Anda di halaman 1dari 3

Perekonomian Era Reformasi 1998 Sampai Sekarang

Melalui sidang umum MPR pada awal Maret 1998, Soeharto kembali terpilih sebagai
presiden Republik Indonesia dan melaksanakan pelantikan Kabinet Pembangunan VII.
Namun, kondisi perekonomian nasional saat itu jatuh merosot dan berbagai permasalahan
nasional makin menumpuk. Kondisi yang memprihatinkan tersebut mendorong para
mahasiswa dari berbagai daerah untuk menggelar aksi unjuk rasa menuntut agar Soeharto
turun dari jabatannya.
Hingga pada 20 Mei 1998, Presiden Soeharto meminta pertimbangan keoada tokoh-tokoh
bangsa Indonesia untuk membentuk Dewan Reformasi. Namun, rencana tersebut gagal.
Keesokan harinya pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto pun turun dari jabatannya sebagai
presiden dan menunjuk B.J Habibie sebagai penggantinya. Pelantikan B.J Habibie sebagai
presiden ini menandai berakhirnya era pemerintahan orde baru dan dimulainya era reformasi.
Pada awal masa kepemimpinan B.J Habibie sebagai presiden, masyarakat menaruh harapan
besar agar perekonomian nasional dapat bangkit kembali dan permasalahan-permasalahan
sosial dapat segera terselesaikan. B.J Habibie kemudian melakukan kerja sama dengan Dana
Moneter Internasional sebagai upaya pemulihan. Beliau juga berhasil menaikkan nilai tukar
rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp10.000,00, serta berbagai kebijakan lainnya
sehingga kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Sayangnya,
setelah satu tahun menjabat sebagai presiden, B.J Habibie harus lengser dan digantikan oleh
K.H Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan Gus Dur.
Dalam bidang ekonomi, Gus Dur mampu memperbaiki laju pertumbuhan PDB meski tidak
jauh dari 0%. Kondisi moneter di Indonesia juga mulai stabil. Namun, tak lama setelah beliau
terpilih menjadi presiden, masyarakat mulai resah karena Presiden tak jarang mengeluarkan
kontroversi dan cenderung bersikap diktator. Hingga pada puncaknya, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) mengeluarkan memorandum I dan II yang mengancam presiden untuk turun
dari jabatannya.
Ketidakstabilan politik dan ekonomi pada masa pemerintahan K.H Abdurrahman Wahid ini
meningkatkan country risk Indonesia. Hubungan antara pemerintah Indonesia dengan IMF
juga memburuk sehingga para investor asing enggan untuk berbisnis dengan Indonesia.
Kondisi tersebut mengakibatkan perekonomian nasional kembali anjlok, bahkan cenderung
lebih buruk daripada sebelumnya. Belum ada tindakan yang cukup berarti untuk bangkit dari
keterpurukan. Malah presiden terlibat skandal Bruneigak yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak
untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Di masa ini juga
direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan
konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor
berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya
pembangunan nasional. Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai
mata tukar rupiah yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak
menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.
Setelah periode jabatan Megawati berakhir, kedudukannya sebagai presiden digantikan oleh
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain
menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke
tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Namun,
selama masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada masa
keemasannya. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi yang berhasil ditekan
pada single digit.
Presiden yang memimpin Indonesia selanjutnya dan masih menjabat sampai sekarang adalah
Joko Widodo (Jokowi). Diplomasi ekonomi Indonesia era pemerintahan Jokowi tahun 2014
diwarnai oleh pertumbuhan ekonomi global yang tidak stabil, yang tidak saja dialami oleh
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jepang; tetapi juga dialami oleh
negara-negara berkembang seperti Brazil, serta beberapa negara anggota ASEAN seperti
Indonesia. Namun di lain pihak, terdapat sejumlah negara yang pertumbuhan ekonominya
meningkat, seperti Thailand dan Vietnam.
Ketidakstabilan ekonomi global tentu turut mempengaruhi kondisi perekonomian di
Indonesia. Untuk menjaga agar ekonomi tetap stabil, Jokowi membuat beberapa kebijakan
seperti menaikkan harga BBM dan mengalokasikan dana subsidi BBM ke masyarakat miskin
dan pembangunan infrastruktur dan memberikan akses kepada masyarakat bawah untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan melalui perluasan kartu sehat dan kartu
pintar.
Krisis Ekonomi pada Masa Pemerintahan Reformasi
a. Krisis Ekonomi
Krisis Ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997 merupakan sebuah efek domino dari
krisis ekonomi Asia yang melanda berbagai negara. Berdasarkan batasan-batasan yang telah
dicanangkan oleh bank dunia, pembangunan ekonomi tergolong berhasil jika memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh bank dunia. Akan tetapi, pada krisis 1997, kondisi
ekonomi Indonesia tidak merepresentasikan satupun kriteria-kriteria yang telah ditetapkan
oleh bank dunia tersebut. Hal yang terjadi di Indonesia justru adanya krisis moneter yang
ditandai dengan rendahnya mutu sumber daya manusia, tingginya tingkat produksi di
instansi-instansi pemerintah, dan kondisi instabilitas politik.
b. Dampak Reformasi
1.) Amandemen UUD 1945
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR yaitu sebagai berikut :

 Perubahan Pertama UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Umum MPR 1999, tanggal
14-21 Oktober 1999.
 Perubahan Kedua UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Tahunan MPR 2000, tanggal
7-18 Agustus 2000.
 Perubahan Ketiga UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Tahunan MPR 1999,
tanggal 1-9 November 2001.
 Perubahan Keempat UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Tahunan MPR 1999,
tanggal 1-11 Agustus 2002.
2.) Kebebasan Pers
Pada masa Orde Baru kebebasan pers sangat dibatasi oleh pemerintah. Setelah jatuhnya
pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, kebebasan pers mengalami masa pencerahan.
Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memberikan dan
menyebarluaskan informasi untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini
public dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara
negara.
3.) Rekonstruksi ABRI
Tuntutan reformasi dalam tubuh ABRI diakomodasi dengan mengadakan perubahan
structural ABRI, yaitu antara lain sebagai berikut :

 Pemisahan POLRI dan TNI yang semula bersama-sama tergabung dalam ABRI.
 Pemisahan TNI dan POLRI tersebut juga berakibat pada perubahan Dephankam
menjadi Dephan.
 Penghapusan Dwi Fungsi ABRI, likuidasi fungsi kekaryaan serta sosial politik TNI,
penghapusan keberadaan Fraksi TNI/POLRI, serta perubahan doktrin dan organisasi
TNI.
4.) Otonomi Daerah
Pada awal era reformasi, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang memberikan
masyarakat setempat, sesuai dengan prakarsa, aspirasi masyarakat yang sejalan dengan
semangat demokrasi. Namun, kebijakan tersebut memunculkan masalah koordinasi antar
daerah otonom tingkat provinsi dan kabupaten. Untuk mengatasinya, pemerintah
mengeluarkan kebijakan baru mengenai Otonomi Daerah, yakni dengan pemberlakuan UU
No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.
5. ) Munculnya Euforia Kebebasan
Orde reformasi telah memberi peluang yang besar bagi masyarakat untuk ikut serta dalam
memberikan tanggapan kritik terhadap pemerintah. Dengan adanya era keterbukaan dan
kebebasan tersebut telah berdampak pada munculnya aksi-aksi unjuk rasa terhadap kinerja
pemerintah. Namun, disinyalir ada sebagian dari aksi-aksi tidak murni dilakukan oleh
pengunjuk rasa, melainkan hanya merupakan aksi yang mengemban kepentingan-
kepentingan kelompok tertentu. Masyarakat terjebak oleh euforia kebebasan yang telah
menimbulkan bahaya disintegrasi nasional dan sosial.

Anda mungkin juga menyukai