Memang tidak ditampik, Jokowi mampu melakukan sebuah reformasi radikal yaitu
dengan memangkas dan menghapus subsidi BBM jenis premium walau keputusan tersebut
ditentang begitu keras oleh banyak pihak. Namun, upaya ini mampu mengurangi beban fiskal
yang kemudian dialihkan untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur. Wakil Ketua
Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta tidak memungkiri sejauh ini
Pemerintahan Jokowi telah berupaya meningkatkan akses terhadap pendidikan dengan
memberikan porsi 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Selain itu, ada upaya dari pemerintah untuk terus menekan tingkat pengangguran dan
kemiskinan sejalan dengan meningkatnya angka harapan hidup masyarakat di Indonesia.
Tercatat, tingkat pengangguran terbuka di Februari 2018 turun 5,13 persen atau berkurang
140 ribu orang. Kondisi itu dinilai menjadi yang terendah sejak 1998.
Begitu pula dengan angka persentase penduduk miskin pada September 2017 mencapai
sebesar 10,12 atau terendah sejak 1970. Perlu diakui, situasi dan kondisi tersebut merupakan
sebuah prestasi dan patut diapresiasi serta didukung agar tingkat pengangguran dan tingkat
kemiskinan bisa terus turun signifikan di masa mendatang.
Sedangkan terkait pembangunan dalam tiga tahun terakhir bisa dinilai lebih berpihak ke desa
dan wilayah pinggiran. Hal itu terlihat dari program dana desa, dana alokasi umum, dan dana
alokasi khusus yang diprioritaskan pemerintah pusat untuk membangun daerah. Artinya,
pertumbuhan ekonomi lebih mengarah pada aspek pemerataan tidak lagi terpusat.
"Bagaimana menilai reformasi secara numerik, saya lihat berjalan baik meski ada
kekurangan, ini posisinya B-lah," kata Arif, dalam diskusi '20 Tahun Reformasi Capain dan
Tantangan' yang diselenggarakan oleh Media Research Center (MRC), di Gedung Metro TV,
Jakarta, Rabu, 9 Mei 2018. Serupa dengan itu, mantan Menteri Perindustrian (Menperin)
Saleh Husin menilai, pelaksanaan reformasi ekonomi-politik Indonesia sudah berjalan ke
arah yang tepat. Hanya saja, pertumbuhan ekonomi nasional masih terganggu oleh gonjang-
ganjing politik serta tumpang tindih perizinan di daerah.
Kondisi tersebut tidak ditampik memang masih terjadi dan menghambat laju
pertumbuhan ekonomi sehingga 'tetes' manfaat perekonomian belum maksimal dirasakan
oleh masyarakat lapisan paling bawah. Fenomena ini menjadi Pekerjaan Rumah (PR)
Pemerintahan Jokowi yang harus segera diselesaikan sebelum habis masa jabatannya di 2019.
Di sektor industri nonmigas, misalnya, pemerintah dinilai belum mampu mendorong industri
nasional guna menciptakan nilai tambah dengan harapan memperkuat daya saing Indonesia di
kancah dunia internasional. Setidaknya 60 persen bahan baku untuk industri masih impor,
sementara row material-nya berasal dari dalam negeri. "Jarang swasta masuk karena investasi
padat modal dan pengembalian lama. Ini yang harus jadi konsentrasi agar kita dapat membuat
industri memberikan nilai tambah," ungkap Saleh Husin, kepada Medcom.id.
Jika melihat struktur perekonomian sekarang ini, Jokowi bisa diibaratkan sebagai
lokomotif baru yang membawa gerbong-gerbong tua dari zaman kebangkitan reformasi.
Gerbong lama tersebut berupa sistem monopoli dan oligopoli yang masih mengakar dan
melebur dengan baik. Mereka mempertahankan kekayaan melalui lobi, proses politik,
pemilihan umum, pembentukan opini, dan proses pembentukan kebijakan negara. Hal itu bisa
terlihat dari sejumlah bidang usaha atau pasar yang dikuasai oleh segilintir pihak atau elite
tertentu. Akhirnya, manfaat pertumbuhan ekonomi tersangkut di bagian tengah dan tidak bisa
mencapai level terbawah.
Berdasarkan konsep power index (MPI), nilai material MPI Indonesia mencapai
584.478 atau lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain kecuali Filipina. Angka
tersebut menunjukkan bahwa 40 orang terkaya di Indonesia memiliki kapasitas politik
pertahanan kekayaan hampir 600 ribu kali lipat lebih besar dibandingkan dengan masyarakat
biasa. Untungnya, angka tersebut telah menurun dalam dua tahun terakhir. Tercatat pada
2014 dan 2015, angka MPI Indonesia masing-masing mencapai 677,451 dan 645,232.
Diharapkan angka ini bisa membaik dan semua masyarakat tanpa terkecuali benar-benar
merasakan manfaat pertumbuhan ekonomi termasuk meningkatkan kesejahteraannya.
Menurut Arif Budimanta kecenderungan pasar monopoli dan oligopoli sebelum dan
sesudah reformasi masih sama. Sebab itu, struktur oligarki perlu diperbaiki untuk
menciptakan wirausahawan baru. Oligarki ekonomi di Indonesia, lanjutnya, berkorelasi
positif dengan ketimpangan dan disinyalir menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan
ekonomi. Mantan Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Republik Indonesia (DPR RI) ini
menilai hubungan oligarki dengan pertumbuhan ekonomi di 2006 sampai 2016 terbilang
negatif namun lemah. Sebaliknya, pada periode yang sama hubungan oligarki dengan
ketimpangan (gini ratio) searah dan kuat. "MPI terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun,
terdapat penurunan MPI dalam dua tahun terakhir," tuturnya.