Anda di halaman 1dari 6

Prioritas Kebijakan Makroekonomi Dalam Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Global

Oleh: Rakhmindyarto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan*

Meskipun telah terjadi recovery aktifitas ekonomi global paska krisis 2008, pemulihan kondisi
ekonomi negara-negara terutama negara maju dinilai masih kurang memuaskan. Meskipun telah
terjadi peningkatan nilai GDP setelah resesi, nilai ini masih berada di bawah tren jangka panjang
sebelum terjadinya krisis, khususnya bagi negara-negara maju. Selisih antara nilai output (GDP)
setelah resesi dengan nilai output dari tren jangka panjang sebelum resesi dikenal dengan output
loss. Pada tahun 2013, rata-rata output loss untuk negara-negara G20 adalah sebesar 8 persen,
dengan output loss terbesar dialami oleh negara maju dengan ekonomi defisit sebesar 11 persen
(IMF, 2014).

Para pakar ekonomi global menyatakan sumber terbesar terjadinya output loss berasal dari tiga
komponen, yaitu investasi, produktivitas, dan ketenagakerjaan. Ketiganya dapat ditinjau dari dua
sisi: sisi penawaran (supply side) dan sisi permintaan (demand side). Dari sisi permintaan, tren
investasi di negara-negara G20 setelah krisis adalah 18 persen di bawah investasi sebelum krisis.
Konsumsi secara umum mengalami penurunan walaupun dalam level yang moderat terutama di
negara maju yang mengalami defisit ekonomi. Sedangkan dari sisi penawaran, tiga penyumbang
utama output loss adalah penurunan nilai produktivitas, partisipasi angkatan kerja, dan
ketenagakerjaan. Penurunan terbesar secara umum adalah produktifitas sebesar 5 persen dari tren
2008-2013, sedangkan penurunan partisipasi angkatan kerja dan employment rates menjadi issue
di hampir semua negara maju.

Tulisan ini mengangkat pandangan tentang upaya-upaya yang perlu dilakukan agar pertumbuhan
ekonomi secara global menjadi semakin kuat, berkelanjutan, dan berimbang. Negara-negara
yang dijadikan fokus penulisan adalah negara-negara yang tergabung dalam Forum G20 yang
terdiri dari 20 negara namun secara ekonomi mewakili sekitar 80% kekuatan ekonomi dunia.

Kebijakan untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Global

Untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang kuat, berkelanjutan, dan seimbang, negara-
negara yang tergabung dalam G20 perlu menerapkan kebijakan-kebijakan yang dapat
meningkatkan permintaan eksternal bagi negara-negara yang mengalami defisit ekonomi dan
meningkatkan permintaan internal bagi negara-negara yang mengalami surplus ekonomi.
Harmonisasi kebijakan fiskal dan moneter harus mencapai tiga sasaran sebagai berikut:

 Mengembalikan potensi nilai output ke level sebelum krisis

Kebijakan moneter berperan penting dalam menstimulasi permintaan di negara-negara maju.


Dengan melakukan pelonggaran moneter (monetary easing), Bank Sentral Eropa (European
Central Bank) berusaha untuk mencapai target inflasi yang telah ditetapkan serta memperbaiki
neraca keuangan perbankan. Di samping kebijakan moneter, kebijakan fiskal juga berperan
signifikan untuk mendorong laju permintaan melalui konsolidasi fiskal, yaitu keseimbangan
antara pemotongan anggaran dan penerimaan pajak. Bagi negara berkembang, kebijakan
makroekonomi yang kuat sangat diperlukan untuk mengatasi turbulensi yang mungkin terjadi.

 Mengembalikan keseimbangan pertumbuhan ekonomi

Konsolidasi fiskal (jumlah penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah) merupakan pekerjaan
jangka menengah yang juga harus mendukung tujuan jangka panjang yaitu dengan meningkatkan
investasi atas infrastruktur yang pada akhirnya dapat menstimulasi permintaan.

 Meningkatkan potensi ekonomi


Negara-negara anggota G20 menunjukkan kinerja ekonomi yang berbeda. Hal ini menunjukkan
tingkat efektivitas penerapan kebijakan yang diambil. Untuk meningkatkan potensi pertumbuhan
ekonomi, perlu dilakukan penyesuaian terhadap struktur penetapan kebijakan. Adanya gap antara
capaian kebijakan yang saat ini diambil dengan potensi yang belum tergali dapat dikurangi
dengan penerapan kebijakan yang efektif berkaca pada praktek terbaik (best practices) dari
negara-negara yang terlebih dahulu berhasil menerapkannya.

Prioritas Kebijakan

Dalam rangka mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat, berkelanjutan dan
berimbang, maka negara-negara anggota G20 perlu membuat prioritas kebijakan sebagai berikut:

1. Menciptakan lapangan kerja dan mengurangi hambatan-hambatan dalam partisipasi


angkatan kerja dengan cara:

1. Mengurangi pengangguran jangka panjang dengan mengimplementasikan pendekatan


kewajiban yang saling menguntungkan (mutual obligations approach), penerapan
program pasar tenaga kerja yang aktif (Active Labour Market Programmes-ALMP), dan
membatasi jumlah pensiun dini.
2. Menciptakan lapangan kerja dengan mengurangi biaya-biaya non gaji, seperti dana
pensiun, asuransi kesehatan, dan lain-lain.
3. Mengurangi hambatan-hambatan terkait partisipasi pekerja perempuan, kaum muda, dan
low-skilled workers.
4. Meningkatkan keterampilan pekerja melalui pelatihan dan akses ke institusi pendidikan.
5. Menghilangkan hambatan-hambatan dalam partisipasi ke lapangan kerja formal.

2. Meningkatkan pembiayaan investasi jangka panjang dan efisiensi modal dengan:

1. Mendorong pembiayaan swasta atas investasi jangka panjang dengan mengurangi


hambatan dari sisi regulasi.
2. Menghilangkan hambatan untuk masuknya penanaman modal asing.
3. Meningkatkan investasi publik melalui kerja sama pemerintah dan swasta (Public-Private
Partnerships – PPPs).

3. Mengurangi hambatan perdagangan dan pengembangan rantai nilai

1. Memperbaiki komitmen G20 terhadap kebijakan perdagangan protectionists.


2. Mengurangi hambatan perdagangan di sektor industri dan pertanian.
3. Liberalisasi sektor jasa.
4. Mengurangi hambatan investasi lintas batas wilayah.

4. Meningkatkan kompetisi guna mendukung produktivitas dan inovasi dengan:

1. Regulasi yang mempermudah terciptanya pasar kompetitif.


2. Mengembangkan desain dan kerjasama regulasi untuk mengurangi biaya pembentukan
pasar baru.
3. Memperkuat aturan hukum mengenai kompetisi.
4. Menciptakan iklim bisnis yang sehat.

Tantangan Ke Depan

Kesenjangan kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi antar negara anggota G20
sangat bervariasi dan menimbulkan tantangan dalam mewujudkan tujuan tersebut. Masing-
masing negara memiliki kelebihan di satu area namun memiliki kekurangan di area lain.
Misalnya, beberapa negara memiliki kinerja buruh yang baik namun produktivitasnya kurang
baik, dan sebaliknya. Tantangan bagi negara-negara berkembang adalah mendorong potensi-
potensi yang ada untuk mengejar kesenjangan produktivitas dengan negara maju dan
memastikan kecukupan dan efisiensi investasi infrastruktur.

Dalam kerangka kerjasama internasional, koordinasi kebijakan dan collective action diperlukan
untuk meningkatkan output dan menurunkan resiko global melalui pertumbuhan yang lebih
berkelanjutan dan berimbang. Penguatan dan kerjasama yang kooperatif antar negara akan
menciptakan pertumbuhan dalam jangka menengah yang lebih stabil dan tahan terhadap
goncangan krisis yang mungkin terjadi lagi. Simulasi yang dilakukan IMF menunjukkan bahwa
reformasi kebijakan pasar barang dan tenaga kerja, serta kebijakan rebalancing di negara-negara
surplus-defisit utama, akan menaikkan GDP global sebesar 2,25 triliun dolar pada tahun 2018
(IMF, 2014). Indonesia dapat memainkan peranan aktif dengan serangkain kebijakan-kebijakan
fiskal dan moneter yang harmonis dengan prioritas kebijakan G20 tanpa mengesampingkan
kepentingan ekonomi nasional. Misalnya, dalam bidang investasi pemerintah memberikan
kebijakan insentif fiskal untuk kegiatan di bidang usaha tertentu dan yang berada di daerah
tertentu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 dan memberikan fasilitas bebas
PPnBM untuk mobil Low Cost Green Car (LCGC) melalui Peraturan Pemerintah No. 41/2013.

Dalam upaya mendorong penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan karyawan,
pemerintah memberikan beragam fasilitas perpajakan seperti insentif pajak untuk bidang usaha
padat karya, dan peningkatan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Di samping itu,
untuk usaha kecil dan menengah dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 Milyar diterapkan
PPh sebesar 1% dari omset penjualan. Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk mendorong
para pengusaha sektor informal beralih ke sektor formal sehingga memiliki akses yang lebih
mudah dalam bidang investasi dan layanan jasa keuangan dan perbankan. Walhasil, kredibilitas
negara Indonesia di mata internasional akan semakin meningkat melalui kontribusi ekonomi
yang diberikan baik secara domestik maupun global.
Kebijakan Untuk Mendorong Pertumbuhan

Setelah menggunakan model Sollow untuk menyingkap hubungan di antara sumber-sumber

pertumbuhan ekonomi yang berbeda, maka nisa digunakan teori tersebut untuk membantu

menuntun pemikiran tentang kebijakan ekonomi. Kebijakan ekonomi pemerintah untuk

mendorong pertumbuhan yaitu:

2.2.1 Mengevaluasi Tingkat Tabungan

Mengacu pada model Sollow, seberapa banyak Negara menabung dan berinvestasi adalah

determinan penting dari standar kehidupan penduduknya. Tingkat tabungan menentukan tingkat

modal dan output pada kondisi mapan (stady state). Satu tingkat tabungan tertentu menghasilkan

kondisi mapan Kaidah Emas, yang akan memaksimalkan konsumsi per pekerja sekaligus

kesejahteraan ekonomi. Kaidah Emas memberikan tolok ukur yang bisa dibandingkan dengan

perekonomian AS.

Untuk memutuskan apakah perekonomian AS berada pada diatas, atau di bawah Kaidah

Emas, maka perlu membandingkan produk marjinal modal setelah depresiasi (MPK - ∂) dengan

tingkat pertumbuhan output total (n + g). Pada Kaidah Emas, MPK - ∂ = n + g. Jika

perekonomian beroperasi dengan modal lebih kecil dari Kaidah Emas, maka produk marjinal

yang kian menurun menyatakan bahwa MPK - ∂ > n + g. Dalam hal ini, kenaikan tingkat bunga

secara bertahap akan mengarah ke kondisi mapan dengan konsumsi yang lebih tinggi. Di sisi

lain, jika perekonomiana beroperasi dengan terlalu banyak modal, maka MPK - ∂ < n + g, dan

tingkat tabungan harus dikurangi.

Fakta membuktikan bahwa persediaan modal dalam perekonomian AS berada di bawah

Kaidah Emas. Dengan kata lian, jika Amerika Serikat menabung dan menginvestasikan bagian

yang lebih besar dari pendapatannya, maka perekonomian akan tumbuh jauh lebih cepat dan

akhirnya mencapai kondisi mapan dengan konsumsi yang lebih tinggi. Penemuan ini menyatakan

bahwa para pembuat kebijakan sebenarnya ingin menaikkan tingkat tabungan dan investasi.

Dalam kenyataannya, selama bertahun-tahun, peningkatan formasi modal menjadi prioritas

tinggi dari kebijakan ekonomi.

2.2.2 Mengubah Tingkat Tabungan


Cara yang paling tepat yang bisa dilakukan pemerintah untuk mempengaruhi tabungan

nasional adalah melalui tabungan masyarakat, perbedaan antara jumlah penerimaan pajak

pemerintah dan pengeluarannya. Apabila pengeluaran pemerintah melebihi penerimaannya,

maka pemerintah dikatakan mengalami defisit anggaran, yang menunjukkan tabungan

masyarakat negatif. Defisit anggaran meningkatkan tingkat bunga dan menyusutkan atau meng-

crowding out investasi. Penurunan persediaan modal yang diakibatkannya adalah bagian dari

beban utang nasional pada generasi mendatang. Sebaliknya, jika pengeluaran pemerintah lebih

kecil penerimaannya, dikatakan telah terjadi surplus anggaran. Pemerintah bisa membayar

sebagian utang nasional dan mendorong investasi.

Pemerintah juga mempengaruhi tabungan nasional dengan mempengaruhi tabungan swasta,

tabungan yang dilakukan oleh rumah tangga dan perusahaan. Sebaliknya, berapa banyak orang

yang menabung tergantung pada intensif yang mereka terima, dan intensif ini dibedakan oleh

berbagai kebijakan publik. Banyak ekonom berpendapat bahwa tariff pajak atas modal yang

tinggi termasuk pajak pendapatan perusahaan , pajak pendapatan federal, dan berbagai jenis

pajak pendapatan Negara bagian yang menghambat tabungan swasta dengan mengurangi tingkat

pengembalian yang diterima oleh para penabung.

2.2.3 Mengalokasikan Investasi Perekonomian

Model Sollow menyederhanakan asumsi bahwa hanya ada satu jenis modal. Di dunia, tentu

saja ada banyak jenis modal. Perusahaan-perusahaan swasta melakukan investasi dalam jenis-

jenis modal tradisional, seperti pabrik buldoser dan baja, serta jenis-jenis modal baru, seperti

computer dan robot. Pemerintah melakukan investasi dalam berbagai bentuk modal masyarakat,

yang disebut infrasturktur, seperti jalan, jembatan, dan sistem pembuangan air.

Meskipun model dasar Solow hanya mencakup modal fisik dan tidak berusaha menjelaskan

efisiensi tenaga kerja, dalam banyak hal modal manusia analog dengan modal fisik. Seperti

modal fisik, modal manusia meningkatkan kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa.

Menaikkan tingkat modal manusia membutuhkan investasi dalam bentuk para pengajar,

perpustakaan, dan waktu belajar.

Para pembuat kebijakan yang berusaha mendorong pertumbuhan ekonomi harus menghadapi

isu tentang jenis-jenis modal apa yang paling dibutuhkan perekonomian. Para pembuat kebijakan
bisa mengandalkan pasar untuk mengalokasikan tabungan ke jenis-jenis investasi alternatif.

Industry-industri dengan produk marjinal modal tertinggi secara alami akan bersedia meminjam

pada tingkat bunga pasar untuk mendanai investasi baru. Sebagian besar ekonom bersikap

skeptic terhadap kebijakan industri, karena dua alasan. Pertama, mengukur eksternalitas dari

sektor-sektor yang berbeda begitu sulit seperti menggantang asap. Jika kebijakan didasarkan

pada pengukuran buruk, maka pengaruhnya akan mendekati acak dan dengan demikian, lebih

buruk ketimbang tidak ada kebijakan sama sekali. Kedua, proses politis adalah jauh dari

sempurna. Sekali pemerintah terlibat dalam bisnis yang memfasilitasi industri-industri tertentu

dengan subsidi dan pengahapusan pajak, hal itu cenderung didasarkan pada kepentingan politis

sebagai besaran eksternalitas.

Salah satu jenis modal yang perlu melibatkan pemerintah adalah modal masyarakat.

Pemerintah daerah, Negara bagian, dan federal selalu memutuskan apakah akan meminjam untuk

mendanai jalan raya, jembatan, dan sistem transit baru.

2.2.4 Mendorong Kemajuan Teknologi

Model Solow menunjukkan bahwa pertumbuhan yang berkelanjutan dalam pendapatan per

pekerja harus berasal dari kemajuan teknologi. Namun, model Solow menganggap kemajuan

teknologi sebagai variable eksogen, model Solow tidak dijelaskannya. Sayangnya, determinan

kemajuan teknologi tidak dipahami dengan baik.

Di samping pemahaman yang terbatas ini, banyak kebijakan public dirancang untuk

mendorong keamjuan teknologi. Sebagian besar dari kebijakan ini mendorong sektor swasta

untuk menyalurkan sumber daya ke inovasi teknologi. Misalnya, sistem paten memberikan

monopoli sementara kepada investor produk-produk baur, prinsip perpajakan menawarkan

penghapusan pajak untuk perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam penelitian dan

pengembangan serta kantor-kantor pemerintah National Scicnce Foundation secara langsung

mensubsidi penelitian dasar di universitas. Selain itu, sebagaimana telah dibahas, kebijakan

industri juga menyarankan bahwa pemerintah seharusnya mengambil peran yang lebih aktif

dalam mempromosikan industry-industri tertentu yang merupakan kunci bagi kemajuan

teknologi yang pesat.

Anda mungkin juga menyukai