Anda di halaman 1dari 24

SEJARAH INDONESIA

SISTEM EKONOMI DAN POLITIK PADA MASA


PRESIDEN ERA REFORMASI

DISUSUN OLEH

RAYHAN REZA FIRMANI

X TITL – 2

SMKN 5 MAKASAR
SMKN 5 MAKASAR
1 .Masa Kepemimpinan B.J. Habibie

PRESIDEN KE 3 REPUBLIK INDONESIA

Pada awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor,
termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan
pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua
permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN); supremasi hukum; hak asasi manusia (HAM); Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan
II; peranan ABRI di dalam politik; masalah disintegrasi; dan lainnya.

Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter
Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga
melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.

Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp
10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah pertanggungjawabannya
ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan
pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia juga memulai menerapkan
independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis
moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan


Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara

Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah

Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00

Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri

Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF

Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak
Sehat

Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pemerintahan presiden B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-
manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk
mengendalikan stabilitas politik.

Kebijakan- kebijakan pada masa pemerintahan B.J. Habibie:

Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan

Dibentuk tanggal 22 Mei 1998, dengan jumlah menteri 16 orang yang merupakan perwakilan dari
Golkar, PPP, dan PDI.

Mengadakan reformasi dalam bidang politik

Habibie berusaha menciptakan politik yang transparan, mengadakan pemilu yang bebas, rahasia,
jujur, adil, membebaskan tahanan politik, dan mencabut larangan berdirinya Serikat Buruh
Independen.

Kebebasan menyampaikan pendapat.

Kebebasan menyampaikan pendapat diberikan asal tetap berpedoman pada aturan yang ada yaitu
UU No.9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

Refomasi dalam bidang hukum


Target reformasinya yaitu subtansi hukum, aparatur penegak hukum yang bersih dan berwibawa,
dan instansi peradilan yang independen. Pada masa orde baru, hukum hanya berlaku pada rakyat
kecil saja dan penguasa kebal hukum sehingga sulit bagi masyarakat kecil untuk mendapatkan
keadilan bila berhubungan dengan penguasa.

Mengatasi masalah dwifungsi ABRI

Jendral TNI Wiranto mengatakan bahwa ABRI akan mengadakan reposisi secara bertahap sesuai
dengan tuntutan masyarakat, secara bertahap akan mundur dari area politik dan akan memusatkan
perhatian pada pertahanan negara. Anggota yang masih menduduki jabatan birokrasi diperintahkan
untuk memilih kembali kesatuan ABRI atau pensiun dari militer untuk berkarier di sipil. Dari hal
tersebut, keanggotaan ABRI dalam DPR/MPR makin berkurang dan akhirnya ditiadakan.

Mengadakan sidang istimewa

Sidang tanggal 10-13 November 1998 yang diadakan MPR berhasil menetapkan 12 ketetapan.

Mengadakan pemilu tahun 1999

Pelaksanaan pemilu dilakukan dengan asas LUBER (langsung, bebas, rahasia) dan JURDIL (jujur dan
adil).

Masalah yang ada:

Ditolaknya pertanggung jawaban Presiden Habibie yang disampaikan pada sidang umum MPR
tahun1999 sehingga beliau merasa bahwa kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden lagi
sangat kecil dan kemudian dirinya tidak mencalonkan diri pada pemilu yang dilaksanakan.
2 .Masa Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

PRESIDEN KE 4 REPUBLIK INDONESIA

Bidang perekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi perekonomian
Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun
tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik
lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat
suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah
mulai stabil.

Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat tidak
berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan
kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung bersikap diktator dan
praktek KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah
satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya pemerintahan reformasi,
tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap presiden tersebut juga menimbulkan
perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya adalah dikelurakannya
peringatan resmi kepada Presiden lewat Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya
Memorandum II, Presiden terancam akan diturunkan dari jabatannya jika usulan percepatan Sidang
Istomewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang dapat
terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara terus
berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan
Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya
mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite politik semakin besar.

Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga
tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia;
penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar
negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut
mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda
perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam
dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa
Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah
yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar
akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam akan
menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.

Ketidak stabilan politik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman
Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan
antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor
asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia.
Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan reformasi cenderung lebih
buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moody’s
Investor Service mengkonfirmasikan bertambah buruknya country riskIndonesia. Meskipun
beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi
politik dan sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard & Poors) menurunkan prospek jangka
panjang Indonesia dari stabil ke negatif.

Jika kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan
mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif.
Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political will) untuk
menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah cenderung
menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya terbatas
pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia, desentralisasi fiskal, restrukturisasi utang,
dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang controversial
dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15
yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah,
menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.

Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi.
Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001
menunjukkan growth trend yang negatif. Dalam perkataan lain, selama periode tersebut IHSG
merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan
daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan
semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian Indonesia,
paling tidak untuk periode jangka pendek.

Indikator kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat
terhadap pemerintah reformasi adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada awal
tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp7.000,- per dolar AS dan pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat
sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan rupiah, menembus level Rp10.000,- per dolar AS.
Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agresif terus melakukan intervensi
pasar dengan melepas puluhan juta dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun, pada
tanggal 12 Maret 2001, ketika Istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden
Gus Dur mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot.

Pada bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh Rp12.000,- per dolar
AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Republik
Indonesia.

Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut sangat berdampak negatif terhadap roda
perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia
ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada
krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama,perekonomian Indonesia
masih sangat tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal dan pembantu, komponen
dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. Kedua, utang luar negeri (ULN) Indonesia dalam
nilai dolar AS, baik dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat besar.

Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit dan
cadangan devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar dolar AS menjadi
28,875 milyar dolar AS.

Sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid memiliki
karakteristik sebagai berikut:

Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada
perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga
yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai stabil.

Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang
dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesia,
penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN
2001 yang terus tertunda.
Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan
untuk menanamkan modal di Indonesia.

Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya
kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.

Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi
yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah
presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat.

kebijakan pada masa Gus Dur :

Meneruskan kehidupan yang demokratis seperti pemerintahan sebelumnya (memberikan


kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat minoritas, kebebasan beragama, memperbolehkan
kembali penyelenggaraan budaya tiong hua).

Merestrukturisasi lembaga pemerintahan seperti menghapus departemen yang dianggapnya tidak


efesien (menghilangkan departemen penerangan dan sosial untuk mengurangi pengeluaran
anggaran, membentuk Dewan Keamanan Ekonomi Nasional).

Ingin memanfaatkan jabatannya sebagai Panglima Tertinggi dalam militer dengan mencopot Kapolri
yang tidak sejalan dengan keinginan Gus Dur.

Masalah yang ada:

Gus Dur tidak mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan TNI-Polri.

Masalah dana non-budgeter Bulog dan Bruneigate yang dipermasalahkan oleh anggota DPR.

Dekrit Gus Dur tanggal 22 Juli 2001 yang berisikan pembaharuan DPR dan MPR serta pembubaran
Golkar. Hal tersebut tidak mendapat dukungan dari TNI, Polri dan partai politik serta masyarakat
sehingga dekrit tersebut malah mempercepat kejatuhannya. Dan sidang istimewa 23 Juli 2001
menuntutnya diturunkan dari jabatan.
3.Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri

PRESIDEN KE 5 REPUBLIK INDONESIA

Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk


dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh
untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :

Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan
mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.

Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis
dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi
dijual ke perusahaan asing.

Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada
gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak
investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya
pembangunan nasional.
Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah yang lebih
stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang
berarti dalam bidang-bidang lain.

Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain:

Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan
mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.

Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis
dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi
dijual ke perusahaan asing.

Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada
gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak
investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya
pembangunan nasional.

Kebijakan-kebijakan lain pada masa Megawati:

Memilih dan Menetapkan

Ditempuh dengan meningkatkan kerukunan antar elemen bangsa dan menjaga persatuan dan
kesatuan. Upaya ini terganggu karena peristiwa Bom Bali yang mengakibatkan kepercayaan dunia
internasional berkurang.

Membangun tatanan politik yang baru

Diwujudkan dengan dikeluarkannya UU tentang pemilu, susunan dan kedudukan MPR/DPR, dan
pemilihan presiden dan wapres.

Menjaga keutuhan NKRI

Setiap usaha yang mengancam keutuhan NKRI ditindak tegas seperti kasus Aceh, Ambon, Papua,
Poso. Hal tersebut diberikan perhatian khusus karena peristiwa lepasnya Timor Timur dari RI.

Melanjutkan amandemen UUD 1945

Dilakukan agar lebih sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman.

Meluruskan otonomi daerah Keluarnya UU tentang otonomi daerah menimbulkan penafsiran yang
berbeda tentang pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu, pelurusan dilakukan dengan pembinaan
terhadap daerah-daerah.
4 .Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

PRESIDEN KE 6 REPUBLIK INDONESIA


Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden pertama RI yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Susilo Bambang Yudhoyono yang sering disapa SBY dan Jusuf Kalla dilantik oleh MPR sebagai
presiden dan wakil presiden RI ke-6 pada tanggal 20 Oktober 2004.

Terpilihnya pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil
presiden diikuti dengan berbagai aksi protes mahasiswa, diantaranya aksi yang dilakukan oleh
mahasiswa Universitas Udayana, Denpasar, Bali, yang meminta agar presiden terpilih segera
merealisasikan janji-janji mereka selama kampanye presiden.

