Anda di halaman 1dari 70

UNIVERSITAS INDONESIA

Fungsi Partai Politik sebagai Sarana Partisipasi Politik Warga Negara

Tugas Mata Kuliah Ssitem Hukum Indonesia

Dosen: Prof. Dr. Satya Arinanto,S.H., M.H.

Oleh:

Nama : Farida Azzahra

NPM : 1906325570

Kelas : Hukum Kenegaraan (Pagi)


PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

2020

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara kesatuan (unitary state) yang

berbentuk republik sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-

Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Negara kesatuan merupakan suatu negara tunggal yang tidak terdiri dari

beberapa negara bagian seperti negara federal (federal state), dimana negara

federal dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah independen yang sejak

awal memiliki kedaulatan pada masing-masing negara dan bersepakat untuk

membentuk sebuah negara federal.1

Pada negara kesatuan, pemerintah pusat diberi kewenangan untuk

menjalankan kedaulatan tertinggi. 2 Namun, mengingat bahwa Negara

Indonesia merupakan negara kesatuan yang luas dan terdiri atas puluhan ribu

pulau dan keaneka ragaman suku bangsa, maka urusan pemerintah tidak

dapat diurus seluruhnya oleh pemerintah pusat. Dalam rangka mewujudkan

pelaksanaan pemerintahan yang efektif, diperlukan adanya suatu

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memberi kewenangan kepada

1
Marwan Mas, Hukum Konsitusi dan Kelembagaan Negara (Depok: Rajawali Pers, 2018) hlm.54.
2
Sadu Wasistiono, Kajian Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
(Tinjauan dari Sudut Pandang Manajemen Pemerintahan)", dalam Jurnal Adminirtasi Pemerintahan
Daerah, Volume I, Edisi Kedua 2004, hlm.9, dalam Ni'matul Huda, SH,M.Hum, Desentralisasi
Asimetris dalam NKRI, Nusa Media, Bandung, Cetakan 1, 2014, hlm.1
daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan kondisi daerah masing-

masing, hal ini dikenal dengan istilah otonomi daerah. 3

Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia sangat terkait dengan pola

pembagian. Artinya, meskipun Pemerintah Pusat berperan sebagai pemegang

kekuasaan tertinggi, tetapi Pemerintah Pusat juga memiliki kewenangan untuk

menyerahkan dan/atau melimpahkan sebagian kewenangannya kepada unit-

unit pemerintahan di bawahnya atau disebut sebagai daerah otonom. Menurut

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, daerah otonom merupakan kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam

sistem NKRI.4 Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat ketentuan mengenai

pemberian kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan kepada daerah otonom. Hal tersebut merupakan amanat dari

Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemerintahan daerah

provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Oleh karena itu,

penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam NKRI dilaksanakan dengan

3
Fahmi Amrusyi, Otonomi Dalam Negara Kesatuan, dalam Abdurrahman Beberapa Pemikiran
Tentang Otonomi Daerah, (Jakarta: Media Sarana Press, 1987), hlm.56,
4
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014, Pasal 1 Butir 12, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587 Tahun 2014
desentralisasi, dimana pemerintahan daerah mempunyai hak untuk mengatur

sendiri urusan rumah tangga daerahnya. 5

Keberadaan daerah-daerah otonom bahwasanya diperlukan guna

menyangga tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, pemberian

otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom tidak boleh bertentangan

dengan dasar megara kesatuan, dan sebaliknya bahwa dasar negara

kesatuan tidak boleh melenyapkan wujud dari otonomi seluas-luasnya. 6

pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia

bercirikan pada beberapa karakteristik, yaitu:7

a. Tidak adanya kedaulatan dalam daerah otonom;

b. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau

pengakuan atas urusan pemerintahan;

c. Adanya penyerahan atau pengakuan kekuasaan atas urusan

pemerintahan yang didasarkan pada pengaturan dan pengurusan

kepentingan masyarakat setempat.

Maksud dan tujuan pemberian otonomi daerah didasarkan pada prinsip

kesejahteraan, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan

kesejahteraan rakyat, serta menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif

masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah secara luas dan nyata.

5
Mastur, Implementasi Otonomi Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Jurnal Ilmiah Imu Hukum, hlm.50.
6
Ibid, hlm.52.
7
Ibid
Adapun selain terdapat daerah otonom yang berlaku secara umum untuk

seluruh wilayah Indonesia, terdapat daerah-daerah yang diangap khusus atau

memiliki keiistimewaan di dalam pelaksanaaan pemerintahannya, hal ini

kemudian dikenal dengan istilah otonomi khusus. Daerah khusus atau daerah

istimewa tersebut diberikan hak otonomi yang bersifat khusus sehingga

mendapatkan hak otonomi yang berbeda dengan beberapa daerah dalam

suatu wilayah negara.

Kewenangan yang diberikan dalam rangka otonomi khusus pada daerah-

daerah tersebut kemudian akan membentuk hubungan yang berbeda antara

pemerintahan daerah dengan pemerintahan daerah lainnya atau pemerintahan

daerah dengan pemerintah pusat. 8 Pemberian otonomi khusus tersebut

bahwasanya merupakan hasil amandemen kedua UUD 1945 9 yang

diamanatkan dalam ketentuan Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945. Paads pasal

tersebut dinyatakan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati satuan-

satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersigat istimewa yang

diatu dengan undang-undang”10 Kedudukan pasal tersebut menegaskan

secara ekspilisit bahwa terdapat pengakuan oleh Pemerintah Pusat kepada

Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.

8
Robert Endi Jaweng, Kritik Terhadap Desentralisasi Asimetris di Indonesia, Jurnal Centre For
Strategic and International Studies, (Volume XL-Nomor 2, Juni 2011), hlm.162-163.
9
Perubahan Kedua UUD 1945 diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) Republik Indonesia pada 18 Agustus 2000. Dalam Buku Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002), hlm.25-27.
10
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945, Bab VI, Pasal
18B.
Salah satu contoh dari implementasi Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945 tersebut

adalah diberikannya otonomi khusus kepada Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam (NAD). Adapun pemberian otonomi khusus kepada Provinsi NAD

ini dilatarbelakangi oleh dua faktor. Pertama, berkaitan dengan konflik Aceh

yang timbul akibat adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak tahun 1976.

Sedangkan faktor kedua berkaitan dengan reformasi yang menuntut

perubahan disegala bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara termasuk

mengubah pola hubungan antara pusat dan daerah. 11 Reformasi yang

dipelopori oleh mahasiswa telah “memaksa” pemerintah untuk membuat

beberapa kebijakan, diantaranya ialah kebijakan mengenai desentralisasi

dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah. Sedang konflik Aceh yang berlangsung berlarut-larut

telah “mendorong” Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengajukan usul

inisiatif yang lantas melahirkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999

tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 kemudian dirasa belum

cukup mengakomodir tuntutan daerah, maka melalui Sidang Umum MPR

tahun 1999 diterbitkanlah Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 yang salah

satu isinya mengamanatkan pemberian otonomi khusus kepada Daerah

Istimewa Aceh.12 Selanjutnya, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000 melalui

11
Al Yasa’ Abubakar dan M. Daud Yoesoef, Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi
Khusus Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Legislasi Indonesia, (Volume 1, Nomor 5,
2004), hlm.15.
12
Ibid, hlm.16.
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000, kembali merekomendasikan agar

Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dapat

dikeluarkan selambat-lambatnya bulan Mei 2001, hal tersebutlah yang

kemudian mempelopori lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.

Salah satu pengaturan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh

tersebut berada dalam Pasal 31 Ayat (2) yang menyatakan bahwa “Ketentuan

pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.”13 Adapun pengertian Qanun sendiri juga diatur

dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh, dimana dalam undang-undang

tersebut dinyatakan bahwa Qanun merupakan Peraturan Daerah (Perda)

sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. 14

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa kedudukan

Qanun merupakan sebagai aturan pelaksana untuk melaksanakan otonomi

khusus dalam hal yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi. Dengan

demikian, walaupun dari saru sisi Qanun merupakan Peraturan Daerah, tetapi

13
Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, Pasal 31
Ayat (2), Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2001.
14
Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, Pasal 1
Butir 8, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2001.
di sisi lain Qanun tidak tunduk kepada peraturan pemerintah karena Qanun

berada langsung di bawah undang-undang. Dalam praktiknya, Qanun

kemudian mengatur segala aspek kehidupan masyarakat Aceh baik dalam

ranah privat maupun publik.

Adapun pembentukan dan isi pengaturan Qanun tidak dapat terpisah dari

pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi bagian penting

dari sistem hukum nasional. Penataan sistem hukum nasional sebagaimana

ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 diarahkan

antara lain menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu

dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta

memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional

yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidakserasiannya

dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. 15 Namun, pengaturan-

pengaturan di dalam Qanun seringkali dianggap bertentangan dengan sistem

hukum nasional Negara Indonesia, utamanya dalam aspek hukum pidana

(Qanun Jinayat.) Hal ini dikarenakan basis pengaturan Qanun bersandar pada

ajaran-ajaran syariat Islam, dalam arti tindak tunduk pada pengaturan hukum

nasional, sedangkan Indonesia menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental

dengan basis pengaturan pada warisan hukum kolonial (Hukum Barat). 16

15
Haw. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia (Penjelasan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah), (Jakarta: Rajawali
Pers, 2005), hlm.425.
16
Ibid, hlm.432.
Hal inilah yang kemudian dikhawatirkan menimbulkan adanya dualisme sistem

hukum di Indonesia.

Sehubungan dengan adanya kewenangan khusus bagi Provinsi NAD dalam

membentuk Qanun yang pengaturannya dianggap menimbulkan dualisme

sistem hukum, maka penelitian ini ingin menyampaikan bagaimana

pemahaman tentang makna, kewenangan, dan kedudukan Qanun dalam tertib

hukum di Indonesia, termasuk dari segi legal structure dan legal substance.

Untuk itu, penelitian ini akan berjudul “Kedudukan Qanun Jinayat sebagai

Peraturan Daerah Khusus dalam Sistem Hukum Indonesia.”

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana legalitas pembentukan Qanun Jinayat sebagai Peraturan

Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Aceh dalam Sistem Hukum

Indonesia?

2. Bagaimana hubungan materi muatan Syariat Islam pada Qanun Jinayat

Aceh dengan Sistem Hukum Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk membahas mengenai

eksistensi kedudukan Qanun sebagai Peraturan Daerah Khusus

(Perdasus) dalam Sistem Hukum Indonesia, terutama hal-hal yang terkait


dengan legal substance, legal structure, dan legal culture. Dengan

demikian, pendekatan akan dilakukan berdasarkan teori hukum dan

peraturan perundang-undangan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui legalitas kedudukan Qanun sebagai Peraturan

Daerah Khusus (Perdasus) dalam Sistem Hukum Indonesia

2. Untuk mengentahui hubungan materi muatan Syariat Islam pada

Qanun Jinayat Aceh dengan Sistem Hukum Indonesia

1.4 Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

1.4.1 Kerangka Teori

1.4.1.1 Teori Bentuk Negara

Pada dasarnya penentuan bentuk negara merupakan batas antara

peninjauan secara sosiologis dan secara yuridis mengenai negara.

