Anda di halaman 1dari 8

8.

System Perekonomian Pada Masa Joko Widodo – Jusuf Kalla (20 Oktober 2014 – 20
Oktober 2018)
Sudah empat tahun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan wakil Presiden Jusuf Kalla (JK)
mengemban tugasnya sebagai pemimpin Negara Republik Indonesia. Dalam masa
pemerintahan, stabilitas kondisi perekonomian menjadi salah satu kunci pembangunan
mansia unggul. Untuk itu, pemerintah menjaga dan mendorong perekonomian nasional serta
meningkatkan daya saing nasional melalui terobosan-terobosan diberbagai bidang.
Perekonomian indonesia menghadapi berbagai tantangan sejak awal tahun 2015. Bahkan,
sejak awal pemerintahan Joko Widodo berdaulat (Oktober 2014), perekonomian Indonesia
sudah menghadapi banyak ‘tekanan’. Pelemahan rupiah semenjak akhir 2014 masih berkisar
13,000 hingga sekarang hampir menyentuh 15.000, pertumbuhan ekonomi yang kuartal I dan
II yang tak sesuai harapan. Kuartal I bahkan tak sampai 5%, inflasi yang bergejolak pasca
kebijakan dicabutnya subsidi BBM, hingga devisa negara yang terus terkuras untuk
menyelamatkan beberapa polemik yang telah disebutkan. Untuk mengatasi gejolak rupiah
yang mengkhawatirkan, Presiden Jowoki bersama tim ekonominya merancang “obat” untuk
menguatkan kembali pondasi perekonomian Negara. Obat tersebut diformulasikan dalam
bentuk paket-paket kebijakan ekonomi yang berisikan berbagai insentif dan kebijakan
kemudahan. 

Paket Kebijakan Jilid I berisi tiga sasaran utama: percepatan eksekusi proyek-proyek
strategis nasional, meningkatkan daya saing industri, dan mendorong investasi di sektor
properti. Secara garis besar, sasaran utama Paket Kebijakan Jilid I adalah menggerakkan
sektor riil. Dan secara tidak langsung, kebijakan jilid 1 ini berupaya menjawab sebuah
tantangan besar di awal tahun pertumbuhan yang tak sesuai harapan. Jelas pertumbuhan amat
penting bagi sebuah negara, salah satu indikator makro sebuah negara adalah
pertumbuhannya. Pertumbuhan kuartal pertama yang diprediksi bisa sampai 5,8% (menurut
Badan Anggaran BI) berkali-kali harus dikoreksi hingga kenyataannya memang hanya
sampai 4,9%. Hal ini dapat dimengerti, mengingat realisasi pencairan dana government
expenditure membutuhkan waktu. Teknisnya, tender harus dibuka ke publik, memilih
pemenang tender, dan terakhir mencairkan dana. Hal ini tentu butuh waktu yang tak singkat.
Karenanya, pemerintah berupaya mempercepat eksekusi proyek-proyek strategis dengan cara
penyederhanaan izin, mempercepat pengadaan barang dan jasa, serta meninjau hambatan
yang sifatnya legalitas. Tak hanya percepatan, daya saing industri juga ditingkatkan dengan
melakukan deregulasi. Pak Jokowi mengatakan bahwa ada 89 peraturan dari 154 regulasi
yang sifatnya menghambat daya saing industri. 17 rancangan peraturan pemerintah, 11
rancangan peraturan presiden, 2 rancangan instruksi presiden, 63 rancangan peraturan
menteri dan 5 aturan lain.

Satu tantangan besar lain perekonomian indonesia masih belum terselesaikan: pelemahan
rupiah. Rupiah merangkak naik bak kura-kura, lambat tapi pasti. Permasalahan pelemahan
rupiah ini tentunya bukan masalah sepele. Pelemahan rupiah yang tak disikapi dengan serius
dapat berdampak domino ke berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Industri yang
bahan bakunya mengandalkan Impor terpaksa gulung tikar, sehingga angka pengangguran
melejit tinggi. Melejitnya biaya ibadah haji, kebutuhan wajib sekali seumur hidup seorang
warga Indonesia yang beragama Islam, juga menjadi cermin bahwa aspek sosial mulai
terkena imbasnya. Perlu diingat, intensitas transaksi internasional semakin meningkat di
penghujung tahun, diantaranya ibadah haji dan masa liburan. Pelemahan rupiah harus
menjadi perhatian besar.