Tidak lama setelah terpilih, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri segera membentuk susunan
kabinet pemerintahannya yang diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu.

Sejak awal pemerintahannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memprioritaskan untuk


menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan pengangguran serta pemberantasan KKN yang ia
canangkan dalam program 100 hari pertama pemerintahannya.
Program pengentasan kemiskinan berkaitan langsung dengan upaya pemerataan dan pengurangan
kesenjangan serta peningkatan pembangunan terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal.

Salah satu program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono adalah bantuan langsung tunai (BLT). Pada tahun 2006, BLT dianggarkan sebesar Rp. 18,8
triliun untuk 19,1 juta keluarga.

Tahun 2007 dilakukan BLT bersyarat bagi 500 ribu rumah tangga miskin di 7 provinsi, 51 kabupaten,
348 kecamatan. Bantuan tersebut meliputi bantuan tetap, pendidikan, kesehatan dengan rata-rata
bantuan per rumah tangga sebesar Rp. 1.390.000.

Selain memfokuskan pada manusia dan rumah tangganya, program pengentasan kemiskinan juga
berupaya untuk memperbaiki fisik lingkungan dan prasarananya seperti gedung sekolah, fasilitas
kesehatan, jalan, air bersih, dll.

Program 100 hari pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan prioritas pada
peninjauan kembali RAPBN 2005, menetapkan langkah penegakkan hukum, langkah awal
penyelesaian konflik di Aceh dan Papua, stimulasi ekonomi nasional dan meletakkan fondasi yang
efektif untuk pendidikan nasional.

• Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Sejak krisis yang dialami bangsa pada tahun 1998, kondisi perekonomian masyarakat Indonesia
belum pulih. Upaya pengentasan kemiskinan yang juga pernah dicanangkan oleh presiden
sebelumnya masih belum terlaksana sepenuhnya.

Kondisi ini diperparah dengan terjadinya sejumlah bencana alam terutama tragedi tsunami di Aceh
yang merenggut banyak korban dengan kerugian material yang sangat besar.

Presiden SBY bersama Kabinet Indonesia Bersatu segera mengambil langkah-langkah


penanggulangan pasca bencana.

Salah satunya adalah dengan menetapkan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 mengenai
Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Aceh dan
Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara.

Selain itu dibentuk pula Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat
Aceh dan Nias (Yudhoyono, 2013).
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upaya untuk pengentasan
kemiskinan direalisasikan melalui peningkatan anggaran di sektor pertanian termasuk upaya untuk
swasembada pangan.

Anggaran untuk sektor ini yang semula hanya sebesar 3,6 triliun rupiah ditingkatkan menjadi 10,1
triliun rupiah. Untuk mendukung perbaikan di sektor pertanian, pemerintah menyediakan pupuk
murah bagi petani.

Selain berupaya memperkuat ketahanan pangan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang


Yudhoyono juga berupaya memperbaiki sektor pendidikan dengan cara meningkatkan anggaran
pendidikan yang semula berjumlah 21,49 triliun pada tahun 2004 menjadi 50 triliun pada tahun
2007.

Seiring dengan itu, program bantuan operasional sekolah atau BOS juga ditingkatkan. Perbaikan di
sektor pendidikan ini berhasil menurunkan persentase tingkat putus sekolah dari 4,25% pada tahun
2005 menjadi 1,5% pada tahun 2006.

Selain upaya untuk memperbaiki kelangsungan pendidikan para peserta didik, pemerintah juga
meningkatkan tunjangan kesejahteraan tenaga pendidik.

Di bidang kesehatan, pemerintah memberikan bantuan kesehatan gratis untuk berobat ke


puskesmas dan rumah sakit melalui pemberian Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin dan beberapa
kali menurunkan harga obat generik. (Suasta, 2013: 33-36).

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan perhatian besar pada
permasalahan kesejahteraan rakyat lainnya seperti sektorperumahan, pengembangan usaha kecil,
peningkatan kesejahteraan PNS termasuk prajurit TNI dan Polri dan juga kesejahteraan buruh.

Pelayanan dan fasilitas publik juga ditingkatan. Di bidang hukum, upaya pemerintah untuk
melanjutkan program pemberantasan korupsi dan penegakkan supremasi hukum juga mendapat
perhatian pemerintah.

•. Reformasi di Bidang Politik dan Upaya Menjaga Kesolidan


Pemerintahan

Pemerintahan yang solid berpengaruh terhadap kelancaran jalannya programprogram pemerintah


sehingga upaya untuk menjaga kesolidan pemerintahan menjadi salah satu faktor penting keberhasilan
program pemerintah.
Seperti halnya pemerintahan pada era reformasi sebelumnya, pembentukan kabinet pemerintah
merupakan hasil dari koalisi partai-partai yang mendukung salah satu pasangan calon presiden saat
pemilu presiden, dengan demikian keberadaan koalisi dan hubungan partai-partai yang mendukung
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus dijaga.

Salah satu upaya untuk menjaga kesolidan koalisi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono adalah pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) antara Partai Demokrat dengan
partai-partai politik lainnya yang mendukung SBY.

Pembentukan Setgab juga bertujuan untuk menyatukan visi dan misi pembangunan agar arah koalisi
berjalan seiring dengan kesepakatan bersama.

Setgab merupakan format koalisi yang dianggap SBY sesuai dengan etika demokrasi dan dibentuk
sebagai sarana komunikasi politik pada masa pemerintahan SBY (Suasta, 2013: 25).

Sejalan dengan upaya menjaga kesolidan pemerintahan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono juga melanjutkan reformasi politik seperti yang telah dirintis oleh pemerintahan
sebelumnya pada era reformasi.

Upaya untuk penerapan otonomi daerah dengan cara mengurangi wewenang pemerintah pusat dan
memperluas wewenang pemerintah daerah dilakukan secara proporsional dan seimbang. (Suasta,
2013: 259).

Selain itu, pemerintah juga mengupayakan reformasi birokrasi yang mengedepankan aspek
transparansi, partisipasi dan akuntabilitas demi menciptakan good governance.

Reformasi birokrasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah
karena proses pengambilan keputusan dilakukan secara transparan dan dapat diakses oleh masyarakat
terutama dalam pengambilan keputusan yang terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak
seperti masalah kenaikan BBM dan pengadilan terhadap para koruptor.

Untuk membangun komunikasi yang efektif dengan masyarakat, pemerintah memaksimalkan


penggunaan media sosial seperti SMS online dan twitter. Melalui media tersebut, partisipasi
masyarakat dalam perjalanan pemerintahan diharapkan meningkat.

Di sisi lain pemerintah dapat dengan cepat mengetahui pendapat masyarakat terkait masalah-masalah
tertentu termasuk opini masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah dalam kasus-kasus yang
dianggap krusial.
• Upaya untuk menyelesaikan ancaman luar, upaya internal yang dilakukan pemerintah untuk
menjaga kedaulatan wilayah adalah mencegah terjadinya disintegrasi di wilayah konflik. Konflik
berkepanjangan di wilayah Aceh dan Papua yang belum juga berhasil diselesaikan pada masa
pemerintahan presiden sebelumnya, mendapat perhatian serius dari Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Kendati telah dilakukan pendekatan baru melalui dialog pada masa pemerintahan
Presiden B.J. Habibie termasuk dengan mencabut status DOM yang diterapkan oleh pemerintah
Orde Baru, namun konflik di Aceh tidak kunjung selesai. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, pemerintah berupaya untuk lebih mengefektifkan forum-forum dialog mulai
dari tingkat lokal Aceh hingga tingkat internasional. Di tingkat internasional, upaya tersebut
menghasilkan Geneva Agreement (Kesepakatan Penghentian Permusuhan/Cessation of Hostilities
Agreement (CoHA). Tujuan dari kesepakatan tersebut adalah menghentikan segala bentuk
pertempuran sekaligus menjadi kerangka dasar dalam upaya negosiasi damai diantara semua pihak
yang berseteru di Aceh.

Namun pada kenyataannya, CoHA dan pembentukkan komite keamanan bersama belum mampu
menciptakan perdamaian yang sesungguhnya.

Belum dapat dilaksanakannya kesepakatan tersebut dikarenakan minimnya dukungan di tingkat


domestik, baik dari kalangan DPR maupun militer selain tidak adanya pula dukungan dari pihak
GAM (Gerakan Aceh Merdeka). (Yudhoyono, 2013).

Selain berupaya menyelesaikan konflik Aceh melalui perundingan, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono juga melakukan pendekatan langsung dengan masyarakat Aceh melalui kunjungan yang
dilakukan ke Aceh pada tanggal 26 November 2004.

Dalam kunjungan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan pentingnya penerapan
otonomi khusus di Aceh sebagai sebuah otonomi yang luas.

Presiden juga berupaya untuk membicarakan amnesti dengan DPR bagi anggota GAM seraya
menekankan bahwa solusi militer tidak akan menyelesaikan masalah Aceh secara permanen.