Tinjauan secara sosiologis apabila negara dilihat dalam bentuk

keseluruhan (ganzhit) tanpa melihat isinya, sedangkan tinjauan secara

yuridis apabila peninjauan dilakukan aari sisi isi atau struktur negara

tersebut.17

Teori-teori bentuk negara yang berkembang di zaman modern ini

bermuara pada dua paham yang mendasar. Pertama, paham yang

17
Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pertama), hlm.160.
menggabungkan bentuk negara dengan bentuk pemerintahan. Paham

ini menganggap bahwa bentuk negara dan bentuk pemerintahan dibagi

menjadi tiga jenis, yaitu: (1) bentuk pemerintahan dimana terdapat

hubungan yang erat antara eksekutif dan legislatif, (2) bentuk

pemerintahan dimana ada pemisahan yang tegas antara legislatif,

eksekutif,dan yudikatif, (3) bentuk pemerintahan dimana terdapat

pegaruh dan pegawasan langsung dari rakyat terhadap badan

legislatif.18 Adapun paham kedua adalah paham yang membahas

bentuk negara atas golongan demokrasi dan diktator. Paham ini

membahas bentuk negara atas golongan demokrasi dan diktator, dan

juga memperjelas bahwa demokrasi terbagi atas demokrasi

Konstitusional (liberal) dan demokrasi rakyat. 19

Berdasarkan teori-teori tersebut, kemudian berkembang di zaman

modern ini, dua klasifikasi negara yang baru, yang mengelompokan

bentuk negara menjadi Negara Kesatuan (unitarisme) dan Negara

Serikat (Federalisme).

Negara kesatauan adalah negara yang hanya terdiri atas satu negara

kesatuan, yang artinya negara tidak terpisah dengan negara-negara

bagian. Pada negara kesatuan, hanya ada satu pemerintahan, yaitu

pemerintah pusat selaku pemegang kekuasaan tertinggi. Pemerintah

pusat berwenang menetapkan kebijakan pemerintahan dan

18
Bouger, Masalah-Masalah Demokrasi, (Jakarta: Yayasan Pembangunan, 1952) hlm.32-33.
19
Ibid, hlm.35.
menjalankan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah. 20

Sedangkan pada negara federasi, negara tersusun dari beberapa

negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka

dan berdaulat serta mempunyai Undang-Undang Dasar (Konstitusi)

sendiri, tetapi kemudian karena sesuatu kepentingan, negara-negara

tersebut saling menggabungkan diri untuk membentuk suatu ikatan

kerja sama yang efektif.

Bentuk negara sesunguhnya juga berkaitan dengan kekuasaan

tertinggi pada suatu negara, yakni kedaulatan. Pada setiap negara,

kedaulatan merupakan esensi terpenting dalam menjalankan Negara

dan pemerintahan.

Adapun Bentuk Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang

berbentuk Republik atau lebih dikenal dengan Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan bentuk pemerintahan adalah

suatu istilah yang digunakan untuk merujuk pada

rangkaian institusi politik yang digunakan untuk mengorganisasikan

suatu negara untuk menegakkan kekuasaannya atas suatu komunitas

politik. Definisi ini tetap berlaku bahkan untuk pemerintahan yang tidak

sah atau tidak berhasil menegakkan kekuasaannya. 21 Tak tergantung

dari kualitasnya, pemerintahan yang gagalpun tetap merupakan suatu

bentuk pemerintahan.

20
Moh. Mahfud M.D., Dasar dan Struktur Kenegaraan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), hlm.22.
hlm., 2
21
M.Solly Lubis, Op.Cit, hlm.47.
Pada berbagai literatur hukum da, konsep Bentuk Negara seringkali

dicampuradukkan dengan konsep Bentuk Pemerintahan. Hal ini juga

tercermin dalam perumusan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat

(1) yang menyebutkan bahwa: "Negara Indonesia ialah negara

kesatuan yang berbentuk republik". Berdasarkan kalimat tersebut

tergambar bahwa the founding fathers Indonesia sangat menekankan

pentingnya konsepsi Negara Kesatuan sebagai definisi hakiki negara

Indonesia.

Bentuk dari negara kesatuan Indonesia itu ialah republik. Jadi jelaslah

bahwa konsep bentuk negara yang diartikan disini adalah

republik  yang merupakan pilihan lain dari kerajaan (monarki) yang

telah ditolak oleh para anggota BPUPKI mengenai kemungkinan

penerapannya untuk Indonesia modern.22 Kelemahan rumusan di atas

terkait dengan pengertian bentuk negara yang tidak dibedakan dari

pengertian bentuk pemerintahan. Padahal kedua konsep ini sangat

berbeda satu sama lain. Karena yang dibicarakan adalah bentuk

negara berarti bentuk organ atau organisasi negara itu sebagai

keseluruhan. Jika yang dibahas bukan bentuk organnya, melainkan

bentuk penyelenggaraan pemerintahan atau bentuk penyelenggaraan

kekuasaan maka istilah yang lebih tepat dipakai adalah istilah bentuk

pemerintahan. Sedangkan kata pemerintahan dalam 'sistem

pemerintahan' terbatas pengertiannya pada cabang eksekutif saja.

22
Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Op.Cit, hlm.173.
Penggunaan kata government dalam bahasa Inggris juga sering

menimbulkan kesalahpahaman. Banyak orang yang tidak menyadari

bahwa kata itu mengandung dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit.

Keduanya dipengaruhi oleh tradisi pemerintahan yang berkembang di

Inggris (British) dan Amerika Serikat. Karena Kerajaan Inggris

mempraktekkan sistem pemerintahan parlementer, maka perkataan

government disana menunjuk kepada pengertian yang sempit, yaitu

hanya cabang kekuasaan eksekutif saja. Tetapi, dalam bahasa Inggris

Amerika, kata government mencakup pengertian yang luas, yaitu

keseluruhan pengertian penyelenggaraan negara.

1.4.1.3 Teori Negara Kesatuan

CF Strong menyatakan bahwa hakikat negara kesatuan adalah

negara yang kedaulatannya tidak terbagi, atau dengan kata lain,

negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya tidak terbatas karena

konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembuat

undang-undang selain badan pembuat undang-undang pusat. 23

Adapun Abu Daud Busroh menyatakan bahwa negara kesatuan adalah

negara yang sifatnya tunggal artinya tidak ada negara di dalam negara,

hanya ada satu pemerintahan tunggal yaitu pemerintahan pusat yang

23
CF Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah danBentuk-
Bentuk Konstitusi Dunia, terjemahan dari Modern Political Constitutions: An Introduction to the
Comparative Study of Their History and Existing Form, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004),
hlm. 115.
memiliki kekuasaan serta kewenangan tertinggi dalam negara

tersebut.24

Pada negara kesatuan, Pemerintah pusat mempunyai kekuasaan

atau wewenang tertinggi dalam lapangan pemerintahan. Konsekuensi

logis dari posisinya sebagai penyelenggara kedaulatan rakyat, maka

unit-unit pemerintahan yang dibentuk dan berada di bawah

pemerintahan pusat harus tunduk kepada Pemerintah Pusat. 25

Menurut Ateng Safrudin, negara kesatuan adalah negara yang

mempunyai konstitusi yang memberikan hak dan kewajiban

menjalankan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan kepada

Pemerintah Pusat.26 Adapun UUD 1945 memberi kewenangan

pemerintah negara kepada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat,

karena penyelenggaraan segala kepentingan hak baik dari pusat

maupun dari daerah sebenarnya adalah kewajiban dari pemerintah

yang satu.

Sejalan dengan kemajuan masyarakat dan negara, perbedaan

antara daerah yang satu dengan yang lain sukar diketahui dan sukar

diatur secara memusat, maka jika keadaan daerah-daerah sudah

memungkinkan, pusat menyerahkan kepada daerah-daerah untuk

mengurus dan menyelenggarakan sendiri kebutuhan-kebutuhan


24
Ibid
25
Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih
Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm.114.
26
Mukhlis, Fungsi dan Kedudukan Mukim Sebagai Lembaga Pemerintahan dan LembagaAdat
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, Disertasi, pada Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Padjajaran, Bandung, 2014, hlm.50.
khusus dari daerah-daerah.27 Menjaga kesatuan dan integritas negara

merupakan salah satu alasan Pemerintah Pusat mendominasi

pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengenyampingkan

peran dan hak Pemerintah Daerah untuk terlibat langsung dan

mandiri dalam rangka mengelola serta memperjuangkan kepentingan

daerahnya.28 Dominasi Pemerintah Pusat atas urusan-urusan

pemerintahan telah mengakibatkan hubungan antara Pemerintah

Pusat dan daerah dalam negara kesatuan menjadi tidak harmonis

atau bahkan berada pada titik yang mengkhawatirkan sehingga timbul

gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi negara federal

Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa dalam

negara kesatuan tidak ada kedaulatan yang terbagi atau shared

soverignity. Sebab, kedaulatan hanya ada di tangan negara atau

pemerintah pusat, bukan didaerah.

Oleh karena itu, terdapat beberapa kekurangan pada negara

kesatuan. Pertama, beban kerja Pemerintah Pusat cenderung

berlebihan. Kedua, akibat keberadaan pusat pemerintahan yang jauh,

mengakibatkan ketidakpekaan dengan masalah yang dihadapi oleh

rakyat di daerah, sehingga kurang perhatian dan kepentingannya

terhadap daerah. Ketiga, tidak boleh adanya daerah yang

menyuarakan haknya berbeda dengan daerah-daerah lainnya, atas

27
Ibid
28
Sri Sumantri M, Bentuk Negara dan Implementasinya Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Ghalia
Indonesia), hlm. 40
alasan sentralisasi semua pelayanan harus sama. Konsekuensinya,

maka sering terjadi perlawanan dan konflik dengan daerah. 29

1.4.1.3 Teori Otonomi Daerah

Prinsip Otonomi Daerah di Indonesia berkaitan dengan konsep dan

teori pemerintahan local (local government), termasuk aplikasinya

dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia. Adapun

konsep local government tidak dapat dilepaskan dari konsep-konsep

tentang kedaulatan Negara dalam sistem unitary dan Federal serta

sentralisasi, desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

Adapun Bhenyamin Hoessein menjelaskan bahwa Local Government

dapat mengandung tiga arti. Pertama, berarti pemerintahan local.

Kedua, pemerintahan local yang dilakukan oleh pemerintahan local.

Ketiga berarti, daerah otonom30

Melalui asas otonomi, maka daerah diberi keleluasaan dalam menata

mekanisme pengelolaan kebijakan dengan kewenangan yang lebih

besar kepadadaerah. Pelaksanaan desentralisasi akan membawa

efektivitas dalam pemerintahan. Sebab, wilayah negara itu pada

umumnya terdiri dari pelbagaisatuan daerah (yang dimaksud dengan

perkataan “daerah” di sini adalah bagiandari wilayah negara) yang

masing-masing memiliki sifat-sifat khusus tersendiri yang disebabkan

oleh faktor-faktor geografis, seperti keadaan tanah, iklim, flora,

29
K. Ramanathan, Asas Sains Politik, (Selangor, Malaysia, 2003), hlm. 342.
30
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, (Jakarta: Grasindo, 2007),
hlm.19.
fauna,adat-istiadat, kehidupan ekonomi, dialek/bahasa, tingkat

pendidikan/pengajaran,dan sebagainya). 31

Melalui UU No. 22 Tahun 1999, pembangunan daerah dilaksanakan

melalui penguatan otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya yang

mengarah pada terwujudnya tata kepemerintahan yang baik atau good

governance. Otonomi daerah memberi hak serta wewenang kepada

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

peraturan perundang undangan. Adapun unsur-unsur otonomi daerah

adalah sebagai berikut:32

a. memiliki perangkat pemerintah sendiri yang ditandai dengan adanya

kepala daerah DPRD, dan pegawai daerah;

b. Memiliki urusan rumah tangga sendiri yang ditandai dengan adanya

dinas-dinas daerah;

c. Memiliki sumber keuangan sendiri yang ditandai dengan adanya

pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah dan pendapatan

dinas-dinas daerah;

d. Memiliki wewenang untuk melaksanakan inisiatif sendiri sepanjang

tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.

31
Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Konsorsium
Pembaruan Agraria bekerjasama dengan INSIST “Press”, 2000), hlm.11.
32
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Jakarta:Rajawali
Pers, 1991), hlm.14.
1.4.1.4 Teori Otonomi Khusus

Otonomi khusus merupakan kewenangan khusus yang diberikan

kepada daerah tertentu untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri tetapi sesuai dengan hak

dan aspirasi masyarakat di daerah tersebut. Kewenangan ini diberikan

agar daerah ‘tertentu’ dapat menata daerah dan bagian dari daerah

tersebut agar lebih baik lagi di bidang tertentu sesuai dengan aspirasi

daerahnya.33 Otonomi khusus ditawarkan melebihi otonomi daerah biasa,

karena otonomi ini diberikan kepada daerah ‘tertentu’ yang berarti daerah

tersebut mempunyai kelompok gerakan kemerdekaan yang ingin

memisahkan dirinya (daerahnya) dari wilayah NKRI.

Adapun dalam pelaksanaan asas desentralisasi terdapat dua jenis

kategori, yaitu desentralisasi simetris (symmetric decentralization) dan

desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) atau otonomi

khusus. Sebagaimana dikemukakan olehJoachim Wehner, bahwa

pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari

beberapa daerah merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan

yang cukup umum ditemui dalam pengalaman pengaturan politik di

banyak negara.34

33
Jacobus Perviddya Solossa, Otonomi Khusus Papua, Mengangkat Martabat Rakyat Papuadi
Dalam NKRI, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006),hlm. 53
34
Mastur, Op.Cit, hlm.62.
Pengalaman ini berlangsung baik di dalam bentuk negara kesatuan

yang didesentralisasikan, maupun dalam format pengaturan federatif.

Dalam khasanah ilmu politik dan pemerintahan, pola pengaturan yang

tidak sebanding ini disebut sebagai asymmetrical

decentralization,asymmetrical devolution atauasymmetrical federalis,

atau secara umum dikenal dengan istilah asymmetrical

intergovernmental arrangements.35

1.4.1.5 Teori Peraturan Daerah

Peraturan Daerah merupakan bagian integral dari konsep Peraturan

Perundang-undangan. Peraturan Daerah menjadi aturan yang berisi

penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan

peraturan perundang-undangan yang adadiatasnya dengan

memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. PeraturanDaerah

dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturanperundang-

undangan yang lebih tinggi serta Peraturan daerah lain.

Menurut Bagir Manan, kemandirian dalam berotonomi tidak berarti

bahwa Daerah dapat membuat Peraturan Perundang-undangan atau

keputusan yang terlepas dari sistem Perundang-undangan secara

nasional. Peraturan Perundang-undangan tingkat Daerah merupakan

35
Agung Djojosoekarto, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia, Pembelajaran dari Kasus Aceh,
Papua, Jakarta, dan Yogyakarta, (Jakarta: Kemitraan, 2012) hlm. 10.
bagian tak terpisahkan darikesatuan sistem Perundang-undangan

secara nasional. Karena itu tidak boleh ada Peraturan Perundang-

undangan tingkat daerah yang bertentangandengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya atau kepentingan

umum36

Adapun dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dijelaskan

bahwa Peraturan Daerah meliputi:37

a. Peraturan Daerah Propinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat

DaerahPropinsi bersama dengan Gubernur;

b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan

daerahKabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;

c. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dibuat oleh Badan

Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa

Materi muatan Peraturan Daerah merupakan materi muatan yang

bersifat atribusi maupun delegasian dari materi muatan peraturan

perundang-undangan diatasnya. Selain itu materi muatan Peraturan

Daerahjuga berisi hal-hal yang merupakan kewenangan Daerah menurut

peraturanperundang-undangan yang berlaku. 38 Materi muatan Peraturan

Daerah ini mengatur dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah


36
Bagir Manan, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah,
(Bandung: Pusat Penerbitan LPPM , 1995), hlm.8.
37
Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011, Lembaran Negara Nomor 82 Tahun 2011
38
Muhammad Suharjono, Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dalam Mendukung
Otonomi Daerah, Jurnal Ilmu Hukum, (Volume 10, Nomor 19, 2014), hlm.24.
dan Pelaksanaan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi

khusus daerah yang bersangkutan. Untuk daerah-daerah yang diberi

Otonomi Khusus, maka kedudukan Peraturan Daerahnya juga

merupakan Peraturan Daerah yang bersifat khusus (Perdasus). Salah

satu contohnya adalah Provinsi NAD yang memiliki Perdasus yang

disebut dengan Qanun.

1.4.1.6 Teori Sistem Hukum

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil

tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni

struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the

law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut

aparat penegak hukum. Substanis hukummeliputi perangkat

perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang

hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat. Adapun

mengenai struktur hukum Friedman menjelaskan:39

“To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system

consist of elements of this kind: the number and size of courts; their

jurisdiction ...Strukture also means how the legislature is

organized...what procedures the police department follow, and so

on. Strukture, in way, is a kind of crosss section of the legal

system...a kind of still photograph, with freezes the action.”

39
Lawrence M.Friedman, American Law, (New York: W.W.Norton & Co., 1986), hlm. 5.
Struktur dari sistem hukum terdiri atas: jumlah dan ukuran

pengadilan, yurisdiksinnya (termasuk jenis kasus yang berwenang

mereka periksa), serta tata cara naik banding dari pengadilan ke

pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana cara menata

lembaga legislatif, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh

Presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa struktur hukum

terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk

menjalankan perangkat hukum yang ada.

Adapun aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Friend

menyatakan bahwa “Another aspect of the legal system is its

substance. By this is meant the actual rules, norm, and behavioral

patterns of people inside the system ...the stress here is on living law,

not just rules in law books”. Pengertian substansinya mencakup pada

aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam

sistem itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa substansi hukum

menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang

memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat

penegak hukum.40

Sedangkan mengenai budaya hukum, Friedman menyatakan

bahwa:41

40
Ibid
41
Ibid, hlm.6.
“The third component of legal system, of legal culture. By this we

mean people’s attitudes toward law andlegal system their belief ...in

other word, is the climinate of social thought and social force wicch

determines how law is used, avoided, or abused”.

Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap

manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya)

terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur

hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik

apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya

hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat

maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif. Hukum

sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak

lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu.

Untuk menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa

masyarakat kearah yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan

ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga

adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam

praktik penegakkan hukum.42

Senada atau sependapat dengan Friedman tersebut, Sajtipto

Rahardjo menyebutkan bahwa berbicara soal hukum pada dasarnya

tidak dapat dipisahkan dari asas-asas paradigma hukum yang terdiri

42
Ibid
atas fundamental hukum dan sistem hukum. 43 Beberapa fundamental

hukum diantaranya legislasi, penegakan dan peradilan sedangkan

sistem hukum meliputi substansi, struktur dan kultur hukum.

Kesemuanya itu angat berpengaruh terhadap efektivitas kinerja

sebuah hukum. Dari beberapa definisi tersebut, dapat kita artikan

bahwa berfungsinya sebuah hukum merupakan pertanda bahwa

hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk

mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.

Tingkat efektivitas hukum juga ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat

kepatuhan warga masyarakat terhadap aturan hukum yang telah

dibuat.

1.4.2 Kerangka Konsep

1.4.2.1 Qanun

Istilah Qanun dalam bahasa Arab merupakan bentuk kata kerja dari

qanna. Hal ini sebagaimana penjelsan Ridwan, dalam bahasa Arab kata

kerja qanunadalah qannayang artinya membuat hukum yang artinya

membuat hukum (to make law, to legislate). Dalam perkembangannya,

kata qanun berarti hukum (law), peraturan (rule, regulation), dan Undang-

Undang (statute, code).44

43
Winarno Yudho, Efektivitas Hukum dalam Masyarakat, Jurnal Hukum dan Pembangunan,
(Februari, 1987), hlm.59.
44
Ridwan, Positivisasi Hukum Pidana Islam (Analisis atas Qanun No. 14/2003 Tentang
Khalwat/Mesum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Adapun dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, diatur

bahwa Qanun merupakan Peraturan Daerah (Perda) sebagai

pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. 45

Secara terminologi, Wanun merupakan ketetapan hukum yang

berlaku dalam masyarakat dan digunakan untuk kemaslahatan

masyarakat. Qanun dalam tinjauan istilah bukan hanya sebagai aturan

terhadap ibadah saja, tetapi termasuk aspek mu’amalah antar sesama

manusia yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pada praktiknya, penggunaan kata Qanun digunakan untuk

menunjukkan hukum yang berkaitan dengan masyarakat (mu’amalat

bayna al-nas) bukan ibadah. Adapun Mahmassani menyebutkan tiga

macam makna Qanun, yakni sebagai berikut: 46

a. Kodifikasi hukum (kitab undang-undang) seperti Qanun pidana

Libanon (KUHP Turki Usmani, KUH Perdata Libanon)

b. Sebagai istilah padanan untuk hukum ilmu Qanun. Qanun Islam

berarti Hukum Islam. Qanun NAD berarti Peraturan Daerah

(Perda) Nanggroe Aceh Darussalam.

45
Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, Pasal 1
Butir 8, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2001.
46
M. Solly Lubis, Aceh Mencari Format Khusus. Jurnal Hukum, Vol. 01. No.1 Tahun 2005, Hlm. 6
Adapun pada masyarakat Aceh, penyebutan Qanun terhadap suatu

aturan hukum atau untuk penamaan suatu adat telah lama dipakai dan

telah menjadi bagian dari kultur adat dan budaya Aceh. Aturan-aturan

hukum dan juga adat yang dikeluarkan oleh Kerajaan Aceh banyak yang

dinamakan dengan Qanun. Qanun biasanya berisi aturan-aturan syariat

islam yang telah beradaptasi menjadi adat istiadat Aceh. 47

1.4.2.2 Peraturan Daerah (Perda)

Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan yang dibuat oleh kepala

daerah provinsi maupun Kabupaten/Kota bersama-sama dengan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun Kabupaten/Kota,

dalam ranah pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah yang menjadi

legalitas perjalanan eksekusi pemerintah daerah 48.

Perda merupakan wujud nyata dari pelaksanaan otonomi daerah

yang dimiliki oleh pemerintah daerah dan pada dasarnya peraturan

daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, dengan melihat ciri khas dari masing-masing

daerah.

Adapun tujuan utama dari Perda adalah untuk memberdayakan

masyarakat dan mewujudkan kemandirian daerah, dan pembentukan

peraturan daerah harus didasari oleh asas pembentukan perundang-

47
Ibid, hlm.8.
48
Maria Farida Indrati S, lmu Perundang-undangan, (Yokyakarta: Kanisiu, 2007), hlm. 202.
undangan pada umumnya antara lain: 49 (i) Memihak kepada

kepentingan rakyat, (ii) menunjung tinggi hak asasi manusia, serta, (iii)

berwawasan lingkungan dan budaya.

Kemudian menurut UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, Perda merupakan peraturan

perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah dengan persetujuan Kepala Daerah. 50 Sehingga dapat

dikatakan peraturan daerah merupakan suatu pemberian kewenangan

(atribusian) untuk mengatur daerahnya dan peraturan daerah juga dapat

dibentuk melalui pelimpahan wewenang (delegasi) dari peraturan.

1.5 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian hukum Yuridis Normatif (Legal Research). Menurut Soerjono

Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum normatif atau disebut juga

penelitian hukum kepustakaan merupakan penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder

belaka51. Tipe penelitian yuridis normatif dilaksanakan melalui pengkajian

berbagai macam aturan hukum yang bersifat formal seperti undang-

undang, literatur-literatur yang bersifat konsep teoritis yang selanjutnya


49
H.Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung , (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.131.
50
Indonesia Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undanga, Undang-
Undang Nomoe Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 1 Ayat (7), Lembaran Negara Nomor 82 Tahun 2011.
51
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.13.
disambungkan dangan persoalan yang menjadi inti pembahasan 52.

Dalam penelitian ini penelitian hukum dengan pengkajian kepustakaan

akan meneliti mengenai eksisteensi, kedudukan, dan legalitias Qanun

sebagai Perda Khusus dalam Sistem Hukum Indonesia.

Tipologi penelitian yang digunakan dalam makalah ini adalah tipologi

penelitian deskriptif, yaitu penelitian dengan menggambarkan peristiwa

hukum yang terjadi apa danya, dan menyampaikan kindisi tersebut

menurut teori dna peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, Penulis

akan menggambar kedudukan dan legalitas Qanun dalam Sistem Hukum

Indonesia dikaitkan dengan Teori Negara Kesatuan, Otonomi Khusus,

dan Sistem Hukum yang digagas oleh Friedman.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah:

pendekatan undang-undang(statute approach), pendekatan konseptual

(conceptual approach), dan pendekatan sejarah (historical approach)

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilaksanakan

dengan mengkaji berbagai undang-undang serta regulasi yang

berhubungan dengan isu hukum yang menjadi permasalahan. 53

Pendekatan konseptual (conceptual approach) merupakan pendekatan

dengan cara mempelajari pendapat-pendapat dan teori-teori di dalam

ilmu hukum, asas-asas hukum dan konsep-konsep hukum yang berkaitan

52
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, hlm. 29
53
Ibid., hlm. 136.
dengan isu yang sedang dibahas.54 Pendekatan sejarah dilakukan untuk

memahami aturan hukum dari waktu ke waktu serta perkembangan

filosofi yang melandasi aturan hukum. 55 Pada penelitian ini, pendekatan-

pendekatan tersebut digunakan untuk menelaah eksistensi dan legalitas

kewenangan Qanun sebagai Perdasus di Provinsi NAD serta untuk

menilai seberapa efektif penerapan Qanun dalam Sistem Hukum

Indonesia.

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian

ini adalah studi kepustakaan atau library research. Teknik kepustakaan

ini digunakan untuk mendapat data sekunder yang diperoleh melalui

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer

merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang berarti memiliki

otoritas56. Contoh dari bahan hukum primer ini antara lain adalah:

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan, serta yurisprudensi 57. Adapun bahan

hukum Primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

Provinsi Nanggore Aceh Darusalam

54
Ibid., hlm. 177
55
Ibid., hlm. 166
56
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hlm.181.
57
Ibid.
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah

4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan

Bahan hukum sekunder meliputi publikasi terkait hukum yang tidak

termasuk dalam dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

antara lain buku-buku teks, kamus-kamus hukum, Jurnal-jurnal hukum

dan komentar-komentar atas putusan Pengadilan. Bahan hukum

Sekunder juga dapat dicari dari data dan informasi yang diperoleh

melalui internet yang berhubungan dengan objek yang sedang diteliti.

Bahan hukum sekunder yang digunakan oleh penulis pada penulisan

penelitian kali ini meliputi buku-buku teks yang relevan dengan hukum

dan data dan informasi yang didapat melalui internet. Bahan hukum

sekunder yang digunakan adalah jurnal hukum atau literartur terkait

Qanun dan Sistem Hukum Indonesia.

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.

Adapun metode analisis kualitatif merupakan analisis data yang tidak

menggunakan angka, melainkan memberikan gambaran-gambaran

(deskripsi) dengan kata-kata atas temuan-temuan. Karenanya metode

analisis ini lebih mengutamakan mutu/kualitas dari data, dan bukan

kuantitas.58 Adapun bentuk hasil penelitiain ini adalah deskriptif analitis.

58
Salim HS dan Erlies Nurbaini, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Disertasi dan Tesis,
(Jakarta: Rajawali Press, 2018), hlm.19.
1.6 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan terdiri dari lima bab. Bab pertama berisi

pendahuluan yang terdiri dari latar belakang yang akan menjelaskan

dasar pemikiran untuk melakukan penelitian ini. Selanjutnya terdapat

rumusan masalah yang menjabarkan permasalahan di dalam

penelitian ini. Tujuan dan manfaat penelitian untuk menjawab

rumusan masalah. Metode penelitian yang digunakan, yang

menjelaskan mengenai jenis penelitian, obyek penelitian, sumber

data, teknik pengumpulan data, hingga teknik analisis. Kemudian

akan berisi kerangka teori dan konsep sebagai batasan atas teori dan

terminologi-terminologi yang digunakan dalam penelitian ini, dan

terakhir berisi sistematika penulisan.

Pada Bab kedua selanjutnya menguraikan dan menganalisis pokok

permasalahn pertama, yakni menelaah kedudukan dan legalitas

Qanun dalam Sistem Hukum Indonesia. Selanjutnya dalam bab tiga

akan menguaraikan menganalisis pokok permasalahan kedua, yakni

mengenai efektifitas penerapan Qanun ditinjau dari prinsip legal

culture dalam teori sistem hukum

Bab empat akan menguraikan dan menganalisis pokok

permasalahan ketiga, yakni mengenai efektivitas kewenangan yang

dimiliki Komnas HAM sebagai lembaga negara independen di


Indonesia. Terakhir, pada Bab lima akan berisakan penutup yang

terdiri atas kesimpulan penelitian dan juga saran.

Bab II

Analisasis Kewenangan Pemerintah Daerah Aceh dalam

membentuk Qanun sebagai Implikasi Pelaksanaan Prinsip

Otonomi Khusus
2.1 Pengantar

Kedudukan Indonesia sebagai negara kesatuan (unitary state) berimplikasi

pada adanya satuan pemerintahan yang berada di bawah Pemerintah Pusat.

Satuan pemerintahan yang berada di bawah pemerintah pusat ini merupakan

pemerintahan daerah yang terbagi dalam pemerintahan daerah provinsi dan

pemerintahan daerah kabupaten/kota. 59 Adapun pemerintahan daerah tersebut

diberikan hak otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan daerahnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyelenggaraan

pemerintahan daerah mencerminkan asas desentralisasi. 60

Membicarakan mengenai pemerintahan daerah, Konstitusi bahwasanya

telah mengakui adanya satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan

istimewa sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945.

Konsekuensinya adalah bahwa terhadap daerah khusus dan istimewa

tersebut, diberikan hak otonomi yang berbeda dengan daerah otonom yang

berlaku secara umum di Indonesia yang dikenal sebagai otonomi khusus.

Salah satu daerah khusus yang diberikan otonomi khusus ini adalah Provinsi

Nanggroe Aceh Darusallam (NAD), dimana adanya otonomi khusus tersebut

memberi kewenangan pada Pemerintah Daerah Aceh untuk membuat Perda

Khusus, dalam hal ini adalah Qanun. Adapun prinsip-prinisp dalam Qanun

lebih menekankan kepada ajaran Syariat Islam dibanding dengan pengaturan


59
Fahmi Armursyi, Op.Cit., hlm.70.
60
Ibid, hlm.72.
hukum nasional. Untuk itu, dalam bab ini akan dibahas mengenai kewenangan

Pemerintah Daerah Provinsi Aceh dalam membentuk dan menegakkan Qanun

dikaitkan dengan Sistem Hukum Indonesia yang berlaku.

2.2 Hubungan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Sebagaimana diketahui, bahwa rinsip negara kesatuan yang dianut oleh

Negara Indonesia menjadikan Pemerintah Pusat sebagai pemegang

kekuasaan tertinggi atas urusan negara tanpa suatu delegasi atau

pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah. 61 Akan tetapi, apabila

segala urusan negara diatur oleh pemerintah pusat secara sentralistik, maka

akan memperlambat terwujudnya kesejahteraan di Negara Indonesia. Oleh

sebab itu, Pemerintahan Daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan

mengurus sendiri wilayahnya dengan menyelenggarakan urusan

pemerintahan sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat. Adapun

pengaturan mengenai hubungan kewenangan antara pemerintah pusat

dengan pemerintahan daerah bersumber pada Pasal 18A UUD 1945 yang

mengatur sebagai berikut:62

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan


pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara
provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-
undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah

61
Dian Agung Wicaksono, Transformasi Pengaturan Distribusi Urusan Pemerintahan Dari
Pemerintah Pusat Kepada Pemerintahan daerah, Jurnal Ilmu Hukum, Volume II-Nomor 3, 2015,
hlm 465.
62
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, BabBI, Pasal 18 A
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil
dan selaras berdasarkan undang -undang.”

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa hubungan Pemerintah

Pusat dengan Pemerintahan Daerah beririsan dengan pembagian urusan

pemerintahan, sebab membicarakan mengenai pembagian kewenangan

antara pemerintah pusat dengan Pemerintahan daerah. 63

Selain itu, Undang-Undang Pemerintahan daerah mengamanatkan agar

Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang telah ditentukan oleh

pemerintah pusat. Pemberian kewenangan untuk menyelenggarakan urusan

pemerintahan tersebut melahirkan adanya otonomi bagi daerah dalam

mengelola urusan yang telah diberikan. 64 Definisi dari urusan pemerintahan

terdapat di dalam Pasal 1 butir 5 UU Pemerintahan daerah sebagai berikut: 65

“Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi


kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian
negara dan penyelenggara Pemerintahan daerah untuk melindungi,
melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.”

Lebih lanjut, Pasal 6 Undang-undang Pemerintahan Daerah juga

menyatakan bahwa Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan sebagai dasar

dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Oleh karena itu,

63
Abdul Rauf Alauddin Said, Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat-Pemerintah Daerah
Dalam Otonomi Seluas-Luasnya Menurut UUD 1945, Jurnal Ilmu Hukum, Volume IX-Nomor 4,
Oktober-Desember 2015, hlm 592-593.
64
Ibid, hlm 466.
65
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014, Pasal 1 Butir 5, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587 Tahun 2014
Pemerintahan Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan harus

mengacu kepada kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Untuk memastikan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang

dilakukan oleh Pemerintahan daerah sesuai dengan kebijakan pemerintah

pusat, maka pemerintah pusat berwenang untuk melakukan pengawasan.

Dengan demikian, luas atau sempitnya kewenangan urusan pemerintahan

yang diberikan kepada Pemerintahan daerah tergantung pada politik hukum

yang dituangkan ke dalam hukum positif.

Berdasarkan Pasal 9 Ayat (1) Undang-undang Pemerintahan Daerah,

urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan

pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. 66 Urusan

pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya

menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dimana urusan pemerintahan

tersebut meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, agama,

dan moneter dan fiskal nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat

(2) juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Dengan

demikian, Pemerintah Daerah tidak berwenang untuk menyelenggarakan

urusan pemerintahan absolut. Meskipun pemerintah pusat tidak

menyerahkan kewenangan kepada Pemerintahan daerah untuk

menyelenggarakan urusan pemerintah absolut, Pemerintah Pusat dapat

melimpahkan kewenangan tersebut kepada instansi vertikal atau Gubernur


66
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014, Pasal 9 Ayat (1), Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587 Tahun 2014
sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi. 67 Urusan

pemerintahan yang merupakan sepenuhnya kewenangan pemerintah pusat

bersifat limitatif jika mengacu kepada Pasal 10 Ayat (1) UU Pemerintahan

daerah.

Selain urusan pemerintahan absolut, terdapat urusan pemerintahan

konkuren yang dibagi antara pemerintah pusat dan Pemerintahan Daerah,

dimana urusan pemerintahan yang diserahkan ke Pemerintah Daerah

menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Pasal 9 Ayat (3)

dan Ayat (4) UU Pemerintahan daerah. 68 Dengan kata lain, urusan

pemerintahan konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi

kewenangan pemerintah pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah

Daerah Kabupaten atau Kota. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi

kewenangan daerah terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan

pemerintahan pilihan.

Berdasarkan Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Pemerintahan Daerah,

urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib

diselenggarakan oleh semua daerah. Adapun urusan pemerintahan wajib

terdiri atas urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar

dan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. 69 Sedangkan berdasarkan

67
Dinoroy Marganda Aritonang, Pola Distribusi Urusan Pemerintah Daerah Pasca Berlakunya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah, Jurnal Legislasi Indonesia,
Volume XIII-Nomor 1, Maret 2016, hlm 48.
68
Sani Safitri, Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah Di Indonesia, Jurnal Criksetra (Volume 5,
Nomor 9, Februari 2016), hlm.80.
69
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014, Pasal 1 Butir 14, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587 Tahun 2014
Pasal 1 butir 16 UU Pemerintahan Daerah, pelayanan dasar yang dimaksud

adalah pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara. 70

Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar adalah

pendidikan, kesehatan, perumahan rakyat, ketentraman, ketertiban umum,

dan urusan lainnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 Ayat (1)

Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Selain itu, terdapat urusan

pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar yang

meliputi tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak,

kebudayaan dan urusan pemerintahan lainnya yang terdapat di dalam Pasal

12 ayat (2) UU Pemerintahan daerah.

Lebih lanjut, terdapat urusan pemerintahan konkuren yang merupakan

urusan pemerintahan pilihan di samping urusan pemerintahan wajib.

Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU Pemerintahan daerah, urusan

pemerintahan pilihan adalah urusan pemerintahan yang wajib

diselenggarakan oleh daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah.

Urusan pemerintahan pilihan tersebut meliputi pariwisata, pertanian,

kehutanan, perdagangan, energi dan sumber daya mineral, kelautan dan

perikanan, serta urusan pemerintahan lainnya yang terdapat di dalam Pasal

12 Ayat (3) UU Pemerintahan daerah.

Berdasarkan Pasal 13 Ayat (2) UU Pemerintahan daerah, pembagian

urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dengan pemerintah

70
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014, Pasal 12 Ayat (1), Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587 Tahun 2014
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota didasarkan pada

prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis

nasional. Penjelasan mengenai prinsip tersebut adalah sebagai berikut: 71

a) Prinsip akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban penyelenggaraan

suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan

luas, besaran dan jangakuan dampak yang ditimbulkan oleh

penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan;

b) Prinsip efisiensi menunjukkan bahwa urusan pemerintahan ditentukan

berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang

dapat diperoleh;

c) Prinsip eksternalitas menunjukkan bahwa urusan pemerintahan ditentukan

berdasarkan luas, besaran dan jangkauan dampak yang timbul akibat

penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan; dan

d) Prinsip kepentingan strategis nasional merupakan prinsip bahwa urusan

pemerintahan ditentukan berdasarkan pertimbangan dalam rangka

menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa dan pertimbangan lain yang

ditentukan peraturan perundang-undangan.

Keseluruhan tolak ukur yang telah dijabarkan di atas adalah bersifat

limitatif, bukan kumulatif. Selebihnya urusan pemerintahan konkuren yang

dibagi antara pemerintah pusat dan Pemerintahan daerah provinsi serta

Pemerintahan daerah kabupaten/kota tercantum dalam lampiran UU

71
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014, Pasal 13 Ayat (2), Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587 Tahun 2014
Pemerintahan daerah.72 Apabila terdapat urusan pemerintahan yang tidak

tercantum dalam lampiran tersebut, maka urusan pemerintahan merupakan

kewenangan setiap susunan pemerintahan yang penentuan menggunakan

prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren dan

ditetapkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan Pasal 15 ayat (2) dan

ayat (3) UU Pemerintahan daerah.

2.3 Kewenangan Aceh sebagai Daerah yang Memiliki Otonomi Khusus

dalam Membentuk Qanun

Amandemen Kedua UUD 1945 membawa perubahan terhadap istilah

daerah istimewa menjadi istilah satuan pemerintahan daerah yang bersifat

khusus dan satuan Pemerintahan daerah yang bersifat istimewa. Istilah

tersebut terdapat di dalam Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan

sebagai berikut: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa

yang diatur dengan undang-undang.”73

Dengan adanya pengaturan tersebut, maka terdapat pemerintahan

daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Akibatnya, pemerintahan daerah

yang dimaksud diberikan otonomi yang berbeda dibandingkan dengan

daerah otonom yang berlaku umum di Indonesia sehingga terdapat

desentralisasi yang tidak seragam (desentralisasi asimetris) pada wilayah

72
Sani Safitri, Op.Cit., hlm.83.
73
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bab VI, Pasal 18 B Ayat (1)
NKRI. Otonomi yang berbeda atau khusus memiliki perbedaan utama

dengan otonomi daerah yang diungkapkan oleh Charles Tarlton dari

University of California,74 yakni terletak pada tingkat kesesuaian dan

keumuman dalam hubungan suatu daerah dengan pemerintahan pusat

maupun antar daerah.

Dalam otonomi daerah, hubungan antara Pemerintahan daerah dengan

pemerintah pusat didasari jumlah dan bobot kewenangan yang sama.

Sementara dalam otonomi khusus, pengaturan mengenai muatan

kewenangan tersebut membentuk hubungan yang berbeda antara

Pemerintahan daerah dengan Pemerintahan daerah lainnya atau

Pemerintahan daerah dengan pemerintah pusat.

Pemberian otonomi khusus merupakan salah satu instrumen kebijakan

pemerintah pusat untuk mengatasi 2 (dua) hal fundamental, yakni persoalan

bercorak politik termasuk yang bersumber pada keunikan dan perbedaan

budaya, dan persoalan dalam keterbatasan suatu daerah dalam

menjalankan penyelenggaraan urusan pemerintahan. 75 Pengaturan

desentralisasi asimetris yang berkaitan dengan politik ditempuh untuk

mempertahankan keutuhan wilayah negara dan/atau sebagai apresiasi atas

keunikan budaya tertentu.76

Desentralisasi asimetris sempat mengalami kemerosatan di dalam Pasal

88 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-


74
Robert Endi Jaweng, Kritik Terhadap Desentralisasi Asimetris di Indonesia, Jurnal Centre For
Strategic and International Studies, Volume XL-Nomor 2, Juni 2011, hlm 162-163.
75
Sirajuddin, Op,Cit, hlm 238.
76
Ibid
Pokok Pemerintahan daerah. Pasal tersebut menyatakan bahwa sifat

istimewa suatu daerah berdasarkan hak-hak asal-usul dalam Pasal 18 UUD

1945 yang masih diakui dan berlaku atau sebutan daerah istimewa berlaku

terus hingga dihapuskan. Pernyataan di atas bertujuan agar semua daerah

di NKRI memiliki kedudukan yang sama, dan kebijakan desentralisasi

diarahkan dalam pola yang seragam agar memudahkan pengawasan

terhadap jalannya pemerintahan daerah.

Sampai dengan saat ini, pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan

istimewa yang dimaksud dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 adalah

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Provinsi Aceh, Provinsi Daerah

Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat.

Daerah khusus adalah penyebutan untuk daerah dari satuan pemerintahan

daerah yang bersifat khusus. Sementara daerah istimewa adalah

penyebutan untuk daerah dari satuan pemerintahan daerah yang bersifat

istimewa.

Pada Provinsi Aceh, kekhususan tersebut dilandasi oleh Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khususbagi Provinsi Daerah

Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Adapun

Kekhususan daerah otonom di NAD meliputi kewenangan-kewenangan

sebagai berikut:77

77
Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Aceh, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006, Pasal 16 Ayat (2) dan Pasal 17 Ayat (2), Lembaran Negara Indonesia, Nomor 114 Tahun
2001
a. Penyelenggaraan kehidupan beragama rakyat NAD harus

dilandasi oleh ajaran Islam sebagai pedoman dalam pembuatan

Qanun;

b. Kekhususan NAD lainnya adalah tentang kedudukan hukum adat

di NAD;

c. Penyelenggaraan pendidikan yang berlandaskan ajaran Islam;

d. .Peran ulama dalam kehidupan rakyat Aceh, sehingga harus

disertakan dalam setiap pembuatan kebijakan daerah (Qanun).

Salah satu kewenangan yang paling istimewa adalah dilegalkannya

pembentukan Peraturan Daerah Khusus yang berdasar pada ajaran

syariat islam di Aceh, dalam hal ini istilah Peraturan Daerah di Aceh

disebut dengan Qanun. Adanya Qanun menjadi pengaturan hukum

tersendiri bagi masyarakat Aceh dan tidak tunduk pada peraturan nasional

yang ada.

Ketentuan mengenai Qanun terdapat di dalam Undang-Undang No.11

Tahun 2006 tentang Otonomi Khusus Aceh. Pada undang-undang tersebu,t

dijelaskan bahwa Qanun merupakan peraturan perundang-undangan

sejenis Peraturan Daerah Provinsi yang mengatur penyelenggaraan

pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. 78 Adapun dalam undang-

undang tersebut dijelaskan pula bahwa Qanun kabupaten/kota adalah

peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota

78
Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Aceh, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006, Pasal 1 Butir 8, Lembaran Negara Indonesia, Nomor 114 Tahun 2001
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat

kabupaten/kota di Aceh.79

Berdasarkan ketentuan kedua Pasal di atas, terlihat bahwa maksud

dari Qanun dapat disamakan dengan Peraturan Daerah di Provinsi lain di

Indonesia, tetapi pada dasarnya pemahaman Qanun yang disamakan

dengan Perda sesungguhnya tidaklah tepat. Qanun merupakan suatu

peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di NAD yang isinya

harus berlandaskan pada syariat Islam yang menjadi kekhususan dari NAD,

hal ini berbeda dengan daerah lain yang aturan-aturan dalam Perdanya

tidak harus berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Selain itu berbeda dengan

Perda lainnya di Indonesia, aturan-aturan Qanun dapat berisikan aturan-

aturan hukum tentang hukum acara material dan formil di Mahkamah

Syar’iah.

Jika ditinjau dari teori sistem hukum Friedman , utamanya mencakup

unsur struktur hukum (legal structure), maka dapat dikatakan bahwa

kewenangan untuk membentuk Qanun sudah sesuai dengan prinsip

otonomi khusus sebagaimana yang menjadi amanat konstitusi bahwa

negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah

yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-

undang. Berdasarkan peraturan tersebut, maka dibentuklah Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Otonomi Khusus Aceh sebagai

79
Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Aceh, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006, Pasal 9 Ayat (1), Lembaran Negara Indonesia, Nomor 114 Tahun 2001
payung hukum dilegalkannya pembentukan Peraturan Daerah Khusus,

dalam hal ini yakni Qanun untuk Provinsi NAD.

Adanya undang-undang tersebut melegalkan Aceh untuk membuat

Peraturan Daerah tersendiri yang pengaturanya diakui salam struktur

hukum Indonesia. Adapun mengenai struktur hukum sendiri, hal tersebut

berkaitan dengan wewenang lembaga-lembaga hukum dalam melakukan

pembentukan ataupun penegakkan hukum. 80

Dalam hal ini, pembentukan Qanun merupakan wewenang lembaga

legislatif di Aceh, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Provinsi

NAD Aceh bersama dengan Pemerintah Daerah Aceh yang bersandar pada

pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Adapun dalam

hal penegakkan Qanun, Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh juga

mengatur mengenai peran Kepolisian, Kejaksaan serta lembaga peradilan

aceh, yakni Mahkamah Syari’ah Aceh yang berfungsi dalam mengadili

pelanggaran-pelanggaran terhadap Qanun. Adapun terdapat Qanun khusus

yang mengatur mengenai lembaga adat, termasuk lembaga peradilan di

dalamnya untuk memutus sengketa pelanggaran-pelanggaran hukum, yakni

Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. 81

Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kewenangan

Provinsi Aceh dalam membentuk Peraturan Daerah Khusus (Qanun)

bahwasanya merupakan kewenangan yang konstitusional, termasuk

80
Jum Anggriani, Kedudukan Qanun dalam Sistem Pemerintahan Daerah dan Mekanisme
Pengawasannya, Jurnal Hukum, (Volume 18, Nomor 3, Juli 2011). Hlm.325.
81
Ibid, hlm.330.
kedudukan Qanun sendiri sebagai Peraturan Daerah yang diakui

kekhususannya dalam peraturan perundang-undangan. Penegakan Qanun

pun juga dilakukan sebagai upaya untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum

jinayah kepada pihak-pihak yang melanggar qanun yang telah disahkan

oleh lembaga yang berwenang.

Bab III

Analisis Materi Muatan Syariat Islam pada Qanun Jinayat

3.1 Kedudukan Qanun dalam Hierarki Perundang-Undangan

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Qanun merupakan

ketetapan hukum yang berlaku dalam masyarakat dan digunakan untuk

kemaslahatan masyarakat. Adapun materi muatan Qanun berisikan aturan-

aturan syariat islam yang telah beradaptasi menjadi adat istiadat Aceh.
Adapun isi muatan Qanun hanya mengatur mengenai ketentuan-

ketentuan yang bersifat delegasi suatu undang-undang dalam rangka

pelaksanaan otonomi khusus. Dengan kata lain, Qanun hanya dapat

mengatur atas dasar pendelegasian suatu ketentuan undang-undang dalam

penyelenggaraan otonomi khusus. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal

31 Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh yang menentukan bahwa

ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan

pemerintah Provinsi NAD ditetapkan dengan Qanun. 82

Mengacu pada teori Stufenbau yang digagas oleh Hans Kelsen,

dinyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan

kaidah berjenjang di mana norma hukum yang terendah harus bersandar

pada norma hukum yang lebin tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi

(konstitusi) harus bersandar pada norma hukum yang paling mendasar

(grundnorm).83

Pada teori Stufenbau, dijelaskan bahwa pada hakikatnya kedudukan

norma ialah berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki.

Artinya, norma hukum yang dibawah berlaku dan bersumber dari norma di

atasnya, dan norma di atasnya juga bersumber dan berdasar dari norma

yang lebih tinggi lagi begitu seterusnya sampai berhenti pada suatu norma

82
Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Aceh, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006, Pasal 31, Lembaran Negara Indonesia, Nomor 114 Tahun 2001

83
Wikipedia Indonesia, Teori Stufenbau, diakses pada laman
https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Stufenbau, pada 12 April 2020
tertinggi yang disebut sebagai Norma Dasar (Grundnorm) dan hal tersebut

dianggap masih bersifat dinamis. Oleh sebab itu, hukum selalu dibentuk dan

dihapus oleh lembaga-lembaga otoritas-otoritasnya yang berwenang

membentuknya, berdasarkan norma yang lebih tinggi, sehingga norma yang

lebih rendah (Inferior ) dapat dibentuk berdasarkan norma yang lebih tinggi

(superior), pada akhirnya hukum menjadi berjenjang-jenjang dan berlapis-

lapis membentuk suatu Hierarki.84 Berdasarkan hal tersebut, dapat

dikatakan bahwa norma yang lebih tinggi mendasari pembentukan norma

yang lebih rendah di bawahnya.

Adapun ajaran Hans Kelsen tersebut kemudian dikembangkan oleh

muridnya, Hans Nawiasky. Hans Nawiasky berpendapat bahwa selain

norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, terdapat juga kelompok-

kelompok dalam norma hukum. Hans Nawiasky mengelompokan norma-

norma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang

terdiri atas:85

a. Kelompok I: Staatspundamentalnorm (Norma fundamental negara)

b. Kelompok II : c(Aturan dasar/pokok negara)

c. Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-undang formal)

d. Kelompok IV : Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana

dan aturan otonom)


84
Aziz Syamsuddi, Proses Dan teknik Penyusunan Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
hlm 14-15
85
Hans Nawiasky, Allgemeine als recht System Lichen Grundbegriffe, (ensiedenln /Zurich/koln,
benziger, cet. 2 1948), hlm.31.
Pembagian empat kelompok norma tersebut kemudian diadopsi dalam

pembentukan perundang-undangan di Indonesia. Adapun keterangannya

adalah sebagai berikut:86

a. Staatspundamentalnorm mencakup Pancasila (dalam pembukaan UUD

1945)

b. Staatgrundsetz menckaup batang tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan

konvensi ketatanegaraan

c. Formell Gesetz mencakup undang-undang formal

d. Verordnung dan Autonome Satzung mencakup Peraturan Pemerintah

higga Peraturan Pemerintah Daerah.

Penetapan kelompok norma tersebut lah yang kemudian juga

diadopsi sebagai dasar pembentukan undang-undang di Indonesia.

Pengaturan tersebut dituangkan dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan. Adapun hierarki peraturna perundang-undangan dalam

pengaturan tersebut adalah sebagai berikut: 87

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:


a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
86
Notonegoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, (Kumpulan Tiga Pokok Uraian Persoalan tentang
Pancasila), (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm 27.
87
Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 7 Ayat (1), Lembaran Negara Nomor 82 Tahun 2011
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa

kedudukan Qanun setara dengan Peraturan Daerah Provinsi, dan

kewenangan untuk membuat Peraturan Daerah berada pada kekuasaan

Pemerintah Daerah, dalam hal ini artinya kedudukan Qanun memang

diakui dalam hierarki perundang-undangan Indonesia.

Adapun adanya pemahaman tersebut akan lebih mempermudah

Pemerintah Pusat dalam melakukan pengawasaan dan pembinaan

terhadap daerah, terutama yang berhubungan dengan pembentukan suatu

kebijakan daerah. Hanya saja tetap harus diperhatikan tentang

kekhususan yang diberikan Pusat terhadap NAD. Contohnya saja,

berdasarkan kekhususan yang diberikan Pusat kepada NAD , maka DPRA

berwenang untuk mensahkan Qanun tentang Jinayat atau Peradilan

Pidana Islam sebagai hukum acara di Mahkamah Syari’ah.

Kekhususan dalam Qanun ini bahwasanya juga sesuai dengan

“General Theori of Law” yang juga digagas oleh Hans Kelsen. Pada teori

tersebut, dinyatakan bahwa setiap norma memiliki karakter dinamis dari

sistem norma dan fungsi norma dasar yang mengungkapkan suatu

kekhasan lebih lanjut dari hukum. Dan dalam hal ini, hukum mengatur
pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara

untuk membuat norma hukum yang lain hingga sampai derajat tertentu. 88

Adapun selain dalam Undang-Undang tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, legalitas pembentukan Qanun

bahwasanya juga diakui dalam beberapa peraturan berikut ini: 89

1. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam. Kedudukan Qanun terdapat diatur dalam Pasal

1 Angka 8;

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tetang Pemerintah Aceh.

Pada Pasal 21 dan 22 dinyatakan bahwa Qanun merupakan

peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah yang

mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan

masyarakat Aceh.

3.2 Materi Muatan Syariat Islam Qanun dan hubunganya dalam Sistem

Hukum Indonesia

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa secara hierarki,

posisi Qanun setingkat dengan Peraturan Daerah tingkat Provinsi, dan

tentu saja pembentukan Qanun harus merujuk atau tidak boleh

88
Bambang Setia Merpati, Pemikiran Hans Kelsen dalam Teori Hukum Murni, Tesis Magister
Hukum Universitas Indonesia, Program Studi Ilmu Filsafat, 2004, hlm.52.
89
Hasan Basri, Kedudukan Syariat Islam Di Aceh Dalam Sistem Hukum Indonesia, Jurnal Kajian
Ilmu Hukum, (Volume 13, Nomor 55, 2011), hlm.87.
bertentangan dengan peraturan di atasnya. Namun, perlu diingat

bahwasanya Qanun tidaklah sama dengan Peraturan Daerah pada

umumnya. Sebab, Qanun memiliki kekhususan dimana materi

muatannya berlandaskan pada syariat islam. 90 Adanya otonomi khusus

yang diberika kepada Pemerintah Daerah Aceh menjadikan ajaran-

ajaran syariat islam yang berlaku dipostifikan melalui Qanun, termasuk

juga Qanun Jinayat yang mengatur mengenai ketentuan pidana secara

terpadu.

Materi muatan Qanun sebagian besar berisi ajaran-ajaran hukum

islam yang konstruksinya digali dari syariat (Al-Quran dan Hadist),

kemudian ajaran tersebut dilegalisasi menjadi Qanun oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Aceh dan disetujui oleh Gurbernu Aceh selaku

Pemerintah Daerah.91

Adapun dalam pengaturan Undang-Undang No. 44 Tahun 1999

dinyatakan bahwa syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam

semua aspek kehidupan. Sehingga dapat dikatakan bahwa syariat Islam

yang diberlakukan di Aceh tidak hanya dalam aspek aqidah dan ibadah

mahdhah, tetapi juga dalam bidang muamalah dalam arti luas dan

bahkan dalam bidang jinayah. 92 Dimensi-dimensi syariat Islam ini ada

90
Andi Asrun, Mempertanyakan Legalitas Qanun Aceh: Sesuaikah Dengan Sistem Peraturan
Perundang-Undangan, Jurnal Ilmu Hukum, (Volume 21, Nomor 2, 2019), hlm.275.
91
Ibid, hlm.298.
92
Indonesia, Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh, Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 1999, Lembaran Negara Nomor 3893
yang memerlukan kekuasaan negara dalam pelaksanaannya dan

adapula yang tidak. Dalam bidang aqidah dan pengamalannya tentu

tidak memerlukan kekuasaan, sedangkan dalam bidang pidana

(jinayah) sangat memerlukan kekuasaan negara untuk penegakannya.

Oleh sebab itu, pelaksanaan syariat Islam di Aceh, berada dalam

kekuasaan negara, dimana negara berperan penting dan bertanggung

jawab dalam melaksankan syariat Islam secara kaffah di Aceh.

Adapun karena Qanun Jinayat Aceh dipandang sebagai bagian dari

upaya penerapan hukum Islam, maka Qanun Jinayat harus dilihat

sebagai bagian dari sub-bidang hukum Islam dan tergolong dalam

sistem hukum Islam. Selain posisinya yang demikian, Qanun Jinayat

Aceh juga merupakan bagian dari sistem perundang-undangan

Indonesia yang diakui melalui Undnag-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun,

tidaklah semua Qanun Aceh merupakan bagian dari syariat yang oleh

undang-undang disebut istimewa dan khusus. Misalnya di bidang

penyelenggaraan Pemilu. Qanun Aceh mengenai Pemilu jelas bukan

merupakan bagian dari syariat Islam sehingga harus dibaca sebagai

bagian dari subsistem hukum Nasional semata. Bahkan, Qanun Aceh

yang masuk ke dalam kelompok istimewa sekalipun, belum tentu

merupakan bagian dari sub sistem hukum Islam. Dapat disimpulkan,

seluruh Qanun Aceh merupakan bagian dari subsistem hukum


Nasional, namun hanya sebagiannya yang dapat dikelompokkan

sebagai bagian dari sistem hukum Islam. Adapun yang diklasifikasikan

sebagai Qanun-Qanun Syariat, maka ia harus dilihat dan dianggap

sebagai produk hukum yang berada di dua sistem hukum, Islam dan

Indonesia.93

Berkaitan dengan susbtansi hukum (legal substance) dapat dikatakan

bahwasanya substansi ini berisikani produk yang dihasilkan oleh pihak

yang berwenang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup

peraturan-peraturan yang telah diterbitkan, aturan baru yang mereka

susun.94 Substansi juga mencakup hukum yang hidup di dalam

masyarakat yang didasakrna pada budaya hukum yang tumbuh dalam

masyakat tersebut. (living law).

Adapun Konsep penerapan syariat islam yang didasarkan pada

budaya masyarakat memerlukan derevasi aplikatif, sehingga dapat

dilaksanakan dalam realitas sosial masyarakat Aceh. 95 Upaya

melakukan derivasi terhadap sumber ajaran hukum yaitu Al-Quran dan

Al-Sunnah sudah dilakukan oleh para ulama menjadi ijtihad (legal

reasoning), dan hasilnya telah disusun dalam berbagai buku fiqih. 96

93
Andri Asrun, Op.Cit., hlm.291.
94
Soerjono Soekanto, Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2008), hlm.19.
95
Hasran Basri, Op.Cit., hlm.93.
96
Ibid
Namun materi fiqih tidak semuanya aplikatif dalam kontek

pelaksanaan syariat Islam di Aceh, terutama ketika berhadapan dengan

sistem hukum nasional. Oleh karenanya, materi-materi fiqih yang akan

diberlakukan menjadi hukum positif di Aceh sebagai bagian dari hukum

nasional, harus melalui proses legislasi yang melahirkan Qanun Aceh.

Adapun salah satu yang menjadi polemik adalah salah penerapan

hukuman cambuk di Aceh yang didasarkan pada Qanun Jinayah.

Hukum cambuk dilakukan sebagai bentuk sanksi atas adanya

pelanggaran tindak pidana, seperti zinah, judi, mabuk, dan lain-lain. 97

Ketentuan tersebut dipandang tidak sesuai dengan jenis sanksi pidana

yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

sebagai acuan pelaksanaan sistem hukum pidana nasional.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwasanya kembali lagi

ke kewenangan otonomi khusus yang dimiliki oleh Daerah Aceh,

dimana Aceh dilegalkan untuk membuat Peraturan Daerah Khusus yang

di dalamnya memuat ajaran-ajaran yang didasarkan pada budaya

hukum masyarakatanya.98 Kewenangan tersebut sebagaimana yang

diamantkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Posisi Qanun

yang setingkat dengan Peraturan Daerah tentu tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang yang berlaku. Akan tetapi, dalam hal ini


97
Ibid, hlm.95.
98
Husni Bahri TOB, Implementasi Otonomi Khusus Pasca Pengesahan UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, disampaikan dalam rapat tahunan BKS Dekan Fak Hukum PTN
Indonesia Wil. Barat, di Banda Aceh tanggal 14 Januari 2009.
undang-undang sendirilah yang telah melegalkan dibentuknya Qanun

dengan syariat-syariat Islam di dalamnya sebagai bentuk pemerian

keistimewaan pada Provinsi NAD. Atas dasar kekhususan itulah, maka

Pemerintah Daerah Aceh berwenang untuk membentuk dan menetukan

materi muatan Qanun, termasuk pelaksanaan hukum cambuk di dalam

Qanun Jinayah. Rumusan hukum cambuk yang diatur dalam Qanun

bahwasanya merupakan hasil ijtihad dan telah menjadi hukum positif

nasional, sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan kekuasaan

negara melalui aparat penagak hukum yaitu polisi, jaksa, dan Hakim

pada Mahkamah Syariat di Aceh.99 aturan syariat islam di Aceh masih

berada di dalam kerangka sistem hukum nasional.

Kekhususan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah Aceh seperti

membentuk Qanun dan menerapkan mekanisme peradilan pidana Islam

sebagai hukum acara di Mahkamah Syar’iah bahwasanya juga

merupakan suatu keistimewaan yang hanya dimiliki oleh Aceh

berdasarkan prinsip otonomi khusus. 100 Dengan demikian, kedudukan

syariat Islam di Aceh beserta undang-undang atau peraturan yang

mendasarinya merupakan bahagian dari sistem hukum nasional

Republik Indonesia. Sehingga berdasarkan hal-hal tersebut dapat

99
Ibid
100
Didik Sukriono, Hukum Konstitusi dan Konsep Otonomi, Kajian Politik Hukum tentang Konstitusi,
Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi, (Malang: Setara Press,2013), hlm.103.
dikatakan bahwasanya baik dari segi struktur maupun substansi,

kedudukan Qanun, utamanya Qanun Jinayah yang memuat aturan-

Bab IV
Analisa Perbandingan

4.1 Analisa Perbandingan Pengaturan dalam Qanun dengan pada Pengaturan


Sistem Hukum Nasional

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa materi muatan pada

Qanun bersumber pada ajaran-ajaran syariat islam yang dekat dengan

kehidupan masyarakat dan budaya di Aceh. Namun, beberapa materi dalam

Qanun, khususnya Qanun Jinayat yang mengatur mengenai hukum pidana,

seringkali dianggap bertentangan dengan pengaturan pada sistem hukum

nasional.

Salah satu Qanun yang menimbulkan polemik dan dianggap bertentangan

dengan sistem hukum pidana nasional adalah Qanun Nomor 13 Tahun 2003
yang mengaur secara khusus tentang maisir (perjudian). Adapun ketentuan

dalam Qanun tersebut, para pelaku perjudian diancam dengan pidana berupa

hukuman cambuk dan denda.101 Sementara dalam KUHP, pelaku perjudian

diancam dengan pidana penjara dan denda. 102 Artinya, dalam hal ini terdapat

dua kategori hukuman yang sama-sama dapat diberlakukan (dualisme

hukum).

Secara prinsip, terdapat beberapa perbedaan dalam KUHAP dan Qanun

Acara Jinayat sebagai hukum yang berada di bawahnya. Prinsip-prinsip itu

adalah sebagai berikut:103

1. Asas persamaan di muka hukum. Asas ini juga dipegang dalam proses

penegakan hukum Jinayat. Qanun Acara Jinayat Aceh dalam

menangani delik-delik syariat harus berpedoman pada prinsip

persamaan di muka hukum. Prinsip ini mengharuskan semua orang

diperlakukan secara sama di hadapan hukum.

2. Asas legalitas. Selain karena Indonesia merupakan negara yang dalam

sistem hukumnya condong kepada civil law,hukum Islam juga mengenal

prinsip legalitas ini sejak lama. Maka, prinsip legalitas ini juga ada dalam

Qanun Jinayat Aceh dan Qanun Acaranya. 104 Meskipun dalam Al-Qur’an

101
Al-Yasa Abu Bakar dan Marah Halim, Hukum Pidana Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD), hlm.118.
102
Pada Pasal 303 KUHP, Pelaku Judi diancam dengan hukuman penjara paling lama 10 tahun
atau denda sebesar Rp 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah)
103
Al-Yasa Abu Bakar dan Marah Halim, Op.Cit., hlm.120-124.
104
Pasal 2 Hurus a Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat Lembaran
Aceh Tahun 2013 Nomor 7, menyebutkan bahwa penyelenggaraan hukum acara Jinayat
dilaksanakan berdasarkan asas legalitas.
dan Sunah suatu perbuatan telah dilarang, ia tidak dapat ditegakkan

lantaran Qanun tidak mengaturnya.

3. Asas praduga tidak bersalah. Prinsip praduga tidak bersalah ini bahkan

di beberapa jarîmahsangat dipegang teguh. Misalnya dalam perkara

zina. Seseorang yang diduga berbuat zina, namun tidak terdapat 4

orang saksi, maka ia tidak dapat dijatuhi pidana cambuk sekalipun

secara umum dua alat bukti sudah cukup bagi Hakim untuk

memperoleh keyakinan. Namun, dalam kasus zina,orang yang

menuduh tanpa bukti bahkan dapat dipidana balik dengan cambuk80

(delapan puluh) kali.

4. Asas ganti kerugian dan rehabilitasi. Selain karena seseorang harus

diduga tidak bersalah hingga ada putusan Hakim yang menyatakan

dirinya bersalah, maka jika terbukti tidak bersalah seseorang harus

mendapat ganti rugi dan rehabilitasi. Qanun Jinayat juga mengatur hal

yang sama agar terpenuhinya hak seseorang untuk dianggap tidak

bersalah hingga ada putusan Hakim yang menyatakan sebaliknya. 105

5. Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur, dan tidak

memihak. Dalam proses persidangan, demi tercapainya keadilan,

maka akses menuju ke sana harus berdasarkan prinsip tersebut. Jika

KUHAP bahkan mengharuskan tersangka atau terdakwa didampingi

oleh pengacara yang ia pilih sendiri atau disediakan oleh negara,

105
Prinsip ini tertuang dalam Pasal 2 huruf e Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum
Acara Jinayat. Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 7.
Qanun juga mengakomodir hal-hal semacam ini. Hal ini tidak lain agar

peradilan yang berbiaya ringan dapat terwujud.

Prisip-prinsip tersebut lah yang dianggap tidak terdapat dalam Qanun,

sehingga apengaturan-prngaruran dalam Qanun dianggap bertentangan

dengan prinsip hukum nasional. Namun, perlu diingat bahwasanya

pemberlakuan Qanun ini bahwasanya sudah konstitusional karena

didasarkan padal Pasal 18B UUD 1945 yang pada akhirnya melahirkan UU

Otsus Aceh. Dan pengaturan dalam Qanun tersebut hanya terbatas pada

daerah teritorial Aceh, sehingga hanya dapat diberlakukan di Aceh selaku

daerah yang diberi otonomi khusus.

Selain itu, kedudukan Qanun di dalam hierarki perundang-undangan

bahwasanya juga diakui keabsahannya, sehingga secara structure

sebenarnya tidak ad ayang dilanggar. Nmaun, secara subsatnsi memang

perlu untuk menselaraskan aturan-aturan Qanun dalam hukum pidana

nasional.

Perbedaan mendasar lainnya dalam pengaturan Qanun dengan sistem

hukum nasional juga mencakup mengenai lembaga peradilan, dimana

Aceh memiliki lembaga peradilan sendiri, yakni Mahkamah Syariat Islam

yang berwenang untuk memutus sengketa-sengketa yang berkaitan

dengan hukum islam. Tidak hanya itu, Aceh juga memiliki lembaga

peradilan adat sendiri berupa Gampong dan Mukim. Adapun berdasarkan


Pasal 13 Ayat (1) Qanun Nomor 9 Tahun 2008, terdapat 18 jenis sengketa

yang dapat diselesaikan secara adat, yakni sebagai berikut: 106

a. Perselisihan dalam rumah tangga;


b. Sengketa antar keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
c. Perselisihan antar warga;
d. Khalwat meusum;
e. Perselisihan tentang hak milik;
f. Penciran dalam keluarga (pencurian ringan);
g. Perselishan harta sehareukat;
h. Pencurian ringan;
i. Pencurian ternak peliharaan;
j. Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian dan hutan;
k. Persengketaan di laut;
l. Persengketaan di pasar;
m. Penganiayaan ringan;
n. Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas
adat);
o. Pelecehan, fitnah, hasut dan pencemaran nama baik;
p. Pencemaran ligkungan (skala ringan);
q. Ancaman mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
r. Perselishan perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat

Adapun kekuatan hukum lembaga peradilan di Aceh tersebut bersifat

final hal ini ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (1) Peraturan Gurbernur Aceh

Nomor 60 Tahun 2013 yang juga menyatakan sebagai berikut bahwa

“Putusan Peradilan Adat bersifat damai dan mengikat.” 107 Berdasarkan hal

tersebut dapat dikatakan bahwasanya kewenangan khusus lainnya yang

diberikan kepada Aceh adalah kewenangan dalam lembaga peradilan. Hal

ini berbeda dengan lembaga peradilan adat lainnya yang kedudukannya

106
Hukum Online, Kekuatan Putusan Penradilan Gampong Aceh, diakses dari laman
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5d51136391178/kekuatan-putusan-peradilan-
adat-gampong-di-aceh/ pada 12 April 2020
107
Pasal 18 Ayat (1) Peraturan Gurbernur Aceh Nomor 60 tahun 2013
masih belum jelas dalam sistem hukum nasional, atau tidak diakui

seutuhnya.

Adapun menurut teori receptive in complex yang digagas oleh Van

Vollen Hoven, dinyatakan bahwa ajaran-ajaran dalam hukum islam dapat

diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat, yaitu bagi

setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. 108

Berdasarkan teori tersebut, maka kedudukan hukum islam harus

diterima terlebih dahulu oleh hukum adat. Adapun teori tersebut kemudian

sangat berpengaruh pada pembentukan UU Otsus Aceh. Kedudukan

ajaran-ajaran syariat islam di Aceh bahwasanya diakui sebagai sub sistem

dari sistem hukum nasional yang keberadaanya dilegalkan.

Adapun jika ditinjau dari aliran Social Jurisprudence dapat dikatakan

bahwa hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal akan bertahan

hidup.109 Unsur kekal dari hukum adalah pernyataan akal yang berdasar

pada pengalaman dan diuji oleh pengalaman juga. Sehingga hukum

merupakan pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal,

kemudian dumumkan dengan wibawa oleh badan pembentuk undang-

undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh

kekuasaan masyarakat, atau biasa yang disebut dengan living law.

108
Hukum Online, Arti Teor Receptio A Contario, diakses dari laman
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5add48d9a8a43/arti-teori-ireceptio-a-contrario-i/
pada 13 April 2020
109
Anonim, Negara Hukum, Dinamisasi dan Pengaruh Social Jurisprudence, diakses dari laman
https://www.negarahukum.com/hukum/sosiological-jurisprudence.html pada 13 April 2020
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa penerapan hukum

postif yang efektif ialah hukum yang sesuai dengan living law atau budaya

hukum. Adapun keberlakuan hukum positif di Indonesia haruslah tetap

menjadi hukum yang mengikuti dinamika perkembangan masyarakat.

Dengan kata lain, hukum positif baru akan berlaku secara efektif apabila

berlaku selaran dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. 110

Adapun bukti penerapan efektifitas penerapan Qanun di Aceh dapat

dlihat dari indeks kriminalitasnya. Sebagai contoh berdasarkan data, jumlah

kasus kriminal pada yang terjadi di Aceh pada tahun 2018 mencapai 411

kasus, sedangkan terjadi penurunan banyak 87 kasus atau 324 kasus pada

2019111. Untuk tahun 2017, ditemukan bahwa sedikitnya terdapat 1.306

kasus kejahatan di tahun 2017 dan yang mampu diselesaikan terselesaikan

sebesar 36,7%.

Hal tersebut menunjukan bahwasanya penerapan pemberlakuan

ajaran-ajaran syariat islam cukup mampu untuk menurunkan index

kriminalitas karena hal ini sesuai dengan legal culture yang ada di Aceh.

Sehingga berdasarkan hal-hal tersebut dapat dikatakan bahwa legalitas

materi muatan syariat islam dalam Qanun Aceh adalah abash, namun harus

110
Philippe Nonet dan Philip Selznick , Hukum Responsif, Terjemahan dari Raisul Mutaqien,
(Bandung: Nusa Media, 2010, hlm.37.
111
Umul Rahmah, Makalah Penelitian Statistik Kriminal Di Kota Banda Aceh Tahun 2017-2018
(Suatu Penelitian Di Wilayah Hukum Polresta Banda Aceh, diakses dari
lamanhttps://etd.unsyiah.ac.id/index.php?p=show_detail&id=62798 pada 13 April 2020
tetap diseleraskan dengan ketentuan-ketentuan dalam sistem hukum pidana

nasional.

Bab V

Penutup

5.1 Kesimpulan

Kedudukan Qanun di dalam sistem hukum Indonesia bahwasanya diakui

legalitas dan keabsahannya, karena Qanun dianggap sebagai Peraturan

Daerah yang bersifat khusus yang diberikan kepada Provinsi Aceh selaku

daerah yang memiliki keistimewaan. Adapun secara hierarki, kedudukan

Qanun disetarakan dengan Peraturan Daerah. Keistimewaan yang diberikan

kepada Provinsi Aceh tersebut bahwasanya merupakan amanat dari adanya

pengaturan dalam Pasal 18B UUD 1945, dimana dinyatakan bahwa Negara

mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat

khusus atau bersifat istimewa. Sebagai konsekuensi dari pasal tersebut,

dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Otonomi


Khusus Provinsi Aceh, yang salah satu materi muatannya memberi

keistimewaan pada Aceh untuk membuat Peraturan Daerah Khusus (Qanun)

yang materi muatannya berlandaskan pada ajaran-ajaran syariat Islam. Adapun

pembentukan Qanun dilakukanoleh DPRA bersama dengan Grubernur Provinsi

Aceh dan penegakkanya dilakukan oleh aparat-aparat penegak hokum seperti

Kepolisan dan Kejaksaan serta Mahkamah Syariat selaku peradilan khusus

yang diakui keabsahannya dalam peraturan perundang-undangan.

Mengenai materi muatan Qanun yang berisikan ajaran-ajaran syariat

islam, utamanya dalam Qanun Jinayah, hal tersebut sebenarnya juga

merupakan konsekuensi dari adanya otonomi khusus yang diberikan kepada

Provinsi NAD. Mengacu pada teori receptive in complex yang digagas oleh Van

Vollen Hoven, dinyatakan bahwa ajaran-ajaran dalam hukum islam dapat

diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat, yaitu bagi

setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Dalam hal ini

berarti materi muatan syariat islam yang di dalam Qanun Jinayah disesuaikan

dengan legal culture yang ada di Aceh. Adapun beberapa materi muatan

Qanun Jinayah memang tidak sejalan dengan pengaturan dalam hukum pidan

anasional, seperti hal nya dalam hukuman Cambuk, tetapi hal tersebut sah

karena undang-undang telah mengatur kekhususan bagi Provinsi NAD melalui

Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh, sehingga Qanun harus diterima

sebagai ciri khas budaya hukum dalam suatu masyarakat. Penegkakkan

Qanun Jinayah juga dilaksanakan melalui peradilan adat aceh yang


legalitasnya putusannya sudah diakui dalma undang-undang. Sehingga dalam

hal ini kedudukan Qanun Jinayah termasuk materi syariat islam di dalamnya

adalah sah dan konstituonalitas karena diakui oleh undang-undang.

5.2 Saran

Keberadaan Qanun bahwasanya merupakan hal yang konstituonal karena

pengaturannya berdasarkan undang-undang. Adapun beberapa materi muatan

dalam Qanun Jinayah memang dianggap menimbulkan polemik karena

bertentangan dengan hukum pidan anasional. Untuk itu, kiranya dapat

dilakukan revisi terbatas dalam Qanun Jinayah dengan mengadopsi asas-asas

di dalam hukum pidan anasional, tetapi tetap mempertahankan budaya hukum

masyarakat Aceh.
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai