Anda di halaman 1dari 3

Resume Hukum Administrasi Negara

Nama : M. Fadlul Rahman Ramadhan


Npm : 2112011461

Tiga Ketua Umum Partai Politik di negara kita, Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga
Hartarto (Golkar) dan Zulkifli Hasan (PAN) telah mengemukakan usulan agar Pemilu 2024, yang
jadwalnya telah disepakati Pemerintah, DPR, KPU untuk dilaksanakan tanggal 14 Februari 2024,
ditunda. Sebagaimana kita maklum, Pemilu 2024 ini adalah Pemilu serentak, untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD.Alasan penundaan Pemilu yang awalnya
dilontarkan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia ini memang beragam. Pertama,
situasi perekonomian negara sedang sulit, utang menggunung, berapa biaya Pemilu hingga kini
belum dianggarkan. Sumbernya juga belum jelas dari mana. Kedua, pandemi sedang merebak dan
belum dapat diprediksi kapan akan berakhir. Ramai-ramai kampanye dan pencoblosan bisa
membuat makin banyak rakyat yang terpapar.Ketiga, rakyat masih menghendaki Jokowi
melanjutkan kepemimpinan. Bahkan, ada yang meminta diperpanjang tiga periode. Terakhir,
serbuan Rusia terhadap Ukraina juga dijadikan alasan, walau susah mencari kaitannya secara
langsung dengan alasan penundaan Pemilu.

Usulan penundaan Pemilu berkaitan langsung dengan norma konstitusi sebagaimana diatur
dalam UUD 45. Pertama, Pemilu adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya
diatur dalam Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat 2). Secara spesifik Pasal 22E UUD 45 secara
imperatif menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan
Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Ketentuan-ketentuan di atas
berkaitan erat dengan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden.
Setelah lima tahun sejak dilantik, masa jabatan penyelenggara negara tersebut berakhir dengan
sendirinya. Jadi, jika Pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka Tidak ada dasar
hukum sama sekali atas jabatan para pejabat politik tersebut. Kalau tidak ada dasar hukum, maka
semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD
dan DPRD semuanya “ilegal” alias “tidak sah” atau “tidak legitimate”.

penundaan Pemilu 2024 itu hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika
dilakukan dengan menempuh tiga cara: (1) Amandemen UUD 45; (2) Presiden mengeluarkan
Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner; dan (3) Menciptakan konvensi ketatanegaraan
(constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan
negara.

Ketiga cara ini sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal
menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui
sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui
praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku.

Dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu dan sebagai
konsekuensinya adalah perpanjangan sementara masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, MPR,
DPR, DPD dan DPRD adalah dengan cara melakukan perubahan atau amandemen terhadap UUD
45. Prosedur perubahan konstitusi sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 45, Pasal 24 sampai Pasal
32, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah,
terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, serta Peraturan Tata Tertib MPR yang detilnya tidak
perlu saya uraikan di sini.

Apa yang perlu diubah sebenarnya bukanlah mengubah pasal-pasal UUD 45 yang ada sekarang
secara harfiah, tetapi menambahkan pasal baru dalam UUD 45 terkait dengan pemilihan umum.
Pasal 22E UUD 45 dapat ditambahkan pasal baru, yakni Pasal 22 E ayat (7) yang berisi norma
“Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan
keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka
Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas
waktu tertentu. Ayat (8) Semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui
pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap
menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan
umum.

Dengan penambahan 2 ayat dalam pasal 22E UUD 45 itu, maka tidak ada istilah perpanjangan
masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Para anggota dari Lembaga Negara seperti
MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan
anggota-anggota hasil pemilu. Status mereka sama dengan anggota KNIP di masa awal
kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal dan anggota MPRS di masa Orde Lama
dan awal Orde Baru. Kedudukan Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin juga menjadi
Pejabat Presiden dan Pejabat Wakil Presiden, sebagaimana Pejabat Presiden Suharto di awal Orde
Baru.

Jalan kedua, di luar mengubah UUD 45 adalah Presiden mengeluarkan Dekrit menunda
pelaksanaan pemilu dan sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut
UUD 45 harus diisi dengan pemilu. Dekrit adalah sebuah revolusi hukum, yang keabsahannya
harus dilihat secara post-factum. Revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat,
kata Professor Ivor Jennings, menciptakan hukum yang sah. Tetapi sebaliknya revolusi yang gagal,
menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum. Pelaku
revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar (kudeta) atau
penghianatan terhadap bangsa dan negara, atau dipecat dari jabatannya oleh lembaga yang
berwenang.

Jalan ketiga untuk menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan para penyelenggara
negara adalah dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau “constitutional convention”.
Perubahan bukan dilakukan terhadap teks konstitusi, UUD 45, melainkan dilakukan dalam praktik
penyelenggaraan negara. Dalam Pasal 22E UUD 45 tegas diatur bahwa pemilu
diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden
serta DPRD. Pasal 7 UUD 45 mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah
lima tahun. Sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan lagi. Kedua pasal ini
tidak diubah, tetapi dalam praktik Pemilunya dilaksanakan misalnya tujuh tahun sekali. Masa
jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD dan dengan sendirinya MPR,
dalam praktiknya juga dilaksanakan selama tujuh tahun.

Anda mungkin juga menyukai