Anda di halaman 1dari 3

Anomali Demokrasi dalam Pencalonan Presiden sebagai Wakil Presiden

Kontekstual.com
Link Publikasi:
https://kumparan.com/faridaazzahra11/legalisasi-ganja-medis-dan-hakikat-kemanfaatan-
hukum-1yX3h5Bdrds

Belum selesai perguliran isu perpanjangan masa jabatan Presiden, kini muncul kembali isu
diperbolehkannya Presiden mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden, seolah pemerintah
terus mencari celah untuk melanggengkan kekuasaanya.

Hal tersebut sebagaimana dilontarkan oleh Juru Bicara Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa tidak ada regulasi yang membatasi pencalonan Wakil Presiden oleh
Presiden yang telah menjabat dua periode, sehingga dimungkinkan apabila Presiden dua
periode mencalonkan dirinya kembali sebagai Wakil Presiden. Namun, perlu diingat bahwa
meskipun tidak ada regulasi yang tegas melarang pencalonan Wakil Presiden oleh Presiden,
tetapi hal ini menjadi ancaman tersendiri bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Pencalonan Presiden dua periode sebagai Wakil Presiden berpotensi menciptakan


pemerintahan yang tirani dan tidak berlebihan jika hal ini kemudian dikhawatirkan akan
menyebabkan terjadinya abuse of power. Sebab, pada dasarnya kekuasaan yang tidak dibatasi
akan cenderung disalahgunakan (Power tends to corrupt and absolut power corrupt
absolutely). Pembatasan kekuasaan ini lah yang menjadi semangat perubahan UUD 1945,
dimana sebelumnya tidak ada batsasan yang tegas terhadap masa jabatan Presiden, sehingga
menyebabkan pemerintahan yang terpusat pada Presiden (executive heavy).

Pembatasan masa jabatan Presiden tersebut sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 hasil
amandemen pertama UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Ketentuan tersebut dengan tegas memberi
batasan terhadap Presiden dan Wakil Presiden untuk dapat menjabat selama dua periode.
Perlu dipahami bahwa ketentuan Pasal 7 tersebut tidak dapat dimaknai terpisah dengan
pengaturan dalam Pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Jika Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia
digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.” Pengaturan dalam Pasal 8
tersebut merupakan hasil amandemen ketiga UUD 1945 dan menjadi pengaturan yang
rasional seperti halnya praktik penggantian Presiden oleh Wakil Presiden di beberapa negara,
salah satunya Amerika Serikat.

Jika mengacu pada pengaturan dalam Pasal 8 tersebut, apabila Presiden tidak dapat lagi
menjalankan kewajibannya, maka ia akan digantikan oleh Wakil Presiden. Dalam hal, jabatan
Wakil Presiden diduduki oleh mantan Presiden yang telah menjabat dua periode, maka
mantan Presiden tersebut artinya akan menjabat kembali sebagai Presiden, yang mana hal ini
bertentangan dengan semangat pembatasan kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945 dan
akan menjadi bentuk anomali serta kemunduran tersendiri bagi demokrasi Indonesia.
Sekalipun peran sebagai kepala pemerintahan berada di tangan Presiden, pencalonan Wakil
Presiden oleh mantan Presiden akan menitikberatkan kontrol yang besar pada Wakil
Presiden, yang mana Presiden dikhawatirkan hanya menjadi “alat” untuk melanggengkan
agenda-agenda politik tertentu.
Jika mengacu pada praktik pemerintahan pada beberapa negara, tercatat terdapat 76 negara di
dunia yang membatasi masa jabatan Presiden yakni dengan dua periode, dan tidak ada satu
negarapun yang mengatur pencalonan Wakil Presiden oleh Presiden yang telah
menyelesaikan masa jabatannya dalam dua periode tersebut, terlebih Presiden petahana.

Selain potensi terjadinya tirani dan penyalahgunana kekuasaan, pencalonan mantan Presiden
sebagai Wakil Presiden bahwasanya juga akan menimbulkan masalah pemerintahan
tersendiri. Hal ini juga akan berpengaruh pada komposisi fraksi di Parlemen, dimana fraksi di
Parlemen hanya akan dikuasai oleh sekelompok partai tertentu yakni partai pengusung
mantan Presiden yang akan menjabat sebagai Wakil Presiden, dan bukan tidak mungkin hal
ini nantinya juga akan berdampak pada komposisi partai koalisi dan oposisi yang tidak
berimbang di parlemen, yang mana hal ini menyebabkan tidak adanya check and balances
antara lembaga eksekutif dan legislatif.

Selain itu, apabila Presiden petahana dapat mencalonkan dirinya kembali sebagai Wakil
Presiden, maka penyelenggaraan pemerintahan pada periode kedua Presiden akan berjalan
tidak optimal. Sebab, dalam hal ini, fokus Presiden petahana akan terpecah untuk memikirkan
strategi kampanye guna terpilih menjadi Wakil Presiden, sama halnya dengan Presiden di
periode pertama yang di akhir masa jabatannya justru berfokus pada strategi kampanye untuk
terpilih kembali pada periode kedua.

Presiden di akhir masa periode keduanya sudah sepatutnya fokus untuk menyelesaikan visi
misi Presiden sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMN), sehingga tidak etis jika Presiden petahana justru memikirkan strategi
pencalonannya kembali sebagai Wakil Presiden.

Perlu dipahami sekalipun tidak ada aturan eksplisit yang melarang pencalonan Presiden
sebagai Wakil Presiden, tetapi hal tersebut juga telah bertentangan dengan prinsip “rule of
ethics”, sehingga persoalan pencalonan Presiden sebagai Wakil Presiden tidak dapat
dipandang sebagai persoalan hukum semata, melainkan juga sebagai persoalan etik.
Sayangnya, pelanggaran etik belum tentu dipandang sebagai pelanggaran hukum, berbeda
dengan pelanggaran hukum sudah pasti menjadi bagian dari pelanggaran etika.

Etika bersifat lebih dinamis dari hukum yang dapat mengikuti kompleksitas dinamika
perilaku manusia, sehingga sudah sepatutnya penyelenggaraan kehidupan bernegara dapat
berimbang antara etika dan hukum guna mengoptimalkan pelaksanaan demokrasi dan
menciptakan keteraturan. Dalam hal ini, etika politik menjadi fondasi penting yang harus
dimiliki oleh pemerintah sebagai alat kontrol terhadap penyelenggaraan kehidupan bernegara.

Masa jabatan Presiden selama dua periode atau 10 tahun ini rasanya sudah cukup untuk
membuktikan kinerja dan pelaksanaan program Presiden, sehingga sisa dua tahun masa
pemerintahan saat ini sudah sepatutnya difokuskan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan
yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat, alih-alih memikirkan potensi pengisian jabatan
kembali sebagai Wakil Presiden. Sebab, masih banyak “pekerjaan rumah” yang harus segera
dituntaskan oleh Presiden di penghujung akhir masa jabatannya, terutama di bidang
penegakan hukum yang berada di ambang kritis.

Penulis memandang bahwa ke depan larangan pencalonan Presiden sebagai Wakil Presiden
harus diatur secara tegas dalam Undang-Undang Pemilu agar tidak menjadi celah
penyimpangan demokrasi. Dalam hal ini, perlu segera dilakukan revisi Undang-Undang
Pemilu untuk menegaskan larangan tersebut. Momentum Pemilu haruslah menjadi sarana
untuk memberi kesempatan kepada warga negara yang kompeten untuk mencalonkan dirinya
sebagai Presiden agar pencalonan menjadi lebih variatif dan dapat melahirkan pemimpin
yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai