Anda di halaman 1dari 5

Materi Pertemuan 15

Ekonomi Indonesia Era Reformasi

Sudah 20 tahun Indonesia menempuh perjalanan panjang demokrasi dan pluralisme


berbalut pakem reformasi. Selama itu pula pemerintah berupaya memangkas berbagai
hambatan dan inefesiensi perekonomian guna mewujudkan keinginan masyarakat kala krisis
moneter 1998. Adapun dalam perjalanan reformasi itu terekam sejumlah peristiwa baik
secara politik, sosial, budaya, keamanan, hingga ekonomi. Tentu masyarakat masih
mengingat betul ketika era reformasi dimulai yang menggantikan era orde baru yang
dipimpin Presiden Soeharto. Hantaman keras dari krisis moneter nyatanya menghempas
Soeharto dari kursi kepresidenan. Di 1998, kata-kata 'keajaiban' seakan hilang ketika krisis
ekonomi mendobrak keras fundamental perekonomian Indonesia. Usai merasakan
pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan di tahun-tahun sebelumnya, Tanah Air harus
merasakan guncangan luar biasa yang membuat indikator ekonomi berubah drastis dan
memberikan beban berat bagi masyarakat. Mulai dari nilai tukar rupiah yang menembus level
Rp16.800 per USD, tingkat inflasi bergerak sangat liar sehingga harga kebutuhan pokok
merangkak tinggi yang membuat masyarakat sulit mendapatkan bahan pokok yang murah,
hingga rusaknya stabilitas sosial dan keamanan telah memporak-porandakan tatanan
perekonomian Indonesia saat itu.

Medcom.id mencoba merangkum perjalanan reformasi terutama dari sisi ekonomi.


Dimulai setelah Soeharto mundur dan tampuk kepemimpinan berpindah tangan ke Presiden
Bacharuddin Jusuf Habibie. Untuk menyelesaikan krisis moneter, Habibie menelurkan
sejumlah kebijakan. Kebijakan itu di antaranya merekapitulasi perbankan dan menerapkan
independensi Bank Indonesia, mengesahkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 mengenai
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat, serta Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen. Kebijakan itu rupanya mampu
mengembalikan nilai tukar rupiah yang semula menyentuh Rp16.800 per USD menjadi
Rp8.000 per USD dalam kurun satu tahun menjabat. Habibie juga melikuidasi beberapa bank
yang bermasalah lewat pinjaman International Monetary Fund (IMF). Namun IMF saat itu
menghentikan sementara pinjamannya karena pemerintah menolak mengumumkan hasil audit
Bank Bali kepada publik.
Saat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terpilih sebagai Presiden pada Oktober
1999, kondisi ekonomi mulai membaik tapi belum sepenuhnya stabil. Gus Dur menghadapi
dua permasalahan utama dalam mengimplementasikan program reformasi meski telah
membentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Penundaan revisi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2001 serta adanya masalah Amandemen UU Nomor 23 tahun 1999
mengenai Bank Indonesia, dan penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam
uang dari luar negeri) membuat IMF kembali menahan bantuannya.

Persoalan tersebut kemudian diwariskan pada masa pemerintahan Megawati


Soekarnoputri. Di masa itu, keadaan ekonomi mulai stabil dengan kurs rupiah yang terjaga.
Pemerintah menunda pembayaran utang senilai USD5,8 miliar, kemudian melakukan
pembayaran utang luar negeri senilai Rp116,3 triliun serta melakukan privatisasi BUMN.
Hal itu sejalan dengan pedoman pelaksanaan pembangunan ekonomi berupa Tap MPR RI
No. IV/ MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004. Sayangnya, iklim
investasi memburuk karena lambatnya usaha privatisasi yang diperparah dengan pembatalan
Undang-undang Kelistrikan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2003.

Upaya perbaikan ekonomi terus berlanjut di masa pemerintahan Presiden Susilo


Bambang Yudhoyono (SBY). Ia mengeluarkan kebijakan pengurangan subsidi Bahan Bakar
Minyak (BBM) untuk memperkuat fiskal, meluncurkan program Bantuan Langsung Tunai
(BLT), serta melunasi utang IMF senilai USD3,1 miliar. Tapi, perbaikan iklim investasi di
sektor infrastruktur masih tersendat karena pemerintah dianggap gagal mengeluarkan regulasi
yang tepat. Kendati demikian, selama dua periode menjabat, SBY mencatatkan pertumbuhan
ekonomi rata-rata lima persen per tahun.

Reformasi Ekonomi di Era Jokowi B Minus


Sudah 20 tahun reformasi berjalan dan banyak masyarakat masih berharap
reformasi menjadi kunci tercapainya perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Keadilan sosial yang dimaksudkan tentunya meliputi banyak aspek yang nantinya
bisa membuat Indonesia kembali disegani di dunia internasional dan tidak ada lagi pihak
eksternal yang mendikte. Di masa kepemimpinan Presiden Jokowi, upaya pemerintah dalam
memperbaiki inefesiensi ekonomi banyak diklaim sudah on the right track. Namun demikian,
perbaikan tersebut oleh sejumlah ahli justru diberi nilai B minus. Artinya Indonesia belum
mencapai kedaulatan ekonomi seperti yang dicita-citakan 20 tahun silam.

Bahkan, pernyataan reformis Presiden yang terbuka terhadap investasi belum


berhasil diterjemahkan dalam kebijakan yang ramah investasi. Pasalnya,
terdapat ketidaksinambungan antara pernyataan di tingkat pusat dengan implementasi di
tingkat daerah. Misalnya, masih ada perizinan yang berbelit, dan memakan waktu, serta biaya
yang tinggi. Tercatat realisasi investasi tumbuh di bawah target yang ditetapkan sebesar 1,97
persen dengan rata-rata per tahun (2012-2016) sebesar USD1.417,58 miliar. Ini tentu sangat
disayangkan lantaran investasi merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap
pembentukan pertumbuhan ekonomi Indonesia, selain tingkat konsumsi masyarakat.
Di sisi lain, ekonomi tercatat tumbuh di bawah prediksi dan tidak sesuai dengan ekspektasi
pemerintah seiring perlambatan konsumsi rumah tangga. Nilai tukar rupiah pun bergejolak
pada 2015, dan di 2018 mencapai titik terlemahnya di Rp14.000 per USD, meski Bank
Indonesia (BI) menyebut pelemahan itu lebih baik dibandingkan dengan mata uang negara
lain.

Memang tidak ditampik, Jokowi mampu melakukan sebuah reformasi radikal yaitu
dengan memangkas dan menghapus subsidi BBM jenis premium walau keputusan tersebut
ditentang begitu keras oleh banyak pihak. Namun, upaya ini mampu mengurangi beban fiskal
yang kemudian dialihkan untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur. Wakil Ketua
Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta tidak memungkiri sejauh ini
Pemerintahan Jokowi telah berupaya meningkatkan akses terhadap pendidikan dengan
memberikan porsi 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Selain itu, ada upaya dari pemerintah untuk terus menekan tingkat pengangguran dan
kemiskinan sejalan dengan meningkatnya angka harapan hidup masyarakat di Indonesia.
Tercatat, tingkat pengangguran terbuka di Februari 2018 turun 5,13 persen atau berkurang
140 ribu orang. Kondisi itu dinilai menjadi yang terendah sejak 1998.
Begitu pula dengan angka persentase penduduk miskin pada September 2017 mencapai
sebesar 10,12 atau terendah sejak 1970. Perlu diakui, situasi dan kondisi tersebut merupakan
sebuah prestasi dan patut diapresiasi serta didukung agar tingkat pengangguran dan tingkat
kemiskinan bisa terus turun signifikan di masa mendatang.
Sedangkan terkait pembangunan dalam tiga tahun terakhir bisa dinilai lebih berpihak ke desa
dan wilayah pinggiran. Hal itu terlihat dari program dana desa, dana alokasi umum, dan dana
alokasi khusus yang diprioritaskan pemerintah pusat untuk membangun daerah. Artinya,
pertumbuhan ekonomi lebih mengarah pada aspek pemerataan tidak lagi terpusat.

"Bagaimana menilai reformasi secara numerik, saya lihat berjalan baik meski ada
kekurangan, ini posisinya B-lah," kata Arif, dalam diskusi '20 Tahun Reformasi Capain dan
Tantangan' yang diselenggarakan oleh Media Research Center (MRC), di Gedung Metro TV,
Jakarta, Rabu, 9 Mei 2018. Serupa dengan itu, mantan Menteri Perindustrian (Menperin)
Saleh Husin menilai, pelaksanaan reformasi ekonomi-politik Indonesia sudah berjalan ke
arah yang tepat. Hanya saja, pertumbuhan ekonomi nasional masih terganggu oleh gonjang-
ganjing politik serta tumpang tindih perizinan di daerah.

Kondisi tersebut tidak ditampik memang masih terjadi dan menghambat laju
pertumbuhan ekonomi sehingga 'tetes' manfaat perekonomian belum maksimal dirasakan
oleh masyarakat lapisan paling bawah. Fenomena ini menjadi Pekerjaan Rumah (PR)
Pemerintahan Jokowi yang harus segera diselesaikan sebelum habis masa jabatannya di 2019.
Di sektor industri nonmigas, misalnya, pemerintah dinilai belum mampu mendorong industri
nasional guna menciptakan nilai tambah dengan harapan memperkuat daya saing Indonesia di
kancah dunia internasional. Setidaknya 60 persen bahan baku untuk industri masih impor,
sementara row material-nya berasal dari dalam negeri. "Jarang swasta masuk karena investasi
padat modal dan pengembalian lama. Ini yang harus jadi konsentrasi agar kita dapat membuat
industri memberikan nilai tambah," ungkap Saleh Husin, kepada Medcom.id.

Ibarat Lokomotif Baru dengan Gerbong Tua Oligopoli

Jika melihat struktur perekonomian sekarang ini, Jokowi bisa diibaratkan sebagai
lokomotif baru yang membawa gerbong-gerbong tua dari zaman kebangkitan reformasi.
Gerbong lama tersebut berupa sistem monopoli dan oligopoli yang masih mengakar dan
melebur dengan baik. Mereka mempertahankan kekayaan melalui lobi, proses politik,
pemilihan umum, pembentukan opini, dan proses pembentukan kebijakan negara. Hal itu bisa
terlihat dari sejumlah bidang usaha atau pasar yang dikuasai oleh segilintir pihak atau elite
tertentu. Akhirnya, manfaat pertumbuhan ekonomi tersangkut di bagian tengah dan tidak bisa
mencapai level terbawah.

Berdasarkan konsep power index (MPI), nilai material MPI Indonesia mencapai
584.478 atau lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain kecuali Filipina. Angka
tersebut menunjukkan bahwa 40 orang terkaya di Indonesia memiliki kapasitas politik
pertahanan kekayaan hampir 600 ribu kali lipat lebih besar dibandingkan dengan masyarakat
biasa. Untungnya, angka tersebut telah menurun dalam dua tahun terakhir. Tercatat pada
2014 dan 2015, angka MPI Indonesia masing-masing mencapai 677,451 dan 645,232.
Diharapkan angka ini bisa membaik dan semua masyarakat tanpa terkecuali benar-benar
merasakan manfaat pertumbuhan ekonomi termasuk meningkatkan kesejahteraannya.

Menurut Arif Budimanta kecenderungan pasar monopoli dan oligopoli sebelum dan
sesudah reformasi masih sama. Sebab itu, struktur oligarki perlu diperbaiki untuk
menciptakan wirausahawan baru. Oligarki ekonomi di Indonesia, lanjutnya, berkorelasi
positif dengan ketimpangan dan disinyalir menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan
ekonomi. Mantan Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Republik Indonesia (DPR RI) ini
menilai hubungan oligarki dengan pertumbuhan ekonomi di 2006 sampai 2016 terbilang
negatif namun lemah. Sebaliknya, pada periode yang sama hubungan oligarki dengan
ketimpangan (gini ratio) searah dan kuat. "MPI terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun,
terdapat penurunan MPI dalam dua tahun terakhir," tuturnya.

Sementara itu, Ekonom Didik J Rachbini mengatakan, pemerintah perlu


menciptakan platform ekonomi-politik yang baru agar terbebas dari gerbong-gerbong
kebijakan lama. Baginya, sistem ekonomi dan sistem politik semestinya terpisah tapi berjalan
beriringan seiring dengan upaya mencapai target-target pemerintahan. Selama ini, bisnis
kerap memanfaatkan kebijakan pemerintah untuk mendulang keuntungan. Seharusnya bisnis
berjalan bebas sesuai mekanisme pasar tanpa campur tangan elite. Situasi dan kondisi seperti
itu yang seharusnya mulai diperbaiki sehingga tidak ada lagi istilah yang kaya makin kaya
dan yang miskin makin miskin. "Kalau kekuatan dihadirkan enggak perlu bikin inovasi, bikin
SK saja. Di sisi pelaku ekonomi dia enggak capek inovasi cukup menempel ke penguasa. Ini
masalah yang tidak beribah. Jadi politik dan bisnis itu harus dipisah. Kalau tidak dipisah
maka korbannya masyarakat," ungkap Didik kepada Medcom.id.

Anda mungkin juga menyukai