Pada masa Orde Lama lembaga-lembaga negara MPR, DPR, DPA dan BPK masih dalam
bentuk sementara, belum berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945.
Beberapa penyimpangan yang terjadi pada masa Orde Lama, antara lain:
1. Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif (bersama DPR) telah
mengeluarkan ketentuan perundangan yang tidak ada dalam UUD 1945 dalam bentuk
penetapan presiden tanpa persetujuan DPR
2. Melalui Ketetapan No. I/MPRS/1960, MPR menetapkan pidato presiden 17 Agustus
1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” (Manifesto Politik Republik
Indonesia) sebagai GBHN bersifat tetap. Hal ini tidak sesuai dengan UUD 1945.
3. MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan
dengan UUD 1945, karena DPR menolak APBN yang diajukan oleh presiden. Kemudian
presiden membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR), yang anggotanya diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.
4. Presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1955, karena DPR menolak APBN yang
diajukan oleh presiden. Kemudian presiden membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-
GR), yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
5. Pimpinan lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri negara, termasuk
pimpinan MPR kedudukannya sederajat dengan menteri. Sedangkan presiden menjadi
anggota DPA
6. Demokrasi yang berkembang adalah demokrasi terpimpin
7. Berubahnya arah politik luar negeri dari bebas dan aktif menjadi politik yang memihak
salah satu blok.
Orde Baru sebagai pemerintahan yang berniat mengoreksi penyelewenangan di masa Orde Lama
dengan menumbuhkan kekuatan bangsa, stabilitas nasional dan proses pembangunan, bertekad
melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Bentuk koreksi terhadap Orde Lama,
yaitu melalui:
Sidang MPRS yang menghasilkan:
1. UU No. 3 Tahun 1967 tentang DPA yang diubah dengan UU No. 4 Tahun 1978.
2. UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu
3. UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
4. UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan
UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA.
5. UU No. 5 Tahun 1973 tentang Susunan dan Kedudukan BPK.
Di samping koreksi tersebut pemerintahan Orde Baru telah melakukan berbagai penyimpangan,
antara lain:
Dalam praktek pemilihan umum, terjadi pelanggaran misalnya:
1. Ditetapkannya calon resmi partai politik dan Golkar dari keluarga presiden atau yang
terlibat dengan bisnis keluarga presiden, dan calon anggota DPR/MPR yang
monoloyalitas terhadap presiden (lahirnya budaya paternalisti /kebapakan dan feodal
gaya baru
2. Tidak berfungsinya kontrol dari lembaga kenegaraan politik dan sosial, karena
didominasi kekuasaan presiden/eksekutif yang tertutup sehingga memicu budaya korupsi
kolusi dan nepotisme.
3. Golkar secara terbuka melakukan kegiatan politik sampai ke desa-desa, sedangkan
parpol hanya sampai kabupaten.
4. Ormas hanya diperbolehkan berafiliasi kepada Golkar.
5. Berlakunya demokrasi terpimpin konstitusional (Eep Saefulloh Fatah, 1997: 26).