Paket Kebijakan Jilid II diluncurkan berselang satu bulan dari terbitnya paket kebijakan
perdana. Fokus paket kebijakan kedua adalah menarik investasi masuk melalui deregulasi dan
debirokratisasi. Langkah ini diambil pemerintah untuk meningkatkan iklim investasi di
Indonesia. Iklim investasi tentu sangat penting untuk memperkuat kondisi pasar keuangan
Indonesia sehinga devisa bertambah, juga untuk memperkuat ‘kuda-kuda’ perusahaan karena
permodalan yang makin lancar. Dalam paket tersebut, berbagai kebijakan yang dikeluarkan
untuk memberikan kemudahan dalam pelayanan perizinan, perampingan izin sektor
kehutanan, pengurangan pajak bunga deposito, alat transportasi tanpa PPN dan insentif
fasilitas di kawasan pusat logistik berikat, tax allowance dan holiday lebih cepat. Selain itu,
dalam paket itu ada dua poin besar yakni mengenai penurunan tarif listrik dan bunga Kredit
Usaha Rakyat (KUR) serta penyederhanaan izin pertanahan, bidang pertanahan untuk
kegiatan penanaman modal.

Paket kebijakan jilid tiga berisi paket ‘diskon’. Pemotongan harga di berbagai aspek
dilakukan pemerintah untuk mengurangi biaya perusahaan (cost of production). Biaya yang
didiskon pemerintah diantaranya tarif dasar listrik bagi perusahaan, harga BBM beberapa
produk, juga harga gas. Biaya yang dipermurah tentu berdampak sangat langsung pada
perusahaan, spesifiknya struktur biaya perusahaan. Tak hanya diskon, kredit usaha rakyat
(KUR) juga dipermudah. KUR yang kini lebih ‘untuk semua’ juga sangat membantu,
contohnya bagi ibu-ibu yang sebetulnya di rumah punya usaha sampingan seperti salon,
warung, atau yang lain. Ketiga, penyederhanaan izin ketanahan. Tanah yang merupakan salah
satu faktor produksi adalah variabel penting di dunia usaha. Kemudahan perizinan tanah tentu
memberikan efek bagi dunia usaha.

Sementara Paket Kebijakan Ekonomi keempat ada tiga hal pokok yang menjadi fokus
pemerintah, yaitu perbaikan sistem pengupahan, tindak lanjut Kredit Usaha Rakyat (KUR),
dan Kredit Usaha Kecil Menengah (UKM) untuk ekspor serta mencegah pemutusan
hubungan kerja (PHK). Paket keempat adalah keinginan untuk membuka lapangan kerja
seluas-luasnya agar dunia usaha dan investor diberikan kemudahan. Semakin nyata karena
dengan gelontoran paket-paket kebijakan ekonomi ini, nilai tukar Rupiah terus mengalami
penguatan terhadap Dolar Amerika. Di sektor tenaga kerja,  setahun masa pemerintahan
Jokowi – JK terjadi peningkatan dari sisi penyerapan. Tengok pada semester pertama tahun
2014, ada 611 ribu tenaga kerja terserap di beberapa lapangan pekerjaan, naik 12,31% pada
periode yang sama tahun 2015 menjadi 685 ribu. Begitu pula investasi yang juga mengalami
kenaikan 16,56% dari semester I 2014 sebesar 22,8 triliun, menjadi Rp259,7 triliun pada
periode yang sama tahun 2015.

Namun, dalam beberapa tahun belakangan, khususnya ditahun 2018, gejolak


perekonomian yang dihadapi dunia juga tentunya berdampak pada kondisi ekonomi yang ada
diIndonesia. Beberapa kondisi ekonomi yang memburuk setahun belakng diantaranya,
memanasnya perang dagang China dengan Amerika Serikat, gejolak harga minyak seiring
memanasnya kondisi geopolitik Timur Tengah, hingga ancaman sanksi ekonomi baru AS atas
Iran. Kemudian pengetatan kebijakan moneter Bank Sentral AS dengan menaikkan Fed
Funds Rate secara bertahap. Sentimen negative lainnya adalah tren penguatan mata uang
dollar Amerika Serikat (AS) terhadap mayoritas mata uang negara-negara didunia, utamanya
negara berkembang, termasuk rupiah. Bahkan, rupiah melampaui batas level psikologis
Rp.15.000 per dollar AS. Kendati menghadapi ketidakpastian global, dengan kerja keras dan
kebijakan yang konsisten, indicator makro ekonomi tetap terjaga dan terus menunjukkan
peningkatan kearah yang lebih baik.
Pertumbuhan ekonomi stabil pada kisaran 5% dan terus meningkat ditahun sebelumnya.
Meskipun sempat mengalami 4,88% ditahun 2015, peningkatan ekonomi naik ditahun 2016
dan terus naik hingga tahun 2018 sebesar 5,17%. Menteri Koordinator menyatakan
pertumbuhan ekonomi yang dialami terhitung dari tahun 2014-2017 tetap ada tantangannya.
Peningkatan ekonomi tersebut terus meningkat namun pelan-pelan.

Selain itu, angka pengangguran juga terus menurun mencapai 5,13% dibarengi dengan
peningkatan kesempatan kerja. Tigkat inflasi pada kisaran 3% yang menjaga daya beli
masyarakat dan memberi uang bagi dunia usaha. Untuk pertama kalinya, , angka kemiskinan
juga menurun pada level satu digit 9,82% serta rasio Gini dilevel 0,389%. Kepala staf
kepresidenan mengatakan angka kemiskinan menurun dari 10,96% ditahun 2014, kemudian
pada maret 2018 berada diangka 9,82%.

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mampu memperbaiki kinerja
pelayanan publik melalui sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di beberapa sektor.
Dengan sistem PTSP ini beberapa perizinan dipangkas waktu pengurusannya sehingga lebih
efisien dan efektif. Sektor Pertanian misalnya, jika sebelumnya 20 perizinan membutuhkan
751 hari pengurusan, kini dipangkas menjadi 12 izin dengan waktu hanya 182 hari
pengurusan. Kemudian sektor perindustrian, dari yang 19 izin butuh 672 hari menjadi 11
perizinan 152 hari. Begitu pula di sektor pariwisata yang sebelumnya 17 izin 661 hari,
dipangkas menjadi 11 izin dengan hanya 188 hari pengurusan.

Sektor kelistrikan, dari yang sebelumnya ada 49 izin dengan waktu 923 hari, dipangkas
menjadi 25 izin dengan hanya membutuhkan waktu 256 hari pengurusannya. Upaya
penguatan fondasi perekonomian nasional juga menunjukkan hasil. Terbitnya paket-paket
kebijakan ekonomi perlahan namun pasti mampu memperkokoh kondisi ekonomi Indonesia
saat ini.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla segera
berakhir. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai, akhir periode
pemerintahan kali ini ditutup dengan situasi ekonomi yang menantang. Sebab, sedang terjadi
perlambatan ekonomi secara global yang berimbas pula pada kondisi ekonomi di dalam
negeri. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu terjaga stabil di atas 5%. Di tengah gejolak
perekonomian dan perlambatan pertumbuhan ekonomi global selama dua tahun terakhir,
angka pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5% terbilang bagus.
9. System Perekonomian Pada Masa Joko Widodo – Ma’aruf Amin (20 Oktober 2019 –
sekarang)

Masa jabatan pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dua tahun pertama yang sangat
penuh tantangan. Terutama akibat munculnya covid-19 di akhir 2019 dan kemudian
ditetapkan menjadi pandemi global pada Maret 2020. Praktis, belum sampai setengah tahun
memerintah, duet Jokowi-Amin sudah mesti menahan gebukan pandemi. Gebukan paling
keras tentu dirasakan sektor ekonomi. Pandemi memaksa pemerintah melakukan pembatasan-
pembatasan aktivitas masyarakat untuk mengerem laju penyebaran virus. Masih tingginya
penularan Covid-19 di masyarakat yang membuat mobilitas masyarakat menjadi rendah.
Indonesia termasuk ke dalam 18 negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia versi
Worldometers. Tingginya kasus positif Covid-19 membuat mobilitas masyarakat rendah.
Pertumbuhan ekonomi nasional mengalami penurunan hingga menyentuh level -5,32 persen
akibat terlambatnya penanganan Covid19 yang dilakukan Pemerintah. Sementara itu, Bhima
menyebut, China yang merupakan negara asal pandemi mencatatkan pertumbuhan positif 3,2
persen di periode yang sama. Vietnam juga tumbuh positif 0,3 persen karena adanya respons
cepat pada pemutusan rantai pandemi, dengan lakukan lockdown dan merupakan negara
pertama yang memutus penerbangan udara dengan China.

Akibatnya, situasi perekonomian tanpa ampun anjlok menuju titik resesi. Sedari kuartal II
2020 keterpurukan ekonomi dimulai, dan pada akhir 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia
pun tercatat minus 2,9%. Tentu menjadi catatan menarik bagaimana gerbong pemerintahan
Jokowi-Ma'ruf Amin merespons situasi pandemi selama satu setengah tahun terakhir.
Bagaimana antisipasi mereka terhadap dampak pandemi di sektor ekonomi ataupun
penanganan pandemi itu sendiri. Sudah pasti amat tidak mudah. Publik pun bisa melihat di
awal pandemi pemerintah sering tergagap dan beberapa kali salah langkah karena tidak siap
dengan ujian covid-19 yang datang tiba-tiba. Belum lagi dalam perjuangan mengatasi krisis
itu, Jokowi sebagai pemimpin gerbong harus menghadapi sejumlah anak buahnya di kabinet
yang berkinerja dan bahkan berkelakuan buruk. Yang paling parah ialah ketika ada seorang
menteri yang seharusnya paling depan mengurusi masyarakat terdampak pandemi, malah
paling duluan mengorupsi dana bantuan sosial. Namun, konsolidasi cepat Jokowi terhadap
kabinetnya membuat ekonomi tak terlalu lama terpuruk di titik terendah. Setelah kekagetan
dan kegagapan pemerintah mulai dapat diminimalisasi, memasuki 2021 perekonomian mulai
terasa menggeliat meski masih dengan pembatasan-pembatasan. Setidaknya, sampai semester
I 2021 ekonomi Indonesia lebih baik ketimbang rengkuhan di 2020 dengan bertumbuh 3,1%.
Pada saat yang sama, bermacam program penanggulangan covid-19 mulai menampakkan
hasil. Terutama pada kuartal II 2021 ketika program vaksinasi mulai dijalankan. Ujian
memang datang lagi pada Juni-Juli 2021 ketika 'gelombang dua' penyebaran covid-19
menyerang Indonesia. Sistem dan fasilitas kesehatan, terutama di Jawa dan Bali, ketika itu
hampir kolaps karena lonjakan laju infeksi yang teramat tinggi. Akan tetapi, respons dan
kesiapan pemerintah serta masyarakat yang sudah lebih baik membuat puncak keparahan
infeksius itu tidak berlangsung lama. Kini, bahkan tingkat rata-rata penularan covid-19 di
seluruh wilayah Indonesia sudah berada di titik terendah. Keberhasilan pengendalian itu, lagi-
lagi, akan membuat gerak perekonomian kian laju.

Ekspor Indonesia ke negara tujuan masih berbasis komoditas. Porsinya di atas 50% dari
total ekspor. Ekspor produk yang memiliki nilai tambah dari industri manufaktur masih di
bawah. Karena itu, keinginan Jokowi untuk menggenjot hilirisasi industri wajib kita dukung
dan awasi implementasinya. Ini akan beririsan pula dengan niat pemerintah meningkatkan
investasi. Hal tersebut penting karena lewat sisi itulah tenaga kerja bisa terserap dalam
jumlah besar. Pada kuartal II 2021 lalu, tren penyerapan tenaga kerja dari investasi naik
18,5%. Angka itu semestinya bisa dikerek lagi jika kemudahan berinvestasi juga
diimplementasikan dengan baik di lapangan. Di sisi lain, masih lemahnya daya beli
masyarakat sepatutnya dimaknai dan disadari bahwa program serta kebijakan ekonomi yang
dilakukan selama ini belum sepenuhnya menjangkau masyarakat secara langsung.

Kinerja Jokowi-Ma'ruf di tahun 2022 mengalami kenaikan. Dari 62,4% pada bulan Maret,
kemudian 63,6%pada bulan Juli, kini pada bulan Oktober angkanya menjadi 65,9%.
Pemerataan pembangunan infrastruktur menjadi program yang mendapatkan penilaian
positif/puas paling tinggi, yakni sebesar 71%, disusul peningkatan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) dengan 60,3%, penyederhanaan birokrasi dengan 57,6%, penyederhanaan
regulasi/peraturan dengan 56,7% dan peningkatan kualitas daya saing ekonomi dengan
55,6%.

Lalu, Selama delapan tahun kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden, terdapat
sejumlah hal yang dianggap paling dirasakan manfaatnya. Antara lain pemberian bantuan
sosial (41,7%), disusul pembangunan jalan tol (24,3%), tersedianya dana desa (10,8%),
sertifikasi tanah (5,1%), dan pembangunan bendungan (1,4%). Adapun masyarakat yang
menjawab hasil kerja lainnya sebesar 6,9%, dan masyarakat yang menolak menjawab sebesar
9,8%.

Selain ketepatan penyaluran bansos, masalah lainnya ialah kemudahan mendapatkan


modal UMKM (20,3%), kemudahan mendapatkan layanan kesehatan (16,5%), pelayanan
administrasi kependudukan (6,8%), kecepatan mengatasi berita bohong (5,7%), jaminan
warga/keamanan (5,3%), dan kemudahan perizinan usaha (3,3%). Adapun sebesar 7%
menjawab masalah-masalah lainnya, dan sebesar 4,9% tidak menjawab.

Pandemi ini juga memaksa pemerintah untuk menaikkan defisit APBN menjadi sekitar
6%. Kondisi global pasca pandemi menjadi semakin tidak pasti seiring dengan serangan
Rusia ke Ukraina. Ekonomi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai partner dagang utama
mengalami perlambatan. Sementara Inflasi di negara-negara maju memaksa berbagai bank
sentral, termasuk BI, untuk menaikkan suku bunga.

Penanganan kesehatan pada masa pandemi dimulai dengan strategi pembentukan


pelayanan kesehatan, antara lain membangun rumah sakit rujukan Covid-19, upaya 3T (test,
tracing, treatment), penyediaan obat dan perlengkapan medis, serta edukasi protokol
kesehatan. Sementara itu, penangan sosial ekonomi diupayakan melalui insentif keringanan
pajak, bantuan modal UMKM, bantuan sosial dengan berbagai skema, dan Kartu Prakerja.
Dilakukan pula sejumlah upaya perlindungan terhadap WNI yang terdampak pandemi di luar
negeri, seperti penjemputan WNI dari Tiongkok, Jepang, dan fasilitasi kepulangan TKI dari
berbagai negara. Bersamaan dengan itu, kata Fadjroel, sejak pertengahan 2020 Presiden
Jokowi melakukan diplomasi internasional untuk pengadaan vaksin.

Dari sisi ekonomi, pada triwulan kedua 2021 ekonomi Indonesia tumbuh 7,07 persen
setelah terkontraksi minus 5,32 persen pada awal pandemi. Sementara itu, pada level sosial
ekonomi mikro, daya beli, geliat UMKM, dan ketahanan sosial masyarakat tetap terjaga. Tiga
strategi penanganan pandemi yakni kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi
di Indonesia menunjukkan hasil positif. Selain penanganan pandemi, kebijakan pembangunan
terus dilanjutkan, antara lain pembangunan SDM, infrastruktur, dan ekonomi hijau serta
hilirisasi industri. Selama 2 tahun ini pembangunan infrastruktur terus berjalan, mulai dari
jalan tol, jembatan, bendungan, hingga embung.
Adapun pembangunan SDM diupayakan melalui kebijakan merdeka belajar, digitilasi
pendidikan, beasiswa semua level pendidikan, dan peningkatan gizi anak-anak Indonesia.
Kemudian, transformasi ekonomi hijau direalisasikan melalui deforestasi yang telah
mencapai 75,03 persen, teknologi industri ramah lingkungan, pengurangan emisi dengan
energi baru terbarukan (EBT) seperti solar B-30, serta berbagai kebijakan konservasi
lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai