Anda di halaman 1dari 5

Silakan rekan-rekan mahasiswa berdiskusi dalam forum diskusi 4 ini, dengan topik memilih topik

sebagai berikut.

“Investasi dan perdagangan Internasional Indonesia”.

ATAU

“Koperasi dan privatisasi di Indonesia”.

Jangan lupa menulis sumber materi untuk menghindari indikasi plagiasi. Hindari copy paste jawaban
teman. Copy paste diperbolehkan dari sumber utama (buku/jurnal) namun diwajibkan  untuk di
rewrite terlebih dahulu dan dilengkapi sumber referensi sebelum di upload.

Selamat berdiskusi. Salam literasi.

Pengertian Dasar Investasi

Investasi sering juga disebut penanaman modal atau pembentukan modal. Investasi dapat diartikan
sebagai pengeluaran penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang
modal atau perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi
barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian (Sukimo, 2004:121). Jadi sebuah
pengeluaran dapat dikatakan sebagai investasi jika ditujukan untuk meningkatkan kemampuan produksi.
Investasi merupakan hal yang penting dalam perekonomian.

Investasi mempunyai dua peran penting dalam makro ekonomi. Pertama, pengaruhnya terhadap
permintaan agregat yang akan mendorong meningkatnya output dan kesempatan kerja. Kedua, efeknya
terhadap pembentukan kapital. Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk
melakukan investasi yaitu revenues (pendapatan), cost (biaya), dan expectations (harapan-harapan).
Pertimbangan utama dari investor untuk melakukan investasi atau tidak adalah: keuntungan (return).

Investasi Baik Dalam Negeri Maupun Asing Di Indonesia

Guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan berdampak pada penciptaan lapangan
kerja dan secara langsung akan meningkatkan kesejahteraan (berarti mengurangi kemiskinan), maka
salah satu kebijakan yang penting adalah meningkatkan nilai investasi, baik melalui Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA)

Sejak awal Orde Baru hingga tahun 2004, terjadi fluktuasi nilai investasi. Secara umum, mulai Orde Baru,
nilai investasi di Indonesia terjadi tren yang meningkat. Tetapi sejak terjadinya krisis moneter nilai
investasi Indonesia menurun. Nilai investasi cenderung mengalami penurunan selama periode tahun
2001 hingga 2004.

Guna menarik para investor, baik dari dalam dan luar negeri diperlukan perbaikan lingkungan bisnis.
Berbagai survei membuktikan bahwa faktor utama yang mempengaruhi lingkungan bisnis adalah:
produktivitas tenaga kerja, perekonomian daerah, infrastruktur fisik, kondisi sosial-politik, dan institusi.
Survei yang dilakukan oleh Komite Pertimbangan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukkan
bahwa institusi merupakan faktor utama yang menentukan daya tarik investasi di suatu daerah, diikuti
oleh kondisi sosial-politik, infrastruktur fisik, kondisi ekonomi daerah dan produktivitas tenaga kerja.

Banyak studi menemukan bahwa pelaksanaan otonomi daerah sejak 2001 telah memperburuk iklim
investasi di Indonesia. Masalah lain berkaitan dengan dualisme kebijakan ekonomi. Selama ini
pemerintah lebih memberi kemudahan pada industri besar. Akibatnya ekonomi rakyat tidak
berkembang dengan baik. Investasi ekonomi rakyat perlu mendapatkan fasilitas yang memadai dari
pemerintah karena ekonomi rakyat menyerap banyak tenaga kerja dan menggunakan sumber daya alam
lokal, memegang peranan penting dalam ekspor non migas, dan beroperasi dalam iklim yang sangat
kompetitif yang dinikmati oleh sebagian besar rakyat.

Pelayanan publik yang dikeluhkan terutama terkait dengan ketidakpastian biaya dan lamanya
waktu berurusan dengan perijinan dan birokrasi. Ini diperparah dengan masih berlanjutnya berbagai
pungutan, baik resmi maupun liar, yang hams dibayar perusahaan kepada para petugas, pejabat, dan
preman. Alasan utama mengapa investor masih khawatir untuk melakukan bisnis di Indonesia adalah
ketidakstabilan ekonomi makro, ketidakpastian kebijakan, korupsi (oleh pemda maupun pemerintah
pusat), perijinan usaha, dan regulasi pasar tenaga kerja (World Bank, 2004).

INVESTASI OLEH EKONOMI RAKYAT

Pemerintah Indonesia cenderung menerapkan dualisme kebijakan ekonomi. Pada satu sisi
pemerintah mendorong terjadinya investasi asing yang bermodal besar sedangkan pada pernyataannya
yang lain pemerintah mendorong investasi ekonomi rakyat yang bermodal relatif lebih kecil. Meskipun
sejak tahun 1983 pemerintah menyatakan akan melakukan restrukturisasi ekonomi namun
kenyataannya pemerintah lebih berpihak pada investasi besar dan tidak memberi kesempatan yang
memadai pada investasi ekonomi rakyat. Studi empiris membuktikan bahwa pertumbuhan nilai tambah
ternyata tidak dinikmati oleh perusahaan skala kecil, sedang dan besar, namun justru perusahaan
konglomerat, dengan tenaga kerja lebih dari 1000 orang, yang menikmati kenaikan nilai tambah secara
absolut maupun per rata-rata perusahaan (Kuncoro & Abimanyu, 1995).

Investasi ekonomi rakyat perlu mendapatkan fasilitas yang memadai dari dari pemerintah karena
beberapa alasan. Pertama, ekonomi rakyat menyerap banyak tenaga kerja dan menggunakan sumber
daya alam lokal. Kedua, ekonomi rakyat memegang peranan penting dalam ekspor nonmigas yang
pada tahun 1990 mencapai US$ 1.031 juta atau menempati ranking kedua setelah ekspor dari kelompok
aneka industri. Berdasarkan posisi tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa ekonomi rakyat
menyimpan potensi yang belum serius dikembangkan mengingat minimnya perhatian pemerintah
terhadap perkembangan mereka selama ini. Ketiga, ekonomi rakyat perlu dikembangkan dengan serius
karena berdasarkan basil perhitungan pada PJPT I puncak piramida perekonomian masih diduduki oleh
perusahaan skala besar yang memiliki karakteristik beroperasi pada struktur pasar quasi-monopoli,
oligopolistik, hambatan masuk tinggi, menikmati margin keuntungan yang besar, dan akumulasi modal
cepat. Posisi puncak tersebut dikuasai tidak lebih dari 200 konglomerat. Sedangkan pada posisi
tengah dan bawah piramida ditempati oleh perusahaan rakyat yang beroperasi dalam iklim yang sangat
kompetitif, hambatan masuk rendah, margin keuntungan rendah, dan tingkat drop-out tinggi.
MASALAH STRUKTURAL PENINGKATAN INVESTASI DI INDONESIA

Investasi di Indonesia menghadapi masalah struktural seperti sentralisasi kekuasaan. Hal ini
menyebabkan pembangunan hanya dinikmati oleh sebagian bangsa saja. Selain itu rendahnya investasi
pada sumber daya manusia sehingga tidak dapat mendukung pembangunan ekonomi. Adanya
sentralisasi kebijakan dan kuatnya dominasi pusat atas daerah telah menimbulkan ketergantungan yang
tinggi dari daerah-daerah kepada Pusat. Mahalnya harga tanah dan tingginya tingkat upah serta
kebutuhan hidup lainnya, menyebabkan biaya produksi yang makin tinggi (high cost production),
sehingga berakibat tidak kompetitifnya produk yang dihasilkan.

Kebijakan investasi yang digariskan oleh pemerintah hingga saat ini masih menafikan kehadiran investasi
yang ditujukan untuk ekonomi rakyat. Pemerintah belum menyusun peraturan yang mendorong
terjadinya investasi ekonomi rakyat. Hingga saat ini pelaku ekonomi rakyat masih kesulitan
mendapatkan bantuan modal dari bank dan pemerintah. Kebijakan kemitraan yang didengung-
dengungkan pemerintah sejak tahun 1993 terbukti belurn membuat perubahan yang berarti.
Berdasarkan hasil survey BPS hanya 6% pelaku ekonomi rakyat yang mendapatkan Bapak Angkat.

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INVESTASI UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT

Kebijakan investasi yang digariskan oleh pemerintah belum memberikan iklim yang kondusif bagi
kehadiran investasi yang ditujukan untuk ekonomi rakyat. Pemerintah belum menyusun peraturan yang
mendorong terjadinya investasi rakyat. Hingga saat ini pelaku ekonomi rakyat masih kesulitan
mendapatkan bantuan modal dari bank dan pemerintah, kebijakan kemitraan terbukti belum membuat
perubahan yang berarti. KPPOD menggunakan tujuh variabel yang dijadikan tolok ukur daya tarik
investasi regional, yaitu : (a) keamanan (b) potensi ekonomi (c) budaya daerah (d) sumber daya manusia
(e) keuangan daerah (f) infrastruktur (g) paraturan daerah.

KONSEP DAN KRITIK PERDAGANGAN BEBAS

John Madeley (2005: 67-71) menyatakan bahwa para penganjur perdagangan bebas (liberalisasi
perdagangan), yang mayoritas berasal dari pemerintah dan perusahaan besar di negara maju,
beranggapan bahwa perdagangan bebas dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk dunia,
Perdagangan bebas dipercaya dapat memberikan peluang bagi pemanfaatan terbaik atas berbagai
sumber daya yang ada atas dasar teori keuntungan komparatif David Ricardo. Seluruh pihak akan
mendapat manfaat manakala negara-negara mengkhususkan diri memproduksi pangan dan jasa secara
efisien, yang bisa mereka produksi dengan biaya yang lebih rendah ketimbang negara lain. Para
penganut teori ini meyakini bahwa perdagangan bebas akan mendatangkan keuntungan dan
kemakmuran bagi kaum kaya dan miskin, dan negara-negara miskin akan mendapatkan keuntungan
lebih besar ketimbang negara yang tidak melakukan perdagangan. Dihilangkannya hambatan-hambatan
perdagangan dipercaya dapat meningkatkan efisiensi ekonomi, yang selanjutnya akan meningkatkan
pendapatan produsen, menambah kepuasan konsumen, sehingga,kesejahteraan semua pihak pun
meningkat.
PERKEMBANGAN DAN KINERJA PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Pada beberapa tahun terakhir, perekonomian dunia telah tumbuh dengan pesat sekaligus memainkan
peranan yang besar dalam perekonomian global. Meningkatnya rasio ekspor terhadap produk domestik
bruto (PDB) suatu negara, merupakan salah satu indikator keterbukaan negara tersebut dalam
perdagangan internasionalnya.

Peran perdagangan internasional cukup penting, sehingga mendorong sejumlah negara khususnya
negara-negara eksportir, termasuk Indonesia untuk berusaha mencari seluas-luasnya pasar yang
potensial untuk dikembangkan menjadi negara tujuan ekspor. Rasio ekspor dan impor terhadap PDB
Indonesia tahun 1996 sebesar 52,26 persen, kemudian pada tahun 2002 sudah menjadi 63,95 persen.
Namun dilihat dari harga konstan, persentasenya justru menurun dari 56,61 persen menjadi 50,36
persen. Artinya, secara riil volume perdagangan luar negeri Indonesia mengalami penurunan.

Indikator "Unit Value Index" ekspor Indonesia selama dua tahun terakhir menunjukkan penurunan
sebesar 10 persen. Dengan kata lain, relatif harga barang yang diekspor turun 10 persen. Pada sisi lain,
nilai indeks impornya turun hampir 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga barang impor di pasar
domestik lebih kompetitif dibanding dengan harga barang ekspor. Tabel di bawah ini menunjukkan
perkembangan "Unit Value Index" ekspor dan impor sampai pertengahan tahun 2003.

Kinerja ekspor Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh daya saing produk Indonesia secara relatif
terhadap produk negara lain. Negara tujuan ekspor Indonesia mempunyai pertumbuhan permintaan
yang sama baiknya dengan negara Asean lainnya. Demikian juga daya saing beberapa produk unggulan
Indonesia sangat positif dan cenderung semakin kuat dari tahun ke tahun.

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

Globalisasi, yang dalam perdagangan internasional menjadi liberalisasi perdagangan, telah


menghapuskan berbagai hambatan perdagangan secara signifikan, baik hambatan yang berwujud tarif
bea masuk maupun hambatanhambatan bukan tarif seperti pelarangan impor, kuota, lisensi impor, dan
sebagainya. Dimasukkannya sektor jasa dalam liberalisasi ekonomi dunia itu, sebagai implementasi
General Agreement on Trade and Services (GATS), semakin menyudutkan posisi banyak negara sedang
berkembang, termasuk Indonesia yang umumnya sangat lemah dalam sektor jasa.Dengan kian
terbukanya perekonomian kita, maka sektor jasa seperti angkutan, asuransi, dan keuangan, akan
semakin terancam. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa sektor pertanian kita. Sektor pertanian,
terutama pertanian pangan, masih diproteksi cukup kuota. Jika sektor ini nantinya juga ikut yang
dibebaskan, maka petani-petani kita. yang masih belum efisien menurut standar dunia akan mengalami
nasib yang merugikan.

MASALAH STRUKTURAL PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Secara makro global dapat dikatakan peningkatan perdagangan bebas tersebut merefleksikan
peningkatan kesejahteraan masyarakat dunia. Namun kesimpulan tersebut menjadi dipertanyakan
manakala dilihat siapa atau negara-negara mana yang perekonomiannya mengalami peningkatan pesat
tersebut. Data menunjukkan ekspansi perdagangan terutama terjadi di negara-negara maju. Konsentrasi
perdagangan dunia masih berpusat di negara-negara Utara seperti Amerika Utara dan Eropa Barat,
sementara untuk negara Asia hanya dinikmati oleh Jepang dan Cina. Negara-negara yang meningkat
pesat perdagangannya tersebut, kecuali Cina yang memiliki karakteristik perdagangan khusus, adalah
negara-negara yang secara historis sudah berabad-abad melaksanakan perdagangan bebas. Liberalisasi
perdagangan yang merupakan turunan dari globalisasi ekonomi, lebih banyak menimbulkan
kerugian bagi negara-negara berkembang. Nilai perdagangannya, walaupun meningkat, tertinggal jauh
dibandingkan dengan negara-negara pelopor liberalisasi ekonomi tersebut.

Perdagangan bebas lebih berpihak dan menguntungkan Negara-negara maju, yang tingkat
industrialisasinya sudah mapan, dan menghasilkan berbagai barang manufaktur yang diekspor ke negara
sedang berkembang. Dengan terbukanya pasar di negara-negara lain, semakin mudah barang-barang
manufaktur dari negara industri tersebut masuk ke pasar global, yang mengalirkan kembali devisa yang
diperoleh negara-negara berkembang dari ekspornya yang umumnya barang primer atau manufaktur
yang sederhana

Terkait dengan masalah perdagangan luar negeri Indonesia (dalam hal ini masalah ekspor) maka perlu
dicermati beberapa indikator seperti ‘Unit Value Index’ yang menggambarkan harga barang ekspor dan
impor serta Term of Trade. Selain itu perlu dicermati pula daya saing ekspor Indonesia di lingkungan
Asean dan Cina

Keunggulan komparatif produk Indonesia terutama berasal dari komoditi yang berbahan baku lokal
seperti hasil hutan, karet, coklat, kelapa sawait dan rempah-rempah. Kalau dibanding dengan Cina,
mereka mempunyai keunggulan komparatif pada komoditi industri manufaktur dan industri kimia.

Sumber : ESPA 4314/MODUL 4

Anda mungkin juga menyukai