Selain konflik di Aceh, konflik lain yang berpotensi menjadi konflik berskala luas adalah konflik
bernuansa agama di Poso. Konflik yang dimulai pada tahun 1998 tersebut terus berlanjut hingga masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Salah satu kebijakan presiden untuk menyelesaikan konflik Poso adalah dengan mengeluarkan
Intruksi Presiden No 14 Tahun 2005 tentang langkah-langkah komprehensif penanganan masalah
Poso. Melalui Inpres tersebut, Presiden menginstruksikan untuk:

1. Melaksanakan percepatan penanganan masalah Poso melalui langkah-langkah komprehensif,


terpadu dan terkoordinasi.
2. Menindak secara tegas setiap kasus kriminal, korupsi dan teror serta mengungkap
jaringannya.
3. Upaya penanganan masalah Poso dilakukan dengan tetap memperhatikan Deklarasi Malino
20 Desember 2001.

Selain konflik Aceh dan Poso, konflik lain yang mendapat perhatian serius pemerintah adalah konflik
di Papua. Seperti halnya konflik di Aceh, upaya untuk menyelesaikan konflik di Papua juga
mengedepankan aspek dialog dan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kurangnya keadilan bagi masyarakat Papua menimbulkan adanya perlawanan dan keinginan sebagian
masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI.

Perhatian pemerintah sudah sewajarnya lebih diberikan untuk meningkatkan sisi ekonomi dan
pemberdayaan sumber daya manusia masyarakat yang tinggal di wilayah ini melalui pemberian
pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mereka di bidang pertanian dan pemahaman birokrasi,
terlebih propinsi Papua memiliki sumber daya alam besar terutama di sektor pertambangan.

Terkait dengan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengeluarkan kebijakan otonomi
khusus bagi Papua. Otonomi khusus tersebut diharapkan dapat memberikan porsi keberpihakan,
perlindungan dan pemberdayaan kepada orang asli Papua.

Kebijakan tersebut didukung oleh pemerintah melalui aliran dana yang cukup besar agar rakyat Papua
dapat menikmati rasa aman dan tentram di tengah derap pembangunan.

• Pelaksanaan Pemilu 2009

Berbagai pencapaian pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meningkatkan
popularitas dan kepercayaan masyarakat kepadanya.

Hal ini juga tidak terlepas dari gaya kepemimpinan yang berkorelasi dengan penerapan berbagai
kebijakan pemerintah yang efektif di lapangan.

Transparansi dan partisipasi masyarakat juga menjadi faktor penting yang berperan sebagai modal
sosial dalam pembangunan termasuk adanya sinergi antara pemerintah dengan dunia usaha dan
perguruan tinggi.

Selain itu, situasi dalam negeri yang semakin kondusif termasuk meredanya beberapa konflik dalam
negeri meningkatkan investor asing untuk menanamkan modal mereka di Indonesia sekaligus
membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia.

Kondisi ini ikut mengurangi angka pengangguran yang di awal pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono masih sangat tinggi.
Keberhasilan beberapa program pembangunan juga tidak terlepas dari adanya stabilitas politik,
keamanan, dan ketertiban serta harmoni sosial.

Berbagai pencapaian pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dirasakan langsung oleh
masyarakat menjadi modal bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk kembali maju sebagai
calon presiden pada pemilu presiden tahun 2009.

Berpasangan dengan seorang ahli ekonomi yakni Boediono, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
berhasil mendapatkan kembali mandat dari rakyat untuk memimpin Indonesia untuk masa
pemerintahan berikutnya.

Pada pemilu presiden yang diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009 pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono berhasil memenangkan pemilu hanya melalui satu putaran.

•. Euforia Berdemokrasi: Demokrasi Masa Reformasi

Reformasi 1998 yang menumbangkan pemerintahan Orde Baru memberikan ruang seluas-luasnya
bagi perubahan sistem dan penerapan demokrasi di Indonesia.

Pemerintahan Orde Baru yang sangat sentralistik menimbulkan kesenjangan terutama bagi wilayah-
wilayah yang dianggap kurang mendapat perhatian.

Selain itu, pemilihan anggota legislatif dan pejabat eksekutif di daerah-daerah terutama para kepala
daerah yang ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat meningkatkan rasa tidak puas terhadap
pemerintah.

Ketika pemerintah Orde Baru tumbang, keinginan untuk mendapatkan ruang politik dan
pemerintahan untuk mengatur wilayah sendiri menjadi keinginan masyarakat di daerah-daerah yang
pada akhirnya melahirkan Undang-Undang otonomi daerah.

Pembagian hasil eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah
juga disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah.

Penerapan otonomi daerah tersebut diiringi dengan perubahan sistem pemilu dan
diselenggarakannya pemilu langsung untuk mengangkat kepala daerah mulai dari gubernur hingga
bupati dan walikota.
Di bidang pers, euphoria demokrasi juga melahirkan sejumlah media massa baru yang lebih bebas
menyuarakan berbagai aspirasi masyarakat. Namun, kebebasan di bidang pers harus tetap
memperhatikan aspek-aspek keadilan dan kejujuran dalam menyebarkan berita.

