakan amanat reformasi menyatakan bahwa
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun,
dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Begitu juga dengan Pasal 22E
ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

Kedua. Di aspek korupsi, sejak 2 (dua) periode pemerintahan Jokowi,


korupsi yang tertuang dalam United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) Tahun 2003 dinyatakan sebagai kejahatan terhadap HAM dan
kemanusian terus meningkat di Indonesia. Menurut data penindakan kasus korupsi
yang dicatat oleh KPK selama periode pemerintahan Jokowi dalam kurun waktu
2015-2022, jumlah kasus korupsi yang dilakukan oleh instansi pemerintahan
mencapai 819 oknum. Jauh meningkat jika dibandingkan dengan periode
pemerintaham Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kurun waktu 2004-2014
yang hanya mencapai angka 411 oknum saja. Artinya, pemerintahan yang di
pimpin oleh Jokowi tidak serius dalam mencegah praktik korupsi yang merupakan
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan tidak ada alasan logis untuk
mempertahankan rezim pemerintahan Jokowi ini.

Ketiga. Di aspek kekerasan seksual mendapat perhatian yang besar dari


masyarakat. Namun, hingga kini Pemerintah dan DPR belum mengesahkan RUU
TPKS sebagai payung hukum yang jelas sehingga tidak mewujudkan kepastian
hukum. Menuju sepuluh tahun Jokowi menduduki jabatannya sebagai presiden
belum menciptakan negara yang aman bagi masyarakat khususnya bagi
perempuan dan anak. Didukung oleh laporan LBH Apik di tahun 2021, tercatat
1.321 kasus kekerasan seksual, 489 kasus di antaranya merupakan Kekerasan
Berbasis Gender Online (KBGO), 374 KDRT, 73 Kekerasan Dalam Pacaran
(KDP), dan 66 kekerasan seksual pada perempuan dewasa. Hal ini termasuk
jumlah yang tinggi sehingga mencerminkan betapa gentingnya penanganan kasus
kekerasan seksual di Indonesia.
Keempat. Di aspek HAM kasus pelanggaran HAM masa lalu pada
pemerintahan Jokowi juga tidak ada yang terselesaikan dan masih terabaikan. Hal
ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah tidak dapat memenuhi keadilan dan
kepastian hukum bagi korban pelanggaran HAM berat. Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan tidak ada kemajuan
terkait penegakan HAM, bahkan cenderung mundur yang dituliskan dalam
ringkasan eksekutif bertajuk Resesi Demokrasi. Kondisi faktual ini sangat tidak
sesuai dengan janji-janji kampanye nawacita tempo dulu. Parahnya dalam
pemerintahan oligarki hari ini tokoh-tokoh pelaku pelanggaran HAM masih
berkeliaran bahkan menduduki kursi di dalam pemerintahan.

Kelima. Di aspek agraria, pemerintahan di akhir tahun periode Jokowi


cenderung lalai. Terbukti dalam catatan akhir tahun yang diterbitkan oleh
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Sepanjang tahun 2021, tercatat terjadi
207 letusan konflik di 32 provinsi yang tersebar di 507 desa dan kota. KPA juga
menggaris bawahi kenaikan konflik agraria yang sangat siginifikan di sektor
pembangunan infrastruktur sebesar 73% dan sektor pertambangan sebesar 167%.
Di sisi korban, konflik tersebut melibatkan 198.895 keluarga (KK) sebagai korban
terdampak dan meningkat sekitar 47% jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Data di atas menunjukkan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh
Jokowi abai terhadap perlindungan masyarakat yang terdampak konflik agraria.

Dari beberapa catatan diatas, dapat disimpulkan bahwa penundaan pemilu


merupakan hal yang inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. Selain
itu potret penyelenggaraan pemerintahan yang dipimpin oleh Jokowi selama dua
periode terakhir, cenderung menampilkan hal yang buruk dibeberapa aspek seperti
aspek hukum dan konstitusi, korupsi, kekerasan seksual, HAM, dan agraria.
Sehingga tidak ada alasan logis untuk mempertahankan rezim pemerintahan
semacam ini.

Oleh karena itu, kami Aliansi Suara Radjat (ASURO) Malang menyatakan
sikap untuk :

1. Menanggalkan wacana penundaan pemilu dan dan perpanjangan masa


jabatan presiden
2. Mengusut tuntas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu
3. Mengecam segala bentuk sikap represif aparat terhadap masyarakat
sipil
4. Mengusut tuntas segala permasalahan agraria yang berdampak buruk
bagi masyarakat dan lingkungan
5. Mendesak pemerintah mengesahkan RUU TPKS
6. Agar pemerintah lebih fokus untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat

Anda mungkin juga menyukai