Anda di halaman 1dari 5

BJ HABIBIE (KELOMPOK 1)

Pasca lengsernya Soeharto dari kekuasaanya menjadi Presiden Indonesia dari tahun 1967
sampai 1998. Akhirnya kekuasaan Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie yang pada saat itu
menjadi Presiden Ketiga RI. Habibie mengemban tugas yang berat dalam melanjutkan
program kebijakan pemerintahan. Habibie dihadapkan pada beberapa permasalahan,
permasalahan yang dihadapi Habibie pada saat itu adalah permasalahan domestik yang
berkaitan dengan ekonomi dan stabilitas keamanan. 
Setelah orda baru, pemerintah dianggap kurang memperhatikan adanya keterkaitan dan
ketersinambungan antara politik domestik dengan politik luar negeri. Kemudian adanya
berbagai kontroversi dimata masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa Habibie adalah
anak didikan Soeharto. Ditambah dengan kebijakan luar negeri pada era BJ Habibie tidak
memiliki arah yang jelas, karena tidak memiliki alur panduan yang memadai. Meskipun ada
kendati demikian, Habibie mampu memanfaatkan hubungan luar negeri dan internasional
untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan dari dunia internasional.
Habibie menghasilkan beberapa kebijakan, yang mana kebijakan tersebut merupakan hasil
dari dampak yang terjadi di era Soeharto. Pemerintahan B.J. Habibie menghasilkan dua
Undang-Undang tentang perlindungan HAM. Habibie memberi ruang yang seluas-luasnya
bagi HAM dan demokrasi. Ada tiga kebijakan yang berkaitan dengan HAM yaitu kebebasan
pers, kebebasan berpendapat dimuka umum dan membebaskan tahanan politik. Habibie juga
mendorong lahirnya ratifikasi internasional dan pembentukan Komnas Perempuan. Yang
mana menjadi sejarah gerakan perempuan dan sebagai bentuk perlindungan kekerasan
terhadap perempuan.
Akan tetapi, disisi lain B.J. Habibie tidak bisa mengatasi krisis ekonomi pada saat
pemerintahannya. Habibie dinilai tidak mampu melakukan perubahan yang signifikan. Tidak
hanya itu, Habibie juga dihadapkan pada masalah disintegrasi wilayah NKRI yaitu Timor
Leste. Dimana saat itu Habibie mengeluarkan kebijakan yang lebih kontroversi yang
menyatakan bahwa Indonesia memberikan opsi referendum, yang dianggapnya sebagai solusi
yang tepat untuk mengatasi masalah Timor Leste.
GUSDUR (Abdurahman Wahid) KELOMPOK 2
Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), perekonomian Indonesia kembali
menghadapi tantangan berat. Kebijakan-kebijakan ekonomi Gus Dur yang mengundang
kerutan di dahi para pakar, juga perseteruannya dengan DPR dan IMF mempengaruhi iklim
perekonomian Indonesia saat itu. Sejumlah kebijakan seperti upaya mengubah independensi
BI lewat amandemen UU BI, bea masuk impor mobil mewah untuk KTT G-15 yang jauh
lebih rendah dari yang seharusnya (hanya 5% sementara seharusnya 75%), dan otonomi
daerah yang membebaskan daerah untuk mengajukan pinjaman luar negeri tidak populer di
masyarakat dan menuai protes.

Kondisi perekonomian yang tampak memburuk setelah sebelumnya menunjukkan gejala-


gejala kepulihan di masa pemerintahan BJ Habibie meresahkan publik dan para investor.
Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS yang semula Rp. 7.500 (1999) menjadi Rp. 9.800
(2001), Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun dari 580 menjadi 458,
begitu pun tingkat pertumbuhan ekonomi yang semula 5% (2000) menjadi 3,6% (2001).
Sebaliknya, tingkat inflasi pun meningkat drastis, dari 2% (1999) menjadi 12,6% (2001).
Di luar itu, pemerintahan Gus Dur bukannya tanpa capaian. Melalui desentralisasi fiskal,
pemerintah berama-sama dengan Bank Dunia brupaya menurunkan tingkat kemiskinan
melalui program pengembangan kecamatan. Selain itu, juga ada proyek pedesaan, mulai dari
pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan dan saluran irigasi dan sanitasi, juga
memberikan bantuan Kredit Usaha Mikro.
Pemerintahan Megawati Soekarnoputri (KELOMPOK 3)

Pemerintahan Megawati Sukarnoputri dinilai gagal dalam penegakan hukum dan


pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Demikian tanggapan fraksi-fraksi atas
laporan Presiden Megawati dan lembaga-lembaga tinggi negara dalam Rapat Paripurna
Ketiga Sidang MPR Akhir Masa Jabatan 2004 di Gedung MPR/DPR, Jakarta Pusat, Sabtu
(25/9). Di sisi lain, fraksi-fraksi juga memuji prestasi pemerintahan Megawati atas
penyelenggaraan Pemilihan Umum 2004 yang aman, damai, dan demokratis.
Lemahnya penegakan hukum di era pemerintahan Megawati dinilai telah menyebabkan
membudayanya korupsi di Indonesia. Fraksi Reformasi bahkan menyatakan, korupsi yang
terjadi sudah sangat parah. Laporan Badan Pengawas Keuangan menyebutkan,
penyimpangan keuangan negara di lingkungan pemerintah dan badan usaha milik negara
mencapai Rp 167 triliun.
Selain korupsi, masalah keamanan juga mendapat sorotan dalam penilaian kepemimpinan
Megawati selama kurun waktu tiga tahun. Fraksi Perserikatan Daulat Umat menilai, Presiden
Megawati tidak mampu bertindak tegas sehingga aksi pengeboman dan anarkis berulang.
Berbeda dengan rapat sebelumnya, Rapat Paripurna MPR yang dipimpin Ketua MPR Amien
Rais ini tidak dihadiri presiden maupun wapres. Baik Amien maupun anggota MPR lain tidak
mempermasalahkan hal itu mengingat kehadiran mereka bukanlah kewajiban.
Rapat kali ini juga diwarnai pembacaan puisi oleh perwakilan Fraksi TNI/Polri yang
dihapuskan dari MPR periode mendatang. Puisi berjudul Pamit dibacakan di akhir pandangan
fraksinya. Dalam puisi itu diisyaratkan TNI/Polri sudah rela meninggalkan dwi fungsi, meski
pembahasan Rancangan Undang-undang TNI beberapa waktu silam meragukannya.
Menanggapi sikap Fraksi TNI/Polri, para anggota MPR menunjukkan penghormatan dengan
berdiri.
Sementara Fraksi Utusan Golongan (F-UG) yang juga dihapuskan berpamitan dengan cara
berbeda. F-UG memberikan bingkisan bagi pimpinan MPR. Dihapuskannya Fraksi TNI/Polri
dan F-UG dari MPR ini adalah konsekuensi dari Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Adapun komposisi MPR baru hanya terdiri dari anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah
terpilih dalam Pemilu 2004
Pemerintahan SBY (KELOMPOK 4)
Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Kebijakan Luar Negeri atau Indonesia Civil Society
Forum for Foreign Policy (ICFP) merilis 10 catatan rapor merah kebijakan politik luar negeri
selama 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disebabkan oleh
SBY cenderung outward looking dengan mengedepankan soft power dan bercorak high
politics serta mencoba meningkatkan pengaruh Indonesia di forum global Perwakilan ICFP
dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Khoirun Nikmah di
Jakarta, Minggu (12/10/2014), mengatakan, Indonesia selama ini sangat aktif mengikuti
berbagai forum kerjasama internasional seperti G20, APEC, WTO, maupun ASEAN. Namun,
keterlibatan tersebut masih belum mampu membawa pengaruh banyak bagi situasi di dalam
negeri. "Bahkan kebijakan luar negeri yan dikomitmenkan oleh SBY lebih banyak membawa
kerugian bagi Indonesia dari sisi kerja sama ekonomi, politik, dan penegakan hak asasi
manusia di Indonesia," ujar Nikmah. Berikut adalah 10 hal yang dianggap sebagai kegagalan
kebijakan luar negeri SBY versi ICFP:
1. Gagal melindungi buruh migran.
2. Pemenuhan pangan bergantung impor.
3. Ekspor berbasis eksploitasi sumber daya alam.
4. Investasi lebih berpihak kepada korporasi ketimbang politik.
5. Diplomasi perubahan iklim minim implementasi di dalam negeri.
6. Ekstraktif industri dan tunduknya negara terhadap korporasi raksasa dan
multinasional.
7. Transparansi dan akuntabilitas sektor sumber daya alam dan ekstraktif masih jauh dari
harapan.
8. Ketiadaan komitmen pemerintah dalam mendorong penghormatan standar HAM dan
perlindungan buruh anak pada rantai pasokan barang dan jasa.
9. Tidak mampu menangani pelarian dan penghindaran pajak.
10. Diplomasi kerjasama ekonomi yang semakin mendorong liberalisasi dan merugikaan
petani, nelayan, buruh, perempuan, dan usaha rakyat kecil.
Pemerintahan Joko Widodo (KELOMPOK 5)
Jakarta - Roda Tiga Konsultan (RTK) merilis hasil survei terhadap tingkat keberhasilan
kinerja pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hasilnya, persoalan terkait ekonomi
masih menjadi isu utama yang dianggap tidak berhasil. Survei dilakukan pada 21 April-2 Mei
2018 di 34 provinsi. Survei dilakukan kepada 1.610 responden. Survei dilakukan dengan
stratified systemic melalui metode multistage random sampling. Margin of error survei
kurang-lebih 2,5%.
Simulasi dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada responden, "Seberapa berhasilkah
pemerintah dalam menyelesaikan masalah berikut ini? Apakah sangat berhasil? Berhasil?
Tidak berhasil? Sangat tidak berhasil?"
"Yang tidak berhasil, menyediakan lapangan kerja 62,2%, harga sembako agar terjangkau
54,5%, pemerataan kesejahteraan bagi warga pada umumnya 53,5%, kemudian ada
memberantas korupsi, penegakan hukum yang adil, perumahan/hunian yang terjangkau," ujar
Direktur Riset Roda Tiga Konsultan Rikola Fedri dalam paparannya di Cafe Mandailing,
Fatmawati, Jakarta Selatan, Kamis (24/5/2018). Fedri memaparkan, dari enam isu yang
dilempar ke responden, tiga isu utama yang dianggap tidak berhasil adalah isu yang terkait
dengan ekonomi. Di antaranya penyediaan lapangan kerja, harga sembako, dan kesejahteraan
rakyat.
"Ini kalau kita lihat dari tiga isu utama yang dianggap tidak berhasil adalah yang terkait
dengan ekonomi. Jadi ini catatan juga buat Pak Jokowi bagaimana menyelesaikan
permasalahan ekonomi," katanya. Sementara itu, isu ekonomi yang dianggap berhasil
ditangani Jokowi adalah penyediaan listrik dan air bersih, perbaikan layanan aparat
pemerintah dan birokrasi, serta ketersediaan sekolah dan perguruan tinggi. Kemudian
pembangunan sarana transportasi umum, pembangunan infrastruktur, dan pelayanan
kesehatan.
"Tiga isu yang berada di posisi atas yakni pelayanan kesehatan dengan 69,3%, pembangunan
infrastruktur 61,8%, dan pembangunan sarana transportasi umum 59,4%," ungkapnya.
Hadir dalam acara ini sebagai narasumber politikus PDIP Eva K Sundari, Wasekjen Partai
Demokrat Rachland Nashidik, Poskapol UI Aditya Perdana, dan Waketum Partai Gerindra
Ferry Juliantono
Berikut ini hasil survei Roda Tiga Konsultan tersebut:
Yang tidak berhasil:
1. Menyediakan lapangan kerja: 62,2%
2. Harga sembako agar terjangkau: 54,5%
3. Pemerataan kesejahteraan bagi warga pada umumnya: 53,5%
4. Memberantas korupsi: 48,0%
5. Menegakkan hukum yang adil tanpa tebang pilih: 47%
6. Perumahan/hunian yang memadai dan terjangkau: 41,4%

Anda mungkin juga menyukai