Berita yang dimuat dalam media massa harus tetap mengedepankan fakta sehingga euphoria
kebebasan pers yang telah sekian lama terkekang pada masa pemerintahan Orde Baru tidak
menimbulkan keresahan dalam masyarakat.

•. Peran Pemuda dan Tokoh Masyarakat dalam perubahan Politik dan Ketatanegaraan

Tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa Reformasi 1998, seperti halnya juga terjadi di beberapa
negara lain, menunjukkan bahwa sebuah perubahan hingga dapat mempengaruhi situasi politik
nasional bahkan pergantian kepemimpinan, memerlukan energi yang besar dan ide-ide cemerlang
sehingga mampu menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam gerbong perubahan itu
sendiri.

Pengaruh dan ide-ide tokoh masyarakat yang bersinergi dengan semangat pemuda dan mahasiswa
yang energik melahirkan sebuah kekuatan besar dalam masyarakat (people power) untuk pada
akhirnya melakukan perubahan.

Tokoh masyarakat dan pemuda khususnya mahasiswa memainkan peranan penting sebelum dan
sesudah peristiwa Reformasi 1998.

Tidak hanya sebagai pelaku yang berperan dalam menumbangkan pemerintahan Orde Baru, baik
tokoh masyarakat maupun pemuda pada era reformasi juga berpartisipasi secara aktif dalam
melanjutkan upaya untuk mewujudkan cita-cita reformasi.

Salah satu upaya untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara, reformasi di bidang
politik dan ketatanegaraan merupakan salah satu aspek yang mendapat perhatian besar sejak masa
pemerintahan Presiden Habibie hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Banyaknya produk hukum dan undang-undang termasuk Tap MPR, instruksi presiden dan peraturan
pemerintah menyangkut upaya untuk memperbaiki kehidupan politik dan ketatanegaraan telah
dikeluarkan dan sebagian telah berhasil diterapkan. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari
perubahan sistem pemilu.

Perubahan sistem tersebut menghasilkan para anggota eksekutif dan legislatif dalam pemerintahan
yang dianggap dapat lebih menyuarakan kepentingan masyarakat termasuk peran aktif tokoh-tokoh
masyarakat dan mahasiswa yang sejak awal era reformasi telah aktif dalam mengawal perubahan
sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru.

Beberapa dari mereka bahkan terpilih menjadi anggota legislatif dan menduduki posisi-posisi
strategis dalam partai-partai politik hingga masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.

Selama era reformasi, regenerasi kepemimpinan dari tokoh-tokoh senior kepada tokoh-tokoh yang
lebih muda juga memperlihatkan kepedulian organisasi masyarakat dan partai politik terhadap
pentingnya peran serta aktif pemuda untuk memulai lebih dini dalam mengikuti perkembangan dan
perubahan politik yang dalam beberapa hal juga mempengaruhi ketatanegaraan.

Selain itu, peran aktif pemuda juga diharapkan dapat menyuarakan kepentingan generasi
mendatang agar dapat lebih kompetitif dengan bangsa-bangsa lain di tengah arus globalisasi
termasuk peningkatan anggaran di bidang pendidikan yang meliputi sarana dan prasarana serta
peningkatan anggaran untuk melakukan penelitian.

5.Masa Pemerintahan Presiden Jokowidodo


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KE 7

Jokowidodo dan KH. Maruf Amin akan resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden
RI periode 2019-2024. Selain sebagai tanda dimulainya kerja Presiden Jokowi untuk kedua
kalinya, pelantikan ini juga akan sekaligus menutup buku kinerja pemerintahan Jokowi - JK
di periode pertama.
Sebelum jauh berbicara target di periode kedua, tidak ada salahnya kita menilik lagi potret
kinerja pemerintahan Jokowi - JK di periode pertama, yang ternyata mewariskan sejumlah
catatan kegagalan.

• Menurunnya kepuasan publik

Menurut survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 19 September – 4 Oktober 2019, tingkat
kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK tunjukkan penurunan. Di awal
pemerintahan pada Januari 2015, tingkat kepuasan publik mencapai angka 65.1% dan turun cukup
signifikan pada Oktober 2019 pada angka 58.8%.

Lebih spesifik terhadap semua bidang, Litbang Kompas juga mencatat terjadinya penurunan
kepuasan publik di hampir semua bidang kerja.

Bidang Politik dan Keamanan, turun dari 73,1% pada Januari 2015 menjadi 64,3% pada Oktober
2019. Bidang Hukum, turun dari 59,9% pada Januari 2915 menjadi 49,1% pada Oktober 2019. Bidang
Sosial, turun sedikit dari 61,1% pada Januari 2015 menjadi 59,4% pada Oktober 2019.

Namun berbeda dengan Bidang Ekonomi, tingkat kepuasan publik alami kenaikan, yaitu 43,2% pada
Januari 2015 menjadi 49,8% pada Oktober 2019.

Survei oleh Litbang Kompas ini melibatkan lebih dari 1.200 responden dari 34 provinsi dengan
tingkat kepercayaan 95% dan margin of error lebih kurang 2.83%.

Berbeda dengan Litbang Kompas, Lembaga Survei Parameter Politik juga merilis evaluasi kinerja
umum Presiden Jokowi di lima tahun kepemimpinannya. Hasilnya, publik yang merasa kinerja Jokowi
baik bahkan tidak menyentuh angka 50 %.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan bahwa hanya 41% saja
publik yang menilai kinerja Presiden Jokowi baik. Sisanya, sebanyak 23,3% persen menilai kinerja
Presiden Jokowi buruk, 33,4% menjawab biasa saja dan 2,3% tidak menjawab.

• Capaian lima tahun pemerintahan Jokowi – JK


Moeldoko selaku Kepala Staf kepresidenan menyampaikan bahwa pemerintah telah bekerja
maksimal memenuhi target pembangunan seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019.

“Pembangunan Indonesia sangat baik, meskipun belum semuanya terpenuhi sesuai dengan target
awal. Namun banyak indikasi positif menuju perubahan positif,” kata Moeldoko dalam keterangan
tertulis, Selasa (14/10/2019).

Dalam keterangan tertulis yang diterima DW pada Selasa (14/10/2019) disebutkan sejumlah capaian
keberhasilan oleh pemerintahan Jokowi – JK yang dirangkum dalam 3 pilar yaitu politik, ekonomi dan
budaya.

Di bidang politik, pemerintah disebutkan telah memastikan perlindungan dan rasa aman,
pemerintahan yang bersih, kemajuan desa dan daerah-daerah pinggiran serta tegaknya sistem
hukum. Terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020
disebut sebagai capaian dalam politik luar negeri.

Di bidang ekonomi, disebutkan soal naiknya skor Ease of Doing Business (kemudahan berusaha)
sebagai wujud komitmen pemerintah melakukan perbaikan struktural berkesinambungan. Selain itu,
rasio elektrifikasi yang telah mencapai 98,8% sebagai bagian dari program 35 ribu MW yang
ditargetkan pemerintah juga disebut sebagai sebuah keberhasilan.

Sementara di bidang sosial, pemerintah disebutkan telah memastikan hak rakyat atas tanah melalui
program redistribusi dengan realisasi hingga Juni 2019 mencapai 558.700 bidang dan 418.748
hektar. Sementara yang paling popular, pemerintah sukses membagikan Kartu Indonesia Pintar
kepada 18,9 juta siswa, Program Keluarga harapan sebanyak 10 juta keluarga dan 96,7 juta orang
peserta Kartu Indonesia Sehat.

• Predikat C untuk Ekonomi

Di balik sejumlah pencapaian di periode pertama khususnya pembangunan infrastruktur yang patut
diacungi jempol, kerja Jokowi – JK selama 5 tahun terakhir dinilai masih banyak meninggalkan
catatan kegagalan.

Ada empat target ekonomi makro menurut RPJMN 2015-2019 yang gagal dipenuhi oleh
pemerintahan Jokowi – JK.
Pertama, pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan di angka 5% padahal target pertumbuhan
ekonomi diharapkan berada pada angka 7-8%.

Kedua, tingkat kemiskinan ditargetkan menurun ke angka 7-8 % pada akhir 2019. Nyatanya, per
Maret 2019, tingkat kemisikinan masih berada di angka 9,4%.

Ketiga, tingkat ketimpangan atau gini ratio. Pemerintah awalnya memperkirakan gini ratio mampu
mencapai angka 0,36 pada akhir tahun 2019. Namun, per Maret 2019 baru mencapai 0,382.

Dan keempat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pemerintah awalnya menargetkan IPM bisa
mencapai 76,3 poin pada 2019 namun baru mencapai angka 71,3 pada akhir 2018.

Meskipun sejumlah indikator ini meleset dari target, pemerintah mampu memenuhi target inflasi
yang sampai pada September 2019 berada di kisaran 3,39%. Angka ini sesuai dengan target RPJMN
2015-2019 yaitu 3,5 – 5%.

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati
mengatakan bahwa faktor eksternal seperti ketidakpastian global dan dampak perang dagang tidak
dapat sepenuhnya dijadikan alasan mengapa target ekonomi makro diatas tidak tercapai.

Menurutnya, 80% struktur ekonomi Indonesia ditentukan oleh perekonomian domestik, dan selama
pemerintahan Jokowi – JK hal itu dinilai belum optimal.

Enny menilai lemahnya koordinasi antar kementerian menjadi salah satu faktor mengapa
perekonomian dalam negeri belum maksimal. “kita tahu berbagai macam kebijakan antar sektor
sering tumpang tindih, sehingga sering di hadapan publik kebijakan satu kementerian dianulir oleh
kebijakan atau dikomplain oleh kementerian lain, tidak pernah sejalan, “ ujarnya saat dihubungi DW.

Selain itu, program Jokowi untuk membangun Indonesia dari pinggir yang disebutkan dalam
Nawacita juga menurutnya belum terlaksana secara maksimal. Pembangunan infrastruktur seperti
jalan tol di Papua, Sumatera dan Kalimantan belum menunjukkan adanya peningkatan kegiatan
untuk mendongkrak perekonomian nasional. “Tidak ada akselerasi kapasitas ekonomi disana dan
ternyata dominasi kegiatan ekonomi masih di Jawa,” ujar Enny.

Selain itu, program Dana Desa dengan anggaran fantastis juga ia nilai belum mampu mendongkrak
perekonomian pedesaan. Enny menyebutkan perlu ada revitalisasi agar alokasi dana desa itu benar-
benar memiliki dampak peningkatan kapasitas dan nilai tambah ekonomi di desa.
“Sebenarnya kalo sampai 70-an triliun (dana desa) itu sebenarnya jumlahnya cukup besar tapi
konsitusi perekonomian desa sampai hari ini masih sangat terbatas dengan pertumbuhan ekonomi
pedesaan yang terjadi malah lebih lambat daripada pertumbuhan inflasi pedesaan,” ujarnya.

Saat ditanya predikat yang cocok untuk performa Jokowi – JK bidang ekonomi, Enny tak segan
berikan penilaiannya. “Jadi kalaupun mahasiswa kuliah kira kira saya sih C aja udah bagus, artinya
kalo skornya 0 -10 itu mungkin masih di sekitaran 5,5 -6,” ujarnya kepada DW.

• Suram dalam Hukum dan HAM

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan
penanganan hukum di periode pertama Jokowi sangat amburadul. Menurutnya, hukum di era
Jokowi dipakai menjadi alat kriminalisasi warga yang justru mempertahankan hak konstitusionalnya.
Ia mencontohkan aksi mahasiswa pada 23-24 September lalu. “Aparat kepolisian justru membui
mereka, menangkap mereka bahkan melakukan kekerasan secara brutal, tidak hanya banyak yang
luka-luka bahkan ada yang meninggal,” ujarnya kepada DW.

Lebih jauh, hukum di era Jokowi juga menurutnya dipakai untuk alat diskriminasi. Terkait hal ini ia
lontarkan kritik terhadap program PAKEM (Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang dibuat
oleh kejaksaan. “PAKEM ini di ranah minoritas menjadi alat diskriminasi, “ujarnya. “Ahmadiyah
sepanjang 5 tahun ini mendapatkan gangguan dan justru berulang kali dipanggil oleh PAKEM,
mereka tidak bisa ibadah, tidak bisa akses rumah ibadahnya,” tambah Isnur.

Terkait isu pelanggaran HAM berat masa lalu, Isnur menilai bahwa di era Jokowi, Kejaksaan menjadi
lembaga yang melanggengkan impunitas. Ia menyebutkan bahwa hasil penyelidikan HAM berat yang
diserahkan oleh Komnas HAM dikembalikan tanpa alasan. Dalam hal ini, menurutnya Jokowi ingkar.
“Tidak satupun kasus (pelanggaran HAM berat) yang dibawa ke pengadilan HAM berat,” katanya
kepada DW.

Dari catatan-catatan ini, Isnur menilai potret penanganan hukum dan HAM di periode kedua masih
akan tetap suram. “Jika melihat DPR juga semakin mengerikan apalagi sekarang misalnya UU KPK
diubah, sekarang korupsi semakin bebas dan brutal, tidak ada kendali disana jadi ke depan
kondisinya akan makin suram,” katanya.

Lebih jauh kondisi demokrasi pun dinilai akan semakin kelam karena minimnya kontrol dari negara
terhadap pucuk pimpinan kepada aparat penegak hukum.

“Bahkan Novel yang istilahnya aparat negara kan dalam kasus korupsi jadi korban, tidak ada tuh
kemudian negara bertanggung jawab atau menangkap pelakunya,” ujar Isnur.istilahnya aparat
negara kan dalam kasus korupsi jadi korban, tidak ada tuh kemudian negara bertanggung jawab atau
menangkap pelakunya. Unjar isnur

Anda mungkin juga menyukai